Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194868 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lumban Gaol, Dominica Fltri Masniari
"ABSTRAK
Implementasi UU No. 22 dan 25 tahun 1999 menuntut kemandirian daerah baik dalam mengelola sumber pendapatan dan juga menggali sumber pembiayaan bagj pembangunan. lmplikasi akibat adanya otonomi tersebut " mendorong setiap daerah mengembangkan sektor unggulan. Pengembangan sektor unggulan pada akhirnya dapat mendorong peningkatan penyaluran kredlt perbankan. Analisis interaksi antara perkembangan penyaluran kredit perbankan dan sektor unggulan menggunakan regresi data panel. Sementara analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengldentifikasi sektor unggulan di provinsl DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil estimasi regresi data panel menunjukkan bahwa perkembangan sektor unggulan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan dan seballknya penyaluran kredit perbankan memlliki pengaruh yang signiflkan terhadap perkembangan sektor unggulan. Deteminan lain yang signlflkan memengaruhl dan paling elastis terhadap penyaluran kredit perbankan adalah Dana Pihak Ketiga, Jumlah Kantor Bank,Suku Bunga, Inflasi dan Rasio Non Performing Loan. Sementara determinan lain yang signifikan memengaruhl dan paling elastls terhadap perkembangan sektor unggulan adalah luas wilayah dan tenaga kerja"
2008
T20879
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Wicaksono
"Tujuan penelitian pada tesis ini adalah ingin mengetahui penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan di daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan selama periode tahun 1995 hingga tahun 2003. Selain itu penulis ingin pula mengetahui faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi perbankan dalam penyaluran kredit.
Studi ini menggunakan analisis regresi panel data penawaran kredit. Analisis regresi panel data ini adalah kombinasi dari cross section dan time series, dimana dalam analisis ini menggunakan variabel kapasitas kredit dan ratio modal terhadap aset yang merupakan unsur dari penawaran kredit. Sedangkan variabel PDRB riil dan suku bunga kredit yang merupakan unsur permintaan kredit. Untuk mengetahui dampak krisis yang terjadi pada tahun 1997, maka analisis regresi panel data ini ditambahkan dummy variabel.
Analisis penyaluran kredit dilakukan dengan menggunakan model Fixed Effect Cross Section Weight, model ini digunakan karena terdapat empat perbankan pada propinsi yang berbeda. Keempat perbankan di propinsi tersebut adalah perbankan pada propinsi DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Barat.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah outstanding kredit yang terjadi pada perbankan di daerah tersebut dengan penilaian berdasarkan intercept dari yang terendah sampai yang tertinggi, sehingga outstanding kredit tersebut dapat memberikan gambaran mengenai kondisi perbankan di daerah, yang pada akhirnya akan merupakan masukan bagi Bank Sentral dan Pemerintah Daerah setempat.
Pola hubungan variabel lainnya yang mempengaruhi kredit sebagaimana teori pemberian kredit memiliki hubungan positif untuk kapasitas kredit, ratio modal terhadap aset, PDRB dan suku bunga kredit yang pengaruhnya lebih kuat terhadap faktor penawaran kredit, yang diharapkan sesuai dengan hipotesa.
Pengaruh kondisi perbankan dalam menyalurkan kredit dari faktor permintaan dan penawaran kredit masih cukup besar, sehingga perbankan di daerah sebagai lembaga intermediasi dapat iebih dioptimalkan kembali.
Penelitian selanjutnya guna meningkatkan fungsi intermediasi melalui penyaluran kredit disarankan dapat menggunakan data yang Iebih luas terutama pemanfaatan kredit tersebut sesuai dengan tujuannya, yaitu pemanfaatan pada sektor usaha produktif, seperti sektor-sektor ekonomi daerah yang bersangkutan sehingga dapat diketahui penyebab apa yang terjadl pada tingkat keleseuan sektor riil."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T17142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaedi Pradja
"Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam bidang kesehatan untuk mengatasi dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1997. Dalam rangka merespon krisis ekonomi tersebut UNICEF melalui program JPSBK melakukan kegiatan revitalisasi posyandu dengan memberikan makanan tambahan vitadele untuk balita di posyandu sebanyak lebih dari 150.000 balita.
Untuk mengetahui dampak efektivitas revitalisasi posyandu dan pemberian vitadele terhadap status gizi balita maka Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (PPK-UI) bekerjasama dengan UNICEF melakukan penelitian di 4 propinsi yaitu Sumatera Barat (Sumbar), Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim), yang dilakukan pada bulan Juni dan Juli tahun 2002. Data yang di analisis untuk pembuatan tesis ini adalah bagian dari penelitian yang dilaksanakan oleh PPK-UI.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita yaitu karakteristik balita, karakteristik orang tua, Nitadele dan penyakit infeksi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini cross sectional. Sampel adalah ibu balita yang mempunyai balita berumur 10-60 bulan.
Dari hasil analisis dengan menggunakan indikator BB/U dan TB/U, ditemukan balita gizi kurang masing-masing sebanyak 30,7% dan 29,0%. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan status gizi balita berdasarkan indeks TB/U adalah pendidikan ibu balita (p=0,001), pendidikan bapak balita (p=0,003), pekerjaan bapak balita (p),001), pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan balita (p=0.411) untuk TB/U. Sedangkan menurut status gizi indeks BBIU adalah pendidikan ibu balita (p=0.004) dan penyakit ISPA (p=4.001), Hasil analisis multivariat diperoleh faktor yang paling dorninan untuk terjadinya status gizi kurang berdasarkan indeks TB/U adalah pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan balita dan menurut status gizi kurang berdasarkan indeks BB/U adalah penyakit ISPA.
Ada dua Cara ibu balita untuk mendapatkan vitadele yaitu membeli dan gratis, kemudian sebanyak 19.6% ibu balita menerima vitadele tidak rutin. Persentase jumlah vitadele yang diterima selama program tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan status gizi balita, tetapi mempunyai kecenderungan persentase jumlah vitadele yang diterima semakin sedikit, maka jumlah balita status gizi kurang meningkat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anggota keluarga yang ikut mengkonsumsi vitadele adalah (1) balita bukan sasaran, (2) ibu, (3) bapak, dan (4) anggota keluarga lainnya. Konsumsi vitadele terbanyak adalah balita bukan sasaran (72,5%), kemudian dua anggota keluarga (16,4%), tiga anggota keluarga (7,3%) dan semua anggota keluarga ikut mengkonsumsi (3,8%). Jarak akhir menerima vitadele sarnpai dengan saat penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna. tetapi mempunyai kecenderungan balita status gizi kurang meningkat dengan jarak akhir yang semakin melebar.

Social Security Net (JPS BK) is one of efforts by government in health area to reduce impact of economic crisis since 1997. in order to response this crisis, UNICEF through JPSBK program conduct the revitali7a-ion program of posyandu by giving food supplement vitadele for 150.000 under fives.
To find out effectiveness posyandu revitalization and vitadele distribution to nutritional status of under five, Center of Health Research University of Indonesia (PPKUI) by cooperation with UNICEF conducting research in 4 provinces such as, West Sumatra. West Java, Center of Java and East Java, which carried out at June and July 2002. Data which analyzed by this study is part of that research.
This study objective is to find out factors that related to nutritional status of under-five such as under-five's characteristics, parent's characteristics, vitadele and infectious disease. This study used cross sectional design. Sample is mothers who have under-five aged 10-60 month.
Results of the analysis using indicator BB/U and TB/U, found there are under-fives under nutrition 30.7% and 29,0%. Factors which have relation with nutritional status of under-five based on TB/U index is mother education (p=0,041), Father Education (p=0,003), Father Occupation (p =0,401), mother knowledge about monitoring under-five's growth (p O,011). While based on index BBIU are mother education (p-0,04) and acuter respiratory disease (p=0,001), from multivariate analysis the most dominant factor of under nutrition based on index TB/U is mother knowledge and based on index BB/U is acute respiratory disease.
Mother could get vitadele free or buying, 19,6% under-fives not received vitadele routinely. Percent number vitadele accepted during program has no significant relation with under-five's nutritional status, but tend fewer accepted percent vitadele could increase under-fives with under nutrition. Result of this study showed that there are non target which consume vitadele such as, non target under-five, mother, father, and other family member. The most consumed vitadele is non target under-five (72.5%). Two family member (16.4%), three family member (7.3%) and all family member (3.8%). time range from end for accepting vitadele to starting time of this study have no significant relation, but there is increasing in under-five's nutritional status if more range of time.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moerdiman Reksomarnoto
"ABSTRAK
Dalam penelitian ini disoroti dua kasus, yaitu penyelenggaraan pelelangan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan penyelenggaraan di Jawa Tengah dengan menerapkan teori kelembagaan model Bromley (1989).
Sebagai penjabaran Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1917, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1959 dan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahtin 1962 yang kemudian digantikan dengan Peraturan Daerah Nomor I Tahun 1984. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan Institutional Arrangement di tingkat policy dan sebagian merupakan landasan di tingkat organisasional.
Baik di Daerah Khusus Ibukota Jakarta maupun di Jawa Tengah, sebagai lembaga di tingkat policy adalah Pemerintah Daerah Tingkat I dan di tingkat penyelenggaraan/organisasional adalah Dinas Perikanan Daerah Tingkat I.
Adapun ditingkat operasional atau di tingkat pelaksanaan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan Dinas Perikanan Tingkat I sebagai pelaksana dan sebelumnya pernah dipercayakan kepada Koperasi Pusat Perikana Laut (KPPL).
Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah menetapkan sebagai pelaksana/tingkat operasional adalah lembaga bersama (Dinas Perikanan bersama Koperasi Perikanan) sedangkan lembaga pelaksana yang pemah diberikan kepercayaan adalah Dinas Pendapatan Daerah dan sebelumnya koperasi perikanan.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa lembaga pelaksana pelelangan atau Iembaga; di tingkat operasional berdasarkan hasil wawancara dan konfirmasi adalah: lembaga bersama (Dinas Perikanan dan Koperasi Perikanan).
Saran-saran inovatif yang dapat dikemukakan antara lain :
1. Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai lembaga di tingkat policy, harus peka terhadap tuntutan perkembangan.
2. Dinas Perikanan Tingkat I sebagai penanggung jawab penyelenggaraan (di tingkat organisasional) perlu membina dan mengawasi agar kepentingan nelayan dan Kepentingan Pendapatan Asli Daerah dapat berjalan seimbang.
3. Penerapan lembaga bersama (Dinas Perikanan dan Koperasi Perikanan) perlu dilaksanakan bertahap sesuai situasi dan kondisi daerah setempat.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Yudhistira
"Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat global yang sampai saat ini masih perlu memperoleh perhatian penting terutama di negara-negara berkembang. Indonesia perlu menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024. Sebanyak 108 kabupaten/kota di Provinsi Banten, Jawa Barat, jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk lokasi fokus intervensi percepatan penurunan stunting terintegrasi tahun 2023 dengan skema percepatan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui visualisasi dashboard data wilayah berisiko stunting dikaitkan dengan pola asuh, faktor lingkungan, faktor akses pelayanan kesehatan, penyakit infeksi dan BBLR di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2021. Penelitian ini merupakan studi ekologi dengan unit analisis di tingkat kabupaten/kota dan menggunakan data sekunder berupa data agregat hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021 yang diperoleh dari BKPK Kemenkes RI. Hasilnya dashboard yang dibuat dapat menyajikan data pemetaan sebaran risiko stunting dikaitkan dengan pola asuh, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, penyakit infeksi dan BBLR. Selain itu juga menyajikan data dan grafik variabel di tingkat kabupaten/kota yang interaktif, serta menyajikan simulasi prevalensi stunting yang dihubungkan dengan variabel yang signifikan berhubungan dengan stunting pada penelitian ini.

Stunting is one of the global public health problems that still needs important attention, especially in developing countries. Indonesia needs to reduce the prevalence of stunting to 14% by 2024. A total of 108 districts/cities in the provinces of Banten, West Java, Central Java and East Java are included in the focus locations of the integrated stunting reduction acceleration intervention in 2023 with a special acceleration scheme. This study aims to describe the dashboard visualization of data on areas at risk of stunting associated with parenting, environmental factors, health service access factors, infectious diseases and LBW in Banten, West Java, Central Java and East Java Provinces in 2021. This research is an ecological study with a unit of analysis at the district / city level and used secondary aggregated data of the 2021 Indonesian Nutrition Status Study (SSGI) obtained from the BKPK Kemenkes RI. As a result, the dashboard created can present data mapping the distribution of stunting risk associated with parenting, environmental factors, health service factors, infectious diseases and LBW. In addition, it also presented data and graphs of variables at the interactive district / city level, and presented a simulation of the prevalence of stunting associated with variables that were significantly associated with stunting in this study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Namora
"Di Indonesia laporan mengenai keparahan karies gigi berdasarkan indeks def-t/DMFT dan indeks pufa/PUFA masih langka. Tujuan penelitian ini diketahuinya tingkat keparahan karies gigi pada murid sekolah dasar di daerah tertinggal dan perkotaan. Penelitian ini adalah survey deskriptif.
Hasil penelitian status keparahan karies gigi di daerah perkotaan menurut indeks def-t 3,38, indeks DMF-T 0,54, indeks pufa 0,83, indeks PUFA 0,07, rasio pufa 28,6%. Status keparahan karies gigi di daerah tertinggal menurut indeks pufa 1,63 dan indeks PUFA 0,4. Indeks def-t/DMF-T berkaitan dengan pencegahan karies gigi. Indeks pufa/PUFA berkaitan dengan pelayanan kesehatan.

In Indonesia research about caries severity in accordance to dmft and pufa index is infrequent. The purpose is knowing level of caries severity between rural and urban area. This study is using descriptive survey studies as methode. Caries severity status in elementary school students in urban area according to deft index is 3.38, DMFT index 0,54, pufa index 0.83, PUFA index 0,07, Pufa Ratio 28,6%.
Caries severity status in elementary school students in rural area according to pufa index is 1,63 and PUFA index 0,4. def-t/DMF-T index is related to caries prevention strategy. Pufa/PUFA index is related to health service.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S45640
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suwandi
"Secara nasional tingkat penggunaan benih unggul berrmutu masih rendah, pada tahun 1997/1998 baru mencapai 37,58% dari kebutuhan. Penggunaan benih padi unggul di Jawa relatif lebih tinggi dibanding di luar Jawa. Guna meningkatkan penggunaan benih unggul bermutu sehingga tercapai peningkatan produktivitas beras nasional, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan salah satunya berupa pemberian subsidi benih padi.
Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis dampak penghapusan subsidi benih padi dengan menggunakan model permintaan. Penelitian ini menggunakan studi kasus dipilih di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pertimbangan propinsi tersebut merupakan pemasok beras terbesar di Indonesia dan tingkat penggunaan benih unggul relatif lebih tinggi dibanding daerah lain.
Jenis data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik, Departemen Pertanian dan instansi terkait lainnya. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi usaha perbenihan dan usaha tani, sedangkan analisis kuantitatif dengan model permintaan benih digunakan untuk menghitung besarnya perkiraan dampak penghapusan subsidi benih terhadap usaha tani padi.
Kebijakan dengan tujuan stabilitas harga benih dan menyediakan kebutuhan benih unggul secara cukup dengan harga terjangkau petani selama ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan pembayaran subsidi harga yang disalurkan tidak langsung kepada petani, melainkan melalui produsen benih BUMN yaitu PT. Sang Hyang Seri dan PT. Pertani. Kebijakan stabilisasi harga benih dengan cara memberikan subsidi harga benih berakibat menimbulkan beban biaya pemerintah dan kurang memberikan iklim kondusif bagi swasta untuk masuk dalam industri perbenihan. Penetapan HET benih mengalami kesulitan di tingkat lapangan, .mengingat wilayah Indonesia yang luas, kepulauan dan kondisi geografis dan aksesibilitas yang beragam antar daerah. Sampai saat ini penyediaan benih padi unggul masih terbatas pada daerah yang mudah dijangkau. Besarnya biaya produksi pertanian yang bervariasi antar daerah juga turut mempersulit penentuan besarnya HET benih padi. Bila HET benih dipatuhi dan nilai subsidi diberikan sebesar selisih harga pokok produksi dengan HET benih, maka kemungkinan tidak terjadi kerugian bobot mati. Subsidi benih padi tidak hanya dinikmati oleh petani melainkan juga dinikmati pula oleh BUMN perbenihan. Subsidi benih padi sebesar Rp.400/kg pada tahun 1999 yang disalurkan melalui PT. SHS dinikmati petani Rp. 278,8/kg dan yang dinikmati PT. SHS melalui profit marjin dan ekstra profit sebesar Rp. 121,2/kg. Sedangkan subsidi yang disalurkan melalui PT. Pertani, petani menikmati sebesar Rp. 201,2/kg dan PT. Pertani sebesar Rp.198,8/kg.
Apabila subsidi benih padi dihapuskan akan menyebabkan harga benih padi meningkat. Peningkatan harga benih mengakibatkan menurunnya permintaan petani terhadap benih padi. Petani cenderung memperbanyak penggunaan benih yang diproduksi sendiri atau barter dengan tetangga, karena harga benih tidak terjangkau oleh sebagian besar petani.
Guna melihat dampak penghapusan subsidi benih terhadap usaha tani, ditentukan oleh respon petani yang diukur dengan elastisitas permintaannya. Variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi permintaan benih antara lain harga benih itu sendiri, jumlah benih yang dimiliki sendiri, harga gabah, dan luas penanaman padi. Harga benih berkorelasi negatif terhadap permintaan benih dengan nilai elastisitas harga benih di Jawa Barat -0,702, Jawa Tengah -0,724 dan di Jawa Timur -0,567, yang berarti bila harga benih meningkat permintaan benih akan menurun. Nilai elastisitas jumlah benih yang dimiliki sendiri dari tiga propinsi secara berurutan masing-masing -0,429; -0,173 dan -0,171. Jumlah benih milik sendiri ini dapat dianggap sebagai barang substitusi dengan benih yang akan dibeli. Bila jumlah benih yang dimiliki sudah cukup, maka petani cenderung mengurangi pembelian benih dari produsen benih/pasar.
Variabel harga gabah dianggap sebagai indikator yang akan direspon oleh petani apakah akan menggunakan benih unggul yang dibeli walaupun harganya lebih mahal dibanding dengan memanfaatkan benih sendiri. Bila harga gabah meningkat, maka permintaan benih cenderung lebih tinggi. Elastisitas permintaan benih terhadap harga gabah di Jawa Tengah lebih elastis dibanding dua propinsi lainnya. Hal ini terjadi karena sebagian besar benih yang digunakan petani berasal dari pembelian. Luas penanaman padi berhubungan positif terhadap permintaan benih, dimana semakin luas areal penanaman padi, maka kebutuhan benihnya akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh elastisitas luas areal tanam padi pada ketiga propinsi relatif sama.
Bila subsidi benih padi dicabut, berdasarkan model permintaan benih padi pada tiga propinsi diperoleh kesimpulan bahwa kenaikan harga benih akibat penghapusan subsidi mengakibatkan penurunan permintaan benih padi yang diminta petani Jawa Barat sebesar 5.470 ton (11,60%), di Jawa Tengah 10.160 ton (11,94%) dan Jawa Timur 8.180 ton (9,48%). Penghapusan subsidi benih padi diperkirakan tidak berdampak terhadap biaya usaha tani mengingat porsi pengadaan benih terhadap total biaya usaha tani di Jawa Barat hanya 1,89%, Jawa Tengah 3,92% dan di Jawa Timur 4,08%. Namun demikian karena benih merupakan faktor penentu kualitas dan produktifitas usaha tani, maka penggunaan benih yang tidak bermutu dapat menghambat keberhasilan usaha tani. Bila penurunan permintaan benih hanya dipenuhi dengan benih tidak bermutu, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi gabah di Jawa Barat sebesar 87.756 ton (atau menurun 0,94% dari produksi gabah Jawa Barat tahun 1998), di Jawa Tengah sebesar 134.878 ton (menurun 1,60% dari produksi gabah Jawa Tengah tahun 1998) dan di Jawa Timur sebesar 98.468 ton (menurun 1,17% dari produksi gabah Jawa Timur tahun 1998). Alternatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah menghapus subsidi benih secara bertahap dengan batas maksimum dua tahun. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan dalam kerangka manajemen krisis, tidak terjadi gejolak di dalam masyarakat, namun juga memberikan iklim kondusif bagi usaha perbenihan. Setelah dua tahun subsidi dicabut total dengan pertimbangan perkonomian sudah membaik dan days bell meningkat, serta memberi waktu prakondisi yang cukup bagi BUMN perbenihan mengingat siklus produksi dan pengolahan benih memerlukan waktu 4-7 bulan.
Penghapusan subsidi dapat dilakukan saat ini hanya pada "daerah maju" seperti pada propinsi lokasi studi kasus, sedangkan untuk "daerah remote" seperti Kawasan Timur Indonesia tetap diberikan subsidi benih padi untuk meningkatkan penggunaan benih unggul dengan harga terjangkau. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai efektivitas pemberian subsidi benih padi pada daerah remote. Penghapusan subsidi perlu diikuti upaya-upaya peningkatan efisiensi dalam memproduksi benih dan peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran benih.
Tidak akan terjadi penurunan produksi gabah bila subsidi benih dicabut, kalau dilakukan langkah antisipatif antara lain penghematan anggaran pemerintah dari penghapusan subsidi benih dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang terkait dalam pengembangan perbenihan, terutama mendorong peningkatan penggunaan benih unggul dan meningkatkan mutu, misalnya memberdayakan penangkar benih padi, melakukan kampanye gerakan sadar mutu benih, memperluas pemasaran dan distribusi benih, mereview peraturan perundangan yang menghambat usaha perbenihan serta memperbaiki sistem pembinaan dan pengawasan mutu benih.
Penghapusan subsidi harga benih sebaiknya diimbangi Pula dengan meningkatkan harga dasar gabah, sehingga diperoleh rasio harga gabah dengan benih pada tingkat yang kondusif guna mendorong gairah petani tetap menggunakan benih unggul dengan cara tetap mempertahankan rasio harga dasar gabah denagn benih melalui menaikkan harga dasar gabah.
Di mass mendatang peran pemerintah tidak lagi mengatur harga bidang pertanian. Pemerintah agar berkonsentrasi pada perannya dalam menciptakan paket teknologi dan menciptakan benih padi hibrid guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, memberikan alih teknologi dan informasi alternatif-alternatif usaha yang menguntungkan petani, serta memperbaiki sarana dan prasarana penunjang. Usaha ini dilakukan untuk efisiensi produksi dan meningkatkan daya saing produk pertanian dalam era pasar babas.
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, peran pusat dalam pengembangan industri perbenihan semestinya terbatas pada pengaturanpengaturan dan kebijakan yang bersifat nasional seperti ketentuan impor benihfperkarantinaan, penentuan standar mutu, sistem pembinaan dan pengawasan mutu. Di luar hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Prasetyo
"Perekonomian Kabupaten Kudus memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap industri rokok/pengolahan tembakau. Perkembangan industri ini kedepan kurang bagus, karena menjngkatnya kesadaran hidup sehat tanpa rokok, dan campur tangan pemerintah dalam menentukan harga jual eceran, penetapan cukai yang tinggi bahkan cukai ganda, dan perkiraan rencana stagnasi produksi tahun 2015-2020.
Penelitian ini bcrtujuan mengidentifikasi sektor/sub sektor lmggulan di Kabupaten Kudus selain industri pengolahan tembakau, sebagai langkah antisipasi untuk menentukan stmtsgi pembangunan ekonomi dimasa datang. Analisis dilakukan terhadap PDRB riil Kabupaten Kudus dan Provinsi Jawa Tcngah tahun 2000-2006,tanpa komponen industri pengolahan tembakau. Dengan mengglmakan metodc Klassen T}po!og)4 Shy?-Share dan Location Quotient (LQ), dihasilkan enam (6) klasifikasi yang berbeda yaitu unggulan, potensial, berkembang, tumbdh, tenekan dan tertinggal. Terbukti sebagai unggulan adalah (i) sektor perdagangan, hotel dan restoran (sub sektor perdagangan besar dan eoeran), 69 sektor industri pengolahan (sub sektor industri tanpa migas khususnya industri makanan dan minuman; kertas dan barang cetakan; alat angkutan, mesin, dan peralatan; barang lainnya), dan sub-sub sektorjasa swasta sosial kemasyarakatan.
Hasil ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pcrtimbangan bagi pemerintah Kabupaten Kudus dalam menentukan strategi kebijakan ekonomi yang lebih naemprioritaskan sektor/sub sektor unggulan
Kudus economy was highly dependens on tobacco industry. But whitc the increase of awareness for healthy life and government interference on retail selling price, through high and double tax, make the growt of tobacco industry seems have no prospect in the future. Production stagnancy forecast in 2015-2020 also contribute to its slower growth.
This research aims to identify base sector/sub sector other than tobacco , industry, as an anticipation to determine Kudus district strategy on economic I development in the future. The analysis use on real GRDP 2000-2006 of Kudus l and Central Java, excluding tobacco industry component.
Typology, Shift-Share and Location Quotient (LQ) methods, give six different 4; classification of sectors as follows : excel, potent, develop, growth, depress, and 5 undeveloped. Trading, hotel & restaurant sector (wholesale and retail sub sector), Q manufactur (non oil & gas industry, especially food and beverages; printing and paper; transportation, apparatus and machinery; others product), and social &. E community service is proven to be the exceled sector in Kudus.
The result of this research could be use for Kudus government in a determine strategic economic policy.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>