Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121880 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisabeth
"Adanya stoma di tubuh klien dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan ini menjadi ancaman body image dan konsep diri yang dapat sebagai stressor karena mengancam integritas klien. Stressor menimbulkan berbagai respon psikologis seperti cemas dan depresi. Respon psikologis yang dirasakan klien juga mempunyai dampak pada anggota keluarga dan orang yang berarti.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak psikologis pada pasangan klien dengan ostomy. Penelitian dilakukan di IRNA A lantai III, IV dan V RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tanggal 27 sampai 31 Agustus 2001 dengan metode purposive sampling dan besar sampel 20 orang.
Desain penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan uji statistik tendensi sentral, yaitu : modus, median dau mean.
Hasil analisa dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dampak psikologis pada pasangan klien dengan ostomy adalah cemas ringan dan tidak depresi. Penelitian lebih lanjut mengenai hal ini masih diperlukan. Bagi praktek keperawatan, penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengembangkan model atau bentuk-bentuk perencanaan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan keluarga beradaptasi pada klien dengan ostomy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4970
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Kecenderungan meningkatnya penyakit degeneratif dan penyakit kronis seperti
kanker, stroke, diabetes dan HIV/AIDS terus bertambah. Umumnya penyakit-
penyakit tersebut berakhir dengan kondisi terminal karena sulit disembuhkan dan
memerlukan perawatan paliatif (Depkes, 006).
Angka kejadian kanker diperkirakan 100 kasus per 100.000 orang pertatwun
Stroke di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo rata-rata 1000 orang pertahun
sedangkan kasus Diabetes Militus tahun 2005 terjadi 250.000 orang daIam
setahun (Depkes 2006). Penyakit HIV menurut WHO untuk negara yang belum
merata melakukan tes HIV secara sukarela (seperti Indonesia) maka setiap
kasus HIV positif yang terdeteksi artinya ada 100 orang yang belum terdeteksi
(Nunuk dan Ririn, 2000).
Penyakit-penyakit di atas membutuhkan perawatan yang kompleks apabila
sudah sampai pada kondisi terminal. Umumnya klien dengan kondisi terminal
dirawat di rumah, sehingga setiap anggota keluarga akan bertanya tentang apa
dan bagaimana efek penyakit tersebut pada klien (Crisp dan Taylor, 2001).
Pengetahuan dasar yang dimiliki perawat untuk memberikan asuhan klien
dengan penyakit terminal di rumah penting disusun agar perawat dapat
melaksanakan asuhan secara optimal."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Soetomo
"Lama hari rawat (LHR) prabedah merupakan bagian dari lama hari rawat (LHR) secara keseluruhan. Berhubung lama hari rawat merupakan saiah satu unsur dari indikator efisiensi rumah sakit, maka memanjangnya LHR prabedah akan ikut menurunkan penampilan rumah sakit dan hal ini merupakan masalah bagi administrator rumah sakit. Dari hasil pengamatan sebelumnya diketahui bahwa LHR prabedah berencana (murni dan setengah murni) di IRNA-RSCM cukup tinggi yaitu 15 hari dengan SD = 7,17 hari. Memanjangnya LHR prabedah ini bisa disebabkan berbaqai macam faktor antara lain manajemen penerimaan pasien yang kurang baik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai manajemen penerimaan pasien dan hubungan nya dengan LHR prabedah berencana.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan pengumpulan data primer berupa kwesioner dan data sekunder dengan pengamatan prospektif. Untuk penelitian ini digunakan 8 unit analisis yang berada di IRNA RSCM. Dari pengumpulan data primer didapatkan gambaran mengenai koordinasi dan seleksi penerimaan pasien prabedah dalam manajemen penerimaan pasien. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis persen dan uji Multiserial Correlation.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di Instalasi Rawat Nginap A (IRNA) rata-rata LHR prabedah berencana murni masih cukup tinggi. Namun hanya sebagian kecil responden yang menyadari adanya masalah ini. Demikian juga pentingnya pengaturan sensus pasien untuk pengendalian LHR prabedah, baru disadari oleh sebagian kecil responden. Pada pengujlan hipotesis terbukti bahwa semakin baik koordinasi dalam manajemen penerimaan pasien semakin rendah LHR prabedah berencana murni dan semakin baik seleksi penerimaan pasien bedah berencana murni semakin rendah LHR prabedahnya. Selanjutnya dalam saran dikemukakan untuk mengatasi masalah tersebuh perlu perbaikan dan pengembangan sistem informasi yang ada. Telah dikemukakan juga mengenai model arus informasi untuk keperluan manajemen penerlmaan pasien di IRNA. One day care surgery dimasukkan sebagai salah satu usulan untuk mengurangi kebutuhan rawat nginap."
Depok: Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Prasetio Nugraha
"Trakeostomi adalah salah satu tindakan pilihan pada kasus obstruksi jalan nafas atas. Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral merupakan teknik regional anestesi yang populer untuk tatalaksana nyeri selama dan pasca operasi regio leher, namun jarang dipergunakan pada tindakan trakeostomi. Subtansia P adalah neurotransmitter utama nyeri dan mediator poten inflamasi neurogenik yang menyebabkan aktivasi sel-sel inflamatori, vasodilatasi, dan edema setelah manipuasi pada ujung saraf sensori. Kadar substansia P meningkat pada saat nyeri akut, sehingga juga dapat dianggap berperan sebagai mediator nyeri dan digunakan sebagai penanda kejadian nyeri akut. Metode: Kelompok Blok servikalis superfisialis bilateral: Penyuntikan dilakukan dengan menggunakan Bupivakain 0,25% sebanyak 10-15 ml pada masing-masing sisi. Setelah 20 menit, operasi dapat dilakukan. Kelompok Infiltrasi dilakukan penyuntikan infiltrasi lokal lidokain 2% pada daerah insisi. Pra dan Pasca tindakan trakeostomi, segera dilakukan pengambilan sample darah untuk pemeriksaan kadar Substansia P. Hasil: Jumlah sampel penelitian yang didapatkan adalah 34 sampel, usia 12-80 tahun. Hasil uji satistik variabel skala nyeri insisi menunjukkan nilai p<0,001. Hasil uji Mann-Whitney selisih Substansia P menunjukkan nilai p>0,05 (p=0,692). Simpulan: Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral memiliki efektivitas analgesia yang lebih baik dibandingkan dengan infiltrasi lokal lidokain 2% pada tindakan trakeostomi.

Background: Tracheostomy is one of choice for upper airway obstruction management. Bilateral superficial cervical plexus block is a popular technique for pain management during and post neck region surgery, but rarely used in tracheostomy. Subtansia P is a major neurotransmitter of pain and a potential mediator of neurogenic inflammation that causes activation of inflammatory cells, vasodilation, and edema after manipulation of sensory nerve endings. The level of substance P is increased during acute pain, so it can also be considered as a mediator of pain and is used as a marker of acute pain events. Methods: Bilateral superficial cervical block group: Injections were carried out using 10-15 ml Bupivacaine 0.25% on each side. After 20 minutes, surgery can be proced. Infiltration group was injected with 2% lidocaine local infiltration in the incision area. Pre and post tracheostomy, blood samples were taken immediately to check the Substance Level P. Results: The number of research samples obtained was 34 samples, aged 12-80 years. The statistical test results of incision pain scale variable showed p value <0.001. Mann-Whitney test results on the P Substance differences showed a value of p> 0.05 (p = 0.692). Conclusion: Bilateral superficial cervical plexus block has better analgesia effectiveness compared to 2% local lidocaine infiltration in tracheostomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Musdalifah
"Keselamatan pasien menjadi penting karena masih tingginya angka KTD di rumah sakit secara global maupun nasional. Di RSUD Sele Be Solu pada tahun 2011,dari 1.560 pasien rawat inap penyakit dalam yang dilakukan pemasangan infus sebanyak 1,9% mengalami phlebitis. Di ruang rawat inap anak RSUD Sele Be solu, kejadian phlebitis setelah pemasangan infus kurang dari 3 hari ditemukan sebanyak 8 pasien (20%) dari 40 pasien anak dan ada 11 pasien (61,1%) dari 18 pasien anak setelah lebih dari 3 hari pemasangan infus. Selama ini belum pernah dilakukan penilaian budaya keselamatan pasien di Rumah sakit Sele Be Solu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan frekuensi pelaporan KTD dengan budaya keselamatan pasien oleh perawat di RSUD Sele Be Solu. Metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, populasi adalah seluruh perawat di instalasi rawat inap sebanyak 110 orang. Pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner.
Hasil penelitian ada hubungan antara frekuensi pelaporan KTD dengan feedback dan komunikasi terhadap kesalahan, (p value = 0,018) besarnya hubungan dua kali lebih besar dibandingkan dengan kerjasaman dalam unit. Kesimpulan dari penelitian ini adalah masih rendahnya tingkat pelaporan KTD di RSUD Sele Be Solu Kota Sorong. Saran kepada pihak manajemen agar segera membentuk komite keselamatan pasien di rumah sakit dan menerapkan standar keselamatan pasien sesegera mungkin/

Patient safety become an important issue because adverse events are still in a high level at hospital globally and nationally. In 2011, at Interna ward of Sele Be Solu Sorong hospital, from 1.560 patients which had i.v line attached by nurses, 1,9% patients were had phlebitis. While at the pediatric ward, phlebitis events after i.v line was attached less than three days, 8 patients was found (20%) from 40 patients, and there were 11 patients (61,1%) from 18 children after 3 days of i.v line was attached. The patient safety culture in Sele Be Solu hospital was never been assessed. The purpose is to discover the relationship between adverse events frequency report and patient safety culture by nurses at Sele Be Solu hospital. Quantitative method was used in this study with cross sectional approached, population were all nurses at inward installation, which are 110 people. Data was gathered with questionnaire which had filled by nurses.
The result is there are relationship between adverse events report frequency activity with feedback and communication to the false (p value=0,018) and the relationship are double amounts higher than teamwork in the unit. Conclusion is the report activity of adverse event at Sele Be Solu hospital Sorong is low. Suggest to the hospital management is to form patient safety committee at hospital and set the patient safety standard procedure immediately."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Bagus Ropyanto
"Fase rehabilitasi merupakan fase kemampuan fungsional berada pada tahap paling rendah dibandingkan fase lain. Pemulihan fungsi fisik menjadi prioritas dilihat dari status fungsional. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status fungsional pada paska ORIF fraktur ekstremitas bawah.
Desain penelitian adalah cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Variabel independen adalah usia, lama hari rawat, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, motivasi, fall-efficacy, dan dukungan keluarga sementara variabel dependen adalah status fungsional. Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson dan spearman rho untuk data numerik.
Hasil penelitian menunjukan fall-efficacy (r = -0,490 dan nilai p=0,003) merupakan faktor yang berhubungan. Model multivariat memiliki nilai p=0,015 dan jenis fraktur, nyeri, dan fall-efficacy mampu menjelaskan 28,2 % status fungsional dengan nyeri sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi status fungsional setelah dikontrol fall-efficacy dan jenis fraktur. Penelitian ini merekomendasikan melakukan latihan meningkatkan status fungsional terintegrasi manajemen nyeri dan fall-efficacy.

Rehabilitation phase is a phase of functional ability at the stage of the lowest compared to other phases. Recovery of physical function is a priority from functional status. Conducted research on the functional status as the basis for the restorative care. The research aimed to identify factors associated with functional status post ORIF fracture in the lower extremities.
The study design was a crosssectional with 35 respondents and collecting data using questionnaires. Independent variables were age, length of day care, type of fracture, pain, fatigue, motivation, fall-efficacy, and family support; as the dependent variable was functional status. ANOVA test used for categorical data and Pearson correlation and spearman rho for numerical data.
The results show the fall-efficacy (r = - 0.490 and p-value = 0.003) is related factors. Multivariat model have p value=0,015 and type of fracture, pain, and fall-efficacy explained 28,2 % functional status variable with pain as the biggest factor for predicting functional status after controlled fall-efficacy and type of fracture. This research recommended for exercises improved functional status integrated pain and fallefficacy managemen."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Andriani Murtadlo
"Defisit neurologis yang menyebabkan imobilitas merupakan salah satu kondisi yang sering dialami oleh pasien stroke. Minimnya pergerakan dan perubahan posisi, serta status nutrisi yang buruk dapat meningkatkan risiko timbulnya luka tekan. Analisis asuhan keperawatan dilakukan pada kasus seorang perempuan berusia 73 tahun yang mengalami stroke. Diagnosis keperawatan yang muncul adalah bersihan jalan napas tidak efektif, risiko perfusi serebral tidak efektif, hambatan mobilitas fisik, risiko kerusakan integritas kulit, gangguan menelan, gangguan komunikasi verbal, gangguan persepsi sensori, dan defisit perawatan diri. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas penerapan perubahan posisi lateral 30 derajat untuk mencegah timbulnya luka tekan pada pasien stroke dengan kondisi tirah baring lama. Perubahan posisi lateral 30 derajat dilakukan setiap 3 jam dengan penggunaan jadwal reposisi. Evaluasi risiko luka tekan dipantau setiap hari menggunakan skala Braden dan pemantauan kondisi kulit pasien. Hasilnya, tidak ditemukan adanya tanda-tanda luka tekan pada pasien setelah 9 hari masa perawatan dalam kondisi tirah baring. Sehingga dapat disimpulkan bahwa posisi lateral 30 derajat bermanfaat untuk mencegah kejadian luka tekan pada pasien tirah baring.

Neurological deficit causes immobility that is often experienced by patients with stroke. Limited ability to move, as well as poor nutritional status increase the risks for developing pressure sores. An analysis of nursing care was carried out in the case of a 73 year old female who had a stroke. The emerging nursing diagnoses are ineffective airway clearance, risk of ineffective cerebral perfusion, impaired physical mobility, risk of damage to skin integrity, impaired swallowing, impaired verbal communication, disturbed sensory perception, and self care deficit. The purpose of this paper is to analyze the benefit of applying a 30 degree lateral position to prevent pressure sores in a patient with stroke caused by long immobilization. Lateral position of 30 degrees is performed every 3 hours using a repositioning schedule. The risk of pressure sores was monitored daily using the Braden scale and assessing the patient's skin conditions. There were no signs of pressure sores in the patient after 9 days of intervention in bed rest. It can be concluded that the lateral position of 30 degrees is useful in preventing the occurrence of pressure sores in bedridden patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Sahputra
"ABSTRAK
Individu dengan komplikasi diabetes melitus bisa berdampak pada munculnya masalah psikososial seperti ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan yang dialami meliputi perasaan kehilangan kontrol dan hidup yang tidak bermakna sehingga kurang mampu berpikir positif secara realistis. Ketidakberdayaan yang tidak teratasi dapat memperburuk kondisi penyakit klien. Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran analisis proses keperawatan ketidakberdayaan pada Tn. B usia 70 tahun yang mengalami diabetes melitus selama 20 tahun dengan komplikasi luka dibetikum stadium 4. Pasien mengungkapkan perasaan lemas, tidak sanggup bangun untuk melakukan aktivitas, dan mengalami penurunan kemampuan beraktivitas, dan bergantung dan meminta perhatian lebih dari anak dan cucunya. Klien terlihat kurang berinsiatif dalam mencari pengobatan penyakitnya, tampak sedih dan murung, kontak mata tidak ada, tampak lesu, tidak bersemangat, bicara intonasi lambat. Klien dirawat selama 5 hari, dengan 5 kali pertemuan, ketidakberdayaan diukur dengan powerlessness assesment tool PAT for adult. Intervensi yang dilakukan meliputi latihan pikiran positif, dan melatih afirmasi positif. Hasil didapatkan bahwa skor ketidakberdayaan klien mengalami penurunan secara signifikan dari 53 menjadi 28. Hasil studi kasus ini direkomendasikan untuk dapat diterapkan sebagai terapi perawatan dalam merawat klien Diabetes Mellitus dengan respon psikososial ketidakberdayaan.

ABSTRACT
Individuals with complications of diabetes mellitus can have an impact on the emergence of psychosocial problems such as helplessness. The powerlessness that is experienced includes a feeling of loss of control and a meaningless life that is less able to think positively realistically. Unresolved helplessness can worsen the condition of the client 39 s illness. This case study aims to provide an overview of the nursing process 39 s analysis of helplessness on Tn. B aged 70 years who had diabetes mellitus for 20 years with wound complication dibetikum stage 4. Patients express feelings of weakness, unable to wake up to perform activities, and decreased ability to move, and depend on and ask for more attention from children and grandchildren. Clients look less cooperative in seeking treatment of his illness, looking sad and moody, no eye contact, looking lethargic, lackluster, slow intonation talk. Clients treated for 5 days, with 5 meetings, helplessness measured by powerlessness assessment tool PAT for adult. Interventions include positive mind exercises, and training positive affirmations. The results show that the client 39 s helplessness score has decreased significantly from 53 to 28. The results of this case study are recommended to be applied as treatment therapy in treating Diabetes Mellitus clients with psychosocial responses of helplessness."
2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Anastasia Kurniawan
"Pendahuluan: Disfagia salah satu gejala sisa stroke dapat memberikan komplikasi malnutrisi, dehidrasi dan pneumonia aspirasi. Oleh karena itu perlu dilakukan skrining disfagia untuk menentukan keamanan pemberian nutrisi secara per oral terutama saat weaning enteral nutrition (WEN). Dukungan nutrisi enteral diberikan sesuai kebutuhan nutrisi pasien dan mempertimbangkan beberapa hal seperti kesadaran, kemampuan menelan dan waktu akses enteral yang diperlukan pasien.
Presentasi kasus: Empat kasus stroke yang membutuhkan dukungan nutrisi enteral selama perawatan di RSUPNCM. Kasus pertama seorang wanita berusia 55 tahun, obesitas morbid, mengalami stroke hemoragik. Tiga kasus berikutnya dengan stroke iskemik dari dua orang wanita berusia 84 dan 65 tahun, serta seorang laki-laki berusia 57 tahun. Keempat kasus memiliki lesi stroke yang berbeda-beda. Skrining disfagia dilakukan sebelum WEN.
Kesimpulan: Efek disfagia tergantung lokasi lesi stroke, skrining disfagia diperlukan sebelum WEN, tidak semua kasus dapat dilakukan skrining disfagia. Dukungan nutrisi enteral diberikan sesuai kebutuhan individual pasien dan hanya 1 kasus yang dapat mencapai WEN memerlukan evaluasi asupan nutrisi per oral."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fardi Fajrian Ihsana
"Sebagian besar pendekatan perawat dalam merawat pasiennya ditentukan oleh peran gender, sehingga masalah seperti kesetaraan dalam pemberian perawatan keperawatan spiritual menjadi sangat penting. Studi-studi yang ada belum secara menyeluruh memfokuskan perbedaan peran gender dalam asuhan keperawatan spiritual. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara kompetensi dalam pemberian asuhan keperawatan spiritual oleh setiap perawat berdasarkan peran gender bagi pasien perawatan paliatif kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain korelasional kuantitatif potong-lintang dengan 110 perawat sebagai partisipan melalui teknik quota sampling dengan Bem Sex Role Inventory-Short Form (BSRI) dan Spiritual Care Competence Scale (SCCS) sebagai instrumen penelitian untuk mengukur peran gender dan kompetensi asuhan keperawatan spiritual. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan secara statistik antara feminitas (r = 0,530, p < 0,001) dan maskulinitas (r = 0,611, p < 0,001) dengan kompetensi asuhan keperawatan spiritual, serta adanya perbedaan dalam kompetensi asuhan keperawatan spiritual antara perawat dengan peran gender androgynous dan undifferentiated (p < 0,001). Rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang memiliki perawatan paliatif bagi pasien kanker seharusnya mendorong perawat, terlepas dari jenis kelamin biologisnya, untuk mengekspresikan kedua peran gender karena berkorelasi positif dengan kompetensi asuhan keperawatan spiritual. Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi lebih lanjut karakteristik masing-masing peran gender sehingga dapat ada bukti yang lebih definitif mengenai hubungan antara peran gender dan kompetensi perawatan keperawatan spiritual.

Every nurse regardless of their sociodemographic background must be competent in providing quality spiritual nursing care. As gender roles dictate much of nurses’ approach in caring for their patients, matters such as equality in the provision of spiritual nursing care becomes urgent. Existing studies have not focused thoroughly on the gender roles difference in spiritual nursing care. The aim of this study was to investigate the correlation between the competence of spiritual nursing care provision by each nurse by gender roles for cancer palliative care patients at Dharmais Cancer Hospital, Jakarta. This study used quantitative correlational cross-sectional design with 110 nurses as participants through quota sampling with Bem Sex Role Inventory-Short Form (BSRI) and Spiritual Care Competence Scale (SCCS) as the research instruments to measure gender roles and spiritual nursing care competence. Univariate analysis results showed that as much as 42,7% nurses had undifferentiated gender role followed by 39,1% nurses having androgynous gender role; while the median score of SCCS was 107, indicating high competence in spiritual nursing care. Bivariate analysis results showed that there were statistically significant correlations between femininity (r = 0,530, p < 0,001) and masculinity (r = 0,611, p < 0,001) with spiritual nursing care competence and that there was a difference in spiritual nursing care competence between nurses with androgynous and undifferentiated gender roles (p < 0,001). Existing hospitals or health facilities with palliative care for cancer patients should encourage nurses regardless of biological sex to express both gender roles as they correlate positively with spiritual nursing care competence. The next research can explore more regarding each characteristic in each gender role so that there can be more definitive evidence regarding the relationship between gender roles and spiritual nursing care competence."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>