Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134704 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anita Primasari
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif perempuan. Penelitian ini menempatkan pengalaman perempuan sebagai fokus perhatian utama. Kajian ini di1akukan di salah satu Kabupaten di daerah Bogor Barat, yaitu Kabupaten Leuwliliang, dengan melibatkan 10 perempuan sebagai informan utama. Penelitian ini mengkaji dampak pernikahan di usia dini yang mengakibatkan hilangnya otonomi perempuan, dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimanakah dampak pernikahan di usia dlni pada otonomi perempuan dan apa implikasinya lebih lanjut, khususnya terhadap kehidupan perempuan dan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya. Hasil penelitian ini ada tiga hal, pertama, bahwa mitos julukan "perawan tun" telah membuat praktek pernlkahan ini terus berlangsung di pedesaan Leuwiliang Bogor Barat sampai saat ini. Mitos tersebut telah meminggirkan kepentingan perempuan untuk memperoleh kehidupan pernikahan yang bahagia. Kedua adanya sistim pary'eur dan denda telah menjadikan perempuan sebagai obyek atau barang yang dapat dijadikan alat tukar transaksi. Perempuan dibeli dan kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Kepentingan perempuan dalam memperoleh haknya serta menjalankan kehidupan sesuai kehendaknya, khususnya dalam memperoleh wawasan dan informasi seluas­ luasnya untuk berkembang, juga hilang. Negosiasi yang tidak dilakukan oleh perempuan sebagai calon pengantin menyebabkan perempuan kehilangan otonomi atas tubuhnya sendiri. Perempuan disubordinasi dan dijadikan "yang lain" dalam perkawinannya :sendiri Ketiga, perempuan menolak terjadinya pemikahan di usia dini, di samping tokoh agama, pejabat desa dan tokoh masyarakat lain yang juga menyadari.
"
2011
T31992
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Carolina
"Indonesia telah ikut ambil bagian dalam berbagai perjanjian dan ketentuan-ketentuan dari hukum internasional yang berkaitan dengan pernikahan anak, termasuk CEDAW (United Nation Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan CRC (United Nation Convention Convention on the Rights of Child 1989), yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Ratifikasi Indonesia berarti menundukan diri dan berkomitmen kepada ketentuan internasional yang telah disepakati, akan tetapi pernikahan anak masih kerap terjadi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa usia dewasa adalah seseorang yang telah berusia 21 tahun dan/atau sudah menikah, yakni dengan ketentuan perempuan berumur 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun. Hal ini bertentangan dengan komitmen Indonesia terutama dalam CEDAW dan CRC. Pelanggaran komitmen yakni melanggengkan pernikahan anak terutama anak gadis yang berumur di bawah 18 tahun. Badan-badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah banyak mempromosikan bahaya daripada pernikahan anak. Bukan hanya di Indonesia saja namun banyak dari negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga yang mengalami masalah dalam menyesuaikan hukum internasinal dengan hukum nasional dalam memandang pernikahan anak tersebut

Indonesia has participated in the various agreements and provisions of international law related to child marriage, including CEDAW (United Nation Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979), which Indonesia has ratified through Law No. 7 of 1984 and the CRC (United Nation Convention Convention on the Rights of Child 1989) ratified by Presidential Decree No. 36 of 1990. Ratification means subduing the self of the state and are committed to the internationally agreed provisions, but the marriage of children still frequently occur in Indonesia. Law No. 1 of 1974 states that age of consent is someone who has aged 21 years old and/or married, ie the provision of 16-year-old woman and men aged 19 years old. This is contrary to the commitment of Indonesia, especially in the CEDAW and the CRC. Violations of commitments are perpetuate child marriage of girls especially under 18 years old. United Nations agencies has been heavily promoting the dangers of child marriage. Not only in Indonesia, but many of the developing countries and the third world countries that have problems in adjusting to International law with national law in the view of the child marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Apa yang membuat pernikahan anak menjadi pilihan bagi perempuan dan keluarganya saat ini? Bagaimana dan mengapa hal itu terjadi di sebuah desa di Sukabumi? Kabupaten Sukabumi adalah salah satu Kabupaten di Jawa Barat dengan tingkat pernikahan anak yang tinggi, terutama di daerah pinggiran atau perbatasan wilayah. Meskipun demikian, desa yang dijadikan lokasi penelitian bukanlah desa dengan pernikahan anak yang marak berdasarkan data provinsi. Pada desa ini, terdapat 32% pernikahan di bawah 18 tahaun yang dilakukan oleh perempuan berusia 20-24 tahun. Sedikit lebih tinggi dari data provinsi yang berjumlah 30,7%. Jika dibandingkan dengan rata-rata pernikahan di bawah 18 tahun di indonesia yang berjumlah 17% pun masih lebih tinggi. Keputusan untuk melakukan penelitian di satu desa membuat kami dapat melihat lebih jauh tentang berbagai aspek pada pernikahan anak dan keterkaitannya dengan aspek lain di dalam konteks yang sama. Penelitian ini didasarkan 28 studi kasus perkawinan anak, sensus rumah tangga yang punya anggota pria dan wanita berusia 20-24 tahun, serta wawancara dan observasi pendukung. Kegiatan lapangan (fieldwork) akan segera berakhir, sementara hal-hal lain dalam penelitian masih berjalan. Gambaran enam kasus lima perempuan dan satu laki-laki ini menunjukkan keragamaan dan kompleksitas dari perkawinan anak. Artikel ini membahas tentang potensi agensi remaja terhadap orangtuanya dalam hal perkawinan yag datang dari keinginan sendiri sampai perkawinan paksa. Temuan penelitian menengaskan peran dari sebab-sebab umum, seperti kurangnya kontrol sekseualitas perempuan dan ketakutan akan zina, lemahnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan khususnya pada saat kehamilan, tetapi mempertanyakan peran kemiskinan sebagai alasan langsung terjadinya perkawinan anak. Setiap kasusu telrihat kombinasi khusus sebab-sebab dari norma dan agama, komposisi rumah tangga, pengasuhan orangtua dan pendidikannya, akses perempuan dalam mendapatkan pendidikan formal dan agama termasuk pendidikan seks, serta akses terhadap keselamatan kerja. Gender dan usia adalah hierarkhi yang senantiasa berkaitan dengan perempuan sebagai pihak paling lemah dalam kesetaraan."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak. Indonesia adalah tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Diperkirakan satu dari lima anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka mencapai 18 tahun. Di Indonesia anak perempuan merupakan korban paling rentan dari pernikahan anak, dengan prevalensi : 1. anak perempuan darindaerah pedesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih banyak untuk menikah dibanding daridaerah perkotaan. 2. pengantin anak yang paling mungkin berasal dari keluarga miskin. 3. anak perempuan yang kurang berpendidikan dan drop out dari dari sekolah umunya lebih rentan menjadi penganti anak daripada yang bersekolah. Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi dalam kasus AKI dan trafficking. Mengapa Jawa Barat? Jawa Barat dan Kalimantan Barat adalah dua provinsi utama tempat asal perdagangan manusia di Indonesia. Sementara Kepulauan Riau dan Jakarta adalah tujuan utama dan zona transit. Anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, seperti pekerja rumah tangga, pengantin anak, dan pekerja anak, sering dikirim untuk bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti di perkebunan, sementara bayi yang diperdagangkan untuk diadopsi ilegal dan diambil organnya. Anak-anak ini beresiko ditinggalkan, diabaikan, dan diperdagangkan. Selama ini Kabupaten dan kota di Jawa Barat yang menjadi pemasok terbesar perempuan pekerja imigran serta pengantin anak perempuan untuk pernikahaan anak datang dari beberapa kantung daerah seperti Indramayu, Cirebon, Bandung, Sukabumi, dan Cianjur. Riset ini fokus pada kabupaten Sukabumi. Data dikumpulkan dengan intervies mendalam pada anak-anak perempuan korban pernikahan anak dan orang tua juga melaksanakan focus group discussion di Desa Cikidang bersama para pemangku kepentingan. Pernikahan anak di Sukabumi mengonfirmasi bahwa hal-hal berikut merupakan penyebab utama dari pernikahan anak : 1. kemiskinan dan akses buruk atas pendidikan 2. naiknya fundamentalisme agama yang membuat tabunya diskusi seksualitas dan takut akan zina, dan terakhir 3. akses buruk atas hak kesehatan reproduski seksual."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Anitia
"Penelitian ini membahas tentang determinan yang berhubungan dengan kejadian perkawinan anak pada wanita muda berusia 15 – 24 tahun dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kejadian perkawinan anak di Indonesia dan hubungan antara faktor-faktor tersebut (individu, rumah tangga, dan lingkungan sosial) dengan kejadian perkawinan anak pada wanita muda berusia 15 – 24 tahun di Indonesia. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional (potong lintang) dengan analisis multivariabel regresi logistik menggunakan sumber data dari data sekunder SDKI 2017. Populasi penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur berusia 15 – 24 tahun di Indonesia yang menjadi responden SDKI 2017, sedangkan sampel penelitiannya adalah seluruh wanita usia subur yang berusia 15 – 24 tahun yang sudah menikah di Indonesia dan tercakup dalam SDKI 2017 yang berjumlah 3.939 responden. Dalam penelitian ini, ditemukan hasil prevalensi perkawinan anak pada wanita muda berusia 15 – 24 tahun di Indonesia sebesar 54,9%. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara usia (AOR= 29,72; 95% CI= 18,32 – 48,21), lokasi tempat tinggal (AOR= 1,46; 95% CI= 1,19 – 1,79), tingkat pendidikan (AOR= 3,23; 95% CI= 2,47 – 4,23), status ekonomi (AOR= 2,10; 95% CI= 1,73 – 2,56), keterpaparan informasi (AOR= 0,67; 95% CI= 0,50 – 0,89), jumlah anggota keluarga (AOR= 0,70; 95% CI= 0,58 – 0,85), dan peran perempuan dalam pengambilan keputusan menikah (AOR= 1,50; 95% CI= 1,22 – 1,84) terhadap kejadian perkawinan anak. Dapat disimpulkan, bahwa prevalensi perkawian anak masih tinggi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, dengan meningkatkan akses pendidikan (penyuluhan dan edukasi), sosialisasi dampak perkawinan anak, dan melakukan pemberdayaan masyarakat dapat menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi perkawinan anak pada wanita muda di Indonesia.

This study discusses the determinants associated with the incidence of child marriage in young women aged 15 – 24 years to know the description of the incidence of child marriage in Indonesia and the relationship between these factors (individuals, households, and the social environment) with the incidence of child marriage. in young women aged 15-24 years in Indonesia. The study design used in this study was cross-sectional (cross-sectional) with multivariable logistic regression analysis using data sources from secondary data from the 2017 IDHS. The study population was all women of childbearing age aged 15-24 years in Indonesia who were respondents to the 2017 IDHS. while the research sample was all women of childbearing age aged 15-24 who were married in Indonesia and included in the 2017 IDHS, totaling 3,939 respondents. In this study, it was found that the prevalence of child marriage among young women aged 15-24 years in Indonesia was 54.9% (95% CI: 52.7 - 57.1). Statistical test results showed a statistically significant relationship between age (AOR= 29.72; 95% CI= 18.32 – 48.21), location of residence (AOR= 1.46; 95% CI= 1.19 – 1.79), educational level (AOR= 3.23; 95% CI= 2.47 – 4.23), economic status (AOR= 2.10; 95% CI= 1.73 – 2.56), exposure information (AOR= 0.67; 95% CI= 0.50 – 0.89), number of family members (AOR= 0.70; 95% CI= 0.58 – 0.85), and the role of women in decision making married (AOR = 1.50; 95% CI = 1.22 – 1.84) on the incidence of child marriage. It can be concluded that the prevalence of child marriage is still high and is influenced by these factors. Therefore, increasing access to education (counseling and education), socializing the impact of child marriage and applicable regulations regarding the minimum age for marriage, as well as conducting community empowerment can be solutions to reduce the prevalence of child marriage among young women in Indonesia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inna Apriantini
"Pernikahan usia dini masih tergolong tinggi di Indonesia. Penurunan angka pernikahan usia dini di Indonesia tergolong lambat.. Pernikahan dini adalah salah satu bentuk dari pelanggaran hak dari anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat factor determinan yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini di Indonesia menggunakan data SDKI 2017. Penelitian ini disusun berdasarkan data sekunder dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017. Sampel ini digunakan untuk mendapatkan gambaran usia kawin pertama pada rentang usia 15-25 tahun dengan status responden menikah pada penelitian. Analisis data yang dilakukan adalah dengan menganalisis data SDKI 2017 dengan Analisa Univariate dan Analisa Bivariate (Potong Lintang). Gambaran persentase pernikahan dini di Indonesia pada Usia 15-25 tahun lebih banyak wanita yang menikah dini yaitu sebanyak 65,1 persen.sedangkan untuk wanita yang tidak menikah dini hanya sebesar 34,9 persen. Factor determinan terjadinya pernikahan dini dari hasil penelitian ini adalah Pendidikan, tempat tinggal, status ekonomi, penggunaan majalah/koran, penggunaan radio, dan penggunaan internet.

Early marriage is still relatively high in Indonesia. The decline in the number of early marriage in Indonesia is relatively slow. Early marriage is one form of violation of the rights of children. This study aims to look at the determinants that cause early marriage in Indonesia using the 2017 IDHS data. This study was compiled based on secondary data from the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS). This sample was used to obtain an overview of the age of first marriage in the age range 15-25 years with the status of respondents married in the study. Data analysis was performed by analyzing 2017 IDHS data with Univariate Analysis and Bivariate Analysis (Cross-Cutting). The percentage of early marriages in Indonesia at the age of 15-25 years is more women who marry early, which is as much as 65.1 percent. While for women who are not married early is only 34.9 percent. The determinants of early marriage from the results of this study are education, residence, economic status, magazine / newspaper use, radio use, and internet use."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Bagi masyarakat Madura, pantang menolak lamaran laki-laki yang pertama kali datang. Karena itu, anak perempuan Madura menikah dengan cepat ketika usianya masih belasan tahun, bahkan ketika si anak perempuan masih berumur 12 tahun. Akibatnya banyak problematika yang terjadi akibat perkawinan anak di bawah umur tersebut seperti kekerasan dalam rumah tagga, perselingkuhan, perceraian, kontraksi kehamilan dan kelahiran. Dalam konteks yang demikian ada ketidakadilan dalam proses perkawinan dan ketika berumah tangga. Mental anak perempuan belum siap dalam menghadapi persoalan rumah tangga berikut tugas-tugas sebagai istri dan ibu. Di samping itu, anak perempuan juga terancam nyawanya ketika masa kehamilan dan proses persalinan karena alat reproduksinya belum siap secara normal. Oleh sebab itu advokasi hukum ke Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan revisi usia minimal perkawina untuk perempuan 16 tahun pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 untuk diubah menjadi usia 18 tahun merupakan solusi untuk meminimalisir maraknya perkawinan anak dan menekan laju angka kematian ibu dan anak (AKI)."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023
306.81 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Praktik perkawinan anak selain bersumber dari kebijakan dan peraturan perundang-undangan yaitu dibenarkan oleh Undang-Undagn nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, juga bersumber dari norma lain seperti agama, budaya, dan dimensi lain yang belum teradvokasi secara signifikan. Dengan adanya keputusan MK menolak revisinya harapan perbuahan perilaku sosial melalui perubahan UU perkawinan sepertinya makin jauh dari harapan. Anak-anak perempuan dalam pernikahan anak rentan hal berikut; rentan menjadi korban perceraian sepihak ; rentan menjadi korban kekerasan seksual dan pedophilia ; rentan menjadi korban KDRT ; rentan pendidikan formal terputus dan membatasi akses ke dunia kerja. Diperlukan advokasi sistemik untuk mengatasi kerentanan anak-anak dalam pernikahan anak."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Numberi, Yuliana Yacomina
"ABSTRAK
Fokus tesis ini pada kekuasaan terhadap tubuh anak perempuan akibat konstruksi patriarki yang mendominasi kehidupan masyarakat dalam adat dan budaya suku Arfak. Pertanyaan penelitian adalah "bagaimana budaya perjodohan perkawinan anak perempuan di perdesaan dan implikasinya terhadap kesehatan reproduksi perempuan". Pertanyaan turunan adalah 1) bagaimana anak perempuan diposisikan dalam adat dan budaya suku Arfak di Perdesaan; 2) bagaimana anak perempuan diposisikan dalam prosesi perkawinan di suku Arfak di perdesaan; 3) bagaimana pengalaman anak perempuan korban perjodohan perkawinan anak suku Arfak di wilayah perdesaan menjalankan fungsi reproduksinya; dan 4) bagaimana anak perempuan suku Arfak korban perjodohan perkawinan anak bertahan di dalam perkawinan adat mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus di Distrik Nenei, Kabupaten Manokwari Selatan. Penelitian ini menggunakan teori feminis radikal oleh Jaggar tentang otoritas tubuh perempuan dan politik sekusal oleh Millet sebagai pisau analisis untuk membedah masalah perkawinan anak karena perjodohan membuat anak perempuan tidak mempunyai otoritas atas tubuhnya. Temuan penelitian ini adalah : 1) anak perempuan yang dikawinkan pada usia anak tidak memiliki kuasa atas tubunya; 2) perjodohan yang terjadi pada masyarakat suku Arfak diakibatkan karena keinginan mendapatkan harta dan status sosial; 3) perempuan korban perkawinan anak tidak memahami kesehatan reproduksi; 4) perempuan Arfak menjalani fungsi reproduksi masih mengikuti tradisi; 5) perkawinan anak menghadirkan ketidakadilan gender bagi perempuan Arfak. Berdasarkan temuan lapangan dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial mayarakat melalui budaya patriaki masih kuat di masyarakat suku Arfak. Anak perempuan suku Arfak tidak berkuasa atas dirinya karena budaya perjodohan. Anak perempuan suku Arfak sebagai objek pada budaya perjodohan dan perjodohan menjadi faktor pendukung banyaknya praktik perkawinan anak di Distrik Nenei.

ABSTRACT
The focus of this thesis is on the power over girl's body due to patriarchal construction dominates the life of the community in the customs and culture of the Arfak tribe. The research question is "How the marriage culture of girls in rural areas and their implications on women reproductive health". The questions derived are 1) How girls are positioned in the customs and culture of the Arfak tribe in the rural areas; 2) How girls are positioned in the marriage procession in the Arfak tribe in rural areas; 3) How the experience of the young girl of the Arfak tribe marriage victim in a rural area performs its reproductive function; and 4) How the Arfak girl of child marriage matchmaking victim survives in their customary marriages. This study uses a qualitative approach with case study in Nenei District, South Manokwari District. This research uses radical feminist theory by Jaggar on women's body and political authority as well as Millet as a tool to analyze the child marriage problem due to matchmaking, while matchmaking makes girls have no authority over their bodies. The findings of this study are: 1) girls who are married at underage have no power over their bodies; 2) matchmaking that occurred in the community of Arfak tribe caused by the desire to get property and social status; 3) women victims of child marriage do not understand about reproductive health; 4) Arfak women undergoing reproductive functions still follow the tradition; 5) child marriage presents gender inequality for Arfak women. Based on the findings it can be concluded that social construction through patriarchy culture is still robust in the people of Arfak tribe. The girls of the Arfak tribe do not have power over theirselves because of the matchmaking culture and they serve as objects. Matchmaking itself has contributed to the number of child marriage practices at Nenei District."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T51305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>