Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 243506 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sobirin
"Salah satu penyakit yang dijadikan sebagai patokan penggunaan obat rasional adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), jika penyakit ini tidak mendapatkan pengobatan tidak benar dan tidak tepat, kemungkinan ISPA akan berlanjut menjadi pnemoni. Banyak penelitian menyatakan bahwa antibiotik diberikan dengan tidak benar pada penderita ISPA non pnemoni. Evaluasi Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka melaporkan, tabun 2006 tingkat penggunaan antibiotik di puskesmas pada penderita ISPA non pnemoni mencapai 53,8% Desain penelitian ini cross sectional, Pengambilan data menggunakan kuesioner angket (self administration) dan dilengkapi dengan daftar monitoring peresepan diagnosis ISPA non pnemoni.
Proporsi petugas kesehatan di puskesmas yang memberikan antibiotik pada penderita ISPA non pnemoni di Kabupaten Majalengka tahun 2007 sebesar 75,2%. Proporsi karakteristik individu dominan pada petugas kesehatan yagn berumur muda (8,3%), tanaga medis (77,8%), masa kerja baru (76,9%), tidak pernah mendapat pelatihan (78,4%), pengetahuan kurang (78,8%), dan mempunyai sikap negativ (96,3%). Sedangkan karakteristik organisasi lebih dominan pada petugas kesehtan yang kurang didukung Kepala Puskesmas (88,5%), tidak pernah disupervisi (80,7), tidak ada buku pedoman pengobatan dasar (80,0%), dan kecukupan obat kurang (75,4%). Variabel yang dominan/utama berhubungan denagn perilaku pemberian antibiotik pada penderita ISPA non pnemoni adalah variabel sikap. Variabel konfondingnya ada variabel suspenvisi.
Dinas Kesehatan, agar meningkatkan supervisi pengobatan rasional yang diarahkan pada anjurnn penggunaan buku pedoman pengobatan dasar, perlunya pelatihan pengobatan rasional dengan peserta minimal 3 orang petugas pelayan pengobatan dari puskesmas dan petugas dari pelayanan kesebatan swasta serta lebih meningkatkan freknensi evaluasi penggunaan obai rasional di puskesmas disertai umpan balik rutin setiap tiga bulan sekali. Kepala puskesmas lebih mendukung upaya pengobatan rasional dan mengevaluasi secara rutin dan mensosialisasikan obat rasional kepada masyarekat yang berkunjung ke puskesmas. Perlunya penelitian dengan metode Dislrusi Kelompok Terarah (DKl) meliputi aspek kebijakan sistem perencanaan dan pengelolaan obat di puskesman.

One of the discase that become a standard of rational medicine using is ISPA (Acute Respiratory Infection), if this discase do not obtain correct and exact mediacation, ISPA possibility will continue become pneumonic. Many reserches state that antibiotic gave invorrectly to ISPA non-pneumonic patient reach 53,8%. This research is using cross sectional design. Data gathering is using self-administration questioner and completed with prescription monitoring list of ISPA non-pneumonic diagnosis.
Health staffs proportion in puskesmas that give antiviotic to ISPA non-pneumonic patient in Majalengka District year 2007 is 75,2%. This proportion is dominant in young health staff (8,3%), medical staff (77,8%), new work length (76,9%), never participate in training (78,4%), lack of education (78,9%) and negative attitude (96,3%). Antibiotic distribution is dominant in health staffs that less supported by puskesmas chief (88,5%), never supervised (80,7%), no standard medication guidance (80,0%) and lack of medicine availability (75,4%). Dominant variable that related with giving antiviotic behavior to ISPA non-pneumonic patient are age, attitude, availability of standard medication guidance book. support from puskesmas chief and health agency supervislon. The most dominant variable related with giving antibiotic behavior is staffs attitude (OR = 8.134).
Suggested to Health Agency increasing rational medicine supervision that directed on using standard medication guidance book, require rational medicine training with minimal participants of 3 medication staffs from puskesmas and staffs from private health service also increasing frequency of rational medicine using evaluation in puskesmas along with routine feedback once evecy 3 months. Puskesmas chief is more supporting effort of rational medication and evaluating rontinely and socializing rational medication to public that visiting puskesmas. Require research with Directed Group Discussion (DKT) method including aspect of planning system policy and medicine management in puskesmas.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T21070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Siswati
"Penggunaan obat yang tidak rasional seperti antibiotika pada ISPA bukan pneumonia merupakan masalah yang mengkhawatirkan karena dapat menghambat penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit, menyebabkan pemborosan karena pemakaian yang tidak perlu serta menimbulkan efek samping dan resistensi terhadap bakteri, Penggunaan antibiotika untuk kasus ISPA bukan Pneumonia dan diare di Kota Padang masih tinggi yaitu rata-rata 28 %, dengan target ideal 0 % dan target propinsi kecil dart 20 %.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan Pneumonia di puskesmas se-Kota Padang, dan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yang meliputi umur, latar belakang pendidikan, pengetahuan, sikap terhadap pedoman pengobatan, keterampilan dalam penetapan diagnosis, adanya tenaga kesehatan panutan, permintaan pasien, supervisi serta pelatihan dengan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia.
Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode yaitu metode kuantitatif dengan desain cross sectional dan metode kualitatif. Proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia 24,3 % dan hasil analisis bivariat pada penelitian kuantitatif diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan responder, sikap responden terhadap pedoman pengobatan, supervisi dan pelatihan dengan perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia . Hasil pada penelitian kualitatif sebagian besar menunjang hasil yang diperoleh pada penelitian kuantitatif.
Dengan hasil penelitian ini diharapkan adanya penurunan penggunaan antibiotika yang tidak rasional, khususnya pada penderita ISPA bukan pneumonia dengan menginterverisi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam penggunaan antibiotika ini.

Factors Related to Antibiotic Use Health Center Personal Behavior for Children Under Five Years with Non Pneumonic Acute Respiratory Tract Infections in PadangIrrational drug use such as antibiotic for non pneumonic acute respiratory tract infections is the problem because reduction in the quality of drug therapy leading to increased morbidity and mortality increased cost, adverse reactions and bacterial resistance. Antibiotic use for non pneumonic acute respiratory tract infections and nonspecific diarrhea in Health Center Padang City, average 28,0 % . It is much higher than ideal target of 0 % and still height than province target of less than 20 °/a,
The aim of this study to know how much antibiotic use proportion in children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections, and to know about relationship independent variable such as age, background study, knowledge, attitude of standard treatment, skill of decision diagnoses, prescribes behavior, patients demands, supervision and formal training with dependent variable antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections.
Study with 2 methods, Quantitative method with cross sectional design and Qualitative method. Result of antibiotic use proportion 24,3 %, and bivariat analysis in quantitative method result significant relationship between knowledge, attitude of standard treatment, supervision, and formal training with antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections. Amount of qualitative result support quantitative result study.
Result study may use to decrease irrational antibiotic use behavior, especially to decision making for drug use interventions in non pneumonic acute respiratory tract infections.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwi Ambarwati
"ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Akut (ISPA) non Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi yang cukup tinggi. Laporan Kota Bogor tahun 2015 menunjukkan prevalensi ISPA Non Pneumonia mencapai 45,64%. Penyebab utama ISPA non Pneumonia adalah virus, namun penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik masih sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien ISPA non Pneumonia dan faktor yang mempengaruhi kerasionalan pemberian antibiotik serta pengelolaan program Penggunaan Obat Rasional (POR) di Puskesmas Tanah Sareal. Rancangan penelitian ini deskriptif analitik potong lintang dengan mengumpulkan data rekam medis pasien antara 5 tahun hingga 65 tahun, observasi pelayanan rawat jalan, dan wawancara dengan pihak terkait pelaksanaan program POR. Hasil penelitian menunjukkan proporsi pemberian antibiotik sebanyak 122 (34%) dari 359 pasien dan analisis rasionalitas dilakukan terhadap 102 pasien, Distribusi Penyakit ISPA Non-Pneumonia: Nasofaringitis Akut (63%) faringitis akut (30,6%), tonsilitis akut (5,3%), Sinusitis dan Otitis Media Akut 0,6%., sebagian besar antibiotik yang digunakan adalah amoxicillin dan cefadroxil. Ditemukan 84,3% pemberian antibiotik yang tidak tepat durasi dan faktor yang mempengaruhi rasionalitas antara lain; kurangnya kepatuhan dokter terhadap SOP pengobatan, peran apoteker belum optimal dan kurangnya monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program POR.

ABSTRACT
Non Pneumonial Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) is one of public health problems with high prevalence and healthcare cost. Bogor City Report 2015 shows the prevalence of Non Pneumonial ARTI reach 45.64%. The main cause of non- Pneumonial ARTI is virus, but research indicates the use of antibiotics is still very high. This study aims to analyze the rationality of antibiotics on non-Pneumonia ARTI patients, factors affecting rationality of antibiotic administration and management of Rational Use of Medicine (RUM) program at Puskesmas Tanah Sareal. The design of this study is descriptive cross-sectional analysis by collecting patients medical record data between 5 years to 65 years, observation of outpatient services, and interviews with related staff on RUM program implementation. The results showed that the proportion of antibiotic administration was 122 (34%) of 359 patients and rationality analysis was performed on 102 patients, Non-Pneumonia Respiratory Disease Distribution: Acute Nasopharyngitis (63%) Acute Pharyngitis (30.6%), Acute Tonsillitis (5, 3%), Sinusitis and Otitis Media Acute 0.6%. Most of the antibiotics used were amoxicillin and cefadroxil. This study revealed 84.3% of improper antibiotics duration and factors affecting rationality, among others; lack ofa physian's dherence to clinical guideline, lack of pharmacist and monitoring evaluation of RUM implementation."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51007
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurafni Ellizhona Fajrin
"ISPA merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di Indonesia. Pencemaran udara dalam ruang menjadi salah satu sumber penyebab kejadian penyakit pada saluran pernapasan karena sebagian besar waktu manusia dihabiskan di dalam ruang. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui gambaran dan hubungan Particulate Matter 10 (PM10) udara dalam ruang dengan kejadiaan gejala ISPA pada balita di Desa Sukaraja Kulon dan Sukaraja Wetan Kabupaten Majalengka tahun 2013. Penelitian ini menggunakan disain studi cross sectional. Sampel pada penelitian ini adalah penduduk yang memiliki balita dan tinggal di sekitar industri genteng dan jalan. Metode pengambilan sampel yang dipakai adalah purposive sampling. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara PM10 dengan kejadian gejala ISPA pada baita. Namun, gambaran PM10 sangat dipengaruhi oleh ventilasi rumah dan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat.

Acute Respiratory Infection (ARI) is an infectious disease it is the most common couse of infant morbidity and mortality in Indonesia. Indoor air pollution to be one the couse of respiratory disease becouse most of the times spent in room. This research aims to determine the relationship of Particulate Matter 10 (PM10) as an indoor air pollutant with occurance symptoms of ARI among young children aged < 5 years in Desa Sukaraja Kulon and Sukaraja Wetan, Majalengka year 2013. The research uses cross-sectional study design. The respondents in this study were resident who have children and live around the roof tile industry and road. The sampling method used was purposive sampling. This research indicated no significant association between PM10 with symptoms of ARI in infants. However, the distribution of PM10 showed the high level in the air, it is strongly influence by the ventilation space and density of occupants which are not eligible."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S53933
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ujang Anwar
"Kerugian ekonomi akibat adanya gangguan kesehatan yaog dialami seseorang berdampak terhadap pembiayaan kesehatan pemerintah dao pengeluaran rumah tangga. Dalam periode tahun 2005-2006, jumlah kasus penyakit infeksi akut lain saluran pernafasao atas menempati posisi teratas dalam proporsi sepuluh penyakit terbesar di kota Jambi. Tahun 2005 sebaoyak 108.292 kasus (34,51 %) dao pada tahun 2006 sebaoyak 99.332 (32,75%). Untuk mencapai kesembuhan, seseorang yaog menderita sakit memerlukan tindakan pengobatan. Layaoao pengobatan yang dilakukan terhadap pasien, akao menimbulkao biaya pada provider selaku penyedia jasa layanan dan juga pada pasien yaog memanfaatkan jasa layanan. Biaya yang timbul pada sisi provider maupun pasien masing-masing diklasifikasikan sebagai biaya laogsung (drect cost) dan biaya tak langsung (indirect cost).
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang besarao biaya yaog ditimbulkan akibat sakit (cost of illness) untuk rawat jalao ISPA. Tujuao khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang : karakteristik responden dan pasien rawat jalao ISPA, besaran biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost) pada sisi provider dan pasien yang melakukao kunjungan berobat untuk mencapai kesembuhan dalam satu periode sakit.
Penelitian ini menggunakao desain studi analisis biaya, yaog dilaksanakao di wilayah kerja Puskesmas Simpaog rv Sipin pada bulao Jaouari s/d. Maret 2007, dengao jumlah sampel penelitiao 96 responden. Data yaog digunakao dalam penelitiao ini adalah data sekunder yaog diperoleh dari lokasi penelitiao serta data primer yaog diperoleh dari basil interview kepada responden.
Hasil penelitian menunjukkao bahwa jumlah responden terbaoyak berusia kuraog dari atau sama dengao 31 tahun. Sebagiao besar responden berjenis kelamin perempuao dao berstatus sebagai ibu rumah tangga yaog tidak memiliki penghasilao. Berdasarkao jenis kelarnin, pasien terbaoyak adalah laki-laki. Jumlah pasien terbanyak pada kelompok umur 13 - 36 bulao.
Untuk mencapai kesembuhan dalam satu periode sakit, 80,21 % dari seluruh pasien masing-masing melakukan 1 kali kunjungan berobat, sisanya 19,79 % masing-masing melakukan 2 kali kunjlUlgan berobat. Jumlah klUljlUlgan berobat dalam satu periode sakit yang dilakukan oleh setiap pasien lUltuk mencapai kesembuhan, sangat berpengaruh terhadap besaran biaya yang menjadi tangglUlgan provider mauplUl biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien. Semakin banyak jumlah klUljlUlgan berobat yang di1akukan oleh pasien maka akan semakin besar biaya yang timbul pada sisi provider mauplUl pada sisi pasien. Opportunity cost tetap ada pada biaya yang dikeluarkan oleh repondenlpasien dalam memanfaatkan layanan rawat jalan ISPA.
Untuk kese1uruhan pasien, total biaya pada provider lebih besar dari total biaya pada pasien. Cost of illness pasien rawat jalan ISPA adalah Rp 2.316.259,45 dengan rata-rata Rp 24.127,70. Untuk pasien yang melakukan 1 kali kunjungan berobat, total biaya pada provider lebih besar dari total biaya pada pasien. Cost of illness pasien rawat jalan ISPA adalah Rp 1.597.144,85 dengan rata-rata Rp 20.742,14. Untuk pasien yang melakukan 2 kali kunjlUlgan berobat, total biaya pada provider lebih besar dari total biaya pada pasien. Cost of illness pasien rawat jalan ISPA adalah Rp 719.114,60 dengan rata-rata Rp 37.848,14.
Saran yang dapat disampaikan adalah : Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten serta sarana kesehatan pemerintah yang memberikan layanan pengobatanl perawatan perlu melakukan perhitlUlgan dan analisis biaya secara menyeluruh berdasarkan kegiatan dalam memberikan pelayanan. Puskesmas seyogyanya mempertahankan dan meningkatkan penerapan pola pelayanan pengobatan sesuai standar. Perlu dilakukan pengembangan model perhitlUlgan biaya ini ke dalam bentuk perangkat lunak komputer. Kepada peneliti lain diharapkan dapat melakukan penelitian serupa terhadap jenis penyakit lainnya.

Economic loss due to health disorder experienced by patient have an impact to governmenthealth financing and household health expenditure. From 2005 to 2006 period, acute respiratory infection disease was in first place of top ten diseases in Jambi City. In 2005 there were 108.292 cases (34,51%) and in 2006 were 99.332 cases (32,75%). The patient needs medical care to recover from the illness. Medical service for patient will incur the cost upon the provider who provides the service and the patient who uses the service. The cost incurred upon both the provider and the patients are classified into direct cost and indirect cost.
The aim of this study was to describe the amount of the cost of illness for acute respiratory infection disease outpatient. The particular objectives were to describe characteristics of the participant and patient of acute respiratory infection disease outpatient, the amount of direct cost and indirect cost upon provider and the patient who performed medical visit to get recovery from the illness period.
This study used cost analysis design, carried out in Simpang IV Sipin Public Health Centre from January to March2007, with 96 participants. Datawere secondary data collected from study area and primary data obtained from interviewed participants.
The findings demonstrated that most patients were less or equal to 31 years old. Majority of them female and housewives. Base on gender the most patients were male. The most patients were in 13 -36 months age group.
To get recovery in one illness period, 80,21% of total patients performed once medical visit, the remaining patients did twice medical visit. The medical visit patient performs in one illness period to get recovery from the illness highly influence the amount of cost upon provider and the patient. The more visits patient has, the higher the cost required upon provider and the patient. Opportunity cost I remains upon the patients expenditures in using acute respiratory infection outpatient services.
For all patients, the total costs upon provider were higher than the total costs uponpatient. Cost of illness for acute respiratory infection out patient was. Rp 2.316.259,45 with Rp 24.127,70 on average. For the patients who did once medical visit, the total costs upon provider were higher than total costs upon patients. Cost of illness foracute respiratory infection out patient were Rp1.597.144,85withRp. 20.742,14 on average. For the patients who did twice medical visit, the total costs upon provider were higher than total costs upon patients. Cost of illness for acute respiratory infection outpatient were Rp 719.114,60 with Rp. 37.848,14 on average.
It is suggested that District Health and government health facilities that provide medical/nursing care are required to calculate and conduct cost analysis as a whole based on activities in providing services. Public Health Centre must maintain and improve medical service pattern application by standard. It is need to develop this cost calculation model into computer software. Further researchers are needed to do the similar study for other diseases.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T11511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Martha
"Dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia, angka kematian dan kesakitan karena ISPA cukup tinggi. Sementara itu penggunaan pelayanan kesehatan oleh ibu-ibu yang balitanya terkena ISPA khususnya pnemoni masih sangat kurang, padahal mereka ini perlu segera dibawa ke pelayanan kesehatan, karena pnemoni bisa dengan cepat mendatangkan kematian. Disisi lain masih banyak ibu-ibu yang balitanya terkena pnemoni dan bukan pnemoni memberikan obat warung untuk menanggulangi peayakit tersebut. Dilakukannya penelitian Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi, Pengetahuan, Sikap dan Kepercayaan Ibu dengan Perilaku Penggunaan Pelayanan Kesehatan Bagi Balita Sakit ISPA, adalah untuk mempelajari hubungan antara Karakteristik sosial ekonomi, Pengetahuan, Sikap dan Kepercayaan Ibu dengan Perilaku Penggunaan Pelayanan Kesehatan Bagi Balita Sakit ISPA. Analisis statistik yang dilakukan adalah uji perbedaan proporsi (X2) dan uji regresi logistik.
Desain yang digunakan untuk penelitian ini adalah cross sectional. Untuk keperluan analisa, responden dibagi atas kelompok yang balitanya terkena pnemoni dan bukan pnemoni, karena dalam tindakan penatalaksanaan antara kedua kelompok ini berbeda. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok responden yang balitanya terkena pnemoni; pendidikan, pekerjaan, sikap terhadap pengobatan dukun, sikap terhadap pengobatan melalui ibu, dan sikap tidak perlu membawa anak yang batuk pilek ke pelayanan kesehatan, mempunyai hubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan, sedangkan pada kelompok responden yang balitanya bukan pnemoni; sikap terhadap pengobatan dukun, sikap tidak perlu membawa anak yang batuk pilek ke pelayanan kesehatan serta kepercayaan terhadap umur bayi sakit yang boleh diberi obat, yang mempunyai hubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan.
Namun dari semua variabel bebas, yang menunjukkan hubungan yang sangat erat adalah variabel pekerjaan pada kelompok responden yang balitanya terkena pnemoni, sedangkan pada kelompok responden yang bukan pnemoni tidak terlihat hubungan yang erat satupun. Untuk meningkatkan penggunaan pelayanan kesehatan ini, perlu dilakukan intervensi berupa penyuluhan terhadap responder dan keluarga, selain itu perlu peningkatan penatalaksanaan program ISPA kemasyarakat.

In developing countries, including Indonesia, morbidity and mortality rates for acute respiratory infection is high. At the same time, the utility rates of mothers whose children suffer from pneumonia is still very low. Even though those children should be taken to a health facility as soon as possible since pneumonia can lead to sudden death. On the other side, many mothers whose child suffers from pneumonia or another acute respiratory infection often treat their children with drugs bought in a local shop.
This research studies the relation between characteristic social economic, knowledge, attitudes and beliefs of mothers and the use of health services for children under five years of age Buffering from acute respiratory infection. The statically analysis used is proportional difference test (X2) and logistic regression test. The design used in this research is cross-sectional. During analysis, the respondents are divided in groups according to the acute respiratory infections of their children (pneumonia or non-pneumonia), because the behavior between these groups differ.
The research shows that the group whose child suffer from pneumonia, education, occupation and attitude towards traditional treatment, attitude towards self-treatment and the attitude not to bring a child with a cough a health facility, relate to the use of health facilities. In the group mothers whose child suffers a non-pneumonia infection, the attitude towards traditional treatment, attitude not to bring a child with a cough to a health facility and the beliefs regarding a certain age on which a child can be given drugs, also relate to the use of health services.
From all the independent variables, the highest relationship shown between the use of health facility is the variable occupation of the group whose child suffers from pneumonia, while the group whose child suffers from a non pneumonia infection, non of the variable show a strong relation. To increase the utility rates of the health facilities, and education intervention towards the respondents and their families is needed. Besides that, improvement of the respiratory infections program in order to reach the community.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T4461
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Ruhendi
"Dalam meningkatkan upaya pencegahan keracunan pada petani penyemprot hama tanaman holtikultura di Kabupaten Majalengka, perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas kholinesterase darah. Salah satu indikator keracunan pestisida adalah dengan mengukur aktivitas kholinesterase darah. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas kholioesrerase darah pada petani penyemprot hama tanaman holtikultura. Penditian ini menggunakan desain potong Jintang, dengan memanfaatkan pemeriksaan aktivitas kholinesterase darah pada petani bersama dinas kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2007.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa dari 208 responden yang diteliti sebanyak 26,9% kategori keracunan, karakteristik individu perempuan 6,3%, umur tua (> mean) 47,6%, status gizi kurus 12,5%,pendidikan rendah 76,9%, pernah mengikuti pelatihan/penyuluhan 43,3%, dapat penyuluhan petugas kesehatan 8,2%, perilaku membeli pestisida sendiri 94,2%, membeli dengan kemasan eceran 27,4%,perokok 76,4%,lama menyemprot > 3jam 56,7"/o, frek:uensi menyemprot > 2 kali seminggu 12,5%, Menyemprot siang & sore hari 4,3%,posisi menyemprot menghadap datangnya angin 43,2%,Tidak cuci tanga11 4,4%, merokok saat menyemprot 14,4o/v, Tidak cuci badan pada air mengalir 5,3%, terakhir menyemprot 10 hari 70,2%. Perilaku memakai APD, tidak memakai topi 9,6%, tidak memakai kaos/sarung tangan 84,1%, tidak memakai pelindung mata, 97,6%, tidak memakai masker 79,3%, tidak berlengan panjang 7,7%, tidak bercelana panjang 11,1% dan tidak memakai sepatu boot 54,8%.
Variabel dominant yang berhubungan dengim aktivitas kholinesterase menggunakan multivariat adalah Terakhir menyemprot (OR=9,613,95% CI=2,906-31,799), memakai APD baju lengan panjang (OR=8,872, 95% CI=2,006- 39,232), Mandi secara baik (OR=5,446, 95% CI=l,266-23,417), Merokok waktu menyemprot (OR=4,641, 95% CI=l,717-12,546), pemah pelatihan/penyuluhan (OR=3,217, 95% CI=1,466-7,059), posisi menyemprot terhadap arab datangnya angin (OR=2,550, 95% CI=1,169-5,564) dan umur responden ( OR=0,416, 95% CI=O,l90-0,911).
Dengan basil penelitian diatas, penulis menyarankan agar setiap petani melakukan penyemprotan hanya tiga minggu sekali. Meningkatkan frekucnsi pelatihanlpenyuluiian bagi para petani secara terpadu di wiiayah kerja puskesmas, dengan materi pokok peningkatan hidup bersih dan sehat, cara ekposur pestisida kedalam tubuh manusia, cara penanganan pestisida menggunakan Alat Pelindung Diri dan upaya pencegahan dan penanggulangan keracunan oleh pestisida.

It is important to find out which factors which related to cholinesterase activities m plasma in order to prevent contamination among farmers who spraying the horticulture crops in District of Majalengka. One of the indicators of pesticide poisoning is by measuring cholinesterase's activities in plasma. This research studying factors which influencing cholinesterase's activities in filnner's bloodstream, who spraying the horticulture crops. This study use cross sectional design, by utilize the data of plasma cholinesterase activities examination among farmers with Health Office of District of Majalengka year of 2007.
The results of univariate analysis shows that of 208 respondents, 26,9% categorized poisoned Individual characteristics: 6,3% female, 47,6% elderly (>mean), nutrition status is lean i2,5%, iow education 76,9%, never attended training 43,3%, has information from health officers 8,2%, self purchasing pesticides behaviour 94,2%, retail purchasing 27,4%, smoker 76,4%, spraying more than 3 hours 56,7%, spraying frequency more than twice a week 12,5%, spraying in the morning and afternoon 4,3%, spraying position facing the wind direction 43, 2 %, not to washing hands 4,4%, smoking while spraying 14,4%, do not taking bath in running water 5,3%, last time spraying :S 10 days 70,2%. Using the personal protective equipment (PPE) behaviour not wearing hat 9,6%, not wearing gloves &4,1%, not wearing eye protection 97,6%, not wearing masker 79,3%, not wearing shirt 7,7%, not wearing trouser:> 11,1% and not wearing boots 54,8%.
In multivariate analysis the dominant factors which related to cholinesterase area last time spraying (OR=9,613, 95%CI=2,906-31,799), wearing PPE shirt (OR8,872,95%CI=2,006-39,232), right bath (OR=5,446,95%Cll,266-23,417), smoking while spraying (OR=4,641,95%CI=1,717-l2,546, has attended training (OR=3,217,95%CI1,466-7,059), spraying position facing wind direction (OR=2,550,95%CI=l,I69-5,564) and respondent's age (OR=0,416,95o/oCI=O,I90-0,911).
Based on the result of this study, we recommend farmers to conduct spraying only three times a week. Also to increase integrated training and information frequency for farmers in working area of health centres, with main issues are to improve clean and healthy living, how pesticides exposed into human body, how to use protective equipment (PPE) for controlling pesticides and efforts to prevent and to control poisoning by pesticides.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T29169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jajang Setiawan
"ABSTRAK
Pada era globalisasi atau era pasar bebas organisasi dinmtut umuk bisa berkompefisi
dan mempunyai daya saing Puskesmas merupakan organisasi yang memberikan
pelayanan kesehatan terdepan kepada masyarakat tidak terlepas dari timtutan
tersebut.
Pimpinan puskesmas sangat berperan dalam kemajuan organisasi, karena pelayanan
kesehatan yang dibelikan oleh puskesmas mcrupakan hasil keljasama antara staf
beserta pimpinan. Pimpinan puskesmas harus mampu memberikan kepuasan kepada
setiap individu dalam organisasi dan dapat menggabungkan tujuan-tujuan individu
menjadi bagian dari tujuan organisasi. Pegawai atau staf yang tidak puas tidak akan
mau dan mampu untuk menghasilkan suatu pekeijaan yang bcrmutu, juga tidak akan
pemah mendapatkan pelanggan yang terpuaskan, sehingga pimpinan puskesmas
harus bisa memberilcan dukungan fungsi~fungsi utama manajemen kepada pelanggnn
intemal atau staf dan pelanggn ekstemai atau konsumen. Salah satu fungsi
manajemen dalam organisasi adalah gaya Icepemimpinan dari pimpinan puskesmas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempcroleh gambaran pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap kepuasan kcnja staf puskesmas di Kabupaten Majalengka.
Penelitian ini mcnggunakan desain cross sectional dengan pendekatan lcuantitatif
dengan jumlah sampel 127 staf puskesmas. Pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner yang didistribusikan kepada 127 staf puskesmas.
Hasil peneiitian memperlihatkan bahwa kepuasan keija (total) staf puskesmas dengan
menggunakan cuz of point median dalam menilai kepuasan kemja tertinggi azhlah
50,4%. Kepuasan kelja tcrtinggi pada peniiaian kepedulian pimpinan (94,5%) dan
terendah pada penilaian motivasi pimpinan (S0,4%). Dari basil uji bivariat diperoleh
adanya hubungan yang bermakna antara gaya kepemimpinan tcrhadap kcpuasan
kerja staf puskesmas (p= 0,00l). Dimensi gaya kepemimpinan yang mempimyai
hubungan yang bermakna terhadap kepuasan kexja adaiah dimcnsi komunikasi (p=
0,00l), dimensi motivasi (p= 0,002) dan dimensi koordinasi (p= 0,002). Hanya
faktor confolmding lama keija saja yang bermakna (p=0,005) terhadap gaya
kepemimpinari Hasil uji statistik multivariat didapatkan faktor yang paling dominan
berhubungan dcngan kepuasan kerja staf puskesmas adalah dimensi koordinasi dan
pimpinan (p Wald = o,005) dan nnai OR (2,95). Persepsi gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap kepuasan
kerja staf, perbaikan fungsi koordinasi dad pimpinan puskesmas bisa diadopsi untuk
memperbaiki gaya kepemimpinaxmya sekaligus memperbaiki organjsasi secam
keseluruhan sehingga akhirnya diperoleh kepuasan kelja staf puskesmas.

ABSTRACT
At globalization era or organizational free market era is claimed competition to be
able to and has competitiveness. Puskesmas is organization giving health service of
the iirst to public is not quit ofthe demand
Head of puskesmas so central in organization progress, because health service given
by puslcesmas is result of cooperation between staives along with learder. Head of
puskesmas must be able to give satisfaction to every individual in organization and
can merge purposeof individuals to become part of organization.Unsatis?ried officer
or staff will not will and eble to yeild a certiiiable work, nor would have ever got
cutomer client which left nothing to be desired. So leader puskesmas should be able
to give main functions support from of management to internal cutomer client or
staff and cutomer client of extemal or consumer. One of tixnction of management in
organization is leadership style from leads' puskesmas.
Purpose of this research is to obtain image of leadership style influence to job
satisfaction of staff puskesmas in Majalengka district. this research applies design
cross sectional with quantitative approach with number of sample 127 stafves
puskesmas.
Result of research shows that job satisfaction total staff puskesmas by using cut of
median point in assessing highest job satisfaction is 50,4%. Highest job satisfaction
at assessment of leader caring (94,5%) and low of motivation of leader (50,4%)
From bivariatc test result is obtained existence of relationship having a meaning of
between leadership styles toward job satisfaction of staff puskesmas
(p=0,00l). Dimension leadership style having relationship having a meaning to job
satisfaction is communications dimension (p=0,001), motivation dimension
( p=0,002) and coordination dimension ( p=0,002). Only factor counfonding having a
meaning just duration of action ( p=0,005) to leadership style. Statistic test result
multivariat yields factor that is most dominant related to job satisfaction Of staff
puskesmas is coordination dimension from leader ( p Wald = 0,005) and value OR
(2,95). Perception of leadership style has influence to job satisfaction of staff; repair
function of coordination from leader puskesmas can be adopted to improve;repair
its(the leadership style is at the same time improve;repair organization as whole so
that finally is obtained job satisfaction of staipuskesmas.

"
2007
T34510
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Labado
"ISPA merupakan salah satu penyakit penyebab kematian pada anak-anak di dunia khususnya Negara berkembang seperti di Indonesia. Faktor penyebab ISPA adalah kondisi lingkungan rumah serta PHBS yang buruk. Tingginya insiden ISPA di Kabupaten Gorontalo khususnya balita dan belum tercapainya target RPJMN rumah sehat di Provinsi Gorontalo melatarbelakangi dilakukannya penelitian terkait kondisi lingkungan rumah dan perilaku dengan Kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Tilango. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan faktor-faktor terkait kondisi lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan kejadian ISPA di kecamatan Tilango. Penelitian ini menggunakan desain studi Cross sectional dengan analisis multivariate Binary Regresi logistic model prediksi. Populasi pada penelitian ini adalah anak balita usia 0-59 bulan yang berkunjung ke Puskesmas Tilango. Pemilihan sampel penelitian ini dilakukan secara acak berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 92 responden. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa yang paling dominan secara signifikan terhadap Kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Tilango yaitu Pendapatan (OR=13,9, 95% CI 3,395-57,668), Pendidikan (OR=11,3, 95%CI 2,498-51.650), Status Imunisasi (OR=9,8, 95%CI 1,019-95.346), Luas Ventilasi (OR= 8,9, 95%CI= 2,204-35,956), Kebiasaan Buka Jendela (OR=0,05, 95%CI 0,007-0,447).  kesimpulan pada penelitian ini adalah banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu karakteristik balita, karakteristik orangtua, perilaku dan lingkungan rumah.

ARI is one of the causes of death in children in the world, especially developing countries such as Indonesia. The factors that cause ARI are the condition of the home environment and poor hygiene and sanitation. The high incidence of ARI in Gorontalo Regency, especially toddlers and the lack of achievement of the RPJMN target for healthy homes in Gorontalo Province is the background for conducting research related to home environmental conditions and behavior with the incidence of ARI in children under five in the working area of ​​the Tilango Health Center. The purpose of this study was to determine the relationship of factors related to environmental conditions and behavior related to the incidence of ARI in Tilango sub-district. This study used a cross-sectional study design with multivariate analysis of binary logistic regression prediction model. The population in this study were children aged 0-59 months who visited the Tilango Health Center. The sample selection of this study was conducted randomly based on the inclusion and exclusion criteria specified. The number of samples in this study were 92 respondents. The results of this study found that the most dominant significantly to the incidence of ARI in children under five in Tilango District were income (OR=13.9, 95% CI 3,395-57,668), education (OR=11,3, 95%CI 2,498-51,650) , Immunization Status (OR=9,8, 95%CI 1,019-95,346), Ventilation Area (OR=8,9, 95%CI=2,204-35,956), Window Opening Habit (OR=0,05, 95%CI 0,007 -0.447). The conclusion in this study is that there are many factors that can affect the incidence of ARI in toddlers, namely the characteristics of toddlers, parents' characteristics, behavior and home environment"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Try Asih Dewi Agustina
"Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Kabupaten Majalengka saiah satu daerah endemis kusta di Indonesia dengan angka kecacatan tingkat 2 tertinggi di Jawa Barat yang berhubungan dengan keterlambatan penemuan kasus baru dan pengobatan. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu penelitian yang mendalam mengenai pencarian pertolongan pengobatan pada penderita kusta. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi yang mendalam mengenai pencarian pertolongan pengobatan penderita kusta serta faktor penghambat dan penunjangnya. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sindangwangi, Argapura, dan Sumberjaya Kabupaten Majalengka dengan metode kualitatif yang pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara mendalam. Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 31 orang yang meliputi informan penderita kusta dan informan kunci. Untuk menguji validitas hasil penelitian, dilakukan triangulasi sumber dan metode. Pengolahan data yang dilakukan terdiri dari mengumpulkan catatan hasil wawancara, membuat rekapitulasi hasil wawancara, membuat kategorisasi data, dan membuat matriks. Analisis yang dilakukan adalah analisis isi atau content analysis untuk melihat kecenderungan hubungan antar variabel.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pencarian pertolongan pengobatan memiliki kecenderungan berhubungan dengan persepsi keparahan dan bahaya penyakit, dorongan tokoh masyarakat, keluarga, media, dan penyuluhan petugas kesehatan. Pemilihan pelayanan kesehatan memiliki kecenderungan berhubungan dengan kebiasaan dan pengalaman berobat, sedangkan keteraturan berobat memiiiki kecenderungan berhubungan dengan persepsi terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Keterlambatan mencari pertolongan pengobatan memiliki kecenderungan berhubungan dengan pengetahuan penderita kusta mengenai penyakit kusta yang rendah, ketidaktahuan penderita kusta kalau di Puskesmas terdapat pengobatan untuk kusta dan salah diagnosa. Untuk itu perlu dilakukan advokasi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka dan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, meningkatkan promosi kesehatan dengan mengikutsertakan petugas promosi kesehatan di Puskesmas, menjalin kerjasama dengan lintas program dan Iintas sektor, pelatihan keterampiian deteksi tanda kusta bagi petugas puskesmas, sosialisasi tentang pengobatan kusta dan keterampilan deteksi tanda kusta bagi dokter praktek di wilayah kerja puskesmas, peiatihan (training of trainers) penyuluhan kusta, penyuluhan intensif dan pemberdayaan masyarakal.

Leprosy disease is still become the problem for public health in Indonesia. This matter happened, caused by factor pursuing effort of early case finding and leprosy treatment directly and also indirectly. Based on these. hence it is needed a circumstantial research in health seeking behavior of leprosy patient. The objective this research is to obtain circumstantial information on heatlh seeking behavior of leprosy patient. This research was conducted in Sindangwangi, Argapura. and Sumberjaya Sub-distriets with qualitative method, which its data collecting conducted by indepth interview. The number of informants in this research is 31 people. which consisting of leprosy patient and key informant. To assess the validity of result of the research, it was conducted triangulation resources. The Data analysis consist of collect the record of interview results, made summary of the result of interview, made the transcript, made data categorization, and made matrix. The next step is content analysis to see the tendency of the relationship between those variables.
The result of this research show, that seeking help of medication have tendency relate to hard perception and the severeness of discase, motivation of community leader, family, media, and education of health service officer. Election of the health service have tendency relate to experience and habit of medication, while regularity of medication have tendency relate to perception to the quality of health service. The delay in seeking help of medication have tendency relate to knowledge of leprosy suspect on leprosy disease is still low, the lack of knowledge of leprosy patient, where in Community Health Center there is medical treatment for leprosy and wrong diagnosed. Thereby require to be conducted advocacy to Local Government of Majalengka District, and health service of Majalengka District for the allocation of fund and support Leprosy Program with curative and preventive priorities,improving health promotion by involve health promotion officer in Community Health Center, cooperation between cross section that is religion section, and education in order to apply the Leprosy Progrnm specially counseling, training about leprosy detection for health workers. socialization about leprosy treatment and leprosy sign for private doctors in Puskesmas area, training of trainers for leprosy IEC (information, education, and communication), intensive counseling with the target is leprosy patient, family member of leprosy patient, and also community, and enforce community participation in leprosy control.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T21137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>