Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166848 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monique Carolina Widjaja
"Penelitian ini merupakan uji klitis paralel, membandingkan kelompok yang mendapat terapi gizi adekuat pascabedah (P) denga:n kelompok yang mendapatkan diet standnr RSUPNCM (K),Sebanyak 17 pasien pascabedah dige.stif yang dirawat di rua:og perawatan bedah kelas III RSUPNCM yang memenuhi kriteria dibagi dalam dua kelompok secara randomisasi blok. Data yang dlambil dari catatan medik pada awal perlal."UM meiiputi usijenis keiamin, lama operasi. jenis opemsi skor ASA, dan jumlah perdaran. Data asupan energi dan protein dengan food recorcL pemeriksaan antropometri (BB. PB dan IMT), dan laboratorium (kadar GDS dau MDA plasma) dilekukan padn awal dan akbir perlakuan. Anal isis data menggunakan uji t tidak berpasangan dan uji Mann Whitney dengan batas kemaknaan 5%.
Sebanyak 9 orang kelompok P dan 8 orang kelompok K dengan rata rata usia 38,82±10,89 tahun mengil"Uti penelitian secara lengkap. Jenis opcrasi terbanyak yang dijalani subyek adalah reseksi-anastomosk Lama operasi :subyek perlakuan tergolong lama dan subyek kontrol tergolong singkat. Jumlah perdar.ahan tergolong sedikit. Data awal tidak menunjukkan pcrbedaan bermakna (p> 0,05). Setclah -enam hari perlakuan, didapatkan persentase asupan energi dan protein diba:ndingkan kebutuhan total termasuk kategori adekuat pada kelompok perlakuan dan tidak adekuat pada kelompok kontrol, dan perbedaan ini berm.akna (p<0,05). Pada kedua kelompok didapatkan peningkatan kadar ODS plasma yang lebih tinggi pada kelompok kontrol, namun secara statistik tidak bermakna (p> 0,05). Pada kelompok perlakuan terdapat pcnurunan kadar MDA plasma sedangkan pada kelompok kontrol terdapat peningkatan MDA plasma, meskipun secara statistik tidak berrnakna (p>0,05).
Pada kedua kelompok didapatkan peningkatankadar GDS plasma yang lebih tinggi pada kelompok kontrol, namun secara ststistik tidak bermakna serta didapatkan penurunan MDA plasma pada kelompok perlakuan penelitian ini memperlihatkan terapi gizi dapat memperbaikistres metabolik dan oksidatif dibandingkan tanpa terapi gizi.

The study was a parallel randomized clinical trial which compared the treatment group received postoperative adequate nutrition therapy (P) and tbe control group received hospital standard diet {K). Seventeen subjects postoperative digestive surgery admitted to Surgery Ward of Dr. Cipto Manguukusumo Hospital woeful filled the study criteria, were divided into two groups using block randomization. Data collection taken from medical record at the beginning of intervention were age, gender, duration of surgery, type of surgery, ASA score, and the amount of blood loss during surgery. Data of energy, and protein intake using food record, anthropometric (body weight, body Jength, and body mass index); and laboratory findings (plasma glucose and malondialdehyde levels) were done before and after intervention. For statistical analysis, unpaired t-test and Mann W1Iitney were used. The level of significance was 5%.
Nine subjects in the treatment group and eight subjects in the control group whose mean of age is 38.82±10.89 years old completed the study. The most type of surgery was resection-anatomists. The duration of surgery "'as categorized as longtime in P and shortish inK groups. The amount of blood loss during surgery was little for both groups. The characteristic of the two groups were closely matched at base line (p> 0.05). After six days intervention. the percentage of energy and protein intake in treatment group were adequate in appropriate to the requirement, and these were statistically significant compared to control group (p<0.05). There were increase of plasma glucose levels in both groups which was higher in control group, however the increase wns not statisticaHy significant (p>0"05). Plasma levels of MDA were decrease in treatment group while in control group were increase eventhough the changes between the two groups were not ststitical significant (p>0.05). There were increase of plasma glucose level which was higher in the control group, although has not statistically significant, and there were decrose of plasma MDA levels in treatment group. This study revealed that nutrition therapy can improve metabolic and oxidative stress better than those without nutrition therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T29137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Djunet
"Latar belakang. Bedah kanker kolorektal (KKR) adalah kasus terbany1k di Divisi Bedah Digestif RSUPNCM, di mana 46% di antaranya adalah karena kanker rektum I (K.R). Trauma pembedahan menimbulkan inflamasi, respon fase akut (RFA), dan stres metabolik. C- reactive protein (CRP) adalah protein fuse akut (PFA) dengan peningkatan tertinggi di antara PFA lainnya dan telah digunakan secara luas sebagai penanda inflamasi. Stres metabolik menyebabkan perubahan metabolisme zat gizi yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) plasma. Secara tidak langsung, pemberian terapi gizi adekuat dapat menekan laju inflamasi dan mempercepat proses penyembuhan pasca bedah.
Tujuan. Untuk mengetahui peran terapi gizi adekuat selama tujuh hari terhadap perubahan kadar CRP serum dan GDS plasma pasien pasca bedah KR pada hari ke satu dan ke tujuh pengamatan.
Metode. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan desain paralel, acak, dan tidak tersamar. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat bedah kelas Ill RSUPNCM, pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2009. .9erdasarkan kriteria penelitian didapatkan 24 subyek yang dibagi menjadi dua, kelompok perlakuan (P) dan kontrol (K). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil. Karakteristik awal kedua kelompok adalah sebanding pada HI. Rerata asupan energi kelompok P adalah 1 211 ,23 ± 161 ,95 kkallh ari (82,86 ± 9,91 % kebutuhan energi total atau KET), adekuat, dan lebih tinggi bermakna (p< 0,001) dibandingkan kelompok K yaitu 831,93 ± 129,58 kkal/hari (55,75 ± 9,48% KET). Rerata asupan protein subyek tidak adekuat meskipun asupan protein kelompok P lebih tinggi bennakna (p< 0,001). Kelompok P mengalami peningkatan berat badan (BB) 0,71 ± 0,79 kg sedangkan kelompok K mengalami penurunan BB 0,85 ± 1,06 kg. Penurunan kadar CRP serum kelompok P (7,13 ± 1,43 mg/L) berbeda bermakna (p=0,005) dengan kelompok K (5,20 ± 1,58 mg/L). Peningkatan kadar GDS plasma kelompok P (26,00 ± 29,67 mg/dL) cenderung lebih tinggi dari kelompok K (10,00 ± 24,40 mg/dL), sejalan dengan peningkatan asupan energi yang lebih tinggi. Kadar CRP serum memiliki korelasi positif derajat rendah (r-0,266) dan tidak bennakna (p=0,358) dengan kadar ODS plasma.
Kesimpulan. Pemberian terapi gizi adekuat selama tujuh hari berperan untuk mempercepat penurunan kadar CRP serum pasien pasca bedah KR. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T20988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sheena R Angelia
"Osteoartritis OA adalah penyakit sendi kronis yang merupakan penyebab utama disabilitas menahun di dunia saat ini. Salah satu faktor yang berperan penting dalam patogenesis OA adalah terjadinya stres oksidatif berlebih, yang menginduksi kerusakan kondrosit akibat dan ditandai dengan peningkatan kadar malondialdehid MDA . Asam lemak omega-3 memiliki peran dalam menghambat terjadinya stres oksidatif, namun sebaliknya asam lemak omega-6 memiliki fungsi yang berlawanan. Kedua asam lemak ini bersifat esensial di dalam tubuh, dan kadarnya ditentukan oleh asupan dari bahan makanan sumber. Rasio antara asupan asam lemak omega-6/omega-3 yang optimal dapat mengurangi terjadinya stres oksidatif dalam tubuh. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 terhadap kadar MDA plasma pada pasien OA lutut. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poli ortopedi RS Bhayangkara Tk I RS. Sukanto dan RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, terhadap pasien OA lutut derajat 2-4, berusia 40-60 tahun, pada bulan April-Mei 2018. Asupan asam lemak omega-3 dan omega-6 untuk 1 bulan ke belakang didapatkan dengan menggunakan semi-quantitative food frequency questionnaire. Besarnya rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 dihitung dengan cara membagi rata-rata asupan harian asam lemak omega-6 total dengan rata-rata asupan harian asam lemak omega-3 total. Kadar MDA plasma diukur dengan metode spektrofotometri. Dari 57 subjek yang mengikuti penelitian, didapatkan rerata usia 50 tahun, sebanyak 87,7 adalah subjek perempuan, serta sebagian besar 89,5 masuk dalam kategori obesitas. Persentase asupan kedua asam lemak masih kurang bila dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi AKG , dengan nilai tengah asupan asam lemak omega-3 total subjek adalah 0,864 0,351-2,200 g/hari, sedangkan asupan asam lemak omega-6 total sebesar 6,830 3,066-19,110 g/hari. Didapatkan rerata rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 yaitu 8,8:1, dan rerata kadar MDA plasma pada subjek sebesar 0,773 0,199 nmol/mL. Setelah mengontrol faktor usia, IMT dan skor aktivitas fisik dengan uji regresi linear ganda, didapatkan hasil setiap kenaikan 1 unit rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 dapat meningkatkan kadar MDA plasma sebesar 0,023 nmol/mL = 0,023, 95 CI = 0,004 ndash; 0,042, p = 0,017 . Rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 yang tinggi berhubungan dengan peningkatan kadar MDA plasma pada pasien OA lutut derajat II-IV. Oleh karena itu diperlukan edukasi untuk mendapatkan rasio yang optimal sehingga dapat mecegah peningkatan progresivitas OA lutut.

Osteoarthritis OA is a chronic disease characterized by joint pain, and is a major cause of disability in the patient. One of several factors in the pathogenesis of OA is the generation of oxidative stress, inducing chondrocytes apoptosis due to lipid peroxidation, characterized by the increasing of malondialdehyde MDA level. Omega 3 fatty acids have role in inhibiting the oxidative stress, meanwhile omega 6 hold contradicting role. Both fatty acids are essential in human body, and their levels are determined by the intake from the food sources. The omega 6 omega 3 ratio should be optimal in order to reduce the oxidative stress. This study aims to investigate the association between the ratio of omega 6 omega 3 fatty acids intake to MDA plasma level in patients with knee OA. This was a cross sectional study, conducted at orthopedic clinic at Bhayangkara RS. Sukanto Hospital and Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, in patients with II IV grade Kellgren Lawrence of knee OA, aged between 40 60 years. The 1 month history of omega 3 and omega 6 intake was obtained by using semi quantitative food frequency questionnaire. The omega 6 omega 3 ratio was calculated by dividing the average daily intake of total omega 6 fatty acids by the average daily intake of total omega 3 fatty acids. The MDA plasma level was measured by spectrophotometry method. Of 57 subjects participated, the mean age was 50 years, 87,7 were female, and mostly 89,5 were obese. The percentage of both fatty acids intake was below the Recommended Dietary Allowance RDA , the median for omega 3 and omega 6 intake were 0,864 0,351 2,200 g day and 6,830 3,066 19,110 g day. Thus the ratio of omega 6 omega 3 intake was 8,8 1, and the mean MDA plasma level was 0,773 0,199 nmol mL. The age, BMI, and physical activity score variables were then controlled through multiple linear regression test. The results found were the increase of 1 unit of omega 6 omega 3 intake ratio would increase MDA level of 0,023 nmol mL 0,023, 95 CI 0,004 ndash 0,042, p 0,017 . A high ratio of omega 6 omega 3 intake is associated with elevated plasma MDA level in knee OA patients. Therefore, a subsequent education is necessary in achieving optimal ratio thus prevent the progressivity of knee OA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Kurniawan
"Latar Belakang: Cedera reperfusi akibat dilepaskannya reactive oxygen species(ROS) saat penggunaan Cardiopulmonary bypass(CPB) dan kembalinya mengalir darah yang kaya oksigen pada miokard yang iskemia, dapat menyebabkan kerusakan miokard. Allopurinol sebagai penghambat xanthine oksidase, telah diteliti sebelumnya mengenai efektivitas dalam mengurangi cedera reperfusi pada bedah jantung terbuka yang belum menunjukkan hasil yang konklusif, meskipun pada beberapa penelitian memberikan hasil yang cukup baik pada pemulihan dari stunningmiokard, biomarker cedera reperfusi maupun kejadian atrial fibrilasi pascabedah (AFPB). Metilprednisolon juga dipakai untuk mengurangi efek inflamasi dan cedera reperfusi pada pasien bedah jantung terbuka karena perannya dalam menghambat secara indirek pengaktifan enzim NADPH oksidase.Tujuan penelitianini adalah untuk membandingkan efektifitas pemberian allopurinol peroral 600 mg pada malam hari dan 1 jam sebelum pembedahan dengan metilprednisolon intravena 15 mg/kgbb saat induksi anestesi dalam mengurangi cedera reperfusi pada bedah pintas arteri koroner.
Metode: Telah dilakukan penelitian uji klinis acak tersamar ganda pada 42 pasien yang menjalani bedah pintas arteri koroner menggunakan CPB antara bulan Oktober 2019 hingga Maret 2020, yang dialokasikan ke dalam kelompok allopurinol atau kelompok metilprednisolon.Pemeriksaan biomarker cedera reperfusi dilakukan dengan pemeriksaan sampel darah malondialdehyde(MDA) yang dilakukan sesaat setelah pemasangan kateter vena sentral (basal) dan 5 menit setelah klem jepit aorta dilepas (pascareperfusi). Pemeriksaan MDA dilakukan dengan metode ELISA. Penilaian skor inotropik dan vasoaktif (SIV) dilakukan pada 24 jam pertama perawatan pascabedah. Sedangkan penilaian kejadian atrial fibrilasi pascabedah dilakukan selama 48 jam pertama pascabedah. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik yang sesuai dengan piranti lunak program SPSS 21. Uji hipotesis pada variabel kadar MDA akan menggunakan uji T tes tidak berpasangan bila sebaran data normal. Pada variabel skor inotropik dan vasoaktif akan menggunakan uji T test tidak berpasangan (bila sebaran data normal) atau dengan uji mann whitney(bila sebaran data tidak normal). Dan uji hipotesis untuk variabel kejadian AFPB menggunakan uji chi-squared(bila syarat x2terpenuhi) atau dengan uji fisher(bila syarat x2tidak terpenuhi).
Hasil : 42 pasien yang menjalani bedah pintas arteri koroner yang memenuhi kriteria penerimaan, 40 pasien dianalisis karena 2 pasien meninggal sebelum 48 jam pertama pascabedah. Karakteristik demografi dan kadar MDA basal seimbang pada kedua kelompok. Peningkatan kadar MDA pascareperfusi lebih rendah pada pemberian allopurinol, namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,379). Nilai SIV pascabedah pada pemberian allopurinol secara statistik lebih rendah bermakna (median 6 vs 22, p=0,009). Kejadian AFPB pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p=0,231).
Simpulan : Allopurinol tidak lebih efektif daripada metilprednisolon dalam upaya mengurangi cedera reperfusi pada bedah pintas arteri koroner.

Background: Reperfusion injury due to the release of reactive oxygen species (ROS) when using cardiopulmonary bypass (CPB) and the return of oxygen-rich blood flow to ischemic myocardium after the release of aortic clamps, can cause myocardial damage. Allopurinol as an inhibitor of xanthine oxidase, has been studied previously about its effectiveness in reducing reperfusion injury in open heart surgery which shows inconclusive results, although in some studies it has given quite good results in recovery from myocardial stunning, biomarkers of reperfusion injuries and postoperative atrial fibrilation (POAF). Methylprednisolone is also used to reduce the effects of inflammation and reperfusion injury in open heart surgery patients because of its role in indirectly inhibiting the activation of the enzyme NADPH oxidase. The aim of this study was to compare the effectiveness of oral administration of allopurinol 600 mg at night and 1 hour before surgery with 15 mg/kg intravenous methylprednisolone during anesthesia induction in reducing reperfusion injury in coronary artery bypass surgery.
Methods: A double-blind randomized clinical trial study was conducted on 42 patients undergoing coronary artery bypass surgery using CPB between October 2019 and March 2020, which was allocated to the allopurinol group or the methylprednisolone group. Examination of biomarkers of reperfusion injury is carried out by examination of a blood sample of malondialdehyde (MDA) which is performed shortly after the installation of a central venous catheter (basal) and 5 minutes after the aortic clamp are removed (post-reperfusion). MDA examination is done by the ELISA method. Assessment of vasoactive-inotropic scores (VIS) was carried out in the first 24 hours of post-surgical treatment. While the assessment of the incidence of POAF was performed during the first 48 hours after surgery. The data obtained were analyzed by the appropriate statistical tests using SPSS 21 software program. Hypothesis testing on MDA variables will use the T test unpaired if the data distribution is normal. In the VIS variables will use the T test unpaired (if the data distribution is normal) or with the Mann Whitney test (if the data distribution is not normal). And hypothesis testing for POAF variables will use the chi-square test (if the x2 requirement are met) or with the fisher test (if the x2requirements are not met).
Results:42 patients who underwent coronary artery bypass surgery who met the admission criteria, 40 patients were analyzed because 2 patients died before the first 48 hours after surgery. Demographic characteristics and basal MDA levels were balanced in both groups. The increased levels of MDA post-reperfusion were lower in allopurinol administration, but the statistics were not significantly different (p = 0.379). The postoperative VIS value in the administration of allopurinol was significantly lower than in the administration of methylprednisolone (median 6 vs 22, p = 0.009). The incidence of AFPB in the two groups showed no differences were statistically significant (p = 0.231).
Conclusion:Allopurinol is not more effective than methylprednisolone in an effort to reduce reperfusion injury in coronary artery bypass surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lady Dhita Alfara
"Mengetahui pengaruh suplementasi vitamin C 1000 mg i.v dan E 400 mg oral selama empat hari berturut-turut terhadap kadar malondialdehid (MDA) plasma, sebagai penanda stres oksidatif pada penderita luka bakar sedang berat.
Penelitian ini merupakan one group pre post test, yang memberikan suplementasi vitamin C 1000 mg i.v dan vitamin E 400 mg oral yang pada 13 subyek penclitian, yaitu penderita luka bakar kategori sedang berat dengan tuas luka bakar kurang dari 60%, yang dirawat di Unit Luka Bakar RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diperoleh melalui wawancara, rekam medik, pengukuran antropometri, analisis asupan menggunakan metodefood record, dan pemeriksaan laboratorium. berupa pemeriksaan kadar vitamin Ct E serum dan MDA plasma pada sebeium dan setelah suplementasi. Analisis data untuk data berpasangan menggunakan uji t berpasangan dan uji Wileoxon, sedangkan untuk dua kelompok tidak berpasangan menggunakan uji Mann Whitney. Batas kemaknaan pada penelitian ini adalah 5%.
Sebanyak 13 orang subyek penelitian~ terdiri dari perempuan 53,85%, dengan median usia 32 (18-55) tahun, sebagian besar subyek memiliki status gizi normal (61.54%). Median luas luka bakar adalah 22 (5-57)"/o, dengan kasus terbanyak adalah luka bakar berat (61.50%), dan penyebab terbanyak adalah api (76.9%). Kadar vitamin C pasca suplementasi mengalami sedikit peningkatan yang tidak bennakna. Kadar vitamin E subyek penelitian meningkat bermakna (p=O,Ol6) pasea suplementasi, walaupun masih dalam kategori rendah. Kadar MDA pada suplementasi mengalami penurunan bermakna W'(l,O 19).
Simpulan: Terdapat penurunan bermakna kadar MDA plasma pada subyek penelitian setelah suplementasi vitamin C 1000 mg i.v dan vitamin E 400 mg oral selama empat hari.

To study the effect of vitamin C 1000 mg i.v and E 400 mg oral supplementation on plasma malondialdehyde level as parameter of oxidative stress in bum patients.
This study was a one group pre post test that gave i.v 1000 mg vitamin C and omi 400 mg vitamin E supplementations to thirteen moderate-severe bum patient$. with percentage of bum less than 60%, in burn unit Cipto Mangunkusurno HospitaL Data were collected using questionnaire, medical record, anthropometric measurement. dietary assessment using four consecutive days food record. Laboratory test for serum vitamin C, B and plasma malondialdehyde levels were evaluated before and after supplementations. Differences in mean values were assessed by paired t-test for normal distribution data or Wilcoxon fur the not normal distribution. Mann Whitney was used for unpaired data. Values of p < O~OS were considered to indicate statistical significance.
Results Among thirteen subjects. seven (53.80%) subjects were female, median of age 32 (18-55) years. Body mass indek in most subjects (61.54%) were categorized as normal. The median percentages of bum injury 22 (5-51)%, and the frequency of severe bum was 61.50%, while the most cause of bum was flame (76,9%). Level of vitamin C after treatment was increased, but not significant. Level of vitamin E after treatment was significantly increased (p=O,Ol6). Level of MDA after supplementation significantly reduced (Jl 0,0l9).
Conclusion There was significantly reduced of level plasma MDA after four days vitamin CIOOO mg i.v danE 400 mg oral supplementations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32803
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dukut Respati Kastomo
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
616.994 DUK b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Christophorus Simadibrata
"Latar belakang: merupakan salah satu tindakan pembedahan yang mempengaruhi motilitas gastrointestinal. Penelitian Cihoric et al menunjukkan sebanyak 12,5% pasien pasca laparotomi mengalami komplikasi disfungsi gastrointestinal. Disfungsi pada motilitas gastrointestinal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada prosedur pembedahan abdomen. Dari 100 pasien operasi laparotomi digestif, ditemukan sebanyak 40% pasien di ICU mengalami peningkatan gastric residual volume pada pasien pasca operatif laparotomi digestif. Pemberian suplementasi dengan Lactobaciillus acidophilus diketahui dapat meningkatkan motilitas gaster.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hubungan antara pemberian probiotik Lactobacillus acidophillus dengan GRV.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental atau uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 55 subjek yang mengikuti randomisasi, 54 subjek yang akan menjalani operasi laparotomi gastrointestinal dimasukkan ke dalam penelitian, 1 subjek drop out karena sepsis. Subjek penelitian diberikan kapsul probiotik Lactobacillus acidophilus 109 (kelompok probiotik) atau diberikan kapsul laktosa (kelompok plasebo) selama 3 hari sebelum operasi. Kadar GRV diukur 2 hari sesudah prosedur.
Hasil: Dari 54 subjek dengan 27 subjek tiap kelompok mengikuti penelitian hingga selesai. Pada hari pertama (24 jam), GRV 24 jam dengan pemberian probiotik dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p value 0,669). Pada hari ke 2 (48 jam), GRV 48 jam dengan pemberian probiotik dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p value 1,000). Hasil yang tidak signifikan pada GRV 24 jam dan 48 jam dapat dipengaruhi faktor perancu yaitu geriatri, riwayat kelainan saraf, obesitas, riwayat penggunaan vasopressor, riwayat konsumsi opioid, hiperkapnia dan hiperglikemia selama di ICU.
Simpulan: Pemberian probiotik Lactobacillus acidophilus dengan GRV tidak mempunyai efek hubungan dibandingkan dengan placebo.

Background: Laparotomy is a surgical procedure that affects gastrointestinal motility. Research by Cihoric et al showed that 12.5% ​​of post-laparotomy patients experienced complications of gastrointestinal dysfunction. Dysfunction in gastrointestinal motility is a frequent complication of abdominal surgical procedures. Out of 100 patients with digestive laparotomy surgery, it was found that as many as 40% of patients in the ICU experienced an increase in gastric residual volume in postoperative digestive laparotomy patients. Supplementation with Lactobaciillus acidophilus is known to increase gastric motility.
Aim: This study aims to determine the effect of the relationship between administration of Lactobacillus acidophillus probiotics and GRV.
Methods: The study design used was an experimental or double-blind randomized clinical trial. A total of 55 subjects who followed the randomization, 54 subjects who would undergo gastrointestinal laparotomy were included in the study, 1 subject dropped out due to sepsis. Research subjects were given probiotic capsules Lactobacillus acidophilus 109 (probiotic group) or given lactose capsules (placebo group) for 3 days before surgery. GRV levels were measured 2 days after the procedure.
Results: Of the 54 subjects with 27 subjects in each group, they followed the research to completion. On the first day (24 hours), the 24-hour GRV with the administration of probiotics and the control group showed insignificant results (p value 0.669). On day 2 (48 hours), GRV 48 hours with probiotic administration and the control group showed insignificant results (p value 1,000). Results that were not significant at GRV 24 hours and 48 hours could be influenced by confounding factors, geriatrics, history of neurological disorders, obesity, history of vasopressor use, history of consumption of opioids, hypercapnia and hyperglycemia while in the ICU.
Conclusion: Administration of Lactobacillus Acidophilus probiotics with GRV had no association effect compared to placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Krisna Mayasari
"Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang dialami oleh 10% wanita usia subur di seluruh dunia. Terapi lini pertama yang terdiri dari obat hormon levonorgestrel (LNG) diketahui tidak hanya meningkatkan apoptosis lesi endometriosis, tetapi juga meningkatkan metabolisme dan memicu stres oksidatif lebih lanjut, yang ditandai dengan peningkatan penanda stres oksidatif, seperti malondialdehida (MDA), dan penurunan antioksidan enzimatik superoksida dismutase (SOD). Hal ini disertai ketidakseimbangan hormonal menciptakan lingkungan bagi sel-sel endometrium untuk bermetastasis, memicu jalur inflamasi dan angiogenesis sehingga memperberat kondisi endometriosis. Studi menunjukkan bahwa propolis merupakan sumber antioksidan alami yang kaya akan senyawa flavonoid dan asam fenolik. Zat aktif yang terkandung dalam propolis diketahui mampu menangkap radikal bebas melalui pembentukan molekul yang lebih stabil. Propolis juga memiliki sifat anti-inflamasi, anti-mikroba dan imunomodulator, yang dapat meningkatkan status stres oksidatif pasien, mengurangi morbiditas dan lama rawat inap di rumah sakit. Penelitian ini menggunakan desain studi uji klinis acak tersamar ganda pada 24 wanita dengan endometriosis yang mendapatkan terapi LNG, yang dikelompokkan secara acak untuk menerima intervensi harian berupa propolis tetes yang mengandung 45 mg propolis dan 17,5 mg flavonoid per tetes atau plasebo. Intervensi diberikan dua kali sehari, pada pagi dan malam hari, dengan dosis 1 tetes per 10 kg berat badan (kgBB) per kali. Sampel darah dan penilaian gizi diambil pada kunjungan pertama dan 30 hari setelahnya. Kadar MDA pada kelompok propolis mengalami penurunan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Rerata kadar MDA pada kelompok propolis sebelum intervensi adalah 0,19 nmol/L, dan mengalami penurunan signifikan menjadi 0,16 nmol/L (p<0,001). Sedangkan pada kelompok kontrol, rerata kadar MDA sebelum pemberian plasebo adalah 0,19 nmol/L, dan mengalami penurunan signifikan menjadi 0,18 nmol/L (p<0,05).. Kadar SOD pada kelompok propolis meningkat dari 0,62 I/L sebelum intervensi, menjadi 0,64 U/L setelah intervensi (p=0,28). Sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan penurunan kadar SOD dari 0,60 U/L sebelum intervensi menjadi 0,57 U/L setelah intervensi (p=0,20). Kedua perubahan tersebut tidak signifikan secara statistik. Pemberian propolis menurunkan kadar MDA secara bermakna, disertai perubahan kadar SOD secara tidak bermakna setelah periode intervensi 30 hari.

Endometriosis is a gynecological disorder which affect 10% of women of childbearing age worldwide. First-line therapy consisting of the hormonal drug levonorgestrel (LNG) is known to not only increase apoptosis of endometriosis lesions, but also increase metabolism and induce further oxidative stress, which is characterized by an increase in oxidative stress markers, such as malondialdehyde (MDA), and a decrease in the enzymatic antioxidant superoxide dismutase (SOD). This, accompanied by hormonal imbalance, creates an environment for endometrial cells to metastasize, triggering inflammation and angiogenesis pathways, thereby aggravating the condition of endometriosis. Studies show that propolis is a natural source of antioxidants that are rich in flavonoid compounds and phenolic acids. The active substances contained in propolis are known to scavenge free radicals through the formation of more stable molecules. Propolis also has anti-inflammatory, anti-microbial and immunomodulatory properties, which can improve the patient's oxidative stress status, reducing morbidity and length of hospital stay. This study used a double-blind, randomized clinical trial design on 24 women with endometriosis who received LNG therapy, who were randomly grouped to receive daily intervention in the form of propolis drops containing 45 mg propolis and 17.5 mg flavonoids per drop or placebo. The intervention is given twice a day, in the morning and evening, with a dose of 1 drop per 10 kg body weight (kgBB) per time. Blood samples and nutritional assessments were taken at the first visit and 30 days thereafter. The levels of MDA in the propolis group experienced a greater decrease than in the control group. The mean MDA level in the propolis group before intervention was 0.19 nmol/L, and decreased significantly to 0.16 nmol/L (p<0.001). Meanwhile, in the control group, the mean MDA level before placebo administration was 0.19 nmol/L, with a significant decrease to 0.18 nmol/L (p<0.05). The levels of SOD in the propolis group increased from 0.62 I /L before intervention, to 0.64 U/L after intervention (p=0.28). Meanwhile, in the control group, SOD levels decreased from 0.60 U/L before intervention to 0.57 U/L after intervention (p=0.20). Both changes were not statistically significant. The administration of propolis reduced MDA levels significantly, with a non significant changes in SOD levels after the 30 days intervention period."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis
"Kanker kepala dan leher merupakan kanker yang menggambarkan berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestif atas, yang meliputi kanker pada mata, telinga, rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, orofaring, hipofaring, laring, kelenjar saliva, dan kelenjar tiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi akupunktur manual terhadap kadar MDA dan skor NAS dibandingkan dengan akupunktur manual sham pada penderita kanker kepala dan leher pasca terapi radiasi. Uji klinis acak tersamar tunggal dengan kontrol dilakukan terhadap 30 pasien kanker kepala dan leher yang dibagi secara acak menjadi kelompok akupunktur manual n=15 dan kelompok akupunktur manual sham n=15. Pemeriksaan kadar MDA dilakukan sebelum perlakuan dan setelah sesi ke-12. Penilaian skor NAS dilakukan pada saat sebelum perlakuan, setelah sesi ke-6, dan setelah sesi ke-12.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok akupunktur manual dengan kelompok akupunktur manual sham terhadap penurunan kadar MDA sebelum dan sesudah perlakuan p=0,787. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok manual dengan akupunktur manual sham terhadap penurunan skor NAS sebelum dan sesudah perlakuan yang diukur pada sesi ke-6 p=0,001 dan sesi ke-12 p=0,003.
Kesimpulan penelitian ini terapi akupunktur manual efektif untuk menurunkan skor NAS, namun kurang efektif untuk menurunkan kadar MDA pada penderita kanker kepala dan leher pasca terapi radiasi.

Head and neck cancer encompasses a wide range of malignant tumours arising from the upper aerodigestive tract, includes eyes, ears, nasal cavities, paranasal sinuses, nasopharynx, oropharynx, hypopharynx, larynx, salivary glands, and thyroid gland.
This study aims to determine the effect of manual acupuncture therapy on MDA levels and NAS scores compared with manual sham acupuncture in patients with head and neck cancer post radiation therapy. Single blinded randomized clinical trials with control were performed on 30 head and neck cancer patients divided randomly into manual acupuncture groups n = 15 and the sham manual acupuncture group n = 15. The examination of MDA levels is performed before treatment and after the 12th session. Assessment of NAS scores is performed before the treatment, after the 6th session, and after the 12th session.
The result showed no significant difference between manual acupuncture group and sham manual acupuncture group to decrease MDA level before and after treatment p = 0,787. There was a significant difference between manual group and sham manual acupuncture on NAS score decrease before and after treatment measured at 6th session p = 0,001 and 12th session p = 0,003.
The conclusion: manual acupuncture therapy effectively decrease NAS scores, but statistically less effective to reduce levels of MDA in patients with head and neck cancer after radiotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>