Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175463 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nulidya Stephanny Hikmah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas peran Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen?s constitutional rights) yang tercermin dalam putusan-putusannya, baik dalam perkara pengujian undang-undang (judicial review) maupun perkara sengketa perselisihan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah memulihkan hak perseorangan warga negara untuk mencalonkan diri (right to be a candidate) dan menjadi peserta dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sebelumnya dibatasi atau terhalang suatu peraturan perundang-undangan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menyarankan perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap regulasi pemilihan umum agar hak dasar setiap warga negara Indonesia yang sudah terjamin oleh UUD 1945 dapat dilindungi, serta diperlukan suatu mekanisme khusus dan tersendiri bila kemudian terjadi pelanggaran hak-hak konstitusional yang tidak bisa diperjuangkan melalui perkara pengujian undang-undang, melainkan melalui mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaints).

ABSTRACT
This thesis discusses the role of the Constitutional Court as the protector of citizen's constitutional rights that reflected in its decisions, both in the case of judicial review and dispute on the result of local election (election complaint) that have restored the rights of individual citizens to be a candidate and as a participant in the local election that previously restricted or obstructed by a legislation. This research is a qualitative research with descriptive design. The results of this study suggest the need for improvements of the elections regulation to protect the basic rights of every citizen of Indonesia, which is guaranteed by the 1945 Constitution, and requires a special mechanism if violation of constitutional rights occured and can not be fought through judicial review, but through the constitutional complaint mechanism."
2013
T32611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
"ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.

ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto
"Tesis ini membahas sejarah sampai lahirnya kewenangan lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa dalam penyelenggeraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, mulai dari konsep Nomokrasi dan Demokrasi, Pemilihan oleh DPRD dan Pilkada Langsung sampai dengan pemilu kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Pembahasan juga dilakukan terhadap kerangka hukum penyelesaian sengketa (hukum acara) yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dan yang menjadi inti dari tesis ini adalah Kepatuhan KPU dalam melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.

This thesis discusses the historical existence of the authority of Judiciary Institution to settle dispute on Local Head dan Vice Head Region Election, Comparation between the concept of Nomocracy and Democracy, between Elected by Local Parliament and Local Direct Election, between Direct Election regime and General Election regime. This thesis also discusses legal framework for Dispute Settlement Procedure (Procedural Law) under Administrative Court and Constitutional Court in Local Head Election Management. Finally, Main discussion of this thesis addresses the Compliance of Election Commission in implementing Administrative and Constitutional Court Decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29320
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gugum Ridho Putra
"ABSTRAK
Hak politik dilindungi hukum, baik secara internasional maupun nasional. Secara
Internasional, hak politik diatur universal declaration of Human Rights ( UDHR)
dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Secara
Nasional, Hak politik juga dilindungi konsitusi kita dan beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya, terutama Undang-Undang No 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Status mantan narapidana seseorang ternyata bisa
membuat hak politik nya dibatasi contohnya dalam hal untuk menjadi kepala
daerah. Pembatasan tersebut ditentukan secara tegas dalam pasal 58 huruf f
Undang-Undang No 12 tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang No 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam perkembangannya, pasal
tersebut kemudian diujikan ke Mahkamah Konsitusi lewat judicial review.
Mahkamah Konsitusi telah mengeluarkan beberapa putusan secara konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional). Putusan tersebut membatalkan larangan
berpolitik bagi mantan narapidana, akan tetapi memberikan syarat - syarat
keberlakuan yang limitatif. Syarat konstitusional dalam putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut lah yang akan dibahas secara detail dalam tulisan ini. Dengan
tulisan ini penulis mencoba mengupas bagaimana hak politik mantan narapidana
itu diatur, dilindungi dan diimplementasikan pasca putusan konstitusional
bersyarat Mahkamah Konstitusi.

ABSTRACT
Political rights is protected by law, both internationally and nationally.
Internationally , political rights regulation determined in universal declaration of
Human Rights ( UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR). Nationally, Political rights is also protected by our constitution and
several legislation, especially law number 39 of 1999 about Human rights.
According to law, someone's ex-convicts status can lead him or her to political
rights limitation. To become the head of local government for example. Those
limitation is determined directly on article 58 letter f on Law number 12 of 2008
about revision on law number 32 of 2004 about Local Government. Afterwards,
that article was tested to Constitutional Court through judicial review mechanism.
Constututional Court then made a conditionally constitutional decicion on it. That
decicion canceled the prohibiton on ex-convicts political right, but determined
several constitutional requirement. Those constitutional requirements it self will
be criticized in this paper. By this, writer is trying to open clearly how ex-convicts
political right is regulated, protected and implemented after those Consitutional
Court's decicion
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43876
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hakam Musais
"Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, pilkada bukan lagi pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis, sampai saat ini juga masih menimbulkan perdebatan apakah dilaksanakan secara langsung atau dapat pula melalui perwakilan. Kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada di Indonesia telah beberapa kali berpindah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, lalu dikembalikan kepada Mahkamah Agung, dan terakhir secara normatif diberikan kepada badan peradilan khusus. Alih-alih menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 untuk mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada, pembuat undang-undang justru mengembalikan kewenangan penyelesaian hasil pilkada untuk sementara waktu kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun badan peradilan khusus harus dibentuk paling lambat pada tahun 2024, sebelum dilaksanakannya pilkada serentak nasional, sampai dengan saat ini masih belum ada pembahasan serius untuk mencari format ideal penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Terlepas dari hal tersebut, pada praktik ketatanegaraan di negara lain telah dikenal electoral court yang secara khusus mengadili perselisihan hasil pilkada. Namun demikian, pengaturannya dilandasi oleh pencantuman kewenangan lembaga tersebut pada konstitusi. Dari fakta pengalaman dalam mengadili perselisihan hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi diakui oleh berbagai kalangan lebih baik daripada Mahkamah Agung. Untuk itu, penyelesaian perselisihan hasil pilkada sebaiknya diberikan kembali kepada Mahkamah Konstitusi.

Post-decision of the Constitutional Court Number 97/PUU-XI/2013, regional election is no longer as an election mentioned in the Article 22E of the 1945 Constitution of the Repuublic of Indonesia. Until now, debates about provisions of the Article 18 paragraph (4) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, especially about regional heads are democratically elected, should be applied by direct regional election or indirect regional election. The authority to resolving disputes over regional elections results in Indonesia has moved from Supreme Court to Constitutional Court, then returned to the Supreme Court, and finally its given to the special judicial bodies. Instead of executing the Constitutional Courts Decision Number 97/PUU-XI/2013 to regulate about institution to resolve disputes over regional election, law makers even give the authority back to the Constitutional Court, as a temporarily authority until the Special Judicial Bodies established. Although the Special Judicial Bodies should be formed before years of 2024 which is simultaneously national election are held, there are no serious discussion from the lawmakers to have an insight for an institution to resolving the disputes over regional election results. Even though, constitutional practices in other countries began to introduce electoral court as a special judicial bodies to resolving disputes over regional elections results. However, it based on the provision on their constitution. From the fact of experiences in resolving disputes over regional elections results, Constitutional Court is better than the Supreme Court was. For this reason, the authority to resolving disputes over regional elections results, is way much better if returned to the Constitutional Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Sudrajat
"Tesis ini menganalisis paradoks tidak diaturnya perlindungan pelapor pelanggaran pada Undang-Undang tentang Pemilu dan Undang-Undang tentang Pilkada. Alasannya terlaksananya pemilu dan pilkada yang demokratis sangat membutuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut awasi pemilu, tidak dapat hanya diserahkan kepada Bawaslu karena berbagai keterbatasannya. Terlebih tren pelaporan dugaan pelanggaran oleh masyarakat terus mengalami penurunan baik di pemilu maupun pilkada. Tesis ini bermaksud menjawab apa saja yang menjadi paradoks tidak diaturnya perlindungan pelapor dalam UU Pemilu dan UU Pilkada serta bagaimana konsep ideal dari pengaturan perlindungan yang seharusnya diatur. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus, berhasil ditemukan bahwa konstruksi perlindungan pelapor dalam UU Pemilu dan UU Pilkada kontradiksi terhadap empat aspek, yakni terhadap makin strategisnya peran pelapor, meningkatnya jumlah ketentuan pidana dan administrasi pada UU Pemilu dan Pilkada, kuatnya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan kontradiksi terhadap perluasan perlindungan pelapor. Dengan berbagai pendekatan yang dilakukan disimpulkan idealitas perlindungan terhadap pelapor pelanggaran pemilu dan pilkada adalah dengan cara merumuskan ketentuan perlindungan preventif melalui pemberian kewajiban bagi Lembaga terkait untuk melindungai pelapor, perahasiaan identitas pelapor dan sanksi bagi pembocor identitas pelapor, serta larangan pembalasan dendam dan sanksi berat terhadap pelanggaran tersebut. Pengaturan preventif itu akan menyempurnakan konsep perlindungan pelapor di Indonesia yang saat ini secara represif telah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dan lebih menjamin menciptakan iklim perlindungan pelapor yang kondusif dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada di Indonesia.

This thesis analyzes the paradox of the unregulated protection of election fraud complainant in the Law on General Election and Regional Head Election. The reason is that the implementation of democratic elections requires public participation to participate in supervising the elections, it cannot only be left to Bawaslu because of various limitations. Moreover, the trend of reporting alleged violations by the public continues to decline both in the general election and regional head elections. This thesis intends to answer what is the paradox of the unregulated protection of election fraud complainant in the Election Law and the Regional Election Law and how the ideal concept of the protection arrangement should be regulated. By using a statutory approach, conceptual approach, and case approach, it was found that the construction of the protection of whistleblowers in the Election Law and the Regional Head Election Law contradicts four aspects, namely the increasingly strategic role of reporters, the increasing number of criminal and administrative provisions in the Election and Regional Head Election Law, the strong guarantee of the protection of human rights, and the contradiction to the extension of the whistleblower protection. With the various approaches taken, it is concluded that the ideal of protection for whistleblowers of election and regional election violations is to formulate preventive protection provisions through the provision of obligations for relevant institutions to protect the whistleblower, confidentiality of the reporter's identity and sanctions for whistleblowers' identity, as well as prohibition of retaliation and severe sanctions for violations. the. This preventive arrangement will improve the concept of protecting whistleblowers in Indonesia, which is currently repressively regulated in the Witness and Victim Protection Law and will further guarantee to create a climate of protection for whistleblowers that is conducive to the implementation of general elections and local elections in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Maulana
"Tesis ini mengkaji tentang perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dan permasalahan konstitusionalitas pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini. Masalah konstitusional kedudukan wakil kepala daerah dan persoalan pemaknaan pemilihan kepala daerah secara demokratis haruskah untuk seluruh daerah, termasuk daerah istimewa menjadi bagian dari kajian. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konsep juga pendekatan sejarah digunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian. Bahan hukum yang ada dianalisis dengan menggunakan silogisme dan interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya pernah diberlakukan pengaturan pengisian jabatan kepala daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah tersebut dipengaruhi dan ditentukan oleh corak peraturan perundang-undangan otonomi daerah yang ditetapkan oleh rezim pemerintahan yang berlaku. Pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini tidak memiliki landasan konstitusional yang kuat.
Dasar hukum pelaksanaannya cenderung merujuk pada politik hukum dari pembentuk undang-undang yang menafsirkan makna pemilihan demokratis sebagai pemilihan umum. Kedudukan Wakil Kepala Daerah dan pemilihan umum untuk memilih wakil kepala daerah yang dilaksanakan satu paket dengan kepala daerah meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam konstitusi adalah konstitusional. Pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan demokratis tidak harus dimaknai dengan pemilihan langsung untuk seluruh daerah. Menurut konstitusi pengaturan pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berbedabeda untuk setiap daerah termasuk untuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa.

This thesis examines the development of position filling mechanism of regional and vice regional head in the constitution that has been issued by Indonesian Government before and the constitutionality of position filling problem through the current elections of regional and vice regional head. The constitutional position problem of the Vice Regional Head and meaning issue in democratic local elections, whether or not it should be for the entire region including a special area, becomes part of the study. This study examines the use of normative legal research methods. Law approach, case and concept approach, and historical approach are used to assess research problems. Legal materials are analyzed by using syllogisms and interpretation.
The results show that the development of position filling mechanism of the regional and vice regional head amended from time to time. In its development, direct and indirect position filling regulations have ever been imposed. Changes in the mechanism of position filling of the regional head is affected and determined by the mode of legislation of regional autonomy regime stipulated by government regulations. The position filling through the current elections of regional and vice regional head does not have a strong constitutional basis.
The legal basis for its implementation tends to refer to the legal politics of the legislators who interpret the meaning of democratic elections as elections.Position of Regional Head and general elections to elect representatives of regional heads that was conducted together with the head region election is constitutional, although not set explicitly in the Constitution. Filling the position of the regional head through democratic elections should not be interpreted as direct elections for the entire region. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of government, including special regions. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of local government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30110
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Anggraini
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kerangka hukum pemilihan kepala daerah secara langsung di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam kaitan dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu juga menjelaskan tentang proses, mekanisme, dan bentuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung dalam kerangka otonomi khusus sebagaimana diamndatkan UU No. 18 Tahun 2001. Tesis ini juga dibahas tentang apa saja persoalan hukum yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akibat penerapan otonomi khusus sesuai UU No. 18 Tahun 2001.

ABSTRACT
This thesis analyzes the legal framework of the election for head and vice head of region in Nanggroe Aceh Darussalam Province in the relation with the implementation of Law No. 18 Year 2001 on Special Autonomy for Aceh Special Region Province as Nanggroe Aceh Darussalam Province. Beside that this thesis also explaining the process, mechanism, and form of the implementation of direct election for head and vice head of region in the framework of special autonomy in Aceh as mandated in Law No. 18 Year 2001. This thesis also analyzes the legal problems that arise as impact of the implementation of direct election for head and vice head of region in the framework of special autonomy in Aceh as mandated in Law No. 18 Year 2001."
2009
T26173
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adharinalti
"Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji substansi pemilu dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. 2) mengkaji peran Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutuskan sengketa hasil penetapan pemilihan kepala daerah. 3) mengkaji kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan sengketa hail penetapan pemilihan kepala daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan empiris. Dalam penelitian normatif digunakan data sekunder berupa UUD 1945 dan Perubahannya, peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, rancangan peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan bacaan yang terkait dengan judul penelitian yang didapat melalui studi dokumen. Untuk menambah dan memperkuat data sekunder dilakukan wawancara dengan narasumber yaitu anggota DPR/MPR, hakim agung, LSM, dan beberapa hakim pengadilan tinggi karena kompetensi mereka yang berkaitan dengan judul penelitian. Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan data primer melalui penelitian empiris. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah kualitatif. Metode pembahasan masalah yang digunakan adalah metode analisis yuridis. Diperoleh hasil bahwa 1) pilkada secara demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tidak dapat serta merta diartikan sebagai pemilu melainkan harus memperhatikan pasal-pasal lain dalam UUD 1945 yaitu Pasal 18 B dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pilkada secara demokratis diartikan sebagai pilkada secara langsung (pilkadal) dan secara tidak langsung (melalui pengangkatan). Pilkadal harus diartikan sebagai bagian dari pemilu dalam rangka mengejawantahkan asas kedaulatan rakyat. Melalui sarana pilkadal diharapkan terlaksananya konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan bersama rakyat. 2) Lahirnya kewenangan MA untuk menyelesaikan sengketa penetapan hasil pilkadal didasarkan pada adanya penggolongan pilkadal sebagai bagian dari pemerintahan daerah. Mengingat banyaknya tugas MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan dalam memutus perkara-perkara dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang serta ketidakcocokan penggunaan hukum acaranya, maka perlu kearifan dari semua pihak untuk tidak memberikan kewenangan penyelesaian sengketa pilkadal kepada MA. 3) Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pilkadal merupakan bagian dari pemilu sehingga asas-asas dari pemilu berupa jurdil dan luber juga diberlakukan termasuk kewenangan KPU sebagai institusi penyelenggara pilkadal yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Jika ada perselisihan mengenai hasil pilkadal haruslah diartikan sebagai bagian dari perselisihan hasil pemilu sehingga menurut Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang dalam menyelesaian sengketa penetapan hasil pilkadal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Yudha Pratama Hulu
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan Bawaslu dalam penyelesaian perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan Bawaslu dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia serta menjelaskan sejauh mana hukum acara Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kedudukan Bawaslu dalam pertimbangan putusan perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal serta analisis Putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden dari tahun 2009 hingga 2024. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa Bawaslu merupakan pihak pemberi keterangan dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, Bawaslu juga diberi kewenangan untuk menghadirkan saksi atau ahli dalam proses persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden masih belum sempurna. Dalam mempertimbangkan putusannya, Hakim Konstitusi juga masih bergantung pada keterangan Bawaslu. Mahkamah Konstitusi juga dalam putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden mengesampingkan dalil permohonan Pemohon ketika ditemukan bahwa Bawaslu telah menangani perkara tersebut, terlepas apakah proses di Bawaslu telah dilakukan secara benar atau tidak. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Pemilihan Umum, serta peraturan perundang-undangan di bawahnya guna memperbaiki tata cara penanganan pelanggaran pemilu di Bawaslu serta menyempurnakan hukum acara PHPU Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi.

This undergraduate thesis discusses the position of General Election Supervisory Agency (Bawaslu) in the resolution of Dispute over the Results of Presidential General Elections (PHPU of the President and Vice President) in the Constitutional Court. The purpose of this research is to determine the position of Bawaslu in the PHPU of the President and Vice President in Indonesia and to explain the extent to which the procedural law of the Constitutional Court considers the position of Bawaslu in the consideration of the decision of the PHPU case of the President and Vice President in Indonesia. This research was conducted using doctrinal legal research methods and analysis of PHPU decisions of the President and Vice President from 2009 to 2024. Based on the results of this study, it was found that Bawaslu is a party providing information in the PHPU case of the President and Vice President. In addition, Bawaslu is also entitled to present witnesses or experts in the PHPU trial of the President and Vice President. However, the procedural law of the Constitutional Court in dealing with the PHPU cases of the President and Vice President is still not perfect. The Constitutional Court often relies on Bawaslu's testimony in reaching its decision. The Constitutional Court has also often rejected the petitioner's arguments when it found that Bawaslu had handled the case, regardless of whether or not Bawaslu's procedure was correct. To solve these problems, amendments to the Constitutional Court Law, the General Election Law and the laws and regulations under them are needed to improve the procedures for handling election violations in Bawaslu and to improve the procedural law for the PHPU president and vice-president by the Constitutional Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>