Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33876 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Panitia Peringatan HUT ke-32 Perjanjian Persahatan Indonesia-Mesir, 1978
327 SEK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Mbalik
"ABSTRAK
Pembendungan oleh Amerika di Eropa Barat, merupakan salah satu hal penting bagi kebijakan luar negeri Amerika di Eropa Barat pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Pembendungan yang diwujudkan dalam bentuk persekutuan NATO yang ditandatangani sejak tahun 1949 itu, telah menguntungkan kedua belah pihak dan relatif telah mewujudkan kapabilitas yang memadai dan pertahanan yang stabil di kawasan Eropa Barat.
Dalam pembendungan itu telah disetujui bahwa ancaman dari pihak musuh terhadap salah satu anggota NATO, dianggap merupakan ancaman bagi anggota lainnya. Oleh karena, adalah kewajiban semua anggota dalam persekutuan untuk memberi bantuan secara penuh.
Kesepakatan itu direvisi pada tahun 1979. Di dalam kesepakatan Baru ditegaskan bahwa NATO menggelarkan Pershing II dan Misil Penjelajah Amerika sebelum perundingan dengan Sovyet mengenai pembatasan penyebaran misil diadakan. Kesepakatan ini disebut dengan "Two Track Decision" kebijakan dua jalur.
Dengan demikian Amerika dapat mengkonsentrasikan kekuatannya di posisi yang strategis yang disediakan oleh dan dikawasan Eropa Barat untuk menghadapi ekspansionis Uni Sovyet. Di lain pihak, Eropa Barat bisa mengurangi anggaran pertahanan karena keamanannya sudah dijamin oleh Amerika. Oleh karena itu Eropa Barat dapat memusatkan perhatiannya untuk memperbaiki kemerosotan ekonominya.
Sejak tahun 1981 Amerika menganggap bahwa Uni Sovyet makin menunjukkan ambisinya untuk memperluas komunis ke Eropa. Misalnya Uni Sovyet mendukung Pemerintah Polandia memberlakukan Undang-Undang Perang, menjadikan Polandia sebagai pemerintahan komunis, dan mencabut perlindungan hukum terhadap kelompok Solidaritas Polandia. Tindakan-tindakan Uni Sovyet ini merupakan ancaman serius bagi Amerika dan Eropa Barat."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawati
"ABSTRAK
Kemiskinan dan keterbelakangan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP, Segala bantuan dan keistimewaan yang diberikan UE sejak tahun 1975 -bahkan beberapa negara lebih lama lagi- tidak mampu secara signifikan melepaskan diri dari lingkaran keterpurukan. Alih-¬alih mengalami kemajuan pesat, Negara-negara ACP terutama di Sub Sahara Afrika, terus-menerus didera pertikaian, politik, etnis, dan agama yang tidak berkesudahan.
Tahun 2000, Konvensi Lome antara ACP-UE yang telah empat kali diperbaharui berakhir. Negosiasi baru yang telah dimulai sejak 1998 akhirnya menyepakati Perjanjian Cotonou yang berlaku efektif 1 April 2003. Perjanjian Cotonou merupakan babak baru hubungan ACP-UE karena di dalamnya beberapa hal baru diperkenalkan dan beberapa hal yang menjadi chi Konvensi Lorne seperti Stabex dan Sysmin dihapuskan.
Tesis ini bermaksud melihat dimensi-dimensi baru dalam Perjanjian Cotonou. Setelah menganalisa dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Cotonou tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan Konvensi Lorne. ACP menerima Perjanjian Cotonou karena posisi tawarnya lemah terhadap UE. ACP masih mengharapkan bantuan teknis dan finansial dari UE sedangkan UE dengan perkembangan internal dan eksternal melihat posisi ACP tidak lagi sepenting sebelumnya. Tujuan UE terhadap ACP sekarang lebih eksplisit yaitu secepatnya mengintegrasikan ACP ke dalam perdagangan dunia yang bagi ACP tentu tidak mudah dan akan banyak mengorbankan kepentingan nasionalnya."
2007
T 20654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masyrofah
"Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina merupakan bagian dari sejarah yang dimiliki Timur Tengah. Di antara konflik-konflik yang terjadi, konflik Israel-Palestina merupakan konflik terlama dan belum sepenuhnya terselesaikan, Terobosan sangat signifikan yang dilakukan Israel dan PLO dalam konteks proses perdamaian di Timur Tengah ketika mereka mengadakan Kesepakatan Oslo I (13 September 1993) dan Kesepakatan Oslo II (28 September 1995). Namun, proses perundingan itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, baik dalam proses awal perjanjian maupun sampai pada tahap implementasi hasil kesepakatan.
Melihat fakta ini, PLO di bawah kepemimpinan Yasser Arafat bersama pejabat-pejabat senior PLO berupaya melakukan proses diplomasi dengan pihak Isarel, yang akhirnya menghasilkan Kesepakatan Oslo I dan II. Peran PLO dalam Kesepakatan tersebut, tidak terlepas dan tujuan PLO yang fungsinya berubah dari pembebasan Palestina menjadi pembangunan sebuah negara yang berdampingan dengan Israel. Alat-alat untuk mencapai tujuan tersebut telah berubah dari perjuangan militer menjadi diplomasi aktif. Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengajukan pertanyaan riset yaitu Bagaimana peranan PLO melalui jalur diplomasi aktif dalam Perjanjian Oslo I dan II ?
Untuk menjawab pertanyaan riset di atas, penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif yaitu metode studi kasus untuk memaparkan upaya-upaya PLO dalam proses perundingan tersebut serta faktor-faktor dan kendala-kendala yang mempengaruhi jalannya proses perundingan damai di Oslo. Yaitu dengan menganalisa upaya PLO dalam perundingan damai dengan Israel, serta sikap Israel terhadap proses perundingan tersebut. Kemudian proses awal perundingan hingga tercapainya Kesepakatan Oslo I dan II. Pada penyelesaian konflik Israel-Palestina ini, PLO menggunakan instrumen politik luar negeri berupa diplomasi aktif melalui mekanisme negosiasi. Terakhir, penulis menggambarkan peranan PLO sebagai aktor perunding yang terlibat aktif pada Perjanjian Oslo I dan II.
Berdasarkan sistematika penulisan yang telah diuraikan secara singkat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa peran PLO dalam perjanjian Oslo I dan II dilandaskan pada tujuan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina melalui meja perundingan serta mendirikan Negara Palestina Merdeka.

The conflict between Israel and Palestine is part of the history of the Middle East. Among the many conflicts that have occurred in the Middle East, the Israeli-Palestine conflict is the longest conflict, which has not completely been solved. The significant breakthrough in the context of the peace process in the Middle East, however, are made by Israel and PLO in Oslo Agreement I (September 13, 1993) and Oslo Agreement II (September 28, 1995). However, the agreement process did not run smoothly as had been expected, both in the initial process of the agreement and in the stage of its implementation.
From the beginning, PLO under the leadership of Yasser Arafat along with his senior officials had launched diplomatic initiatives with Israel, which led to Oslo Agreement I, and U. The role the PLO played in the Agreement was closely related to the PLO goals whose functions had changed from Palestine liberation to the development of a state in co-existence with Israel. The tools to achieve that goal have been changed from military struggle to active diplomacy. From what has been described above, the writer put forth the research question, i.e. what is the role of PLO through active diplomacy-in Oslo Agreement I and II?
To answer the above research question, the writer has adopted qualitative methodology, i.e. case study method to make clear the efforts of the PLO in the agreement process as well as the factors and constraints which had influences on the peace process in Oslo. This is done by analyzing PLO efforts in the peace process with Israel, the Israeli attitude toward the peace process and then the initial process of the agreement up to the achievement of Oslo Agreement I and IL In the resolution of Israeli-Palestine conflict, the PLO has adopted a foreign policy instrument in the form of active diplomacy through negotiation. In the last part, the writer has described the role of the PLO as an active actor in Oslo Agreement I and II.
Based on the above description, the writer has come to the conclusion that the role of the PLO in Oslo Agreement I and II was based on the goal to end the Israeli- Palestine conflict by means of negotiation and to establish an Independent Palestine State.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwu, Stephanus Waraney
"Sebagai sebuah organisasi kerjasama regional di Asia Tenggara yang berdiri sejak tahun 1967, ASEAN telah membuktikan dirinya menjadi sebuah organisasi yang kuat dan solid, berkembang dari awalnya 5 negara, kini menjadi 10 negara. Kekuatan ini terletak pada adanya keinginan ASEAN untuk mengembangkan diri dalam suatu kerjasama bersama yang dilandasi prinsip saling membangun satu dengan lainnya.
Setelah Perang Dingin berakhir berbagai negara di dunia termasuk juga di ASEAN dituntut untuk lebih memahami berbagai isu global baru yang berkembang antara lain gender, penjualan anak di bawah umur, narkotika, terorisme, trans national crime, serta isu-isu lainnya.
Salah satu isu penting adalah Hak Azasi Manusia (HAM). Dunia sedang mengalami sebuah masa dimana HAM merupakan salah satu indikator penting dalam mengembangkan kerjasama internasional. Fenomena yang terjadi adalah apabila ada negara yang dianggap melanggar HAM, maka dunia internasional atas nama kemanusiaan, dapat mengambil berbagai tindakan, baik secara langsung, misalnya pengiriman pasukan perdamaian ; ataupun tidak langsung, misalnya lewat kritik-kritik dan tekanan atau kecaman dari negara lain terhadap negara yang dianggap melakukan pelanggaran HAM.
ASEAN juga mengalami hal yang sama. Disatu sisi, konflik yang terjadi di dalam negara anggota ASEAN adalah masalah dalam negeri, sehingga sangat tidak tepat apabila ada pihak luar yang ikut campur. Tapi mengingat korban yang jatuh kebanyakan masyarakat yang tidak berdosa (sipil) dan hak-hak sipil mereka terkekang, maka sudah selayaknya ASEAN melakukan sebuah tindakan yang tepat, tanpa ada satu pihak yang merasa dirugikan haknya.
Untuk itulah, thesis ini mencoba melihat sejauh mana HAM berpengaruh di ASEAN. Kunun waktu yang diangkat adalah tahun 1997-2000, dimana pada waktu tersebut terjadi sebuah krisis ekonomi di Asia yang menyebabkan berbagai perubahan, antara lain ekonomi, sosial-budaya, termasuk politik di banyak negara di ASEAN. Salah satu akibat perubahan itu adalah timbulnya berbagai pelanggaran HAM di banyak negara anggota ASEAN tersebut.
Dalam thesis ini dipaparkan pula berbagai bentuk kerjasama (multi track diplomacy) yang berkaitan dengan HAM, antara lain jalur government to government (G to G), misal lewat KIT di ASEAN ; dan government to non-government, antara lain Working Group on ASEAN Human Rights Mechanism. Pandangan para ahli atau pakar juga dimasukkan sebagai bentuk concern mereka terhadap pengembangan kerjasama dalam bidang HAM di ASEAN.
Tindakan yang selanjutnya dapat diambil oleh ASEAN haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip kerjasama (cooperation) yang mencerminkan kehendak bersama ASEAN, dan negara-negara anggotanya untuk menghormati prinsip-prinsip universal Hak Azasi Manusia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairil Patria
"Hubungan yang strategis antara Turki dan Amerika Serikat telah terjalin sejak Perang Dunia II. Akan tetapi pada waktu tertentu, kebijakan Turki mengalami perubahan atau pasang surut di dalam merespons kebijakan Amerika Serikat. Seperti misalnya dalam Perang Teluk I tahun 1991, Turki sangat mendukung kebijakan Amerika Serikat dalam serangan ke Irak, akan tetapi pada Perang Teluk tahun 2003, Turki tidak mendukung bahkan menentang kebijakan Amerika Serikat untuk menyerang Irak. Meskipun dijanjikan hal yang sama seperti dalam Perang Teluk 1 yaitu paket bantuan ekonomi yang besar dari Amerika Serikat ke Turki, sikap Turki pada Perang Teluk tahun 2003 sangat berbeda dengan sikap Turki pada tahun 1991. Tesis ini disusun untuk meneliti permasalahan bagaimana kebijakan Turki merespons Perang Teluk yang terjadi baik pada tahun 1991 maupun 2003 dimana terdapat perbedaan yang besar di antara kedua peristiwa tersebut baik dilihat dan segi penyebab maupun cara serangan yang dilakukan terhadap Irak.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini disusun dari segi pengumpulan data dan analisanya. Dari segi pengumpulan data, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan dari segi analisa data, metode yang digunakan adalah analisa eksplanatif. Sedangkan konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah kebijakan luar negeri yang menggunakan teori K.J. Holsti sebagai rujukan ulama seperti yang ditulis dalam bukunya Inlernalional Polities : A Framework for Analysis. Lebih lanjut menurut K.J. Holsti, dari sebuah kebijakan luar negeri, terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal/sistemik dan faktor internal/domestik. Selain teori Holsti, penulis juga memaparkan teori-teori lain mengenai kebijakan luar negeri sebagai pendukung.
Penulis menemukan banyak hal penting dalam melakukan studi ini dimana kebijakan Turki terhadap serangan Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 adalah sebuah dilema. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri Turki berubah. Serangan yang dilakukan Amerika Serikat ke Irak antara tanggal 20 Maret sampai dengan 1 Mei 2003 itu dinilai seharusnya mendapat dukungan Turki sebagai salah satu sekutu dekatnya di kawasan tersebut namun di lain pihak, karena adanya penolakan dari negara-negara Uni Eropa seperti Jarman dan Perancis terhadap rencana serangan tersebut, menjadi mempengaruhi pemikiran elite Turki terutama jika dikaitkan dengan pengalaman buruk Turki dengan Amerika Serikat pasca Perang Teluk tahun 1991. Selain itu, keinginan kuat Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa menambah kebingungan Turki dalam mengambil sikap ke arah mana kebijakan luar negeri Turki : pro Amerika Serikat atau pro Eropa ? Berdasarkan hasil analisa penulis, sikap ketidakikutsertaan Turki dengan menolak wilayahnya dijadikan basis pangkalan militer Amerika Serikat untuk menyerang Irak pada tahun 2003 merupakan sebuah pengecualian dari hubungan persekutuan yang strategis antara Amerika Serikat dan Turki selama ini. Dan beberapa faktor yang ada, faktor internal/domestiklah yang merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kebijakan Turki terhadap serangan Amerika Serikat ke Irak khususnya karena kondisi perekonomian Turki yang dilanda krisis parah sejak tahun 2001.
Sebagai penutup, setelah serangan ke Irak terjadi dan rezim Saddam Hussein jatuh pada bulan Mei 2003, sikap Turki menjadi inkonsisten karena kemudian Turki membantu Amerika Serikat mengerahkan pasukannya ke Irak pada bulan Oktober 2003 dengan tujuan untuk stabilisasi di Irak. Kenyataan bahwa meskipun Amerika Serikat banyak dikecam oleh rakyat Turki atas langkah-langkah yang dilakukannya terhadap Irak, Turki tetap masih bergantung kepada Amerika Serikat dengan alasan Amerika Serikat adalah sekutu dekatnya dan sebagai negara super power di dunia baik di bidang ekonomi maupun di bidang militer. Kembalinya dilihan Turki kepada Arnerika Serikat -setelah penolakan Parlemen Turki kepada rencana serangan Amerika Serikat tidak lain adalah karena ketergantungan Turki yang besar secara ekonomi dan keamanan kepada Amerika Serikat. Pengiriman pasukan Turki ke Irak tersebut kembali dilakukan setelah adanya Perjanjian Keuangan antara Turki dan Amerika Serikat tanggal 22 September 2003 dimana Amerika Serikat menyediakan pinjaman uang kepada Turki sebesar 8,5 milyar dollar AS untuk membantu reformasi ekonomi di Turki. Di lain pihak, terdapat keinginan Turki yang kuat untuk menjadi anggota Uni Eropa seperti yang ditegaskan dalam tujuan utama kebijakan Turki. Hal ini juga dimaksudkan Turki untuk segera menuntaskan krisis ekonominya sehingga timbul kesan Turki ingin meraih kedua tujuan tersebut padahal sikap Eropa dan Amerika Serikat pada saat serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 sangat bertolak belakang dimana Eropa menentang penanganan masalah Irak secara sepihak oleh Amerika Serikat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhanty Yusmar
"Tesis ini membahas mengenai aspek pertahanan dan keamanan dart kebijakan luar negeri AS terhadap Irak dengan fokus pada upaya pencegahan pengembangan Weapons of Mass Destruction atau yang dikenal dengan senjata pemusnah massal pada periode tahun 1991-2000.
Pada tesis ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Adapun yang menarik bagi penulis adalah mekanisme dan kebijakan AS terhadap pengembangan WMD Irak dan tanggapan masyarakat international atas mekanisme kebijakan AS tersebut yang berupa penggunaan kekuatan militer.
Secara konsisten, kebijakan AS terhadap Irak berfokus pada tiga area utama, yaitu : 1) upaya untuk menghadapi tantangan dari rezim Saddam Hussein yang menurut AS melanggar dasar HAM terhadap suku syiah dan kurdi. 2) masalah tantangan terhadap kebijakan AS pada sistem keamanan regional dan gelombang supplai minyak. 3) masalah tantangan AS pads upaya pencegahan pengembangan WMD yang dilakukan Irak. AS melihat potensi pengembangan WMD di Irak sebagai sebuah ancaman yang cukup serius. Irak dianggap AS sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar bagi pengembangan dan penggunaan WMD. Hal ini nampak dari kepemilikan Irak atas unsur-unsur yang berkaitan dengan pembuatan dan pengembangan WMDnya yang melebihi batas-batas yang ditentukan oleh aturan international.
Dalam upaya meneegah pengembangan WMD Irak ini, AS menggunakan media antara lain : sanksi ekonomi berupa penghentian ekspor minyak Irak dan isolasi diplomatik yang sejauh ini dianggap kurang efektif, sehingga kebijakan AS pun terus berkembang sampai pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan secara berkala.
Metode penelitian yang digunakan adalah desciptive research dengan memaparkan data-data yang ada dan menganalisa data-data tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun kerangka pemikiran menggunakan pendapat antara lain dari Crabb, yang membagi kebijakan luar negeri menjadi dua elemen yaitu : tujuan nasional dan cara-cara mencapainya, teori Rosseau mengenai variabel yang mempengaruhi fondasi politik luar negeri, Kegley dan Wittkopft serta Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri. Ditambahkan dengan konsep Hartman dan Wendzel mengenai mengukur ancaman, Russet mengenai pengaruh belief system pada kebijakan luar negeri, serta teori propaganda yang dikemukakan oleh Qualter dan Young.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS terhadap Irak dalam isu WMD pada tiga fase kepemimpinannya yaitu: George Bush (senior), Clinton I dan Clinton II memiliki tingkat kesuksesan sebagai berikut penyerangan yang dilakukan AS dapat dikatakan sukses hanya pada tingkatan jangka pendek, yakni penggunaan kekuatan militer tersebut mampu membuat Irak berjanji untuk mau bekerja sama dengan UNSCOM dan mematuhi resolusi yang ditetapkan oleh PBB, walaupun kemudian Irak selalu mengingkari janjinya tersebut, namun untuk jangka panjang belum bisa dikatakan sukses, melihat tujuan AS yang utama adalah menurunkan rezim Saddam Hussein karena dianggap sebagai ujung dari hapusnya potensi WMD Irak.
Adapun tanggapan yang datang baik dari negara-negara besar maupun negara-negara tetangga Irak sendiri sedikit unik. Negara-negara tersebut berpedoman bahwa isu terpenting di Irak adalah bagaimana menghilangkan potensi ancaman WMD yang ada di Irak. Namun pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS secara berkala itu, membuat negara-negara tersebut merasa bahwa penggunaan kekuatan militer tersebut tidak membuahkan hasil yang sesungguhnya tetapi hanya merupakan usaha propaganda bagi pemenuhan kepentingan nasional AS sendiri, yaitu penurunan rezim Saddam Hussein dan penggunaan minyak di Irak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Santoso
"Memasuki dekade 1990-an, isu republik kembali muncul dalam wacana masyarakat Australia. Pada tahun 1993, jajak pendapat menunjukkan adanya peningkatan secara berarti terhadap dukungan untuk menjadikan Australia sebagai sebuah republik.
Ada faktor-faktor tertentu yang mendorong peningkatan dukungan ini. Faktor-faktor tersebut datang dari dalam negeri Australia sendiri (internal) maupun dari luar Australia (eksternal). Sejauh mana faktor itu berpengaruh dalam peningkatan dukungan terhadap republik pada tahun 1993, adalah permasalahan pokok yang diangkat dalam tesis ini.
Peningkatan dukungan terhadap republik di tahun 1993 itu, tidak bisa hanya dipandang sebagai sekedar angka statistik belaka. Sesungguhnya fenomenon itu menggambrakan terjadinya sebuah proses dalam tubuh masyarakat Australia. Dukungan yang meningkat terhadap republik menunjukkan adanya pergeseran dalam budaya politik. Dukungan ini juga menunjukkan adanya pengerasan dalam jati diri (identitas) Australia sebagai sebuah bangsa, sehingga di sana ada pula proses nation building. Dengan demikian dukungan terhadap republik merupakan juga upaya membangun sebuah struktur dan peran politik baru. Dalam kalimat yang lebih singkat dukungan ini menggambarkan sebuah proses pembangunan politik.
Tidak seperti yang dibayangkan, persoalan dukungan itu tidak melulu akibat adanya dorongan dari dalam negeri Australia. Fakta dan data yang ada menunjukkan bahwa pengaruh internasional memainkan peran pula pada gagasan membentuk republik, utamanya di dekade 1990-an, setelah perang dingin berakhir.
Untuk membahas persoalan tersebut, tesis ini menggunakan teori-teori pembangunan politik dari Lucian Pye, Gabriel Almond, Bingham Powell, serta Walker Connor. Juga dicoba gunakan teori citra dari Kenneth E. Boulding untuk menganalisa konteks hubungan intemasional dalam masalah republik ini.
Metode penelitian yang dipergunakan adatah penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan (library research) dengan mengandalkan data dan informasi yang dianggap relevan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isu republik memang merupakan bagian dari pembangunan politik Australia yang terns berjalan. Proses menuju republik terus bergulir dan belum menunjukkan kepastian. Meskipun begitu, diterima atau ditolaknya republik sebagai pranata baru Australia tetap menunjukkan sebuah proses perubahan dalam negara itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Beginda Anwar Teguh
"Tesis ini membahas krisis global HIV/AIDS dan upaya penanggulangannya melalui penerapan deklarasi komitinen di seluruh negara di dunia. Topik ini berkaitan dengan agenda dan hubungan internasional antara organisasi internasional dengan negara serta pihak-piliak lain yang ada kaitannya dengan penanggulangan HIV/AIDS di dalaln civil society, seperti organisasi masyarakat, jaringan orang dengan HIV/ADS dan lembaga penelitian. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana kerjasama UNAIDS dan Indonesia dalam menindakianjuti Deklarasi Komitmen Sidang Umum PBB tentang HIV/AIDS antara tahun 2001-2003: perkembangannya, penerapannya dan kendalanya.
Dalam penelitian ini kerangka pemikiran yang digunakan adalah teori transnational relations untuk membahas arah komitmen kebijakan,, strategi dan program aksi kerjasama UNAIDS dan Indonesia.
Kesimpulan yang diperoleh adalah:
Adanya ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan dan merespon komitmen yang dibuat dan dituangkan dalam Deklarasi Komitmen Majelis Umum PBB untuk HIV/AIDS tahun 2001 ke dalam kebijakan-kebijakan politik, hukum, sosiai dan aksi-aksi yang nyata untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Selain itu, upaya Pemerintah Indonesia dan UNAIDS saat ini masih belum melibatkan pihak swasta terutama kalangan bisnis. Kendala lainnya adalah: Luasnya wilayah Indonesia menyulitkan upaya penyebaran informasi. Tidak adanya koordinasi, standard baku serta pengawasan dan evaluasi yang tidak optimal. Minimnya pendanaan, minimnya kuaiitas sumber daya manusia yang dapat mempersiapkan dan memfasilitasi lembaga donor atau dana global untuk HIVIAIDS,t idak adanya koordinasi pemberian bantuan oleh UNAIDS."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranti Puti Aisyah
"Studi mengenai motivasi Jepang mengeluarkan Kebijakan Second Phase of the Japanese Whale Research Program Under Special Permit In The Antarctic (JARPA II) Tahun 2005 merupakan studi kasus mengenai peran aktor-aktor domestik dan internasional dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan lingkungan suatu negara, khususnya dalam isu whaling.
Penelitian ini berisi mengenai kajian isu whaling negara Jepang. Jepang mengadopsi kebijakan scientific whaling sebagai usaha melanjutkan kegiatan whaling mereka pasca moratorium whaling komersial yang dikeluarkan International Whaling Commission (IWC) pada 1982. Program JARPA II merupakan program scientific whaling terkini dari pemerintah Jepang, yang semakin keras ditentang oleh masyarakat internasional, baik IWC, NGO lingkungan, maupun pemerintah negara lain.
Analisis dalam tulisan ini menggunakan kerangka pemikiran oleh Porter dan Brown, yang menyatakan bahwa pembentukan kebijakan lingkungan suatu negara dipengaruhi oleh sektor domestik yang diwakili pemerintah, struktur politik domestik, dan NGO lingkungan lokal, serta sektor eksternal yang diwakili oleh NGO lingkungan internasional, kelompok epistemik, dan sektor industri. Menurut Porter-Brown pula, terdapat hubungan yang saling terkait antaraktor yang disebutkan tersebut.
Hasil dari penelitian ini bahwa peran aktor elit birokrasi dominan dalam pembentukan kebijakan JARPA II. NGO lingkungan lokal Jepang cukup lemah dalam mempengaruhi kebijakan JARPA II. Sektor industri tidak mendapat keuntungan maksimal dari program JARPA II. Peran komunitas epistemik juga tidak dominan dalam pembentukan kebijakan lingkungan tersebut.
Dari temuan tersebut, dapat dinyatakan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan whaling Jepang, peran aktor domestik sangat dominan. Struktur politik domestik mempersulit keterlibatan masyarakat melalui NGO lingkungan lokal untuk mempengaruhi kebijakan tersebut. Peran NGO lingkungan internasional lebih pada memberi tekanan eksternal melalui pembangunan opini publik serta tekanan kepada sektor industri mengenai kebijakan scientific whaling Jepang.

Study about Japan's motivation on making Second Phase of the Japanese Whale Research Program Under Special Permit In The Antarctic (JARPA II) year 2005 is a study case of domestic and international actor's role on influencing environmental policy making process, especially on whaling issue.
This research focused on Japan's whaling issue. After International Whaling Commission (IWC) adopted moratorium of commercial whaling policy on 1982, Japan adopted scientific whaling policy as an effort to continue their whaling activity. JARPA II is the latest Japan scientific whaling program that received negative responses from IWC, international environment NGO, or other country's government.
Framework of thingking that used in this research is from Porter and Brown, which says that country's environment policy making is influenced by domestic actors (government, domestic politic structure, local environment NGO) and international actors (international environment NGO, epistemic community, dan industry). There are interconnected relations between these actors.
The result from this research is that for JARPA II policy making, the role of elite bureucrat is very dominant. Local environmental NGO's inluence on JARPA II policy making is very weak. Industry sector is not having maximum profit from JARPA II. Epistemic community also does not have dominant role on JARPA II policy making.
From these results, we can conclude that for Japan policy making process on whaling issue, the role of domestic actor is very dominant. Domestic politic structure complicates community involvement through environmental NGO on environmental policy making process. International environmental NGO's role is more on giving external pressure through building public opinion and pressure on industry sector on Japan's scientific whaling policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>