Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127948 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Seno Setyo Pujonggo
"Penelitian dalam tesis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan Rusia dan China memilih strategi Balancing dengan membentuk SCO terhadap ancaman yang diberikan Amerika Serikat di Asia Tengah. Metode penelitian dalam penelitian ini mengambil bentuk penelitian eksplanatif karena bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan faktor-faktor ancaman yang menyebabkan Rusia dan China membentuk SCO di Asia Tengah.Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini merupakan studi dokumen atau literatur. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini adalah teori milik Stephen M. Walt, yaitu Balance of Threat guna menganalisis level ancaman yang diberikan Amerika Serikat di Asia Tengah. Level ancaman tersebut terdiri dari Aggregate power, Proximate Power, Offensife Power dan Offensive Intention.
Temuan di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan Rusia dan China melakukan strategi Balancing terhadap ancaman Amerika Serikat di Asia Tengah adalah makin dekatnya kemampuan menyerang dari NATO karena perluasan keanggotaan NATO yang mengarah ke Eropa Timur dan berbatasan langsung dengan Rusia (Proximate Power). Dengan bertambahnya keanggotaan NATO dan makin dekatnya jarak menyerang NATO ke Rusia menyebabkan Rusia terancam akan pengaruhnya di Asia Tengah secara politik dan militer. Dalam sektor ekonomi, keinginan AS untuk membangun jalur pipa energy yang langsung menuju ke Eropa tanpa melewati Rusia sangat merugikan Rusia. Yang terakhir, dukungan AS yang diberikan kepada Georgia pada perang tahun 2008 menandakan bahwa AS memberikan sinyal mempunyai kemampuan menyerang yang baik jika perang tersebut harus mengarah pada Rusia. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T32592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rivai Ras
"Kelahiran negara-negara baru di Asia Tengah pada awal 1990-an yaitu Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan pasta runtuhnya Uni Soviet telah memunculkan dinamika politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan, baik intra negara-negara Asia Tengah maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia Tengah.
Dinamika tersebut menimbulkan masalah-masalah yang harus dihadapi oleh negara-negara Asia Tengah, antara lain masalah-masalah di perbatasan, perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang, separatisme dan fundamentalisme agama. Adanya masalah-masalah tersebut sangat berpengaruh terhadap stabilitas keamanan regional sehingga menjadikan kawasan Asia Tengah rawan akan konflik baik yang berasal dari dalam kawasan maupun di luar kawasan. Guna menjembatani hal tersebut negara-negara Asia Tengah bersama-sama dengan Rusia dan Cina pada 15 Juni 2001 mendeklarasikan berdirinya Shanghai Cooperation Organisation (SCO).
Eksistensi SCO menandai interaksi dan kerjasama baru dalam komunitas internasional di antara aktor-aktor yang di masa lalu berkonfrontasi serta merupakan tonggak untuk menangani masalah-masalah keamanan kawasan di Asia Tengah. Pada dasarnya eksistensi SCO bukan saja merupakan wadah interaksi intra regional antar kekuatan regional di Asia Tengah dan sekitarnya, namun juga wadah interaksi antar aktor-aktor dunia di kawasan tersebut. Interaksi tersebut dengan segala dinamikanya akan sangat berpengaruh pada pola hubungan internasional secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan bahwa di kawasan Asia Tengah setidaknya tiga negara hak veto Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat, Rusia dan Cina saling berinteraksi secara langsung saat ini dan ke depan dan hal ini akan sangat berpengaruh pada negara-negara lain di luar kawasan tersebut.
Dalam pembahasan tentang SCO ini, digunakan pendekatan konsep security communities seperti yang diungkap oleh Emanuel Adler dan Michael Barnett. Bentuk security communities lebih menekankan pentingnya kerjasama regional yang dapat memainkan peran perdamaian (peace role) dan berusaha untuk mengelola resolusi konflik antar negara anggota. Konsep ini juga merupakan model yang telah digagas oleh Karl W. Deutsch, dimana menggambarkan dinamika hubungan kerjasama negara-negara dalam melakukan tindakan resiprositas yang menyebar secara merata (diffuse-reciprocity) dalam melakukan interaksinya guna mengatasi perang atau konflik militer. Security communities pada hakekatnya bertujuan untuk mengubah norma dan sikap anggotanya untuk menciptakan penyelesaian masalah keamanan secara damai dengan menghindari adanya penyelesaian yang bersifat kekerasan sehingga dapat memperburuk hubungan antar negara.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan menerapkan pendekatan analisis data, sejarah dan fakta mass kini. Metode tersebut bersifat konfigurasional dan bersifat histories. Guna mendukung metode ini, dilakukan pengumpulan data dalam penelitian berdasarkan penelitian kepustakaan, baik berupa dokumen-dokumen, jurnal-jurnal ilmiah dan internet. Sedangkan pengolahan data dilakukan sesuai tingkat reliabilitas dan validitas serta disajikan dalam bentuk kualitatif.
Dengan adanya SCO, akan menjadikan organisasi ini sebagai penyeimbang bagi hubungan antar bangsa serta menjadi pelopor dalam menuju multipolarisasi dunia dan penciptaan security communities. Dengan perubahan dunia dari bipolar menuju unipolar dan kini menuju multipolar, SCO yang mengedepankan security communities memiliki prospek guna berperan secara lebih siginifikan dalam hubungan antar bangsa dalam kawasan Asia Pasifik secara umum dan Eurasia secara khusus."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elistania
"Tesis ini berfokus pada kerjasama Rusia-Tiongkok dalam Kerangka Shanghai Cooperation Organization (SCO) di tengah hubungan kedua negara yang fluktuatif. Adapun periode penelitian dari tahun 2001 hingga tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang menentukan terjadinya pasang surut hubungan Rusia-Tiongkok, merekonstruksi momentum 10 tahun SCO sebagai titik pangkal membaiknya hubungan Rusia-Tiongkok, preferensi kerjasama Rusia-Tiongkok dalam SCO, dan merumuskan dengan jelas konstruksi apakah yang ingin dibangun oleh Rusia dan Tiongkok dengan tetap mempertahankan kerjasama dan saling memperkuat masing-masing peran mereka di kawasan Assia Tengah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan kerangka Teori Konstruktivis Institusionalisme, Teori Struktur Sosial, dan Teori Great Power Management sebagai alat analisis. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun hubungan Rusia-Tiongkok mengalami pasang-surut, kedua negara tetap melakukan kerja sama dalam kerangka SCO. Adapun konstruksi yang dibangun ialah membangun tatanan dunia yang multipolar.

This research focuses on the Russian-Chinese partnership in the framework of the Shanghai Cooperation Organization (SCO) in the middle of the fluctuating relations between the two countries. The purpose of this research is to find the factors that determine the occurrence of fluctuation Russian-Chinese relations, reconstruct the momentum 10 years of SCO as a starting point for the improvement of Russian-Chinese relations, preference Russia-China partnership in the SCO, and formulate the construction to be built by Russia and China to maintain the cooperation and strengthen their respective roles in the Central Asia region.
This research used a qualitative approach. This research use the framework of Constructivist Institutionalism Theory, Theory of Structure Social, and Theory of Great Power Management as an analytical tool. The study found that despite fluctuated Russia-China relations, the two countries have formed a partnership within the framework of SCO. The construction was built shown to build multipolar world order.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candini Candanila
"Shanghai Cooperation Organisation (SCO) merupakan suatu kerjasama keamanan yang melibatkan Cina, Rusia, Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan. Kerjasama keamanan regional yang terbentuk pada tahun 2001 ini merupakan transformasi dari kerjasama The Shanghai Five yang terbentuk pada tahun 1996 dan beranggotakan seluruh anggota SCO kecuali Uzbekistan. Kerjasama SCO berfokus untuk memberantas terorisme, ekstremisme, dan separatisme yang kerap mengancam keamanan Cina, Rusia, beserta negara-negara Asia Tengah. Namun di balik isu keamanan non-tradisional yang diusung, ternyata Cina dan Rusia sebagai great power dalam kerjasama SCO memiliki kepentingan energi terhadap negara- negara Asia Tengah yang juga tergabung di dalamnya. Kepentingan energi Rusia dan Cina beserta kapabilitas nasional yang besar dari kedua negara great power tersebut tentunya memainkan peranan penting dalam pembentukan SCO maupun masa depan dari kerjasama keamanan tersebut. Usaha perluasan pengaruh di Asia Tengah maupun usaha untuk mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di Asia Tengah merupakan faktor-faktor dominan yang menentukan interaksi Cina, Rusia, dan negara-negara Asia Tengah dalam kerjasama SCO.

Shanghai Cooperation Organisation (SCO) is a security cooperation that involves China, Russia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, and Uzbekistan. The regional security cooperation that was established in 2001 is a transformation of The Shanghai Five, a cooperation that was established in 1996 and involved all of the current member states of SCO, except Uzbekistan. SCO focuses on eliminating terrorism, extremism, and separatism, the most prominent threats for China, Russia, and the Central Asian states. Non-traditional threats are undeniably the main focus of SCO, however the involvement of China and Russia in this institution are driven by their interests in Central Asia related to energy security. China and Russia?s energy interest, as well as their national capability, play important roles regarding the establishment of SCO and the future of this security cooperation. The attempts to spread influence and to balance US? influence in Central Asia are the dominant factors that determine the interaction between China, Russia, and Central Asian states in the SCO.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S45089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"In this article , the Islamic Republic of Iran's willingness to become a full member of the Shanghai Cooperation Organization (SCO) under the shadow of Iran's niclear tensions, which prepares the grounds for the establishment of the Shanghai five in 1996, its transformation to the SCO in 2001 and Post Cold War developments and the United States' presence in the region after the 9/11 terror attacks to the US ...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Utaryo Santiko
"Penelitian dalam tesis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor¬faktor yang menyebabkan Pemerintah Republik Federasi Rusia mengeluarkan kebijakan luar negeri untuk membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO). Faktor-faktor dimaksud terdiferensiasi menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan domestik.
Metode penelitian dalam penelitian ini mengambil bentuk penelitian eksplanatif karena bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan faktor¬faktor yang menyebabkan kebijakan Rusia untuk membentuk SCO. Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini merupakan studi dokumen atau literatur. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini terdiri atas beberapa terori, yaitu teori perumusan kebijakan luar negeri, teori kepentingan nasional, teori kerjasama intemasional. Teori perumusan kebijakan luar negeri digunakan untuk menerjemahkan faktor-faktor domestik dan eskternal yang menyebabkan kebijakan luar negeri Rusia untuk membentuk SCO. Untuk menjawab permasalahan itulah teori Kalevi J. Holsti diperlukan.
Dalam tulisannya, Holsti mengemukakan faktor-faktor internal maupun eksternal beserta indikatomya untuk menjelaskan bagaimana suatu kebijakan luar negeri diambil oleh suatu negara. Diantaranya adalah pengaruh struktur internasionaI, tindakan yang dilakukan aktor lainnya, perekonomian dunia, atribut nasional yang dimiliki negara, dan lain sebagainya. Teori kepentingan nasional dan kerjasama internasional digunakan untuk mengetahui tujuan kebijakan luar negeri Rusia, kepentingan nasional Rusia, dan alasan-alasan yang menyebabkan negara tersebut merasa perlu untuk membentuk SCO.
Temuan di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan Luar negeri Rusia untuk membentuk SCO, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, terdiferensiasi menjadi dua: faktor domestik dan faktor eksterbal. Faktor domestik juga terdiferensiasi menjadi dua, yaitu ancaman atas kepentingan nasional Rusia dalam sektor politik-keamanan yang berasal dari gerakan kelompok separatis etno-religius di Chechnya dan Dagestan, serta kepentingan ekonomi Rusia di Laut Kaspia. Faktor eksternal yang menyebabkan kebijakan luar negeri Rusia untuk membentuk SCO adalah: pertama, kepentingan Rusia di kawasan Asia Tengah, dan kedua, peranan dan kepentingan aktor-aktor eksternal di kawasan post-Soviet States.

This research is an attempt to identify factors that drove the Russian Federation decision to form the Shanghai Cooperation Organization (SCO) in 2001. This decision is an example of foreign policy. What are the Russian Federation government interests in the formation of SCO? What domestic pressure stands in? Is there any external pressure in the advent of this decision? Those are the main questions to be answered in this research. To answer those questions, I will use the foreign policy making model presented by KJ Holsti about external and internal factors in foreign policy making.
In his framework Holsti explains that foreign policy is influenced by international structure, actions taken by other actors, global economy, national attributes, and so on. In addition, I also use the concept of national interest and international cooperation to find out the goal of the Russian Federation in their decision to form the SCO.
By definition, this research is an explanatory research since it's seeks to analyze and identify the underlying factors behind the decision made by the Russian Federation. I'm employing literature study method in conducting this research.
In conclusion, I find out that there are a pairs of internal and external factors which stimulate the Russian Federation decision to build the SCO in 2001. The threat to the Russian Federation' security and politics that come from ethno¬religious movements of Chechnya and Dagestan is the first domestic factor in its decision to form the SCO."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24409
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rasyid Arifin
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan Amerika Serikat dalam pelarangan produk Huawei. Huawei yang memiliki pasar kecil di Amerika Serikat dan merupakan satu dari sekian banyak perusahaan telekomunikasi di dunia. Pemerintah Amerika Serikat melarang penggunaan Huawei dengan alasan keamanan nasional. Studi ini menggunakan kerangka pemikiran stakeholder Actions motif (SAM) yang dikembangkan oleh Jan-Frederik Kremer dan Benedikt Muller untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong pelarangan Huawei di Amerika Serikat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelusuran causal-process tracing (CPT) dengan pengambilan data melalui studi kepustakaan. Analisis tesis ini memberikan penjelasan faktor-faktor pelarangan Huawei di Amerika Serikat. Ada 3 faktor penting dalam kerangka berfikir SAM dalam pelarangan Huawei di Amerika Serikat. Pertama pada stakeholder, kebangkitan Tiongkok dalam teknologi serta teknonasionalisme dan hubungan Tiongkok-Huawei, Kedua actions yang berisi serangan siber Tiongkok kepada Amerika Serikat dan Ancaman yang dihadirkan Huawei terhadap Amerika Serikat, dan yang terakhir pandangan Amerika Serikat terhadap motif dari serangan siber yang terjadi yang pada akhirnya memiliki implikasi terhadap pemerintah AS. Analisis penelitian ini menunjukan bahwa faktor-faktor tersebut yang mendorong pemerintah AS mengambil kebijakan pelarangan Huawei di Amerika Serikat.

This thesis discusses the US policy in banning Huawei products. Huawei has a small market in the United States and is one of the many telecommunication companies globally. The United States government prohibits the use of Huawei for reasons of national security. This study uses the stakeholder actions motives (SAM) framework developed by Jan-Frederik Kremer and Benedikt Muller to analyze the factors driving Huawei's ban in the United States. This research uses the causal-process tracing (CPT) method by collecting data through a literature study. This thesis analysis explains the factors prohibiting Huawei in the United States. There are 3 important factors in SAM framework in banning Huawei in the United States. First is on stakeholders, China's rise in technology as well as technonationalism and China-Huawei relations, second is actions containing Chinese cyberattacks to the United States and threats that Huawei presents to the United States, and the last is the United States' view of the motives of cyberattacks that occurred which in turn has implications for the US government. The analysis of this research shows that these factors have prompted the US government to adopt a policy to ban Huawei in the United States."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gultom, Leonardis Arthur Parlindungan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas penetapaan oleh AS terhadap sejumlah negara sponsor kelompok terorisme. Pembahasan dilakukan untuk memahami bagaimana kebijakan AS tersebut dapat ditinjau sebagai deterrence yang mengalami perluasan konsep dan non tradisional. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian akan teridentifikasi variabelvariabel pembentuk deterrence yang dapat menangkal (denial) atau menghukum (punish) negara pendukung kelompok pelaku teror. Hasil penelitian ingin menyarankan pengembangan teori deterrence secara lebih luas dan penerapannya dapat lebih terukur efektivitasnya untuk memperkaya keilmuan dan kebijakan negara guna merespon ancaman terorisme internasional.

ABSTRACT
The thesis will discuss about the designation of state-sponsors of terrorism by the US upon several terrorist group supporting states. This discussion aims to build a comprehension on how the designation policy by the US could be reviewed as a broader, and a non-traditional concept of deterrence. Research is conducted with descriptive method on qualitative approach.
Results will determine and identify the variables that form deterrence effect on a denial and punishment purpose against state-sponsors of terrorism. At the end, this thesis would also like to encourage the future development of a broader yet measurable deterrence concept in order to enrich the studies and state policy on responding potential threat posed by international terrorism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isma Athriya Safitri
"Tesis ini menjelaskan tentang strategi rebalancing Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik yang secara formal dinyatakan oleh pemerintahan presiden Obama pada tahun 2011. Amerika Serikat memilih Asia Pasifik sebagai pivot area kebijakan luar negerinya karena Asia Pasifik memiliki sejumlah makna strategis baik bagi Amerika Serikat maupun bagi dunia internasional. Asia Pasifik dikatakan sebagai key driven of global politics, sebab Asia Pasifik sangat strategis di bidang demografi, geografi, dan ekonomi. Melalui strategi rebalancingnya, Amerika Serikat berusaha untuk meningkatkan dominasi di sistem internasional dengan kawasan Asia Pasifik sebagai batu pijakannya. Hal ini merupakan bagian dari dinamika hegemoni Amerika Serikat yang selalu dipengaruhi oleh sistem internasional. Setiap kekuatan hegemoni Amerika Serikat mengalami penurunan, maka pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan suatu strategi untuk memperkuat kembali kekuatan hegemoni Amerika Serikat. Pada fase penurunan hegemoni saat ini, pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa mereka harus cerdas dan strategis dalam memanifestasikan kebijakan luar negeri. Oleh sebab itu Amerika Serikat menggunakan strategi rebalancing di kawasan Asia Pasifik. Strategi rebalancing Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, dijalankan dalam 3 agenda, yaitu 1 penguatan hubungan kemitraan strategis dengan negara-negara aliansi dan new emerging power baik secara bilateral ataupun multilateral, 2 asistensi dalam penyelesaian masalah-masalah kawasan dan pemberian jaminan bagi keamanan dan kestabilan di kawasan Asia Pasifik, dan terakhir 3 penanaman nilai-nilai universal Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik dalam setiap kerjasama dan kegiatan Amerika Serikat, seperti nilai-nilai demokrasi, liberalisasi, dan pembelaan terhadap hak asasi manusia.

This thesis describes the US rebalancing strategy in the Asia Pacific region that formally declared by the government of President Obama in 2011. The United States chose Asia Pacific as a pivot area of foreign policy because the Asia Pacific region has a number of strategic importance for both the United States and for the international system. Asia Pacific is said to be key driven of global politics, because the Asia Pacific region is very strategic in the field of demography, geography, and economics. Through their rebalancing strategy, the United States sought to increase dominance in the international system with the Asia Pacific region as a stepping stone. This is part of the dynamics of US hegemony that always influenced by the international system. When hegemonic power of US has decreased, then the US government released a strategy to reinforce the strength of US hegemony. In the current phase of the decline of hegemony, the United States government stating that they have to be smart and strategic in manifesting foreign policy. Therefore, the United States uses rebalancing strategy in the Asia Pacific region. Strategy of rebalancing the United States in the Asia Pacific region, run in 3 agenda, namely 1 the strengthening of strategic partnership relations with the countries of the alliance and the new emerging power either bilateral or multilateral, 2 assistance in solving the problems of the region and the provision of guarantees for security and stability in the Asia Pacific region, and last 3 the investment of universal values of the United States in the Asia Pacific region in each of the cooperation and activities of the United States, such as the values of democracy, liberalization, and the defense of human rights."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>