Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7482 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Jakarta Industrial Estate , 1979
346.04 BUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Defiandry Taslim
"Dengan dikeluarkannya Paket Deregulasi di bidang perbankan tahun 1988 atau lebih dikenal dengan PAKTO 1988, maka jumlah bank yang ada di Indonesia semakin bertambah. Penambahan jumlah . bank tersebut juga diikuti dengan berbagai permasalahan yang banyak timbul akhir-akhir ini, terlebih-lebih dengan semakin meningkatnya bank-bank yang menjual sahamnya di pasar modal. Sorotan maupun kritik tidak hanya ditujukan pada pihak perbankan saja, melainkan juga kepada pihak Bank Indonesia yang terlihat kurang tegas dan banyak melakukan Trial and Error dalam usahanya mengembangkan industri perbankan dan pihak lain yang terkait dalam hal ini Ikatan Akuntan Indonesia dan Badan Pelaksana Pasar Modal yang kurang tanggap dalam menerapkan peraturan penyusunan laporan keuangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari berbagai kasus yang terjadi pada industri perbankan, dibutuhkan suatu analisa yang lebih mendalam agar investor khususnya dan masyatakat pada umumnya dapat meningkatkan awareness mereka terhadap resiko industri perbankan.
Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan peneli-tian untuk menganalisa berbagai resiko yang dapat terjadi pada industri perbankan melalui laporan keuangan. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kapada pihak perban¬kan, pihak Akuntan Publik, BAPEPAM dan BEJ, para Akademisi, para Pengamat Perbankan, para Investor Badan maupun investor Perseorangan. Dari hasil yang diperoleh melalui kuesioner tersebut, maka dapat diketahui berbagai pendapat para responden tersebut dalam merangking resiko industri perban¬kan, maupun hal-hal yang dapat dilakukan dalam meminimisasi resiko-resiko tersebut melalui laporan keuangan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa tingkat resiko yang ditemukan masih kurang dari 20%, yang berarti bahwa resiko investasi pada industri perbankan masih tergolong rendah. Resiko kredit macet dan pengendalian manajemen merupakan hal yang paling memprihatinkan industri perbankan maupun pihak-pihak lain saat ini karena kedua hal tersebut sangat berkaitan erat dalam melemahkan kinerja perbankan. Meskipun masih belum memadai, namun laporan keuangan masih dapat membantu para pemakai laporan keuangan dalam menganalisa resiko industri perbankan. Resiko-Resiko yang terjadi pada industri perbankan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal bank itu sendiri yang tercermin dari berbagai pelanggaran yang dilakukan pihak bank memanfaatkan kelemahan peraturan yang ada. Para analis perbankan juga sepakat bahwa untuk saat ini mereka lebih cenderung untuk melakukan investasi jangka pendek yang disebabkan oleh ketidakpastian industri perbankan secara jangka panjang.
Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa pihak Bank Indonesia harus lebih ketat dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap bank-bank untuk melindungi kepentingan nasional. Pihak BAPEPAM juga dituntut untuk semakin meningkatkan perannya dalam melaporkan informasi-informasi yang sekiranya berguna bagi investor dalam meminimisasi resiko. Pihak perbankan sendiri dituntut untuk melaksanakan Prudent Banking dalam melaksanakan aktivitasnya namun bukan berarti mereka meupakan tugasnya sebagai Agent of Development. Pihak Ikatan Akuntan Indonesia harus terus mengikuti perkembangan dunia usaha umumnya dan perbankan khususnya untuk dapat memberikan kontribusi yang jelas kepada masyarakat dengan selalu tanggap atas berbagai masalah dan kebutuhan masyarakat. Terakhir adalah bahwa Industri perbankan sangat dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi, perbankan itu sendiri memang sangat terpengaruh oleh iklim yang diciptakan oleh pemerintah. Namun dalam kondisi bagaimanapun pihak perbankan harus menjaga integritasnya ditengah masyarakat, yang berarti bahwa industri perbankan harus dapat bertahan dalam situasi yang tersulit sekalipun karena hal ini menyangkut kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan itu sendiri."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1993
S18593
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Razakky Ramadhan
"Waran Terstruktur merupakan salah satu produk derivatif saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menjual atau membeli aset yang mendasari Waran Terstruktur pada harga dan waktu tertentu. Terdapat banyak keuntungan yang dapat diperoleh investor dengan menggunakan instrumen investasi Waran Terstruktur. Di lain sisi, Waran Terstruktur juga memiliki risiko-risiko besar yang dapat berpotensi merugikan investor. Dalam hal ini diperlukan pengaturan yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi investor Waran Terstruktur. Di Indonesia, Waran Terstruktur merupakan instrumen investasi yang ketentuannya baru diserap dalam peraturan di Indonesia, hingga saat ini masih terdapat beberapa hal yang belum diatur secara komprehensif, salah satunya mengenai ketentuan khusus terkait perlindungan hukum bagi Investor Waran Terstruktur. Adapun dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.04/2021 tentang Waran Terstruktur hanya mengatur terkait ketentuan yang berkaitan dengan perdagangan Waran Terstruktur. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas pokok permasalahan sebagai berikut: (1) Apakah peraturan terkait perdagangan Waran Terstruktur di Indonesia telah mengatur ketentuan mengenai perlindungan investor?; dan (2) bagaimana ketentuan perlindungan investor dalam perdagangan Waran Terstruktur diatur dalam peraturan di United Kingdom, Singapura dan Hong Kong serta hal-hal yang harus diperbaiki dalam peraturan terkait di Indonesia?. Pada dasarnya, konsep Waran Terstruktur yang diperdagangkan di Indonesia sekilas memiliki kemiripan dengan konsep Structured Warrant di berbagai negara di dunia, termasuk di United Kingdom, Singapura, dan Hong Kong walaupun terdapat beberapa perbedaan pula dalam beberapa aspek. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan komparatif untuk membandingkan ketentuan Waran Terstruktur di Indonesia dengan negara-negara yang telah menerapkannya. Hasil dari penelitian ini nantinya adalah untuk menyarankan pemerintah dan regulator pasar modal di Indonesia untuk melengkapi peraturan Waran Terstruktur yang sudah ada dengan ketentuan khusus yang mengatur perlindungan Investor Waran Terstruktur.

Waran Terstruktur is a stock derivative product that gives the holder the right to sell or buy the Waran Terstruktur Underlying Asset at a certain price and time. There are many advantages that investors can get by using Waran Terstruktur investment instruments. On the other hand, Waran Terstruktur also have big risks that can potentially harm investors. In this case, regulations are needed that can provide legal protection for Structured Warrant investors. In Indonesia, Waran Terstruktur are investment instruments whose provisions have only been absorbed into Indonesian regulations, until now there are still several matters that have not been comprehensively regulated, one of which is regarding special provisions related to legal protection for Structured Warrants Investors. As for the Financial Services Authority Regulation Number 8/POJK.04/2021 concerning Waran Terstruktur, it only regulates provisions relating to the trading of Waran Terstruktur in general. Based on this, in this thesis the following main issues will be discussed: (1) Do regulations related to Waran Terstruktur trading in Indonesia regulate provisions regarding investor protection?; and (2) how are the provisions for investor protection in Waran Terstruktur trading regulated in regulations in the United Kingdom, Singapore and Hong Kong as well as matters that must be corrected in related regulations in Indonesia? Basically, the concept of Waran Terstruktur traded in Indonesia at a glance has similarities with the concept of Structured Warrants in various countries in the world, including in the United Kingdom, Singapore and Hong Kong, although there are some differences in a number of aspects. Therefore, this study will use normative juridical research methods with a comparative approach to compare the provisions on Waran Terstruktur in Indonesia with those of countries that have implemented them. The results of this research will be to advise the government and capital market regulators in Indonesia to complement the existing Waran Terstruktur regulations with special provisions governing the protection of Waran Terstruktur Investors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzikry Gaosul Ashfiya
"Sebagai upaya penataan regulasi di Indonesia, eksistensi Peraturan Menteri seharusnya dibatasi. Hal ini disebabkan, persentuhan kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dan wewenang pemerintahan yang melekat pada kedudukan Menteri, merefleksikan kebebasan dan ketidakterbatasan penerbitan Peraturan Menteri. Pada muaranya, disharmonisasi dan pertentangan baik secara horizontal maupun vertikal, tidak dapat dihindari. Terlebih, realita hyper regulasi lingkup eksekutif semakin memperlihatkan bahwa Peraturan Menteri adalah yang paling berkontribusi. Sebagai upaya pembatasannya, penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, sejarah, konseptual dan kasus ini terlebih dahulu akan mengkaji kedudukan Peraturan Menteri dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, untuk selanjutnya merumuskan gagasan mengenai konsepsi pembatasannya di tengah skema persentuhan dimensi hukum administrasi negara dan sistem peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelusuran secara normatif-historis, penelitian ini menemukan bahwa sekalipun Indonesia pernah menganut kedua sistem pemerintahan parlementer dan presidensiil baik dalam konstitusi maupun praktiknya, kedudukan Peraturan Menteri dalam sistem peraturan perundang-undangan tetap terlihat sebagai peraturan delegasian bukan otonom, dimana kewenangan pembentukannya tidak bersifat bebas tanpa kendali melainkan terbatas hanya berdasar perintah atau dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Selanjutnya, sebagaimana telah dilakukan identifikasi di tengah skema persentuhan Peraturan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, ditemukan adanya titik temu yang mana baik secara formil maupun materiil dapat dirumuskan konsepsi pembatasan dalam pembentukannya. Lebih lanjut, pembatasan eksistensi Peraturan Menteri juga dapat dilakukan dengan memahami makna keterbatasan yang tersirat dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Th. 2011 dan merevisi konstruksi Pasal tersebut, serta melalui upaya pembatasan pendelegasiannya. Pada saat yang sama, secara ideal Presiden selaku pemimpin eksekutif dan pemimpin para menteri-menterinya seharusnya juga berperan aktif mengendalikan dan membatasi eksistensi Peraturan Menteri melalui penguatan skema executive preview dalam wujud harmonisasi rancangan Peraturan Menteri sebagai upaya penataan regulasi dan pencegahan terjadinya hyper regulasi lingkup eksekutif.

As the regulatory arrangement effort in Indonesia, the existence of Ministerial Regulations should be limited. This is due to the involvement of regulatory authority and governmental authority attached to the position of the Minister, reflects the freedom and limitless authority to form Ministerial Regulations. In the end, disharmony and contradiction, both horizontally and vertically, cannot be avoided. Moreover, the reality of hyper-regulation in the executive scope increasingly shows that Ministerial Regulations are the most contributing. As an effort to limit it, this normative legal research with a statutory, historical, conceptual and case approach will first examine the position of the Ministerial Regulation in the Indonesian statutory system, then formulate ideas regarding the conception of its limitation in the midst of its involvement scheme of state administrative law and statutory system. Based on the results of a normative-historical search, this study finds that even though Indonesia had ever adopted both parliamentary and presidential systems of government in the constitution and in practice, the position of the Ministerial Regulation in the statutory system is still seen as a delegatory regulation not an autonomous, where the authority for its formation is not free without control but limited only by order or in the context of implementing the provisions of higher regulations. Furthermore, as has been identified in the midst of the involvement scheme of the Ministerial Regulation as a statutory regulation and policy regulation, it was found that there were common points where both formally and materially the conception of limitations could be formulated in its formation. Moreover, limiting the existence of a Ministerial Regulation can also be done by understanding the meaning of limitations implied in Article 8 paragraph (2) of Law No. 12 Th. 2011 and revising the construction of the Article, as well as through efforts to limit its delegation. At the same time, ideally the President as the chief executive and the leader of his ministers should also play an active role in controlling and limiting the existence of Ministerial Regulations through strengthening the executive preview scheme in the form of harmonization of the draft of Ministerial Regulations as the regulatory arrangement effort and the prevention of hyper-regulation in the executive scope."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dante Deva Daniswara
"Munculnya fenomena perkembangan Peer-to-Peer Lending yang merupakan buah dari pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan inovasi teknologi di sektor keuangan yang membutuhkan rezim pengaturan yang dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan terhadap para pemangku kepentingan di industri tersebut. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti kelebihan dan kekurangan rezim pengaturan Peer-to-Peer Lending di Indonesia dengan cara membandingkannya dengan rezim pengaturan di Korea Selatan. OJK sebagai pemegang kekuasaan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan telah mengeluarkan POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi sebagai payung hukum penyelenggaraan Peer-to-Peer Lending di Indonesia. Investor sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam industri tersebut tentu membutuhkan adanya perlindungan hukum untuk menjamin kepentingannya. Substansi dari peraturan yang telah diterbitkan OJK menjadi bahan kajian utama dalam tulisan ini. Korea Selatan menjadi negara pembanding karena memiliki peraturan khusus di tingkat undang-undang yang mengatur mengenai Peer-to-Peer Lending. Perbedaan pendekatan masing-masing negara dalam mengatur industri Peer-to-Peer Lending tentu tidak dapat dilepaskan dari politik hukum ekonomi yang dianut di masing-masing negara. Dengan demikian, tiap-tiap negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam pengaturannya itu. Penelitian ini memberi saran untuk pihak pembuat regulasi di Indonesia agar dapat meneladani dan mencontoh langkah negara lain yang lebih memperkuat perlindungan investor.

The emergence of Peer-to-Peer Lending as a phenomenon and a clear sign of development which is the result of rapid progress in the field of information and communication technology is a technological innovation in the financial sector that requires a regulatory regime that can guarantee legal certainty and fulfill a sense of justice for stakeholders in the industry. This thesis aims to examine the advantages and disadvantages of the Peer-to-Peer Lending regulatory regime in Indonesia by comparing it with the regulatory regime in South Korea. OJK as the holder of regulatory and supervisory powers in the financial services sector has issued POJK No. 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology-Based Co-Funding Services as a legal umbrella for Peer-to-Peer Lending in Indonesia. Investors as one of the stakeholders in the industry certainly need legal protection to guarantee their interests. The substance of the regulations issued by OJK is the main study material in this paper. South Korea is the country of comparison because it has special regulations at the level of laws governing Peer-to-Peer Lending. Differences in the approach of each country in regulating the Peer-to-Peer Lending industry cannot be separated from the economic legal politics adopted in each country. Thus, each country has its own advantages and disadvantages in this arrangement. This research provides suggestions for regulators in Indonesia to emulate and copy the steps of other countries to further strengthen investor protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Huang, Septeven
"Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan Hindia Belanda penting yang masih diberlakukan oleh Republik Indonesia, meskipun peraturan tersebut dibentuk jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Skripsi ini membahas bagaimana peraturan perundang-undangan Hindia Belanda tersebut diberlakukan, kedudukannya dalam hierarki norma hukum Republik Indonesia, serta implementasi dari keberlakuan peraturan tersebut setelah dibatasi oleh norma hukum Republik Indonesia. Dalam menganalisis peraturan perundang-undangan Hindia Belanda tersebut, digunakan metode penelitian yuridis-normatif berdasarkan studi pustaka yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan sudut pandang sejarah serta filsafat hukum. Dengan hasil penelitian bahwa peraturan perundang-undangan Hindia Belanda berlaku secara parsial serta setara dengan undang-undang karena terjadi proses pembentukan hukum berupa resepsi dalam aturan peralihan di Undang-Undang Dasar 1945.

ABSTRACT
There are numerous Netherlands East Indies regulations that are still in use within the Republic of Indonesia’s legal system, even though those regulations are created far before the Republic of Indonesia was born. This research analyzes how those regulations are still considered valid and implemented within the Indonesian legal system. To analyze those Netherlands East Indies regulations, a normative juridical method based on literature studies on valid regulations with legal history and jurisprudence perspectives. With results showing that Netherlands East Indies regulations are still partially used in Indonesia with the same level as parliamentary law because of the reception based law creation process in the transitional clause of Indonesia’s constitution of 1945.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Hilda Sulistio
"Pemberlakuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memperluas basis PPN melalui pengurangan fasilitas PPN menjadi objek PPN yang diberikan pembebasan. Dengan adanya perubahan peraturan ini, maka jasa asuransi memiliki kewajiban administratif baru yang harus dipenuhi sebagai pelaku kebijakan. UU HPP berlaku efektif pada 1 April 2022, dan belum ada peraturan pelaksanaannya saat penelitian selesai. Kajian ini akan menganalisis perbedaan kebijakan PPN atas jasa asuransi sebelum dan sesudah UU HPP berlaku dan akan dikaitkan dengan asas kepastian dan efisiensi. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivis dengan jenis penelitian deskriptif. Data primer dan sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut terletak pada sisi administrasi dan kepastian hukum. Penerapan kebijakan ini belum memberikan kepastian bagi perusahaan asuransi karena adanya kendala dalam menentukan dasar pemungutan pajak dan waktu penerbitan faktur pajak. Karena perusahaan jasa asuransi belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban perpajakannya, maka dari segi efisiensi wajib pajak, kebijakan ini tidak efisien dengan biaya material, waktu, dan psikologis yang timbul selama pelaksanaan kebijakan ini.

The enactment of the Tax Regulations Harmonization Law expanded the VAT base through the reduction of VAT facilities to become VAT objects that are granted exemptions. With the change in this regulation, insurance services have new administrative obligations that must be fulfilled as policy actors. the HPP Law effective date is on April 1, 2022, and there are no implementing regulations when the research is completed. This study will analyze the differences in VAT policies for insurance services before and after the HPP Law is effective and will be linked to the principles of certainty and efficiency. This research used a post-positivist approach with a descriptive research type. Primary and secondary data were obtained through library research and in-depth interviews. The result of the study concluded that the differences were on the administrative side and legal certainty. The application of this policy has not provided certainty for insurance companies due to constraints in determining the base of tax collection and time for issuing tax invoices. Because insurance service companies have not fully implemented their tax obligations, in terms of taxpayer efficiency, this policy is not efficient with material, time, and psychological costs that arise during the implementation of this policy. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Ayu Febriani
"Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 dan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peraturan perundang-undangan yang baik, dibentuklah Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan PUU). Dalam perkembang peraturan perundang-undangan di Indonesia, ditemukan beberapa permasalahan yang timbul dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang belum dapat mencerminkan nilai-nilai dari Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, diantaranya yaitu: 1) peraturan perundang-undangan tidak memenuhi kebutuhan dan perkembangan masyarakat, 2) peraturan perundang-undangan yang tidak berfungsi secara efektif dan efisien. Permasalahan lainnya yaitu setelah tahap pengundangan, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan PUU 2011) bagaimana keberlakuan dari undang-undang tidak diatur secara detail sehingga banyak terdapat hasil temuan produk peraturan pelaksanaan dari undang-undang tidak disusun, ataupun disusun namun bertentangan dengan undang-undangnya sendiri sehingga ketentuan delegasinya tidak sinkron dengan materi muatan yang didelegasikan. Hal ini yang menjadi awal mula dari diusulkannya tahap pemantauan dan peninjauan untuk memantau secara keseluruhan dari awal sampai akhir dan meninjau kembali materi muatan undang-undang apakah dia efektif dan efisien dalam implementasinya sehingga dapat membantu bagi lembaga pelaksana kedaulatan rakyat yaitu DPR dalam menghasilkan produk legislasi yang bisa mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal ini yang menjadi latar belakang dimasukannya tahap pemantauan dan peninjauan undang – undang dalam UU Pembentukan PUU. Namun, saat ini pemantauan dan peninjauan UU di Indonesia bukan merupakan siklus dalam pembentukan UU. Dalam Pasal 95A dan 95B UU Pembentukan PUU 2019 tidak terdapat kewajiban bagi DPR RI untuk melakukan pemantauan dan peninjauan setelah dibentuknya sebuah UU.

As an implementation of the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and in order to fulfil the needs of society for good laws and regulations, a Law on the Formation of Laws and Regulations was established. In the development of laws and regulations in Indonesia, there are several problems that arise in the formation of laws and regulations that cannot reflect the values of Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, including: 1) laws and regulations do not meet the needs and developments of society, 2) laws and regulations that do not function effectively and efficiently. Another problem is that after the enactment stage, Law No. 12/2011 on the Formation of Laws and Regulations does not regulate the enactment of laws in detail so that there are many findings that the products of implementing regulations from laws are not compiled, or are compiled but contradict the laws themselves so that the delegation provisions are not in sync with the delegated content material. This is the beginning of the proposed monitoring and review stage to monitor the whole from start to finish and review the content material of the law whether it is effective and efficient in its implementation so that it can help the implementing institution of people's sovereignty, namely the DPR, in producing legislative products that can achieve national development goals. This is the background to the inclusion of the monitoring and review stage of laws in the PUU Formation Law. However, currently monitoring and reviewing laws in Indonesia is not a cycle in the formation of laws. In Articles 95A and 95B of the 2019 Law on the Formation of Public Laws, there is no obligation for the Indonesian Parliament to conduct monitoring and review after the formation of a law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Galih Pratiwi
"Terdapat ketidakjelasan pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan peraturan daerah (Perda) yang dilakukan melalui harmonisai, evaluasi dan/atau fasilitasi. Secara sifat dan tujuan pengawasan tersebut merupakan hal yang sama sehingga dalam pelaksanaannya dapat menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi tidak efektif. Penelitian yuridis normatif ini, dilakukan dengan pendekatan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum yang menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembentukan peraturan daerah. Hasil penelitian menunjukan, terdapat dualisme rezim pengaturan mengenai pembentukan Perda serta terdapat perbedaan kekuatan mengikat dari harmonisai dengan evaluasi/fasilitasi yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi kurang efektif dan efisien. Selain itu, permasalahan terkait sumber daya Perancang juga menyebabkan rancangan Perda yang disusun masih memiliki kualitas yang rendah. Pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan Perda sebaiknya dilakukan dengan penguatan pengawassan yang bersifat preventif. Oleh karena itu, untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan regulasi yang mengatur mengenai pembentukan Perda, khususnya terkait pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat. Penegasan peran Perancang, serta peningkatan kemampuan Perancang juga menjadi hal strategis terciptanya Perda yang harmonis.

There is vagueness in the division of authority over the central government's supervision of the regional regulation's formation through harmonization, evaluation, or facilitation. The similarity of the authority's nature and purpose causes ineffectiveness. This normative juridical research analyzes the synchronization between regulations about the formation of regional law. The study discovered that there is a dualism of the regulatory regime regarding the formation of Regional Regulations. It also has found differences in the law binding power of harmonization and evaluation/facilitation causes ineffective and inefficient supervision. Besides that, problems of Perancang's resources also causing the draft of regional regulations to still have low quality. Strengthening preventive control by the central government can create harmonious regional regulations that are in line with higher laws and regulations is the best form of supervision to be carried out for now. So there, it is necessary to refine the regulations about the formation of regional regulations, particularly related to the division of supervisory authority of the central government. The participation of legal drafter (Perancang) and an ability enhancement of legal drafter is also a strategic matter to create a harmonious regional regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Narwastu Angela
"Peraturan perpajakan yang jelas dan terstruktur penting dalam sistem ekonomi negara. Namun, aturan perpajakan dapat mengalami perubahan seiring dengan arah kebijakan ekonomi. Salah satu alasan perubahan aturan perpajakan adalah tingginya kompleksitas dan kerumitan peraturan yang ada. Sistem perpajakan yang rumit dapat memicu ketidakpatuhan dan praktik penghindaran pajak yang merugikan negara. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan dagang untuk memahami dan siap menghadapi harmonisasi peraturan perpajakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesiapan perusahaan dagang khususnya PT. H dalam menghadapi harmonisasi peraturan perpajakan yaitu perubahan KUP, lapisan tarif dan ketentuan dalam PPh 21 dan kenaikan tarif PPN, serta untuk mengetahui bagaimana PT. H menerapkan prinsip-prinsip tax control framework dalam menjalankan perubahan peraturan perpajakan. Penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip TCF oleh OECD dimana indikatornya adalah penetapan strategi pajak, penetapan pengendalian, pembagian tugas, proses pelaksanaan pajak terdokumentasi, dan pemantauan atas proses pelaksanaan pajak. Hasil evaluasi menunjukkan PT. H telah mengambil langkah-langkah strategis seperti pemantauan peraturan, bermitra dengan konsultan pajak, dan menjalankan proses pengendalian yang ketat untuk memastikan akurasi pelaporan pajak. Pembagian tugas yang terfokus, dokumentasi yang rinci, serta pemantauan dan audit internal berkala menjadi bagian dari pendekatan PT. H. PT. H telah menunjukan bagaimana mereka mengadopsi prinsip-prinsip TCF dalam menjalankan perubahan peraturan perpajakan tersebut.

Clear and structured tax regulations are important in a country's economic system. However, tax rules can change along with the direction of economic policy. One of the reasons for changes in tax regulations is the high complexity and complexity of existing regulations. A complicated tax system can trigger non-compliance and tax avoidance practices that are detrimental to the country. Therefore, it is important for trading companies to understand and be ready to face the harmonization of tax regulations. This research aims to evaluate the readiness of trading companies, especially PT. H in facing the harmonization of tax regulations, namely changes to the KUP, tariff layers and provisions in PPh 21 and increases in VAT rates, as well as to find out how PT. H applies tax control framework principles in implementing changes to tax regulations. This research uses the TCF principles by the OECD where the indicators are determining tax strategy, determining control, division of tasks, documented tax implementation process, and monitoring of the tax implementation process. The evaluation results show that PT. H has taken strategic steps such as monitoring regulations, partnering with tax consultants, and implementing strict control processes to ensure the accuracy of tax reporting. Focused division of tasks, detailed documentation, and regular internal monitoring and audits are part of PT's approach. H. PT. H has shown how they adopted TCF principles in carrying out changes to tax regulations."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>