Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163974 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyebabkan peradangan akut parenkim paru-paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru Bakteri penyebab yang utama adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus untuk bakteri yang tergolong gram positif dan Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae, Mycobacteri um tuberkulosis untuk bakteri yang tergolong gram negatif. Pemilihan
dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems (DRP). Pola penggunaan antibiotika di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya belum pernah dilakukan. Mempelajari pola
penggunaan antibiotika pada penderita rawat inap pneumonia di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. Ramelan dan mengkaitkan dosis, mengetahui terapi lain, serta mengidentifikasi adanya DRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode penelitian survey yang bersifat deskriptif berupa suatu studi retrospektif dan deskriptif.
Bahan penelitian adalah Rekam Medik Kesehatan (RMK) penderita rawat inap di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. Ramelan Surabaya dengan diagnosa akhir pneumonia, mulai tanggal 1 Januari 2004 sampai tanggal 30 April 2006 yang memenuhi kriteria inklusi. Dari populasi penelitian yang berjumlah 50 didapatkan 41 penderita yang memenuhi kriteria inklusi. Antibiotika tunggal yang paling banyak diterima
penderita tanpa penyakit penyerta adalah ampisilin iv 26,92% (14 penderita) dan sefotaksim iv 21,15% (11 penderita), sedang antibiotika kombinasi yang banyak diterima penderita adalah ampisilin iv/po+kloksasilin iv/po 13,46% (7 penderita) dan kloksasilin
iv+seftriakson iv 5,77% (3 penderita) dan sisanya antibiotika kombinasi lainnya. Penelitian DRP ditemukan 56,9% penderita menerima dosis antibiotika yang sesuai pustaka dan 43,1% penderita menerima dosis underdose. Penggunaan antibiotika di atas adalah sudah sesuai dengan buku pedoman terapi dan referensi lainnya. Antibiotika tunggal atau kombinasi 2 antibiotika golongan penisilin dan sefalosporin
sering digunakan untuk terapi pneumonia.

Abstract
Pneumonia is an infectious disease that was caused inflammation of acute parenchymal compression of the lungs and bacterial exudate from lung tissue on the main from Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumonia, Mycobacterium tuberculosis. Selection of appropriate antibiotic therapy and rational will determine the treatment to avoid the occurrence of bacterial resistance. In addition it is also possible the use of other drugs that can increase the chances of Drug Related Problems (DRP). Pattern of antibiotic use in Rumkital Dr. Ramelan Surabaya has never been done. Studying the pattern use of
antibiotics in hospitalized patients with pneumonia in the Sub Department of Pediatric Rumkital Dr. Ramelan and related the dose, other therapies, as well as identify the DRP. This research is a method descriptive survey research in the form of a retrospective and descriptive study. Materials research is the Medical Records patients
hospitalized with the final diagnosis of pneumonia, starting January 1, 2004 until April 30, 2006 that meet inclusion criteria. Of the study population who account for 50 found 41 patients who fulfilled the inclusion criteria. Antibiotics single most widely accepted patients without comorbidities were ampicillin iv 26.92% (14 patients) and iv sefotaksim 21.15% (11 patients), while the antibiotic combination
widely accepted patients is ampicillin iv / po + kloksasilin iv / po 13.46% (7 patients) and kloksasilin iv + ceftriaxone iv 5.77% (3 patients) and the rest other antibiotic combinations. DRP study found 56.9% patients received appropriate antibiotic dose literature and 43.1% patients receiving doses underdose. Use of antibiotics
above is already in accordance with reference and other therapies. Single antibiotic or combination of 2 antibiotics penicillin and cephalosporin classes often used to treat pneumonia."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Airlangga. Fakultas Farmasi], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Panca Satriawan
"Latar Belakang : Insidens Pneumonia HCAP semakin meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana optimal dapat menurunkan angka mortalitas , salah satunya Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). Pengaruh TFAD pada pasien pneumonia HCAP belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi perbedaan kesintasan 30 hari pasien pneumonia HCAP dewasa terhadap TFAD.
Metode : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan pasien pneumonia HCAP RSCM periode Januari 2011-Desember 2014. Dilakukan ekstraksi data rekam medis jarak waktu pemberian dosis awal antibiotika di IGD, derajat keparahan pneumonia dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitas 30 hari. Derajat keparahan menggunakan Skor CURB-65. TFAD dikelompokkan menjadi TFAD ≤4 jam dan > 4 jam. Perbedaan kesintasan ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan diuji dengan Log-rank test, batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 170 subjek, dalam 30 hari sebanyak 51 subjek (40,5%) meninggal pada kelompok TFAD> 4jam dan 4 subjek (9,1%) meninggal pada kelompok TFAD ≤4jam. Median kesintasan seluruh subjek adalah 25 hari (IK95% 24-27), kelompok TFAD ≤4jam 29 hari (IK95% 27-31) dan kelompok TFAD > 4 jam 24 hari (IK95% 22-26) dengan log rank p 0,01. Kesintasan 30 hari kelompok TFAD ≤4jam sebesar 90,9% sedangkan kelompok TFAD > 4 jam 59,5%. Crude HR pada kelompok TFAD > 4 jam 5,293 (IK95% 1,912-14,652). Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok TFAD> 4 jam sebesar 7,137 (IK95% 2,504-30,337).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien HCAP dewasa pada kelompok TFAD > 4 jam , semakin lama jarak waktu pemberian antibiotik awal, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : The incidence of pneumonia HCAP is increasing with a high mortality rate. Optimal management can reduce mortality, one of which Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). TFAD influence on pneumonia patients with HCAP has not been widely studied.
Objective : Obtain information about the differences in 30-day survival adult patients with pneumonia HCAP against TFAD.
Methods : A retrospective cohort study based on analysis of the patient's survival against pneumonia HCAP period January 2011 to December 2014. Extraction of data from the medical records of the interval initial dose of antibiotics in the ED, the severity of pneumonia and confounding factor, then look for the data in 30-day mortality. Severity using CURB-65 score. TFAD divided into two groups, TFAD ≤4 hours and> 4 hours. Differences in survival is shown in Kaplan Meier. The difference in survival were tested by the log-rank test, with significance limit p<0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% CI) with correction for confounding variables.
Results : Of the 170 subjects, within a period of 30 days by 51 subjects (40.5%) died in the group TFAD> 4 hours and 4 subjects (9.1%) died in the group TFAD ≤4 hours. Mean survival of the whole subject is 25 days (IK95% 24-27), the group TFAD ≤4jam 29 days (IK95% 27-31) and group TFAD> 4 hours 24 days (IK95% 22-26) with a log-rank p 0.01 , 30-day survival in the group TFAD ≤4jam by 90.9% while the TFAD> 4 hours 59.5%. Crude HR group TFAD> 4 hours of 5.293 (1.912 to 14.652 IK95%). After adjustment for confounding variables obtained fully adjusted HR group TFAD> 4 hours amounted to 7.137 (2.504 to 30.337 IK95%).
Conclusions : There are differences in 30-day survival of adult patients with HCAP group TFAD> 4 hours; the longer the interval initial antibiotic treatment, the worse the 30-day survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan
"Pneumonia adalah penyakit ISPB yang mempunyai angka kematian yang masih cukup tinggi di dunia dan juga Indonesia Dua bakteri penyebab utama penyakit ini adalah Klebsiella pneumoniae serta Streptococcus pneumoniae Antibiotik adalah pengobatan utama untuk kasus akibat kedua bakteri tersebut Penggunaan antibiotik yang dilakukan secara luas dan tidak tepat guna menyebabkan munculnya pola peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang biasa diberikan sehingga dibutuhkan golongan antibiotik baru yang masih efektif Senyawa X merupakan sebuah senyawa yang mengandung struktur cincin oksazol dan diduga mempunyai potensi untuk menjadi sebuah senyawa antibiotik baru yang masih efektif melawan berbagai bakteri Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bioaktivitas dari Senyawa X terhadap kedua bakteri tersebut serta apakah terdapat hubungan antara penambahan dosis dengan bioaktivitasnya Sebanyak 3 kultur dari masing masing bakteri sebagai ulangan diberikan perlakuan dengan metode disk difussion test Disk kosong ini diisi dengan aquades sebagai baseline alkohol 90 sebagai kontrol negatif serta Senyawa X dengan konsentrasi 2 4 8 16 32 64 dan 128 mg L sebagai perlakuan Indikator bioaktivitas adalah diameter hambatan pertumbuhan dari kedua bakteri Secara deskriptif didapatkan bahwa Senyawa X cenderung mempunyai bioaktivitas terhadap kedua bakteri sedangkan uji hipotesis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan dosis Senyawa X dengan peningkatan bioaktivitasnya pada bakteri Streptococcus pneumoniae p 0 003 Namun pada bakteri Klebsiella pneumoniae tidak ditemukan hubungan yang bermakna p 0 133 Hasil penelitian ini membuktikan Senyawa X memiliki bioaktivitas terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae Namun hubungan yang bermakna terhadap peningkatan dosis Senyawa X dan bioktivitasnya hanya terjadi pada bakteri Streptococcus pneumoniae.

Pneumonia is one of the Upper Airways Infections which still has increasing mortality rate in Indonesia Two common pathogens causing this disease are Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae Antibiotics are the main therapy in this case A wide and irrational usage of those antibiotics brings the increasing antibiotics resistant pattern of both pathogens So that a new and effective antibiotic are needed Substance X an ocsazoles containing substance is now assumed being an effective antibiotic among many pathogens Therefore this study aims to understand the bioactivity of Substance X to both pathogens and to understand the relationship between the increasing dosage and their effect on the Substance X bioactivity There were 3 cultures of both pathogens and each of them is given disk diffusion test method to conduct the experiment The blank disk were then filled with aquades baseline alcohol 90 negative control and Substance X with 2 4 8 16 32 64 And 128 mg L concentration tested group The indicator of bioactivity in this study measured in growth inhibition diameter of both pathogens Descriptively the experiment shows Substance X has bioactivity to both pathogens Another hypothesis then tested using Kruskal Wallis shows a significant relationship between the increasing dosage of Substance X and the increasing bioactivity on Streptococcus pneumoniae p 0 003 but not on Klebsiella pneumoniae p 0 133 This study then can be concluded that Substance X has bioactivity to both Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae But the significant relationship between increasing dosage and bioactivity of Substance X can only be found on Streptococcus pneumoniae.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Suci
"Penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia terus meningkat seiring dengan tingginya angka kejadian serta mempengaruhi pola penggunaan antibiotik difasilitas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika golongan beta laktam pada pasien pneumonia di rumah sakit anak dan bunda harapan kita tahun 2016 yang dilakukan untuk mencapai penggunaan antibiotik yang rasional. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari rekam medik pasien. Sampel merupakan resep pasien pneumonia periode Januari hingga Desember 2016. Studi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan metode Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose ATC/DDD . Antibiotik yang digunakan adalah ampisilin; amoksisilin; ampisilin-sulbaktam; seftriakson; sefiksim; sefotaksim; seftazidim; sefoperazone dan seftizoksim. DDD dengan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah ampisilin 80,5 sedangkan DDD/100bed/hari dengan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah amoksisilin 34,62 DDD/100bed/hari . Secara kualitatif, antibiotik yang menyusun segmen DU90 ada lima yaitu ampisilin; seftriakson; sefotaksim; sefixim; ampisilin-sulbaktam. Kesesuaian penggunaan antibiotik golongan beta laktam di rumah sakit anak dan bunda harapan kita tahun 2016 dengan Formularium Nasional sebesar 99,55.

The use of antibiotics increases as well as number of events and affect the pattern of antibiotic uses in health facilities. This study aimed to evaluate the use of beta lactam antibiotics in patients with pneumonia in Harapan Kita Mother and Children rsquo s Hospital in 2016 which is done to achieve rational drug uses. The design of the study was descriptive with retrospective data collection from patients rsquo medical records. Samples were patients rsquo prescriptions from January to December 2016. The analysis was done using Anatomical Therapeutic Chemical Defined Daily Dose ATC DDD qualitatively and quantitatively. The antibiotics were ampicillin amoxicillin ampicillin sulbactam ceftriaxone cefixime cefotaxime ceftazidime cefoperazone and ceftizoxime. DDD with most antibiotics used is ampicillin 80,5 , while DDD 100bed day with most antibiotics used is amoxicillin 34.62 DDD 100bed day . Five antibiotics which are in segment DU90 are ampicillin ceftriaxone cefotaxime cefixime ampicilin sulbactam. Compatibility of the use of pneumonia drugs with National Formulary are 99.55.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S67554
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suratini
"ABSTRAK
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksi yang umum terjadi danmerupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan terbanyak. Penyakit ini memilikidampak terhadap sosioekonomi dimana tingginya biaya kesehatan terutama disebabkanoleh biaya rawat inap. Evaluasi farmakoekonomi dilaksanakan untuk menilai efektivitasbiaya antibiotik untuk mengetahui apakah pengobatan antibiotik memberikan outcometerapi yang baik dengan biaya yang minimal. Penelitian dilakukan terhadap kombinasiseftriakson-azitromisin dan levofloksasin tunggal sebagai antibiotik empiris untuk pasienpneumonia rawat inap. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan membandingkan totalbiaya medis langsung dan efektivitas yang dilihat dari lama rawat masing-masingkelompok pengobatan. Penelitian dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta, dengandesain penelitian studi kohort retrospektif, dimana pengambilan data dilakukan secararetrospektif terhadap data sekunder, berupa rekam medis pasien dari tahun 2014-2016.Jumlah pasien yang dilibatkan dalam analisis 100 pasien, yaitu 64 pasien menggunakanantibiotik seftriakson iv dan azitromisin oral, dan 36 pasien menggunakan levofloksasiniv tunggal. Median biaya antibiotik berbeda signifikan antara kelompok seftriaksonazitromisindan kelompok levofloksasin, yaitu Rp.130.756,- dan Rp.286.952,-. Medianbiaya medis langsung kelompok seftriakson-azitromisin lebih tinggi dibandingkankelompok levofloksasin tunggal, yaitu Rp. 6.494.998,- dan Rp. 5.444.242,-. Keberhasilanterapi kelompok seftriakson-azitromisin yaitu 95,3 , sementara keberhasilan terapikelompok levofloksasin sebesar 97,2 namun tidak terdapat perbedaaan signifikan.Median lama rawat LOS dan lama rawat terkait antibiotik LOSAR kelompoklevofloksasin berturut-turut sebesar 6 hari dan 5 hari, lebih singkat dibandingkan LOSdan LOSAR kelompok seftriakson-azitromisin, yaitu 7 hari dan 6 hari. Nilai ACERkelompok levofloksasin sebesar Rp.56.011,-/persen efektivitas lebih rendahdibandingkan kelompok seftriakson-azitromisin sebesar Rp. 68.153,-/persen efektivitas.Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa levofloksasin lebih cost-effectivedibanding kombinasi seftriakson-azitromisin.

ABSTRACT
Community Acquired Pneumonia CAP is one of the most common infectious diseasesand is one of the leading causes of death and morbidity. This disease has an impact onsocioeconomic where the high cost of health is mainly caused by the cost ofhospitalization. A pharmacoeconomic evaluation was conducted to assess the costeffectivenessof antibiotics to find out whether antibiotic treatment results in a goodtherapeutic outcome with a minimal cost. The study was conducted on a combination ofceftriaxone azithromycin and single levofloxacin as an empirical antibiotic for inpatientCAP patients. Cost effectiveness analysis is conducted by comparing the total directmedical costs and the effectiveness measured from length of stay of each treatmentgroup. The study was conducted in RSUP Persahabatan, Jakarta, with a cohortretrospective design study, where retrospective data retrieval was conducted onsecondary data, in the form of patient medical records from 2014 2016. The number ofpatients involved in the analysis of 100 patients, ie 64 patients using combination of ivceftriaxone and oral azithromycin, and 36 patients using single iv levofloxacin. Medianantibiotic costs differed significantly between the ceftriaxone azithromycin group andthe levofloxacin group, which were Rp.130,756, and Rp.286,952, . Median directmedical costs of the ceftriaxone azithromycin group were higher than the singlelevofloxacin group, which was Rp. 6,494,998, and Rp. 5,444,242, . Success rate ofgroup of ceftriaxone azithromycin group was 95.3 , while the success rate oflevofloxacin group was 97.2 but there was no significant difference. Median length ofstay LOS and length of stay antibiotic related LOSAR of levofloxacin group wererespectively 6 days and 5 days, shorter than LOS and LOSAR of ceftriaxoneazithromycingroup, which were 7 days and 6 days. The value of the ACER levofloxacingroup was Rp.56.011, percent effectiveness, lower than the ceftriaxone azithromycingroup of Rp. 68.153, percent effectiveness. Based on the results of the study, it isconcluded that levofloxacin is more cost effective than a combination of ceftriaxoneazithromycin."
2017
T48638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina
"Latar belakang: Pneumonia adalah salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Proses penuaan sistem organ dan faktor komorbid banyak berperan pada peningkatan morbiditas dan mortalitas pneumonia pada pasien geriatri sehingga menyebabkan tingginya biaya pengobatan penyakit tersebut. Salah satu biaya yang menyerap besar anggaran rumah sakit adalah biaya antibiotik. Tingginya biaya penggunaan antibotik untuk pneumonia komunitas menyebabkan perlunya dilakukan analisis farmakoekonomi. Cost effectiveness adalah salah satu metode analisis farmakoekonomi.
Tujuan: Menilai cost effectiveness tata laksana pneumonia komunitas pada geriatri.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif pada pasien geriatri rawat inap dengan pneumonia komunitas di RSCM periode 1 Januari 2012-31 Maret 2016. Analisis cost effectiveness digunakan untuk analisis farmakoekonomi yang membandingkan biaya (cost) dengan hasil luaran klinis sembuh (effectiveness).
Hasil: Sebanyak 104 pasien geriatri dengan pneumonia komunitas dirawat di RSCM dianalisis cost effectiveness dan dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu: kombinasi seftriakson azitromisin (n=38), kombinasi sefotaksim azitromisin (n=23), monoterapi meropenem (n=22), kombinasi meropenem levofloksasin (n=13), dan monoterapi sefepim (n=8). Kesembuhan tertinggi pada monoterapi sefepim (100%), kombinasi sefotaksim azitromisin (95,7%), dan kombinasi seftriakson azitromisin (92,1%). Kematian tertinggi pada kombinasi meropenem levofloksasin (46,2%) dan monoterapi meropenem (36,4%). Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok besar. Kelompok 1 terdiri dari kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin. Kelompok 2 terdiri dari kombinasi meropenem levofloksasin, monoterapi meropenem dan monoterapi sefepim. Nilai ACER (Average Cost Effectiveness Ratio) pada kombinasi seftriakson azitromisin Rp285.097,- dan monoterapi sefepim memiliki nilai ACER Rp 1.747.356,-. Pada nilai ICER (Intremental Cost Effectivenees Ratio), penggunaan kombinasi seftriakson azitromisin memberikan selisih penambahan harga sebesar Rp 31.756,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi sefotaksim azitromisin. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 58.124,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan monoterapi meropenem. Penggunaan monoterapi sefepim memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 83.918,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin. Penggunaan meropenem memberikan selisih penurunan harga sebesar Rp 179.724,- untuk setiap selisih penambahan 1% kesembuhan dibandingkan dengan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.
Kesimpulan: Kedua rejimen antibiotik kombinasi seftriakson azitromisin dan kombinasi sefotaksim azitromisin memiliki cost effectiveness yang sama untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri. Monoterapi sefepim memiliki cost effectiveness lebih tinggi dibandingkan monoterapi meropenem dan kombinasi meropenem levofloksasin untuk terapi pneumonia komunitas pada geriatri.

Background: Pneumonia is one of the major health problems in elderly. The aging process of organ systems and many comorbid factors contribute to increase the morbidity and mortality of pneumonia in geriatric patients, causing high costs of the treatment, mainly the cost of antibiotic. The high cost of antibiotic used for community pneumonia creates need for pharmacoeconomics analysis. Cost effectiveness analysis is one of the method for doing pharmacoeconomics analysis.
Objective: To analyze the cost effectiveness of antibiotic uses on community pneumonia in elderly.
Method: This study was conducted retrospectively in hospitalized geriatric patients with community pneumonia in RSCM for period of 1 January 2012-31 March 2016. The cost effectiveness analysis method was used to analyze pharmacoeconomics by comparing the expense (cost) with clinically cured patients (effectiveness).
Result: A total of 104 geriatric patients with community pneumonia treated in RSCM were analyzed by using cost effectiveness method. They were classified into 5 groups: combination of azithromycin ceftriaxone+azithromycin (n=23), combination of cefotaxime+azithromycin (n=38), meropenem monotherapy (n=22), combination of meropenem+levofloxacin (n=13), and cefepime monotherapy (n=8). The highest percentage of recovery was found in cefepime monotherapy (100%), followed by combination of cefotaxime+azithromycin (95.7%) and combination of ceftriaxone+azithromycin (92.1%). The highest percentage of mortality was observed in the combination of meropenem+ levofloxacin (46.2%), followed by meropenem monotherapy (36.4%). This research is divided into two large groups. Group 1 consisted of combination of ceftriaxone+azithromycin and combination of cefotaxime+azithromycin. Group 2 consisted of combination of meropenem+levofloxacin, meropenem monotherapy and cefepime monotherapy .The Average Cost Effectiveness Ratio of combination ceftriaxone+azithromycin is Rp 285.097,-while the ACER of cefepime monotherapy is Rp 1.747.356,-. The Intremental Cost Effectivenees Ratio of combination of ceftriaxone+azithromycin is Rp 31.756,- for each 1% increment of recovery when compared to combination of cefotaxime+azithromycin. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 58.124, - for each 1% additional of recovery compared to meropenem monotherapy. The use of cefepime monotherapy provides reduction of Rp 83.918,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin. The use of meropenem provides reduction of Rp 179.724,- for each 1% additional of recovery compared to combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
Conclusions: Both of two regimen azithromycin+ceftriaxone and cefotaxime+azithromycin got the same cost of effectiveness for the treatment of community pneumonia in elderly. Cefepime monotherapy has higher cost effectiveness than meropenem monotherapy and combination of meropenem+levofloxacin for treatment of community pneumonia in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Nofria Rizki Amalia
"Pandemi Coronavirus disease-19 (COVID-19) telah secara drastis mempengaruhi kesehatan global. Salah satu komplikasi COVID-19 yang berbahaya adalah pneumonia. Berbagai jenis antibiotik telah digunakan untuk pencegahan dan pengobatan pneumonia pada pasien COVID-19. Pemberian antibiotik yang tidak sesuai dapat memicu resistensi antibiotik sehingga berdampak pada peningkatan mortalitas pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Sampel penelitian adalah 72 pasien rawat inap yang mendapat diagnosis COVID-19 terkonfimasi dan pneumonia di RSUP Fatmawati Jakarta pada periode Maret hingga Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia memiliki rerata usia 53,13 ± 12,61 tahun. Pasien dengan derajat penyakit COVID-19 berat atau kritis (66,7%) lebih banyak dibandingkan non-berat (33,3%). Jumlah pasien meninggal yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah 36 (50%). Berdasarkan evaluasi antibiotik menggunakan diagram alir Gyssen diperoleh hasil sejumlah 11 dari 72 (15,3%) pasien menggunakan regimen antibiotik yang tidak sesuai. Karakteristik ketidaksesuaian antibiotik, meliputi: ketidaktepatan pemilihan antibiotik (2,8%) dan durasi antibiotik (12,5%). Kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen tidak berpengaruh secara bermakna terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dan pneumonia.

The COVID-19 pandemic affected global health drastically. COVID-19 becomes more dangerous if pneumonia attacks COVID-19 patients as a complication. Numerous types of antibiotics were used for the prevention and treatment of pneumonia in COVID-19 patients. Inappropriate administration of antibiotics caused antibiotic resistance and influenced patient mortality. This research aims to analyze the effect of appropriate antibiotics administration according to Gyssen flowchart on clinical outcomes of confirmed COVID-19 patients with pneumonia. This research was conducted using a cross-sectional design. A total of 72 COVID-19 confirmed inpatients with pneumonia diagnosis from March to December 2020 at Fatmawati Hospital Jakarta whose met inclusion criteria were included in our study. The mean age of all patients was 53.13 ± 12.61 years. The percentage of critical or severe ill patients (66.7%) was higher than those who were having noncritical diseases (33.3%). 36 (50%) death were reported in our patient population. 11/72 (15.3%) antibiotic regimens were found to be inappropriate. Characteristics of inappropriate antibiotics included: incorrect choice (2.8%) and duration of antibiotics (12.5%). We conclude that appropriate administration of antibiotics based on the gyssen flowchart was not significantly associated with the clinical outcomes of confirmed COVID-19 with pneumonia patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Siswati
"Penggunaan obat yang tidak rasional seperti antibiotika pada ISPA bukan pneumonia merupakan masalah yang mengkhawatirkan karena dapat menghambat penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit, menyebabkan pemborosan karena pemakaian yang tidak perlu serta menimbulkan efek samping dan resistensi terhadap bakteri, Penggunaan antibiotika untuk kasus ISPA bukan Pneumonia dan diare di Kota Padang masih tinggi yaitu rata-rata 28 %, dengan target ideal 0 % dan target propinsi kecil dart 20 %.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan Pneumonia di puskesmas se-Kota Padang, dan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yang meliputi umur, latar belakang pendidikan, pengetahuan, sikap terhadap pedoman pengobatan, keterampilan dalam penetapan diagnosis, adanya tenaga kesehatan panutan, permintaan pasien, supervisi serta pelatihan dengan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia.
Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode yaitu metode kuantitatif dengan desain cross sectional dan metode kualitatif. Proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia 24,3 % dan hasil analisis bivariat pada penelitian kuantitatif diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan responder, sikap responden terhadap pedoman pengobatan, supervisi dan pelatihan dengan perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia . Hasil pada penelitian kualitatif sebagian besar menunjang hasil yang diperoleh pada penelitian kuantitatif.
Dengan hasil penelitian ini diharapkan adanya penurunan penggunaan antibiotika yang tidak rasional, khususnya pada penderita ISPA bukan pneumonia dengan menginterverisi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam penggunaan antibiotika ini.

Factors Related to Antibiotic Use Health Center Personal Behavior for Children Under Five Years with Non Pneumonic Acute Respiratory Tract Infections in PadangIrrational drug use such as antibiotic for non pneumonic acute respiratory tract infections is the problem because reduction in the quality of drug therapy leading to increased morbidity and mortality increased cost, adverse reactions and bacterial resistance. Antibiotic use for non pneumonic acute respiratory tract infections and nonspecific diarrhea in Health Center Padang City, average 28,0 % . It is much higher than ideal target of 0 % and still height than province target of less than 20 °/a,
The aim of this study to know how much antibiotic use proportion in children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections, and to know about relationship independent variable such as age, background study, knowledge, attitude of standard treatment, skill of decision diagnoses, prescribes behavior, patients demands, supervision and formal training with dependent variable antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections.
Study with 2 methods, Quantitative method with cross sectional design and Qualitative method. Result of antibiotic use proportion 24,3 %, and bivariat analysis in quantitative method result significant relationship between knowledge, attitude of standard treatment, supervision, and formal training with antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections. Amount of qualitative result support quantitative result study.
Result study may use to decrease irrational antibiotic use behavior, especially to decision making for drug use interventions in non pneumonic acute respiratory tract infections.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Bestari
"Salah satu faktor yang dianggap berperan menyebabkan peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat. Indonesia adalah salah satu negara dengan angka infeksi yang masih tinggi sehingga tingkat penggunaan antibiotika pun relatif tinggi. Salah satu infeksi dengan insiden yang tinggi adalah infeksi saluran napas bawah. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotika pada pasien dengan pneumonia di unit rawat inap penyakit dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari hingga Maret 2015 dengan parameterDefined Daily Dose (DDD)/100 pasien-hari. Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang, menggunakan rekam medik pasien. Jumlah sampel adalah 115 orang, dengan jumlah pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas 56 orang dan pneumonia nosokomial 53 orang. Antibiotika dengan penggunaan terbanyak adalah azitromisin (35,71 DDD/100 hari pasien), seftriakson (31,34 DDD/ 100 pasien-hari), meropenem (28,83 DDD/100 pasien-hari), sefepim(27,44 DDD/100 pasien-hari), dan levofloksasin (19,64 DDD/100 pasien-hari).

Inappropriate use of antibiotic could increase the number of resistant bacterias. Indonesia is a country with high incidence of infection, therefore the use of antibiotics is relatively high. Lower respiratory tract infection is one of the infection with highest incidence. This study aimed to assess the quantity of antibiotic utilization in internal medicine inpatients ward in Cipto Mangunkusumo Hospital during January to March 2015. This study is a descriptive cross-sectional study using medical record as the data source. The number of sample is 115 patients, with 56 patients diagnosed with community acquired pneumonia and 53 patients diagnosed with nosocomial pneumonia. The most frequently used antibiotics are azithromycin(35,71 DDD/100 patient-days), ceftriaxone(31,34 DDD/ 100 patient-days), meropenem (28,83 DDD/100 patient-days), cefepime(27,44 DDD/100 patient-days), dan levofloxacine (19,64 DDD/100 patient-days).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>