Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20889 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Tujuan: Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya kanker serviks.
Metode: Penelitian kasus-kontrol ini dilakukan di RSUD A.W. Sjahranie Samarinda Kalimantan Timur mulai Januari hingga Juli 2009. Bilangan masing-masing 58 pasien untuk setiap kelompok kasus dan kontrol. Variabel dalam penelitian ini adalah usia, menarche, menopause, usia pertama kali menikah, paritas, status merokok suami, penggunaan kontrasepsi hormonal, jenis kontrasepsi hormonal, lama kontrasepsi hormonal, penggunaan kontrasepsi IUD (intra uterine device) dan lama kontrasepsi IUD.
Hasil: Analisis data final menunjukkan bahwa paritas dan lama penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan risiko kanker serviks. Perempuan dengan 5-12 anak dibandingkan 0-4 anak memiliki peningkatan risiko kanker serviks sebanyak 2,6 kali. Jika dibandingkan dengan perempuan yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal,
mereka yang menggunakan selama 1-4 tahun dan 5-25 tahun memiliki peningkatan risiko kanker serviks sebanyak 2 dan 4,5 kali.
Kesimpulan: Skrining terhadap kanker serviks disarankan lebih difokuskan pada perempuan berisiko tinggi, khususnya perempuan yang pernah melahirkan anak lebih dari 5 kali atau perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormonal dengan lama pemakaian lebih dari 5 tahun.

Abstract
Aim: To find risk factors associated with cervical cancer.
Methods: This a case-control study conducted in A.W. Sjahranie County General Hospital at Samarinda East Kalimantan from January until July 2009. There were 58 patients for each case and control group. Variables in this study were age, menarche, menopause, age of fi rst marriage, parity, spouse?s smoking status, hormonal contraception use, type of hormonal contraception, duration of hormonal contraception, IUD (intra uterine device) contraception use and duration of IUD contraception.
Results: fi nal data analysis shows that parity and duration of hormonal contraception use increased the risk of cervical cancer. Women who had 5-12 children than 0-4 children had 2.6-folds increased risk to be cervical cancer. Compared to women never use of hormonal contraception, those who ever had hormonal contraception for 1-4 years and 5-25 years had two time and 4.5 times increased risk to be cervical cancer respectively.
Conclusion: Cervical cancer screening recommended to be focused on high-risk groups, among others, women with the number of children born more than fi ve people or women in particular users of hormonal contraception methods with a range of use more than five years."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Mulawarman, Samarinda. Fakultas Kedokteran], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Kontrasepsi hormonal berhubungan dengan perubahan dalam metabolisme beberapa zat gizi yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan berat badan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji risiko obesitas pada pemakai kontrasepsi hormonal di Kabupaten Kulon Progo, Jogjakarta. Rancangan penelitian potong lintang digunakan untuk menentukan prevalensi obesitas pada penderita kontrasepsi. Sampling klusters acak sistematik dengan desa sebagai klusternya, digunakan untuk memilih 647 pemakai kontrasepsi di Kulon progo. Sebagai kasus didapat 102 pemakai yang ‘obese’ dan 102 orang sebagai kontrol, sebelumnya dilakukan kesetaraan untuk umur dan status sosial ekonomi pada kasus dan kontrol. Rancangan kasus kontrol dalam penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi risiko obesitas di antara pemakai kontrasepsi hormonal. Penelitian ini menunjukkan prevalensi obesitas di antara pemakai kontrasepsi di Kulon Progo adalah 15.9%. Pemakai kontrasepsi hormonal memiliki risiko menjadi obesitas sebesar 9.4 kali (95% CI: 1.1 – 81.5). Pemakai kombinasi pil terlihat memiliki risiko tertinggi, diikuti oleh pemakai susuk, sedangkan risiko pemakai ‘implant’ sama dengan pemakai kontrasepsi non hormonal. Risiko obesitas tidak berhubungan dengan asupan energi ataupun keluaran energi. Peningkatan risiko obesitas pada pemakai kontrasepsi hormonal tetap signifikan setelah dilakukan kontrol terhadap usia, paritas, berat badan awal, status sosial ekonomi, asupan energi dan keluaran energi serta obesitas pada orang tuanya. Kami menyimpulkan bahwa risiko obesitas lebih besar pada pemakai kontrasepsi hormonal dibandingkan dengan pemakai kontrasepsi nonhormonal. Pemakai kombinasi pil memiliki risiko tertinggi. (Med J Indones 2005; 14: 163-8)

Hormonal contraception is related to change in the metabolism of some nutrients that may lead to an increase in body weight. The aims of this study is to assess the risk of obesity in hormonal contraceptive users in the District of Kulon Progo, Jogjakarta, Indonesia. A cross sectional study was used to determine the prevalence of obesity among users of contraception. A systematic cluster random sampling, using villages as clusters, was used to choose 647 users of contraception in Kulon Progo. A hundred and two obese cases and 102 control, matched-for-age and socioeconomic status, controls were included in the case control study used to evaluate the risk of obesity among users of hormonal contraception. The prevalence of obesity among users of contraception in Kulon Progo was 15.9%. Users of hormonal contraception has a increased risk for obesity, OR: 9.4 (95% CI: 1.1 – 81.5). Users of combination pills faced the highest risk, followed by users of injected progesterone depot, while the risk in implant users was the same as that in users of non-hormonal contraception. The risk of obesity was significantly higher after 7 years of hormonal contraception use. The risk of obesity was neither related to energy intake nor expenditure. The increased risk of obesity in users of hormonal contraception was still significant after controlling for age, parity, initial weight, socioeconomic status, energy intake and expenditure, and parental obesity. We conclude that the risk of obesity is higher in users of hormonal contraception compared to the non-hormonal ones. Users of combination pills face the highest risk of obesity. (Med J Indones 2005; 14: 163-8)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (3) July September 2005: 163-168, 2005
MJIN-14-3-JulSep2005-163
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Chelein Lestyani
"Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Beberapa faktor risiko kanker leher rahim diantaranya yaitu usia, pengetahuan, kebiasaan merokok, riwayat seksual, paritas, pemakaian kontrasepsi, hereditas, kurangnya pap smear, immunocompromise dan stres. Tujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko kejadian kanker leher rahim pada penderita kanker leher rahim. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian cross sectional. 100 Responden dipilih dengan metode pusposive sampling. Mayoritas responden tidak memiliki faktor keturunan kanker dan riwayat kanker sebelumnya, kontrasepsi terbanyak yang digunakan adalah kontrasepsi hormonal dengan tidak melakukan pemeriksaan rutin terhadap kontrasepsi yang digunakan. Responden tidak pernah melakukan pemeriksaan papsmear dengan mayoritas alasan tidak tahu, tidak memiliki riwayat immunocompromise, menggunakan cara yang kurang tepat dalam membersihkan alat kelamin, mempunyai pengetahuan yang baik tentang kanker leher rahim dan mayoritas responden mengalami kecemasan tingkat ringan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk edukasi kesehatan terhadap para perempuan dengan tujuan menekan angka kejadian kanker leher rahim.

Cancer is the second largest cause of deadth after cardiovascular disease in the word. Several factors the risk of cervical cancer of them the age, knowledge, smoking, the acts of sexual, parity, discharging contraceptive, heredity, papsmear , immunocompromise and stress. The purpose to reveal the risk factor for cervical cancer incidence in patient with cervical cancer this research method was conducted using cross sectional study. 100 respondents were selected by pusposive sampling metode. The mayority of respondents did not have cancer heredity factors and a history of previous cancer, contraception most use is a hormonal contraception with not doing a routine of contraceptive use. Respondents never do papsmear examination with a majority do not know the reason, do not have a history of immunocompromise , using a less precise way in cleanig genitals, have a good knowledge about cervical cancer and the majority of respondents experienced mild anxiety level. This research can be used as information for health education to women with the aim of suppressing the incidence of cervical cancer.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64391
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Klijn, Jan G.M.
New York: Raven press , 1987
616.994 KLI h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Frides Susanty
"Servisitis merupakan bagian dari Infeksi Menular Seksual (IMS), dengan perkembangan bidang sosial, demografik dan meningkatnya migrasi penduduk, populasi berisiko tinggi akan semakin meningkat. WHO memperkirakan 376 juta infeksi baru dengan 1 dari 4 IMS yaitu: klamidia (127 juta), gonore (87 juta), sifilis (6,3 juta) dan trikomoniasis (156 juta). Penelitian Gatot dkk menunjukkan 11,9 % pasien mengalami servisitis. Penelitian Iskandar, dkk prevalensi infeksi serviks (klamidia 9,3 % dan gonore 1,2 %). Berdasarkan hasil SDKI, terjadi peningkatan tren pemakaian kontrasepsi di Indonesia sejak tahun 1991 sampai 2017. Secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara servisitis dengan infeksi HPV, sehingga bila servisitis tidak ditangani dengan baik, maka akan meningkatkan risiko untuk terinfeksi HPV. Seseorang dengan gejala servisitis mukopurulen meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian servisitis. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, dengan desain cross sectional study. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan IVA puskesmas yang didampingi Female Cancer programme (FcP) di DKI Jakarta tahun 2017-2019. Jumlah sampel 3563 orang, yaitu memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis yang digunakan logistic regression. Prevalensi penyakit servisitis pada penelitian ini 11,20%. Terdapat hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian servisitis yang bermakna signifikan secara statistik dengan p-value =0,0000 POR 1,673 95% CI (1,323 - 2.115). Perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormonal untuk mencegah terjadinya servisitis dan kanker leher rahim.

Cervicitis is one of the Sexually Transmitted Infections (STIs). There is a correlation between socio-demographic development and migration with increase of the number of high-risk populations. WHO estimates there are 376 million new infections by 1 out of 4 STIs, such as chlamydia (127 million), gonorrhea (87 million), syphilis (6.3 million) and trichomoniasis (156 million). Gatot et al, showed that 11.9% of patients had cervicitis. Iskandar, et al, also showed the prevalence of cervical infections (chlamydia 9,3% and 1,2% gonorrhea). Based on the results of the SDKI, there had been an increasing trend in contraceptive use in Indonesia from 1991 to 2017. There was a statistically significant association between cervicitis and HPV infection. It will increase the risk of getting infected by HPV if cervicitis is left untreated. Additionally, a person with mucopurulent cervicitis symptoms has an increased risk of cervical cancer. This study aims to determine the relationship between the use of hormonal contraceptives and the incidence of cervicitis. This is a quantitative study with a cross sectional study design. This study used secondary data from the results of the VIA examination at the primary health care supervised by the Female Cancer Program (FcP) in DKI Jakarta in 2017-2019. The number of samples were 3563 people, who met the inclusion and exclusion criteria. This study used logistic regression to analyze the data. The prevalence of cervicitis in this study was 11.20%. There is a relationship between hormonal contraceptive use and the incidence of cervicitis which is statistically significant with p-value<0.0001. Thus, it is necessary to carry out periodic checks on women who use hormonal contraception to prevent cervicitis and cervical cancer"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryanti
"Tujuan: Mengetahui prevalensi katarak senilis dan faktor-faktor risiko yang berperan pada kejadian katarak di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross-sectional, pada 2550 subyek dari 85- klaster. Semua subyek dilakukan kunjungan rumah untuk pemeriksaan visus secara kasar dengan pin-hole, pemeriksaan lensa serta segmen posterior mengunakan senter dan oftalmoskop langsung. Setelah itu dilakukan wawancara faktorfaktor risiko katarak. Faktor-faktor risiko yang berperan dicari dengan memakai analisis statistik multivariat. Hasil: Subyek yang dapat diperiksa secara lengkap sebesar 95% dari semua target, Prevalensi katarak senilis di kabupaten Kutai Kartanegara adalah 31,7%. Faktor-faktor yang berperan pada kejadian katarak antara lain faktor usia, suku dan letak geografi. Kesimpulan: Prevalensi katarak senilis di Kutai Kartanegara masih tinggi, diperlukan penanganan yang komprehensif dan Iintas sektoral. Suku Dayak dan penduduk yang tinggal di daerah pegunungan inempunyai risiko katarak lebih besar di bandingkan dengan keseluruhan pupulasi yang tinggal di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Objective: To determine the prevalence rates and contribution of risk factors cause of senile cataract in east Kalimantan. Method: An observational cross-sectional study was carried out involving 2550 subjects aged 50 years and over divided into 85 clusters. Home visits were conducted for ophthalmology examination including visual acuity evaluation with pin-hole, inspection of posterior segment and lens using flash light, and direct ophthalmoscopy. Major risk factors were analized using multivariate statistical method. Results: Ninety five percent subjects were examined completely. Prevalence of senile cataract in Kutai Kartanegara was 31,7%. The factors influent cataract prevalence were age, ethnic and geographic. Dayaknis and people living in mountain range have higher cataract risks than others population in this study. Conclusion: Prevalence of senile cataract in Kutai Kartanegara is quite high. More comprehensive cataract management is needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Anemia merupakan salah satu efek samping yang paling sering dialami pasien kanker yang diterapi dengan cisplatin dosis tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perkembangan anemia dan menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap anemia pada pasien yang diterapi cisplatin. Dilakukan pengumpulan data pada pasien kanker kepala dan leher yang menjalani kemoterapi berbasis cisplatin antara Desember 2002 hingga Desember 2005. Insidensi dan faktor risiko anemia dianalisis dengan mencakup faktor usia, jenis kelamin, kadar Hb awal, klirens kreatinin awal, dan metastasis jauh. Stratifikasi menurut usia dan jenis kelamin dilakukan terhadap kadar Hb awal dan CrCl awal. Analisis multivariat digunakan untuk mengidentifikasi prediktor independen anemia. Dari 86 pasien, 26 (30,2%) mengalami anemia, ditandai kadar hemoglobin < 11 g/dL. Kadar hemoglobin turun secara signifikan setelah siklus pertama, dan terus menurun. Usia > 55 tahun (RR = 2.2, 95% CI, 1.2-4.0), jenis kelamin perempuan (RR = 2.0, 95% CI, 1.2-3.8), kadar Hb awal ≤ 13 g/dL (RR = 4.2, 95% CI, 1.9-9.4) dan CrCl awal < 50 mL/menit (RR = 2.9, 95% CI, 1.7-5.1) berkorelasi dengan insidensi anemia (P < 0.05). Pada analisis multivariat, kadar hemoglobin awal dan klirens kreatinin awal merupakan faktor risiko independen anemia. Akan tetapi, terdapat efek perancu pada klirens kreatinin awal pada stratifikasi menurut usia (aRR = 2.2, 95% CI, 1.1-4.7). Kadar hemoglobin awal merupakan prediktor terkuat dari anemia. Kadar hemoglobin awal ≤ 13 g/dL ke bawah dan klirens kreatinin awal < 50 g/dL merupakan prediktor independen anemia akibat cisplatin, sehingga keduanya bernilai penting terhadap upaya prevensi anemia.

Abstract
Cisplatin is well-known for its effectiveness against cancer, as well as its toxicity to human tissues. Of several documented side effects, anemia was reported to have significant association with decreased quality of life. This study was conducted to investigate development of cisplatin-induced anemia, and to identify independent factors contributing to anemia. Clinical data from head and neck cancer patients treated with high-dose cisplatin between December 2002 and December 2005 were obtained in this study. Incidence and risk factors of anemia were assessed in a model including age, sex, baseline hemoglobin level, baseline creatinine clearance, and occurrence of distant metastases. Multivariate logistic regression was used to define independent predictors of anemia. Among 86 eligible patients, 26 (30.2%) developed anemia, defined as Hb level lower than 11 g/dL. Age > 55 years old (RR = 2.2, 95% CI, 1.2-4.0), female sex (RR = 2.0, 95% CI, 1.2-3.8), baseline Hb ≤ 13 g/dL (RR = 4.2, 95% CI, 1.9-9.4) and baseline CrCl < 50 mL/min (RR = 2.9, 95% CI, 1.7-5.1) were significantly correlated with incidence of anemia (P < 0.05). In multivariate analysis, baseline Hb and baseline CrCl were identified as independent risk factors for anemia. However, considerable confounding was observed in baseline CrCl after stratified by age (aRR = 2.2, 95% CI, 1.1-4.7). Thus, baseline Hb level was the strongest predictor of anemia. The findings suggested that baseline Hb and CrCl were useful to recognize cisplatin-treated patients at risk for anemia who might benefits from preventive measures."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Fakultas Kedokteran], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mulia
"Latar Belakang: Proktitis radiasi merupakan komplikasi yang sering dijumpai akibat terapi radiasi pada pasien keganasan pelvis. Berbeda dengan proktitis radiasi akut yang umumnya self-limiting, proktitis radiasi kronik (PRK) dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan meningkatnya biaya kesehatan, morbiditas, dan bahkan mortalitas pasien.
Tujuan: Mengevaluasi insidens dan faktor-faktor risiko terjadinya PRK pada pasien kanker leher rahim (KLR) yang mendapatkan terapi radiasi.
Metode: Dilakukan analisis retrospektif pada pasien-pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi di Departemen Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta selama kurun waktu 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010. Data mengenai pasien, faktor yang berhubungan dengan terapi radiasi, dan PRK akibat komplikasi lanjut dari terapi radiasi dikumpulkan dari catatan medik pasien.
Hasil: Selama periode tersebut, terdapat 234 pasien yang memenuhi kriteria penelitian. Dengan median follow-up selama 30 bulan, didapatkan 12 pasien [5,1% (IK 95% 2,28-7,92%)] mengalami PRK (6 proktitis, 6 proktosigmoiditis). PRK terjadi pada 7-29 bulan setelah terapi radiasi selesai (median 14,5 bulan) dan 87% dari seluruh PRK terjadi dalam 24 bulan pertama setelah terapi radiasi. Dengan analisis multivariat Cox regresi, didapatkan hubungan bermakna antara dosis total radiasi yang diterima rektum >65 Gy (HR 7,96; IK 95% 2,30-27,50; p=0,001) dan usia ≥60 tahun (HR 5,42; IK 95% 1,65-17,86; p=0,005) dengan terjadinya PRK. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara teknik radiasi 2 dimensional external radiation therapy (2D-XRT) (HR 1,36; IK 95% 0,41-4,51; p=0,616), riwayat histerektomi (HR 1,14; IK 95% 0,34-3,79; p=0,83), dan indeks massa tubuh (IMT) <18,5 kg/m2 (HR 2,34; IK 95% 0,51-10,70; p=0,265) dengan terjadinya PRK.
Simpulan: Insidens kumulatif PRK selama 3 tahun pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi adalah 5,1% (IK 95% 2,28-7,92%). Dosis total radiasi yang diterima rektum >65 Gy dan usia ≥60 tahun merupakan faktor risiko potensial terjadinya PRK pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi. Teknik radiasi 2D-XRT, riwayat histerektomi, dan IMT <18,5 kg/m2 belum dapat dibuktikan sebagai faktor risiko terjadinya PRK pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi.

Background: Radiation proctitis is frequently occured as a complication of radiotherapy for pelvic malignancies. Unlike acute radiation proctitis that is usually self-limiting, chronic radiation proctitis (CRP) can impact on quality of life and increase health cost, morbidity, and even mortality of the patients.
Aims: To evaluate the incidence and risk factors of CRP after radiotherapy in patients with cervical cancer (CC).
Methods: A detailed retrospective analysis was performed on CC patients who had radiotherapy at the Department of Radiotherapy Faculty of Medicine, The University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from 1st January to 31st December 2010. Data on patient, treatment-related factors, as well as CRP as late complication of radiotherapy were collected from patients’ medical records.
Results: During that period of time, 234 patients met the criteria for this study. With a median follow-up of 30 months, 12 patients [5,1% (CI 95% 2,28-7,92%)] developed CRP (6 proctitis, 6 proctosigmoiditis). CRP occured 7-29 months after completion of radiotherapy (median 14,5 months) and 87% of all CRP occured within 24 months after radiotherapy. Multivariate Cox regression analysis demonstrated significant association between the total rectal-received dose >65 Gy (HR 7,96; CI 95% 2,30-27,50; p=0,001) and age ≥60 years (HR 5,42; CI 95% 1,65-17,86; p=0,005) and the occurrence of CRP. There was no significant association between 2 dimensional external radiation therapy (2D-XRT) technique (HR 1,36; CI 95% 0,41-4,51; p=0,616), history of hysterectomy (HR 1,14; CI 95% 0,34-3,79; p=0,83), and body mass index (BMI) <18,5 kg/m2 (HR 2,34; CI 95% 0,51-10,70; p=0,265) and the occurrence of CRP.
Conclusions: The 3 years cumulative incidence of CRP after radiotherapy in patients with CC is 5,1% (CI 95% 2,28-7,92%). The total rectal-received dose >65 Gy and age ≥60 years are the potential risk factors of CRP after radiotherapy in CC patients. The 2D-XRT technique, history of hysterectomy, and BMI <18,5 kg/m2 have not been proven as the risk factors of CRP after radiotherapy in CC patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Puspita Hati
"Kanker menjadi penyebab utama kematian global yang menyebabkan hampir 10 juta kematian atau hampir seperenam kasus kematian pada tahun 2020. Tindakan pencegahan primer yang efektif dapat mencegah setidaknya 40% kasus kanker. Tingkat kematian akibat kanker di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, mencerminkan kesenjangan dalam menangani faktor risiko, keberhasilan deteksi, dan pengobatan. Wanita di negara berkembang paling sering menderita kanker serviks. Masyarakat terutama wanita memerlukan pengetahuan mengenai faktor risiko kanker serviks. Salah satu solusi potensial untuk masalah ini peran machine learning dalam mempelajari data pasien kanker serviks. Penelitian ini menggunakan algoritma clustering K-Prototypes, yang dapat mengelompokkan data campuran, baik numerik maupun kategorik. Data faktor risiko kanker serviks dari pasien di RSUPN X digunakan dalam penelitian ini. Seleksi fitur dilakukan untuk meningkatkan kinerja algoritma KPrototypes, dengan membandingkan seleksi fitur menggunakan Variance Threshold dan Correlation Coefficient. Kinerja algoritma K-Prototypes terbaik didapatkan dengan menggunakan Correlation Coefficient yang ditinjau berdasarkan Silhouette Coefficient sebesar 0,6; Davies-Bouldin Index sebesar 0,6; dan Callinzki-Harabasz Index sebesar 1.080. Interpretasi cluster yang terbentuk dari simulasi menghasilkan perbedaan utama karakteristik faktor risiko dari dua cluster, yaitu umur, menopause, dan kondisi kesehatan seperti keputihan, pendarahan, nyeri perut bawah, dan penurunan nafsu makan. Sementara, faktor terkait riwayat terdahulu, kesehatan reproduksi, dan masalah gizi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Algoritma K-Prototypes diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengidentifikasi kelompok berdasarkan faktor risiko kanker serviks untuk membantu tenaga medis dalam mengambil keputusan dan tindakan selanjutnya, serta pengetahuan bagi masyarakat.

Cancer is a leading cause of death worldwide, resulting in nearly 10 million deaths, or almost one-sixth of all deaths, in 2020. Effective primary prevention measures can prevent at least 40% of cancer cases. Cancer mortality rates are higher in developing countries compared to developed countries, reflecting disparities in addressing risk factors, detection success, and available treatments. Women in developing countries most frequently suffer from cervical cancer. It is crucial for communities, especially women, to have knowledge about the risk factors for cervical cancer. One potential solution to this issue is the role of machine learning in analyzing cervical cancer patient data. This study uses the K-Prototypes clustering algorithm, which can cluster mixed data, both numerical and categorical. Cervical cancer risk factor data from patients at X National General Hospital were used in this research. Feature selection was performed to improve the performance of the K-Prototypes algorithm, comparing feature selection using Variance Threshold and Correlation Coefficient. The best performance of the K-Prototypes algorithm was obtained using the Correlation Coefficient, as reviewed based on a Silhouette Coefficient of 0,6; a Davies-Bouldin Index of 0,6; and a Callinzki-Harabasz Index of 1.080. Interpretation of the clusters formed from the simulation revealed major differences in the characteristics of risk factors between two clusters, namely age, menopause, and health conditions such as leukorrhea, bleeding, lower abdominal pain, and loss of appetite. Meanwhile, factors related to previous history, reproductive health, and nutritional issues did not show significant differences. The K-Prototypes algorithm is expected to be a solution in identifying groups based on cervical cancer risk factors to assist medical professionals in decision-making and subsequent actions, as well as to provide knowledge to the public."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Sulistyaningsih
"Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan pertama dari kejadian kanker ginekologi perempuan. Kanker serviks merupakan kanker kedua paling banyak pada wanita yang tinggal di negara yang tertinggal dengan perkiraan 570.000 kasus baru pada tahun 2018. Kanker serviks sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita dan keluarganya serta beban pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Masih tingginya kejadian kanker serviks bisa disebabkan karena faktor risiko yang belum tertangani secara baik di masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan menggunakan disain studi case control. Sumber data yang digunakan adalah data primer. Terdapat sebanyak 166 sampel yang terdiri dari 83 kasus dan 83 kontrol sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan hasil analisis terdapat hubungan yang signifikan antara usia pertama kontak seksual dengan kejadian kanker serviks dengan nilai odds ratio sebesar 3,20 (p value: 0,001.; 95% CI: 1,626-6,299). Selain itu faktor risko lain seperti jumlah pasangan (OR=4,91; p value: 0,000; 95% CI: 1,884-12,845), paritas (OR=2,84; p value: 0,001; 95% CI: 1,510-5,357), pil oral kontrasepsi (OR=2,74; p value: 0,002.; 95% CI: 1,452-5,197) juga berhubungan secara signifikan dengan kejadian kanker serviks. Terdapat beberapa faktor risiko yang tidak berhubungan secara statistik antara lain merokok (OR=2,23; p value: 0,075; 95% CI: 0,910-5,564), personal hygiene (OR=1,48; p value: 0,212; 95% CI: 0,799-2,727) dan status gizi (OR=1,18; p value: 0,755; 95% CI: 0,356-4,150). Penting untuk membuat berbagai program promosi kesehatan dengan kegiatan sosialisasi dan KIE terkait faktor risiko kejadian kanker serviks.

Cervical cancer is the most common type of gynecologic cancer in women. In the least developed countries, cervical cancer is the second most common type of cancer with 570.000 new cases in 2018 . Cervical cancer significantly influences patients’ quality of life and places a financial burden on the government. The high number of cervical cancer cases can be due to poor management of its risk factor in society. This is a quantitative case-control study using primary data. A total of 166 samples are gathered based on inclusion and exclusion criteria. These samples were then divided equally into the control and case groups, making each group have 83 subjects. Based on data analysis, there is a significant relationship between the age of first sexual intercourse and cervical cancer with an odds ratio of 3,20 (p-value: 0,001.; 95% CI: 1,626-6,299). Moreover, other risk factors such as the number of sexual partners (OR=4,91; p-value: 0,000; 95% CI: 1,884-12,845), parity (OR=2,84; p-value: 0,001; 95% CI: 1,510-5,357), usage of oral contraception (OR=2,74; p-value: 0,002.; 95% CI: 1,452-5,197) also play a significant part in the occurrence of cervical cancer. On the other hand, some risk factors does not correlate with cervical cancer statistically, including smoking (OR=2,23; p-value: 0,075; 95% CI: 0,910-5,564), personal hygiene (OR=1,48; p-value: 0,212; 95% CI: 0,799-2,727) and nutritional status (OR=1,18; p-value: 0,755; 95% CI: 0,356- 4,150). It is important to develop various health promotion programs including social activities and counseling about risk factors of cervical cancer."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>