Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20130 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pemberian kombinasi ekstrak phaseolus vulgaris dosis 1500 mg dan akar bose dosis 50 mg menghasilkan penurunan kadar glukosa posprandial yang tidak bermakna jika dibandingkan pemberian 50 mg akarbose saja."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengukur besarnya efek kombinasi ekstrak Phaseolus vulgaris dan akarbose dibandingkan dengan akarbose saja dalam menurunkan kadar glukosa posprandial pada sukarelawan sehat setelah makan nasi. Metode Sampel darah diambil pada waktuwaktu tertentu sampai tiga jam setelah makan nasi. Parameter kadar glukosa posprandial adalah luas area di bawah kurva kadar glukosa terhadap waktu selama tiga jam setelah makan nasi. Hasil Setelah pemberian kombinasi ini terjadi penurunan luas area di bawah kurva sebesar 21.6%, sedangkan pada pemberian akarbose terjadi penurunan sebesar 22.9%. Simpulan Pemberian kom binasi ekstrak Phaseolus vulgaris dosis 1500 mg dan akarbose dosis 50 mg menghasilkan penurunan kadar glukosa posprandial yang tidak bermakna jika dibandingkan pemberian 50 mg akarbose saja.

Abstract
Aim: This study was aimed to measure the effects of combination Phaseolus vulgaris extract and acarbose compared to acarbose alone on postprandial glucose concentration in healthy volunteers after cooked rice intake. Methods: Blood sample were obtained at several time points up to three hours after cooked rice intake. The parameter for postprandial glucose concentration is the area under the curve (AUC) of glucose concentration vs.time for three hours after cooked rice intake. Results: After taking this combination, postprandial glucose concentration was reduced by 21.6%, while the reduction by acarbose alone was 22.9%. Conclusions: The reduction of postprandial glucose concentration after administration of this combination was not significantly different compared to that after administration of acarbose alone. Keywords: Phaseolus vulgaris extract, acarbose, postprandial glucose concentration."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Widjaja
"Ekstrak Phaseolus vulgaris merupakan ekstrak dan kacang jenis White kidney bean. Ekstrak ini digunakan sebagai suplemen untuk menurunkan berat badan, dengan cara menghambat penyerapan karbohidrat melalui hambatan enzim aamilase. Sudah pemah dilakukan penelitian menggunakan ekstrak Phaseolus vulgaris terhadap penghambatan absorpsi karbohidrat dengan menggunakan roti putih, namun belum ada penelitian pada manusia yang menilai efek ekstrak Phaseolus vulgaris terhadap penyerapan karbohidrat setelah makan nasi.
Tujuan penelitian: Mengetahui berapa besar ekstrak Phaseolus vulgaris menurunkan absorpsi karbohidrat pada sukarelawan Indonesia yang makan nasi.
PeneIitian ini menggunakan desain menyilang, acak, tersamar ganda, berpembanding plasebo dengan washout 1 minggu. Dilakukan pada 18 orang sukarelawan sehat. Ekstrak Phaseolus vulgaris 1,5 gram atau plasebo diberikan tepat sebelum makan nasi. Sampel darah diambil pada waktu-waktu tertentu sampai 4 jam setelah makan nasi. Sebagai parameter absorpsi karbohidrat adalah luas area di bawah kurva kadar gula darah terhadap waktu (AUC 0-4 jam) yang dihitung secara trapezoidal. Absorpsi karbohidrat yang dimakan bersama ekstrak Phaseolus vulgaris dan absorpsi karbohidrat yang dimakan bersama plasebo, dibandingkan dengan menggunakan uji t berpasangan.
Hasil penelitian menunjukkan setelah pemberian ekstrak Phaseolus vulgaris, terjadi penurunan absorpsi karbohidrat yang ditunjukkan dengan penurunan AUC04 jam rerata 9,50 % dengan kisaran 1,05 % dan 19,37 % ,dibandingkan sewaktu mendapat plasebo. Penurunan ini bermakna secara statistik (p<0,001). Puncak kadar gula darah tercapai pada menit ke-60 setelah makan nasi, sedangkan hambatan absorpsi karbohidrat yang ditunjukkan dengan kadar gula darah sudah mulai terlihat pada menit ke-30, dengan penurunan kadar gula darah yang terlihat cukup besar pada menit ke-45 sampai menit ke-60 setelah makan nasi.
Kesimpulan : Penggunaan ekstrak Phaseolus vulgaris dengan dosis 1,5 gram pada sukarelawan sehat Indonesia yang makan nasi, dapat menurunkan absorpsi karbohidrat dengan kisaran 1,05 % dan 19,37%, rerata 9,50 %.

Background : Phaseolus vulgaris extract is a water-extract of a common white kidney bean. As supplement, this extract potentially promote weight loss. Its use is based on it inhibitors of amylase activity content that cause reduction of starch digestion and reduce carbohydrate uptake. Clinical studies have used Phaseolus vulgaris extract inhibit carbohydrate absorption of white bread, but .no clinical studies have been done after rice intake:
Purpose : To study how much Phaseolus vulgaris extract can reduce for carbohydrate absorption in healthy Indonesian volunteer rice intake.
Methods : Thirteen males and five males (ages 18 to 56) were screened to participate in a randomized, double-blind, placebo-controlled, crossover study after the informed consent. One and half gram Phaseolus vulgaris extract or placebo given concurrently by rice meal. Plasma glucose in IV blood were measured every 15 minutes on first hour, 20 minutes on second, and 30 minutes on third and fourth for 4 hours by a colorimetric enzyme kit (GOD FS Diasys®) after meal. The parameter for carbohydrate absorption is the Area Under Curve for 4 hours (AUC 0-4 hours). Carbohydrate absorption after Phaseolus vulgaris extract and after placebo were compared by paired-t test.
Result : After taking Phaseolus vulgaris extract, carbohydrate absorption was reduce, the Area Under Curve for 4 hours range (AUC0-4 hours) average 9.50 % ( 1.05 % and 19.37 %), compared with placebo. The reduction is statistically significant (p
Conclusion : One and half gram Phaseolus vulgaris extract can reduce the carbohydrate absorption with range 1.05 % and 19.37%, average 9.50 %, after rice meal in healthy Indonesian volunteer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T 17672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Lahirin
"Penelitian ini merupakan penelitian dengan design cross over, tersamar ganda, alokasi acak, dan bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian minuman teh hijau terhadap kadar glukosa darah postprandial setelah mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat pada individu remaja sehat. Sebanyak 24 subjek remaja sehat mengikuti penelitian ini sampai selesai. Seluruh subjek penelitian mendapat perlakuan dengan mengonsumsi minuman teh hijau yang mengandung 66,52 mg katekin teh hijau atau 369,14 mg katekin teh hijau, serta dua lembar roti dan tiga gram sukrosa. Perlakuan terbagi dalam dua hari dengan diselingi periode wash out selama tiga hari. Pada penelitian ini terkumpul 24 data per kelompok, yang terdiri dari karakteristik demografi dan hasil pengukuran kadar glukosa darah puasa, menit ke-30, 60, dan 120. Hasil penelitian ini memperlihatkan rerata usia subjek 20,08 ± 0,40 tahun dan rerata indeks massa tubuh (IMT) 20,37 ± 1,40 kg/m2. Kadar glukosa darah puasa tidak menunjukkan perbedaan bermakna di antara kedua kelompok (p = 0,164). Hasil pengukuran kadar glukosa darah kelompok yang mengonsumsi 369,14 mg katekin teh hijau dibandingkan yang mengonsumsi 66,52 mg katekin teh hijau, lebih rendah secara bermakna pada menit ke-60 dan ke-120 dengan nilai sebagai berikut 113,70 ± 13,20 mg/dL vs 124,16 ± 8,17 mg/dL; p = 0,005 dan 88,95 ± 6,13 mg/dL vs 105,25 ± 13,85 mg/dL; p <0,001. Kesimpulan, kadar glukosa darah postprandial lebih rendah secara bermakna pada pemberian minuman yang mengandung 369,14 mg katekin teh hijau dibandingkan dengan mengonsumsi 66,52 mg katekin teh hijau.

This study was a randomized, cross over, double-blind clinical trial, aimed to evaluate the effect of green tea on postprandial blood glucose level after consumption of high carbohydrate diet in healthy adolescents. Twenty four subjects completed this study. After solution of 2 g or 10 g green tea in 300 mL hot water was made, the subjects was given 100 mL, two slices bread and 3 g sucrose which held in two days with three day-wash out period. Twenty four data in each group were analyzed, including demographic characteristic, fasting and postprandial blood glucose levels which measured at regular intervals (30, 60, and 120 min). This study showed mean age of subjects was 20,08 ± 0,40 years and mean body mass index was 20,37 ± 1,40 kg/m2. Fasting blood glucose level in both groups was not significantly different (p = 0,164). At min 60 and 120, postprandial glucose levels in intervention group (which consumed 369,14 mg green tea catechins) were significantly lower compared with control group (which consumed 66,52 mg green tea catechin); 113,70 ± 13,20 mg/dL vs 124,16 ± 8,17 mg/dL; p = 0,005 and 88,95 ± 6,13 mg/dL vs 105,25 ± 13,85 mg/dL; p <0,001. In conclusion, there was a significant decrease in postprandial blood glucose after consumption of 369,14 mg catechins green tea compared with 66,52 mg catechins green tea. "
Depok: [Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, ], 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syirat Fathannullah Pitres
"Nanopartikel perak (NP Ag) berpotensi untuk dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi perawatan tanaman. Akan tetapi, efek NP Ag terhadap tanaman belum sepenuhnya diketahui karena dipengaruhi beberapa faktor, seperti ukuran, konsentrasi, dan jenis tanaman. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh variasi konsentrasi NP Ag dan respons tanaman yang memiliki karakteristik biji berbeda, seperti Phaseolus vulgaris dan Capsicum frutescens perlu dilakukan. Terdapat 4 kelompok perlakuan yaitu NP Ag konsentrasi 0 (kontrol), 5, 10, dan 15 mg/L. Pada parameter perkecambahan, NP Ag cenderung meningkatkan perkecambahan kedua tanaman konsentrasi tinggi. Pada parameter pertumbuhan, NP Ag meningkatkan pertumbuhan P. vulgaris pada konsentrasi 5 mg/L, sedangkan C. vulgaris cenderung meningkat pada konsentrasi 15 mg/L. Pada parameter fisiologi, NP Ag cenderung bersifat toksik pada fisiologi P. vulgaris, sedangkan pada C. frutescens cenderung bersifat sebagai stimulan. Sementara itu, NP Ag cenderung menimbulkan sitotoksisitas pada kedua tanaman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh antara konsentrasi NP Ag dan ukuran biji tanaman terhadap respons kecambah, pertumbuhan, fisiologi tanaman, dan sitotoksisitas P. vulgaris dan C. frutescens. Selain itu, NP Ag cenderung menghasilkan efek toksik pada biji yang berukuran besar dan testa yang tipis.

Silver nanoparticles (Ag NPs) have the potential to increase plant growth and plant care efficiency. However, the effect of Ag NPs on plants is not yet fully understood because it is influenced by several factors, such as size, concentration and type of plant. Therefore, research on the effect of variations in NP Ag concentration and the response of plants with different seed characteristics, such as Phaseolus vulgaris and Capsicum frutescens, needs to be carried out. There were 4 treatment groups, namely NP Ag concentrations of 0 (control), 5, 10, and 15 mg/L. In terms of germination, Ag NPs tended to increase the germination of both plants at high concentrations. In terms of growth, Ag NPs increased the growth of P. vulgaris at a concentration of 5 mg/L, while C. vulgaris tended to increase at a concentration of 15 mg/L. In terms of physiology, Ag NPs tend to be toxic to P. vulgaris, while in C. frutescens they tend to act as a stimulant. Meanwhile, Ag NPs tend to cause cytotoxicity in both plants. The conclusion of this research is that there is an influence between NP Ag concentration and plant seed size on germination, growth, physiology, and cytotoxicity of P. vulgaris and C. frutescens plants. In addition, Ag NPs tend to produce toxic effects on large seeds and thin testa."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steffi Sonia
"Pendinginan nasi dipercaya masyarakat dapat menurunkan respons glikemik. Pendinginan diketahui menyebabkan terjadinya retrogradasi pati yang meningkatkan kandungan pati resisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendinginan nasi putih terhadap kandungan pati resisten dan respons glikemik pada subjek sehat. Kandungan pati resisten diperiksa pada nasi putih baru matang (nasi kontrol), nasi putih yang didinginkan 10 jam pada suhu ruang (nasi uji I), dan nasi putih yang didinginkan 24 jam pada suhu 4°C kemudian dihangatkan kembali (nasi uji II). Nasi kontrol dan satu jenis nasi uji yang memiliki kandungan pati resisten lebih tinggi digunakan dalam penelitian eksperimen dengan desain crossover acak pada 15 subjek sehat untuk menentukan adanya perbedaan respons glikemik.
Hasil menunjukkan bahwa kandungan pati resisten dalam nasi kontrol, nasi uji I, dan nasi uji II berturut-turut sebesar 0,64 g/100 g, 1,30 g/100 g, dan 1,65 g/100 g. Nasi uji II menurunkan respons glikemik secara signifikan dibandingkan dengan nasi kontrol (berturut-turut 2256,5 ± 902,1 mg.menit/dL dan 2730,0 ± 870,2 mg.menit/dL, p = 0,047). Penelitian ini menunjukkan bahwa pendinginan meningkatkan kandungan pati resisten nasi putih. Nasi putih yang telah didinginkan 24 jam pada suhu 4°C kemudian dihangatkan kembali menurunkan respons glikemik dibandingkan dengan nasi putih baru matang.

Cooling cooked rice is believed to lower glycemic response. Cooling is known to cause starch retrogradation which increases resistant starch (RS) content. This study aimed to determine the effect of cooling of cooked white rice on RS content and glycemic response in healthy subjects. RS contents were analyzed on freshly cooked white rice (control rice), cooked white rice cooled for 10 hours at room temperature (test rice I), and cooked white rice cooled for 24 hours at 4°C then reheated (test rice II). Control rice and one type of test rice with higher RS content were used in the clinical study with randomized crossover design in 15 healthy subjects to determine a difference in glycemic response.
The results showed that RS contents in control rice, test rice I, and test rice II were 0.64 g/100 g, 1.30 g/100 g, and 1.65 g/100 g, respectively. Test rice II significantly lowered glycemic response compared with control rice (2256.5 ± 902.1 mg.min/dL vs 2730.0 ± 870.2 mg.min/dL, respectively; p = 0.047). In conclusion, cooling cooked white rice significantly increased RS content. Cooked white rice cooled for 24 hours at 4°C then reheated lowered glycemic response compared with freshly cooked white rice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trinovita Andraini
"Latar Belakang: Saat ini, perubahan pola diet, terutama pola diet Barat, yang banyak mengkonsumsi makanan siap saji dan minuman ringan menyebabkan peningkatan konsumsi harian fruktosa yang bermakna, bahkan mencapai 85-100 gram per hari. Data di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa seiring terus meningkatnya konsumsi HFCS dan sukrosa (terutama dari minuman ringan) juga terjadi peningkatan prevalensi obesitas. Peningkatan konsumsi fruktosa tampaknya merupakan salah satu faktor paling penting yang berkontribusi terjadinya epidemi obesitas karena dua alasan, yaitu proses metabolisme fruktosa terjadi lebih cepat dan menyediakan substrat lipogenik yang lebih banyak pada stadium postprandial dan fruktosa dapat menyebabkan overconsumption karena konsumsi fruktosa tidak menyebabkan peningkatan hormon leptin dan insulin posprandial. Leptin dan insulin merupakan sinyal adiposa jangka panjang yang bekerja pada hipotalamus dan mengatur jumlah asupan makanan dan energy expenditure sehingga mempengaruhi berat badan seseorang.
Tujuan: Menganalisis pengaruh diet tinggi fruktosa terhadap kadar leptin serum postprandial tikus dan pengaruhnya terhadap asupan makanan dan berat badan.
Metode: Studi eksperimental secara in vivo pada tiga kelompok tikus jantan spesies Sprague-Dawley, berusia 8-10 minggu dengan berat badan berkisar antara 150-200 gram. Tikus diberikan perlakuan selama 15 hari diberi larutan kontrol atau larutan glukosa 43% dengan dosis 2 mL/100 g BB/hari, atau fruktosa 43% dengan dosis 2 mL/100 g BB/hari dan makanan standar. Parameter yang diukur adalah jumlah asupan makanan, pertambahan berat badan dan kadar hormon leptin postprandial setelah 15 hari perlakuan dengan metode ELISA (Enzyme- Linked Immunosorbent Assay).
Hasil: Kadar leptin serum postprandial tikus lebih tinggi secara bermakna pada kelompok perlakuan glukosa tetapi tidak berbeda bermakna pada kelompok perlakuan fruktosa dibanding kelompok kontrol, sedangkan jumlah asupan makanan pada kelompok perlakuan fruktosa lebih rendah daripada kelompok glukosa dan pertambahan berat badan pada kelompok perlakuan fruktosa lebih tinggi daripada kelompok perlakuan glukosa tetapi tidak berbeda bermakna.
Kesimpulan: Fruktosa memiliki kecenderungan menyebabkan kadar leptin postprandial lebih rendah dari glukosa dan memiliki kecenderungan menyebabkan penurunan asupan makanan dan peningkatan berat badan yang lebih besar dibandingkan glukosa.

Background: Nowadays, due to changing on diet, especially Western diet which consumes fast food and soft drink cause increasing daily consumption of fructose, even to achieve 85-100 gram per day. In US, data shows that the more to consume HFCS and sucrose (especially soft drink), the more to increase obesity. The increase of fructose consumption appears to be one crucial factor which contributes obesity epidemic due to two reasons as follows: fructose metabolism process happens faster and provides more lipogenic substrate on postprandial stadium and fructose can cause overconsumption because fructose consumption is not the same as glucose which does not cause increasing leptin hormone and insulin postprandial. Leptin and insulin are the long tenn adiposity signal which work on hipothalamus and manage amount of consumption food and energy expenditure so it will influence body weight.
Objective: To understand the influence of high fructose diet on postprandial level of serum leptin and its influence to daily food intake and body weight in rat.
Method: In vivo experimental study on three groups of male rats of Sprague-Dawley species, age between 8-10 weeks with body weight around l50-200 gram. Rats are given treatment for 15 days and given control liquid or glucose liquid 43% with dose of 2 mL/l00gr body weight/day or fructose 43% with dose of 2 mL/100 gr body weight/day and standard food. The measured Parameter are amount of daily food intake, increasing of body weight and postprandial serum leptin level after 15 days of treatment with ELISA (Enzyme Linked Immzmosorbent Assay) method.
Result: The rats postprandial serum leptin level is higher significantly on glucose treatment groups but it is not different to fructose treatment group compared to control group. In addition, amount of daily food intake on fructose treatment group is lower than that of glucose group and gaining body weight of fructose treatment group is higher than that of glucose treatment but the different between them is not significant.
Conclusion: Fructose tends to cause degree of postprandial serum leptin level lower than glucose and tend to cause decreasing consumption of food and gaining body weight higher than glucose.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T33931
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prinsha Alifina
"Nanopartikel perak (NP Ag) merupakan salah satu nanopartikel logam mulia yang banyak  digunakan di berbagai bidang, salah satunya bidang agrikultur. Berdasarkan sifatnya yang cenderung berbahaya bagi lingkungan, biosintesis NP Ag menjadi salah satu cara sintesis yang ramah lingkungan. Nano-priming merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menginduksi perkecambahan biji dan dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons biji tanaman Capsicum frutescens L. dan Phaseolus vulgaris L. yang diberikan NP Ag ukuran 10 nm dengan variasi konsentrasi 5, 10, dan 15 ppm. Respons tersebut dinilai berdasarkan beberapa parameter yakni parameter biometrik, sitotoksisitas, dan fisiologis. Parameter biometrik meliputi panjang akar, batang, dan total; indeks kecepatan pertumbuhan; laju germinasi; persentase germinasi; berat basah; berat kering; kandungan air; dan indeks vigor biji. Parameter sitotoksisitas dinilai berdasarkan indeks mitosis; indeks variasi aberasi; dan deskripsi hasil observasi kromosom. Terakhir parameter fisiologis didapatkan dari kandungan fenolik total. Pemberian NP Ag terhadap Phaseolus vulgaris mampu meningkatkan seluruh parameter biometrik, fisiologis, dan sitotoksisitas. Sementara itu, pada Capsicum frutescens pemberian NP Ag meningkatkan pertumbuhan, indeks mitosis, dan fisiologis. Pemberian konsentrasi 5–10 ppm bersifat stimulan dan memberikan hasil paling optimal, sementara itu konsentrasi 15 ppm memiliki kecenderungan toksik. Efek pemberian NP Ag ukuran 10 nm dengan variasi konsentrasi 5, 10, dan 15 ppm dipengaruhi oleh karakteristik biji, seperti ukuran dan jenis testa.

Silver nanoparticles (Ag NPs) are noble metal nanoparticles widely used in agriculture. Based on its nature which tends to be dangerous for the environment, biosynthesis of Ag NPs is an environmentally friendly synthesis method. Nano-priming is one method used to induce imbibition in seeds and is used to increase growth. This research aims to determine the response of Capsicum frutescens L. and Phaseolus vulgaris L. seeds given 10 nm Ag NPs with varying concentrations of 5, 10 and 15 ppm. This response is measured based on several parameters, namely biometric, chromosomal and physiological parameters. Biometric parameters include root, stem, and total length; growth speed index; germination rate; germination percentage; fresh weight; dry weight; water content; and seed vigor index. Chromosome parameters were measured based on the mitotic index; aberration variation index; and a descriptive explanation from the results of chromosome observations. The final physiological parameter was obtained from the total phenolic content. The results show significant increases in biometric, physiological, and cytotoxicity parameters of Phaseolus vulgaris. In Capsicum frutescens, Ag NPs increased growth, mitotic index and physiology parameter. Concentration of 5–10 ppm provides the most optimal results and works as stimulant, meanwhile 15 ppm has a toxic tendency.The difference in response is caused by differences in seed characteristics, such as size dan testa type. Therefore, Phaseolus vulgaris and Capsicum frutescens responded differently to the application of Ag NPs."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meiyanti
"Latar belakang: Mahkota dewa, (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari Papua Tanaman ini dikenal di Indonesia, secara empiris banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit Uji in vivo pada hewan coba menunjukkan bahwa mahkota dewa dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetabui efek bubuk daging buah mahkota dewa dalam menurunkan kadar glukosa darah pada manusia sehat setelah pembebanan glukosa, dan untuk mengetahui besarnya dosis mahkota dewa yang efektif untuk menurunkan glukosa darah.
Rancangan penelitian: Desain yang digunakan adalah uji Mimic terbuka (tanpa pembanding) dengan dosis yang ditingkatkan, titrasi tidak dipaksakan (unforced titration) Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bubuk daging buah mahkota dewa yang dimasukkan ke dalam kapsul. Lima belas sukarelawan dibenkan pembebanan glukosa 75 gram setelah puasa 10 jam untuk mendapatkan kadar glukosa swami baseline. Tiga hari kemudian dilakukan kembali pembebanan glukosa disertai dengan pemberian mahkota dewa dosis 250 mg. Untuk mehliat respon drlibat kadar glukosa serum pads 0 menit dan 15, 30, 60, 120, 180, dan 240 menit setelah pembebanan glukosa raja maupum setelah pembebanan glukosa + mahkota dewa. Setelah itu dihitung luas area di bawah kurva kadar glukosa serum terhadap waktu sampai dengan 4 jam (AUG 04 jam). Bila pada pemberian mahkota dewa 250 mg diperoleh pengurangan mlai AUC < 10 % dibandingkan AUC baseline maka dilakukan peningkatan dosis menjadi 500 mg atau menjadi 1000 mg bila dengan pemberian dosis 500 mg penunman nilai AUC < 10 % dibandingkan AUC baseline.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian ini memberikan hasil bahwa bubuk daging buah mahkota dewa dosis 500 mg mernperlihatkan pennnman ndai AUC yang secara statistik bermakna (p< 0,05). Penurunan kadar glukosa serum bergantung pada dosis yang diberrkan, makin besar dosis yang diberikan makin besar penurunan kadar glukosa serum.
Disimpulkan bahwa bubuk daging buah mahkota dewa dosis 500 mg dapat menurunkan kadar glukosa darah orang sehat. Mash perlu dilakukan uji klimk lebih lanjut untuk menilai efikasi bush mahkota dewa pada penderita diabetes melitus, sebelum dipergunakan sebagai obat tambahan/alternatif

Background: Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Schell) Boerl) is an original Indonesian plant derived from Papua This plant is well-known in Indonesia and has been empirically used for the treatment of various diseases. In vivo test in experimental animals indicates that mahkota dewa could reduce blood glucose level.
Objective: The objective of this study was to evaluate the effect of mahkota dewa mesocarp fruit powder in reducing the increased blood glucose level in glucose loading healthy volunteers, and to determine the effective dose of mahkota dewa in reducing blood glucose level.
Methods: The study design was open clinical study (without control group) with increasing doses and unforced titration. The material used in this study was capsules containing mahkota dewa mesocarp fruit powder. Fifteen healthy volunteers were induced hyperglicernic by loading of 75 gram of glucose after 10 hour fasting . The resulting blood glucose level upon loading alone was described as the serum basal level of glucose. Three days later, the glucose loading procedure was repeated together with the administration of 250 mg mahkota dewa. In order to examine the response, blood glucose levels were observed in 0 minute, 15, 30, 60, 120, 180 and 240 minute after being loaded by glucose in absence and presence mahkota dewa. Subsequently, the area under the curve of blood glucose level aligned with 4 hour lime axis (AUC o.-0 hour) was calculated. lithe AUC value decreased < 10% after 250 mg mahkota dewa administration compared to baseline AUC then the dose was increased to 500 mg or it would be increased to 1000 mg if the AUC value decreased < 10% after 500 mg dose administration compared to baseline AUC.
Results and conclusions: This study suggests the potentially beneficial effect of mahkota dewa mesocarp fruit powder of 500 mg dose in reducing the AUC value of serum glucose after glucose loading, which is statistically significant (p < 0.05). The effect of mahkota dewa in decreasing blood glucose depends on the given dose. The greater the dose given, the greater the decreasing effect of blood glucose occur. In conclusion, mahkota dewa mesocarp fruit powder of 500 mg dose reduces blood glucose level in healthy volunteers after glucose loading. Further clinical studies should be conducted to evaluate the efficacy of mahkota dewa fruit in diabetes mellitus patients before it is used as adjunctive/alternative treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perolehan produk pangan probiotik sebagai flavor gurih (savory) memungkinkan konsumsi probiotik secara inovatif. Seasoning berprebiotik adalah pekatan/konsentrat hasil pemurnian biomassa probiotik yang mengandung Bakteri Asam Laktat (BAL) dari campuran lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophilus dan metabolitnya dengan subtrat berupa kacang merah terfermentasi oleh kapang rhizopus-PL19 sebagai kaldu nabati...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>