Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66165 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Wiwik Budi Wasito
"Tesis ini membahas tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan impeachment yang di dalam mekanismenya melibatkan tiga lembaga negara, antara lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketiga lembaga negara ini memiliki wewenang atributif yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk menjalankan proses impeachment tersebut. Sebagai wujud dari pelaksanaan sistem checks and balances, dalam melaksanakan proses impeachment, ketiga lembaga negara ini memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum dan peraturan perundang-undangan sebab Indonesia ialah negara hukum. Pengertian hukum tidak hanya terbatas pada adanya peraturan perundang-undangan saja, namun juga dipatuhinya putusan hakim yang bersifat memaksa dan mengikat. Dalam kasus impeachment, putusan MK yang bersifat final dan mengikat, pada akhirnya harus dipatuhi oleh DPR dan MPR dalam memutus pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya.

The thesis is about the discharging of the President and/or the Vice President in the Indonesian constitutional system as known as impeachment, which is the mechanism are involving three state organs, among others are, House of Representatives (DPR), Constitutional Court (MK), and People Representative Assembly (MPR). These three state organs have attributive authority, which is stated in the Constitution of the State of the Republic of Indonesia year 1945 (UUD 1945), to role the impeachment's process. As a concrete implementation of checks and balances system, in order to role impeachment process, these three state organs have obligation to obey the law and the legislations because Indonesia is a state law. The definition of law is not restricted only into rules and legislation, but also by the obedient of the judge's verdict which is force and bound. In impeachment cases, Constitutional Court's verdict is final and bound, and had to be obeyed by DPR dan MPR when they resolving the discharging of the President and/or the Vice President from their function."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25265
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Sudah digariskan dalam konstitusi, bahwa mahkamah konstitusi mempunyai satu kewajiban, yakni memutus pendapat DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban yang diberikan konstitusi ini untuk membuktikan kalau Indonesia adalah negara hukum. Meskipun Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, tetapi kewajiban ini diragukan independensinya oleh publik, karena faktor rekruitmen hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Kalaupun mereka ini berhasil menjatuhkan vonis bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah melanggar hukum, belum tentu putusannya mutlak mengikat kewenangan majelis permusyawaratan rakyat."
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Safitri
"Pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Pesatnya perkembangan teknologi informasi di berbagai belahan dunia telah memunculkan berbagai kejahatan baru yang dikenal dengan sebutan kejahatan siber (cyber crime). Dalam mengatasi kejahatan siber ini, berbagai negara membuat suatu aturan khusus yang mengatur tentang kejahatan ini yang disebut dengan hukum siber (cyber law). Atas dasar inilah, kemudian diundangkanlah Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari penyalahgunaan dalam pemanfaatan teknologi informasi ini. Akan tetapi, pada kenyataannya undang-undang ini sendiri memiliki beberapa kelemahan, khususnya berkaitan dengan rumusan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dimana menurut berbagai kalangan, rumusan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang terdapat didalam ketentuan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE tersebut terlalu luas pengaturannya yang dapat menyebabkan terjadinya multitafsir terhadap rumusan penghinaan tersebut yang dapat membatasi kebebasan menyatakan pendapat di media internet dan jejaring sosial. Oleh karena itu, untuk melihat sejauh mana ketentuan tersebut dapat menjadi masalah dilakukanlah penelitian ini. Dari hasil penelitian, didapatkan kesimpulan bahwa rumusan penghinaan yang dimaksud oleh undang-undang ini adalah penghinaan dalam arti formil. Bahwa pasal 27 ayat (3) Undang-undang ITE pada prinsipnya tidak menghalangi kebebasan berpendapat seseorang. Pembatasan yang terdapat didalam undangundang ini bertujuan untuk melindungi kepentingan dan hak pribadi seseorang dari ancaman penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap dirinya.

The utilization of information technology, media, and communications have changed the behavior of both human society and civilization in globally. The rapid development of information technology in various parts of the world has led to the various new crime known as cyber crime. In order to overcome this cyber crime, many countries around the world make a apecial rules to regulating this cyber crimes that called cyber law. Based on this point, then the Indonesian goverment issued Law No. 11 Year 2008 of Information and Electronic Transaction, that aims to provide protection to the public society from abuse of technology in this utilization of the information technology. However, in reality this law itself has some drawbacks, especially related to the formulation of libel in the article 27 (3) of this ITE Act, which according to various groups, the terminology of libel that contained in the article 27 (3) of the ITE act is too broad that can cause the multiple interpretations of libel that may restrict the freedom of speech on the Internet and social networking media. Therefore, this research was conducted to see how far these provisions can be a problem. From the result of this research, it can be said that the libel that this act means is the libel per se. The article 27 (3) of the ITE Act, is in principle does not preclude a person freedom, the restrictions that contained in this legislation is aims to protect the personal and interest and the personal rights from the libel or defamation to itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yobel Manuel Oktapianus
"Skripsi ini membahas mengenai upaya untuk memastikan keterlibatan anggota MPR yang melaksanakan fungsi representasi secara kewilayahan (regional/territorial representation) dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia. Proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden Indonesia sebagaimana diatur saat ini cenderung mengadopsi pendekatan congressional model. Pendekatan ini mengilhami bahwa anggota parlemen dari seluruh kamar parlemen wajib diikutsertakan dalam proses pemberhentian tersebut. Namun, proses penelitian dalam skripsi ini justru menemukan kecenderungan bahwa pengambilan keputusan terkait pemberhentian pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dapat dilakukan oleh anggota MPR yang berasal dari kamar parlemen dengan karakteristik fungsi representasi ideologi politik (political representation) semata. Hal ini berpotensi menimbulkan suatu akibat bahwa pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dapat dilakukan tanpa keterlibatan anggota MPR dari fungsi keterwakilan secara kewilayahan sama sekali. Untuk mencegah timbulnya dominasi dari anggota MPR yang menjalankan fungsi keterwakilan ideologi politik terhadap proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, diperlukan suatu mekanisme untuk melembagakan kehadiran anggota MPR yang menjalankan fungsi keterwakilan wilayah dalam proses pemberhentian tersebut. Upaya ini dapat dikontekstualisasikan dengan penerapan prinsip double majority vote, yaitu mekanisme pengambilan keputusan melalui pemungutan suara dimana indikator tercapainya mayoritas suara harus memenuhi aspek kualitatif maupun kuantitatif. Secara komparatif, konstitusi Kazakhstan yang merumuskan konsep ketatanegaraan layaknya Indonesia telah memuat penerapan prinsip ini secara implisit dalam pengaturan proses pemberhentian presidennya. Dalam rangka merumuskan ide guna menyelesaikan serangkaian permasalahan sebagaimana diuraikan sebelumnya, penulis melakukan penelitian dengan berbasis pada pendekatan yuridis normatif dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian dalam skripsi ini berkesimpulan bahwa prinsip ini dapat diterapkan sebagai syarat pengambilan keputusan dalam konteks penyelenggaraan sidang rapat paripurna MPR yang membahas usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

This undergraduate thesis discusses efforts to ensure the involvement of MPR members, who perform the function of regional/territorial representation, in the process of removing the President and/or Vice-President in Indonesia. The process of removing the President and/or Vice-President of Indonesia, as currently regulated, tends to adopt the congressional model. This approach implies that members of parliament from all houses of parliament must be involved in the impeachment process. However, the research process in this undergraduate thesis found a tendency that the decision making in relation to the removal of the President and/or Vice-President in Indonesia can be made by members of the MPR who come from parliamentary chambers characterized by the function of political ideological representation alone. This could potentially mean that the impeachment of the President and/or Vice-President in Indonesia could be carried out without the involvement of MPR members from the territorial representation function. In order to prevent the dominance of MPR members who function as political ideological representatives in the process of dismissing the President and/or Vice-President in Indonesia, a mechanism is needed to institutionalise the presence of MPR members who function as regional representatives in the impeachment process. This effort can be contextualised through the application of the double majority vote principle, which is a decision-making mechanism through voting in which the indicators for achieving a majority of votes must meet both qualitative and quantitative aspects. By comparison, the constitution of Kazakhstan, which formulates a constitutional concept similar to that of Indonesia, already implicitly includes the application of this principle in the regulation of the process of dismissing the president. In order to formulate ideas for solving the problems described above, the author conducted research based on a normative legal approach and a comparative approach. The results of the research in this undergraduate thesis conclude that this principle can be applied as a decision-making requirement in the context of holding a plenary session of the MPR to discuss the proposal to dismiss the President and/or Vice-President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Justitia Avila Veda
"Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP. Pasal ini muncul sebagai adopsi dari pasal penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda yang turut diberlakukan di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan berdasarkan asas konkordansi. Setelah kemerdekaan, ketentuan tersebut dipertahankan namun dengan penyesuaian berupa perubahan pada frasa "Raja" dan "Ratu" menjadi "Presiden" dan "Wakil Presiden". Sejak periode rezim pemerintahan Soeharto, ketentuan tersebut, khususnya pasal 134 KUHP banyak digunakan untuk mengkriminalisasi ungkapan, tulisan, atau perbuatan yang dinilai mencemarkan nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiadaan parameter untuk mengidentifikasi rasa keterhinaan menyebabkan unsur menghina dimaknai secara kabur oleh para hakim yang mengacu pada politik hukum pidana masing-masing rezim tanpa mempertimbangkan situasi kebatinan yang ada. Adanya potensi kelenturan pemaknaan pasal yang bisa melanggar kebebasan berekspresi mendorong adanya pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini berusaha membuktikan kecenderungan pemaknaan pasal 134 KUHP secara luas melalui analisis terhadap putusan pengadilan, ditunjang dengan dokumen-dokumen sejarah yang ada, di samping membandingkan keberadaan ketentuan tersebut dengan ketentuan serupa di beberapa negara lain.

Defamation towards President and Vice President of Republic of Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those articles were maintained after getting through a conformation-replacement of "King" and "Queen" phrases with "President" and "Vice President". Since the Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure interpretation of the "defaming" aspect in article 134. The judges gave the interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime, neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it, Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions supported with studies on historical documents regarding defamation towards the head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arofah
"Perubahan struktur ketatanegaraan seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 sebagai salah satu akibat dari Reformasi 1998, sehingga muncul komposisi baru pembentuk institusi MPR yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih oleh rakyat hasil Pemilu 2004.
Beberapa perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 memberikan implikasi terhadap komposisi dan relasi antarlembaga negara. Komposisi dalam lembaga MPR Sebelum Perubahan terdiri dari anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum dan utusan daerah serta utusan golongan, berubah menjadi anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan komposisi tersebut diikuti dengan beberapa perubahan peran, kedudukan, dan kewenangan lembaga MPR.
Berubahnya tugas dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi kedudukan MPR dalam struktur ketatanegaraan. Perubahan dari pemegang kedaulatan negara dan sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
Implikasi lain dari perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 yang berkenaan dengan lembaga MPR adalah relasi MPR dengan lembaga-lembaga tinggi negara lain. Relasi ini berkaitan erat denagn kedudukan, fungsi, peran, dan kewenangan lembaga MPR.
Dengan mengacu pada Pasal 3 UUD 1945 Setelah Perubahan, kewenangan MPR adalah :
1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD.
2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dari ketiga kewenangan MPR tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara mengingat pada Pasal 6A (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Sehingga Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR lagi dan mempunyai tingkat legitimasi yang sama dengan demikian, jelas bahwa kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara.
Perubahan tersebut telah mengubah Sistem Hukum Tata Negara Indonesia dalam kedudukan, tugas, dan wewenang .Lembaga Negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia. Dalam penelitian ini dibahas mengenai kewenangan lembaga MPR dalam kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pembahasan dikhususkan setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 dengan mencermati Pasal 3 ayat (3) serta kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19888
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Tjahjadi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S21695
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>