Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123857 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radhianie Djan
"Pada penelitian ini dianalisis tingkat karbonil sebagai penanda dari stress oksidatif di otak akibat terpapar oleh hipoksia hipobarik. Para penerbang atau pilot, sangat sering ditemukan dalam kondisi hipoksia hipobarik karena seringnya terpapar oleh berbagai macam faktor. Salah satu organ yang penting yang bisa terkena oleh stress oksidatif yang disebabkan karena hipoksia hipobarik adalah otak. Desain peneltian ini dilakukan dengan cara atau metode eksperimental, dimana pada penelitian ini digunakan jaringan otak tikus jantan galur winstar sebagai sampel jaringan. Setelah itu, sampel dikelompokkan menjadi empat perlakuan yang berbeda pada frekuensi pemaparan hipoksia hipobarik dan terdapat satu kelompok kontrol. Pengukuran tingkat karbonil/ oksidasi protein menggunakan metode pengukuran yang diterapkan oleh Cayman's Protein Carbonyl Assay yang telah dimodifikasi oleh departemen biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada hasil penelitian ditemukan adanya perbedaan tingkat karbonil yang bermakna antara empat kelompok yang diberi perlakuan dan kelompok control (p<0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada keadaan hipoksia hipobarik pada jaringan otak tikus.

In this study, there will be a discussion of the level of carbonyl concentration as the stress oxidative marker in the brain because of the exposure to the hypobaric hypoxia. The hypobaric hypoxia situation is often appeared in the pilot or aviator who frequently exposed to this kind of setting (high altitude). Hypobaric hypoxia may leads to the stress oxidative condition which can affect the vital organs particularly brain. In this study, the method used is experimental design and using the sample of brain tissue from male Wistar rats. Furthermore, the rat’s samples were differentiated into one control group and four different groups which exposed to the hypobaric hypoxia condition in each different altitude using the help of hypobaric chamber. In this study, the measurement of protein oxidation (carbonyl concentration) is using the method of Cayman's Protein Carbonyl Assay with several modification from the Universitas Indonesia biochemistry department. The results have confirmed that there is a significant different of carbonyl level in the exposed compared to the control group (p<0.05). As a consequence, we can conclude that in the hypobaric hypoxia situation, there will be an elevation of stress oxidative in the brain tissue."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carla Handayani
"Penelitian ini membahas tentang kadar karbonil sebagai penanda dari stress oksidatif di jantung akibat pajanan hipoksia hipobarik. Pada penerbang (pilot) sering mengalami keadaan hipoksia hipobarik karena mereka selalu menemui kondisi tersebut. Jantung, sebagai salah satu organ penting di tubuh sangat rentan terhadap paparan stres oksidatif yang disebabkan oleh hipoksia hipobarik. Pada penelitian ini, teknik penelitian yang dipilih adalah teknik eksperimental. Sampel jaringan yang dipakai adalah jaringan jantung tikus jantan galur winstar. Sampel ini lalu diklasifikasikan ke dalam empat perlakuan dengan perbedaan frekuensi pajanan hipoksia hipobarik dari hypoxia chamber dengan satu kelompok kontrol. Teknik yang digunakan untuk mengukur tingkat karbonil adalah teknik yang digunakan oleh Cayman's Protein Carbonyl Assay dan dimodifikasi oleh departemen biokimia di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan tingkat karbonil yang bermakna antara grup perlakuan dan grup kontrol (p<0.05). Penelitian ini menggambarkan adanya peningkatan stress oksidatif yang bermakna pada keadaan hipoksia hipobarik di jaringan jantung tikus.

This research describes about the level of carbonyl concentration as marker of stress oxidative in the heart because of the exposure of hypobaric hypoxia. Hypobaric hypoxia is vulnerable in aviator (pilot) who usually meets this situation. Heart, as one of important organ in the body is vulnerable to the exposure of stress oxidative because of hypobaric hypoxia state. The technique chosen in this study is experimental method. The sample selected is heart tissue from male rats winstar. This sample then classified into four different exposed clusters with different hypobaric hypoxia frequency in hypoxia chamber and one control group. The technique used to quantify carbonyl concentration is the technique from Cayman's Protein Carbonyl Assay Procedure which then altered by biochemistry department in Universitas Indonesia. The result of this experiment demonstrated that there is a significant difference of carbonyl concentration among exposed and control group (p<0.05). This project illustrates that there is marked increase of stress oxidative in hypobaric hypoxia setting in heart tissue."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abraham Yakub
"Penelitian ini membahas tingkat karbonil sebagai penanda dari stress oksidatif di ginjal akibat terpapar oleh hipoksia hipobarik akut interminten. Hipoksia hipobarik rentan terjadi kepada penerbang (pilot) yang sering terpapar oleh kondisi ini. Sebagai salah satu organ penting, ginjal rentan terpapar oleh stress oksidatif akibat hipoksia hipobarik. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental. Sampel jaringan yang dipakai adalah jaringan ginjal tikus jantan galur wistar. Sampel ini lalu dikelompokkan ke dalam empat perlakuan dengan perbedaan frekuensi paparan hipoksia hipobarik dari hypoxia chamber dan satu kelompok kontrol. Metode Cayman?s Protein Carbonyl Assay yang telah dimodifikasi oleh departemen biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia digunakan dalam percobaan ini. Hasil penelitian menunjukkan adanya tingkat perbedaan karbonil yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0.05). Bedasarkan hasil pada penilitian ini, dapat disimpulkan terdapat peningkatan stres oksidatif secara signifikan pada keadaan hipoksia hipobarik akut intermiten di jaringan ginjal tikus.

This study discussed about carbonyl concentration level as marker of stress oxidative in kidney due to acute intermittent hypobaric hypoxia exposure. Hypobaric hypoxia is prone to occur in aviators (pilots) who usually expose to this condition. As one of important organs, kidney is prone to be exposed by stress oxidative due to hypobaric hypoxia. This study uses experimental design. The sample used in this study was kidney tissue from male rats wistar. This sample then grouped into four different exposed groups which is differed in frequency of hypobaric hypoxia given in hypoxic chamber and a control group. The method used to measure carbonyl concentration was the method from Cayman's Protein Carbonyl Assay Procedure which then modified by biochemistry department Universitas Indonesia. The result from this experiment revealed that there was a significant difference of carbonyl concentration between exposed and control group (p<0.05). This study concluded that there was a significant increase of stress oxidative in acute intermittent hypobaric hypoxia condition in kidney tissue.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalagafiar Puratmaja
"Ketidakseimbangan tingkat oksidan dalam tubuh dapat berkembang menjadi berbagai kondisi yang membutuhkan perawatan medis seperti penyakit neurodegeratif, penyakit jantung, dan kanker. Durian (Durio sp.) sebagai buah yang terkenal di kalangan masyarakat Indonesia telah diketahui memiliki efek antioksidan berdasarkan sejumlah penelitian. Pemberian durian dengan manfaat sebagai antioksidan diharapkan dapat menyeimbangkan kadar tersebut. Diketahui bahwa kadar senyawa karbonil dalam plasma dapat digunakan sebagai indikator oksidan yang stabil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsumsi durian terhadap kadar senyawa karbonil pada plasma darah tikus. Jenis tikus Sprague-Dawley digunakan sebagai binatang percobaan dengan berat berkisar antara 100-150 gram. Tikus ini kemudian dibagi ke dalam empat grup. Grup kontrol hanya diberikan makanan standar dan air. Grup A, B, dan C mendapatkan tambahan larutan durian 10 mg/10 ml sebanyak dua kali per hari selama satu minggu (grup A), dua minggu (grup B), dan tiga minggu (grup C). Senyawa karbonil pada plasma diukur menggunakan teknik spektrofotometri. Hasil penelitian menemukan penurunan kadar senyawa karbonil pada grup A dengan kontrol. Temuan pada grup lain tidak dapat dianalisa karena jumlah sampel yang tersisa terlalu sedikit untuk mendapatkan kesimpulan.

Oxidant level imbalance in human body is related to several medical conditions including neurodegenerative disease, heart disease and cancer. Durian (Durio sp.), a famous fruit in Indonesia, is known for having antioxidant effect based on several studies. Administration of durian with its antioxidant effect expected to balance the amount of oxidant. Plasma carbonyl compounds have the capability to act as stable indicator of oxidant. The aim of this study is to investigate the effect of durian to the level of rat?s plasma carbonyl compound. Sprague-Dawley rats were used in this study, weighted between 100-150 grams. The rats then divided into four groups. Control group only received standard feeding and water. Group A, B, and C were given additional treatment with 10 mg/10 ml twice daily of durian solution for one week (group A), two weeks (group B), and three weeks (group C). Plasma carbonyl compound concentration measured under spectrophotometer. Result of this study shows that in-group A there was lower level of plasma carbonyl compound compared to control group. However, the amounts of samples from the other groups were too small. Therefore, the result from the other groups cannot be analysed."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dusy Sundusia
"ABSTRAK
Senyawaan karbonil merupakan salah satu zat pencemar yang dalam bentuk gas akan menyebabkan iritasi pada mata, kulit dan alat pernafasan bagian atas serta menimbulkan efek pembiusan. Senyawaan ini berasal dari industri kimia, buangan kendaraan bermotor, pembakaran senyawa-senyawa organik atau hasil reaksi dengan gas hidrokarbon pencemar
lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa karbonil sebagai turunan 2,4_dinitrofenilhidrazon dengan kromatografi gas. Senyawa-senyawa karbonil yang digunakan adalah komponen pencemar yang terkandung di udara, yaitu n-butanal, benzaldehida, asetofenon dan akrolein.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa turunan karbonil -2,4 dinit dapat dinitrofenilhidrazon diidentifikasi, dan campurannya dapat dipisahkan dengan fasa diam OV-17 (2%) dalam waktu analisa yang relatif singkat."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Canitra Ilham Adirespati
"ABSTRAK
Kerusakan yang diakibatkatkan oleh radikal bebas dapat terjadi pada berbagai unsur dari sel, yaitu salah satunya adalah protein yang dapat dideteksi berdasarkan keberadaan senyawa karbonil. Untuk mencegah kerusakan tersebut, tubuh memerlukan antioksidan, yakni salah satunya adalah vitamin E. Ekstrak bekatul merupakan salah satu sumber vitamin E dan memiliki potensi sebagai antioksidan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak pemberian bekatul dari beras varietas IPB3S yang memiliki kandungan antioksidan terhadap kadar karbonil dibandingkan dengan pemberian vitamin E pada jantung tikus yang telah diinduksi CCl4. Dalam penelitian ini, hewan uji dikelompokkan menjadi sepuluh kelompok, yaitu meliputi sembilan kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak bekatul memiliki kadar karbonil yang lebih rendah yang tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, kadar karbonil pada kelompok vitamin E lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan bekatul. Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian bekatul dapat berperan sebagai antioksidan walau tidak memberikan hasil yang signifikan.

ABSTRACT
Damages done by free radicals can occur in many cells component, including protein which can be detected from the level of carbonyl compound. Human body protects itself from free radical damage through the role of antioxidants, such as vitamin E. Rice bran extract is known to contain vitamin E and may be proposed as a source of antioxidant. Thus, this study aims to identify the antioxidant effect of rice bran from IPB3S variety in comparison to vitamin E in rat heart induced by CCl4. The animals studied in this experiment were divided into ten groups comprised of nine intervention groups and one control group. The result of this study showed that the level of carbonyl was insignificantly lower in groups treated with rice bran extract compared to the control groups. Groups treated with vitamin E also had lower level of carbonyl compared to the groups treated with rice bran extract. In conclusion, this study showed that rice bran extract has antioxidant property which is not statistically significant."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regine Viennetta Budiman
"Latar belakang: Karbonil merupakan produk oksidasi protein yang dapat menunjukkan keadaan stres oksidatif pada tubuh manusia, salah satunya disebabkan persalinan. Karbonil dapat ditemukan di dalam ASI dalam jumlah yang bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar karbonil pada ASI ibu yang menyusui bayi usia 1-3 bulan dan 4-6 bulan dan mencari hubungannya dengan usia ibu, jumlah paritas, dan Indeks massa tubuh (IMT) ibu.
Metode: Penelitian ini menggunakan sampel ASI dari 58 ibu yang dibagi menjadi kelompok usia 1-3 bulan dan 4-6 bulan. Kadar karbonil diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 390 nm.
Hasil: ASI pada periode laktasi 1-3 bulan memiliki kadar karbonil yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok usia 4-6 bulan (p=0,00). Kadar karbonil ASI kelompok usia 1-3 bulan memiliki korelasi negatif sangat lemah tidak bermakna terhadap usia ibu (p=0,93), sedangkan kadar karbonil ASI kelompok usia 4-6 bulan memiliki korelasi negatif sedang bermakna terhadap usia ibu (p=0,032). Kadar karbonil ASI kelompok usia 1-3 bulan (p=0,99) dan 4-6 bulan (p=0,48) memiliki korelasi positif sangat lemah tidak bermakna terhadap paritas ibu. Kadar karbonil ASI kelompok usia 1-3 bulan (p=0,60) dan 4-6 bulan (p=0,38) memiliki korelasi negatif sangat lemah tidak bermakna terhadap indeks massa tubuh ibu.
Kesimpulan: Kadar karbonil ASI dipengaruhi oleh usia bayi atau masa menyusui, lebih tinggi secara bermakna pada kelompok bayi usia 1-3 bulan dibandingkan dengan kelompok 4-6 bulan. Kadar karbonil berhubungan dengan usia ibu dan menurun seiring dengan bertambahnya usia ibu.

Background: Carbonyl is a product of protein oxidation which shows oxidative stress in the human body as an effect of childbirth and breastfeeding. Varying amounts of carbonyl can be found in breast milk and is influenced by several factors. This research aims to understand the carbonyl content comparison in mothers breastfeeding infants of ages 1-3 months and 4-6 months.
Method: This research utilizes samples from 58 mothers categorized according to the infants’ age groups of 1-3 months and 4-6 months. Carbonyl content is measured by spectrophotometry with wavelength of 390 nm.
Result: It was found that breast milk of 1-3 months had significantly higher carbonyl content compared to 4-6 months (p=0.00). Carbonyl content in breast milk of 1-3 months had insignificant, very low negative correlation to mother’s age (p=0.93), whereas carbonyl content in breast milk of 4-6 months had significant, moderate correlation to mother’s age (p=0.03). Carbonyl content of 1-3 months (p=0.99) and 4-6 months (p=0.48) had insignificant, very low correlation to mother’s parity. Carbonyl content of 1-3 months (p=0.60) and 4-6 months (p=0.38) had insignificant, very low negative correlation to mother’s body mass index.
Conclusion: Breast milk carbonyl content is influenced by infant ages or lactation period with higher carbonyl content in age group 1-3 month compared to 4-6 months. Carbonyl content decreases the older mother’s age is.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rivelino Dewanto Cittra
"Latar Belakang Jumlah penduduk dengan obesitas semakin meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Obesitas dikaitkan dengan banyak gangguan kesehatan seperti inflamasi, gangguan metabolik, jantung dan menimbulkan stres oksidatif. Karbonil merupakan salah satu penanda biologis yang digunakan untuk mengukur tingkat stres oksidatif. Ketumbar diduga memiliki efek antioksidan dan berpotensi menjadi terapi dalam stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak ketumbar (Coriandrum sativum L.) terhadap kadar karbonilasi protein pada jaringan jantung tikus Rattus norvegicus dengan obesitas. Metode Studi ini merupakan studi eksperimental. Tikus wistar diberikan pakan tinggi lemak selama 12 minggu pertama. Selanjutnya tikus diberikan 100 mg/kgBB ketumbar 12 minggu berikutnya. Jaringan jantung tikus diambil dan dihomogenasi. Pengukuran karbonil menggunakan reagen 2,4-dinitrofenilhidrazin dan dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 390 nm. Data kemudian dianalisis dengan IBM SPSS dengan nilai acuan p=0,05. Hasil Terdapat peningkatan tidak signifikan (p>0,999) kadar karbonil pada kelompok diet normal dengan ketumbar dibanding kelompok kontrol. Terdapat penurunan tidak signifikan (p>0,999) kadar karbonil pada kelompok diet tinggi lemak dengan ketumbar dibandingkan kelompok diet tinggi lemak. Penurunan signifikan (p=0,009) tampak pada kadar karbonil kelompok diet tinggi lemak dengan ketumbar dibandingkan kelompok diet normal dengan ketumbar. Kesimpulan Pemberian ketumbar tidak memberikan perbedaan signifikan pada kadar karbonilasi protein baik pada kondisi diet normal maupun diet tinggi lemak. Diet tinggi lemak mungkin mampu meningkatkan efektivitas kerja ketumbar sebagai antioksidan.

Introduction
The number of people with obesity is increasing every year throughout the world, including Indonesia. Obesity is associated with many health disorders such as inflammation, metabolic disorders, heart disease and oxidative stress. Carbonyl is a biomarker of oxidative stress. Coriander (Coriandrum sativum L.) is thought to have antioxidant effects and potentially therapeutic to oxidative stress. This study aims to determine the effect of administering coriander extract on protein carbonylation levels in the heart tissue of obese rats.
Method
This study was an experimental study. Wistar rats were given a high-fat diet for the first 12 weeks. Next, rats were given 100 mg/kgBW of coriander for the next 12 weeks. Rat heart tissue was acquired and homogenized. Carbonyl were measured with 2,4-dinitrophenylhydrazine reagent and read on a spectrophotometer at a wavelength of 390 nm. The data was then analyzed using IBM SPSS using p=0.05.
Results
Carbonyl levels increased non-significantly (p>0.999) in the normal diet group fed with coriander compared to the control group. Carbonyl levels decreased non-significantly (p>0.999) in the high-fat diet group fed with coriander compared to the high-fat diet group. A significant decrease (p=0.009) was seen in the carbonyl levels of the high fat diet group fed with coriander compared to the normal diet group fed with coriander.
Conclusion
Coriander consumption did not make a significant difference in protein carbonylation levels either under normal diet or high fat diet conditions. A high-fat diet might increase the effectiveness of coriander as an antioxidant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Gosal
"Pendahuluan: Karbonil merupakan hasil akhir dari kerusakan ireversibel oksidatif pada protein. Akumulasi karbonil pada jaringan tubuh baik secara lokal maupun sistemik, dapat memicu berkembangnya penyakit terpaut usia. Meskipun demikian, puasa intermiten telah terbukti dapat mengurangi stres oksidatif mitokondria pada jaringan tubuh. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh siklus puasa time-restricted feeding (TRF) dan puasa berkepanjangan (PB) pada jaringan hati dan plasma secara spesifik. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan hati dan plasma 16 kelinci New Zealand White yang sudah diberi perlakuan kontrol (tanpa puasa), puasa TRF (16 jam berpuasa), atau puasa berkepanjangan (40 jam berpuasa) satu minggu sebelumnya. Perhitungan kadar karbonil dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 390 nm dan kadar protein pada panjang gelombang 280 nm. Hasil Penelitian: Berdasarkan hasil penelitian, TRF dapat menurunkan kadar karbonil pada plasma dibandingkan kontrol (p=0,916) dan PB (p=0,026), serta meningkatkan kadar karbonil pada jaringan hati (p=0,162). Di sisi lain, PB dapat meningkatkan kadar karbonil pada plasma dibandingkan kontrol (p=0,055) dan TRF (p=0,026), serta meningkatkan kadar karbonil pada jaringan hati (p=0,162). Kesimpulan: Meskipun tidak bermakna, puasa intermiten time-restricted feeding secara tujuh hari lebih optimal dalam menurunkan kadar karbonil plasma, serta lebih kurang meningkatkan kadar karbonil hati dibandingkan puasa berkepanjangan.

Introduction: Carbonyl is the end product of irreversible oxidative damage on protein. Both local or sysmtemic accumulation of carbonyls could lead to the progression of age-related diseases. On the other hand, intermittent fasting has been proven could decrease mitochondrial oxidative damage on the tissues. Therefore, this study aimed to investigate the effects of intermittent fasting cycles, such as time-restricted feeding (TRF) and prolonged fasting (PF), on carbonyl levels in New Zealand White Rabbit’s plasma and liver tissue. Methods: 16 New Zealand White Rabbits were previously treated as control group (no fasting), TRF group (16 hours fasting), or PF group (40 hours fasting) for one week. Levels of carbonyl and protein were assessed with spectrophotometry at 390 nm and 280 nm wavelength respectively. Results: According to the findings of the study, TRF could decrease the carbonyl levels in plasma compared to control group (p=0.916) and PF group (p=0.026), and increase the carbonyl levels in liver tissue (p=0.162). Nevertheless, PF could increase the carbonyl levels in plasma compared to control group (p=0.055) and TRF group (p=0.026), and increase the carbonyl levels in liver tissue (p=0.162). Conclusion: Time-restricted feeding as intermittent fasting for one week is more optimal in decreasing carbonyl levels in plasma and less likely increase the carbonyl levels in liver tissue compared to prolonged fasting, even though it is not significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurbowo Ardi
"ABSTRAK
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten adalah suatu kondisi yang dialami oleh para penerbang maupun awak pesawat TNI AU, mereka akan bernapas dengan tekanan oksigen yang relatif rendah selama penerbangan. Tubuh manusia akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut, sehingga terjadi adaptasi fisiologis, dikenal sebagai hypoxia preconditioning. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat menilai perubahan histologi pada alveolus organ paru tikus Wistar yang terpajan terhadap frekuensi hipoksia hipobarik intermiten pada ketinggian 25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.Metode: Penelitian eksperimental in vivo pada 25 organ paru hewan tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan 150-200 gram. Dilakukan paparan hypobaric chamber sebanyak 4 kali, dimana setiap minggu dilakukan terminasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi melihat terjadinya pelebaran diameter alveolus organ paru hewan tikus Wistar. Parameter yang di ukur dan dibandingkan adalah diameter alveolus.Hasil: Sebanyak 25 sampel tikus Wistar yang diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pelebaran diameter alveolus 1,5 kali sampai 2 kali dari tiap-tiap paparan dibandingkan kontrol dan pelebaran 3 kali lipat pada paparan ke-4 dibandingkan kontrol. Hasil analisis statistik dengan uji Anova didapatkan perbedaan yang bermakna, dengan p 0,001. Setelah dilakukan analisis Post Hoc didapatkan perbedaan signifikan dengan p 0,001 antara kelompok tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali terhadap kelompok tikus Wistar kontrol tanpa pajanan .Kesimpulan: Terdapat perbedaan diameter alveolus hewan coba tikus Wistar yang bermakna antara kelompok kontrol terhadap hewan coba tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali,3 kali dan 4 kali.ABSTRACT
Intermittent hypobaric hypoxia is a condition experienced by airmen and crew of Indonesian Air Force aircraft crew, they will breathe with relatively low oxygen pressure during flight. The human body will adapt to the lack of oxygen, causing a physiological adaptation, as hypoxia preconditioning. The purpose of this study was to identify the alteration of histology in alveolus lung organs of rat Wistar which exposed to frequency of intermittent hypobaric hypoxia 25.000 feet altitude for five minutes in seven day intervals.Method In vivo experimental research on 25 lungs organ from Wistar rats Rattus norvegicus , male sex, age 40 60 days, body weight 150 200 grams. The exposure was conducted at hypobaric chamber 4 times, which every term is done, we terminate the respective rat. Then histology examination was performed to examine the occurrence of alveolar dilatation of lung tissue. Alveolus diameter was measured and compared as a parameter of this study. Results A total of 25 samples of Wistar rats were examined. There was a widened alveolus diameter of 1.5 ndash 2 times of each exposure compared to control and widening 3 times in the 4th exposure compared to control. The result of statistical analysis with Anova test showed significant difference of alveolus diameter between Wistar group of mice with p 0,001, after Post Hoc analysis got significant difference with p 0,001 between Wistar group of mice that got exposure height 25.000 feet once, twice, three times and four times compared to Wistar control without exposure group. Conclusion There was a significant difference in Wistar rats 39 mean alveolus diameter in the Wistar rats control group compared to Wistar rats who received 25.000 foot altitude for 1, 2, 3, and 4 times."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>