Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81284 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rekky Syaifuddin Pradiwa
"Ubur-ubur (Aurella SP) mengandung Green Flourescent Protein (GFP) yang dapat digunakan untuk mendeteksi sel yang sedang memperbaiki DNA-nya yang rusak karena adanya substansi penyebab kanker . Material ini sangat sensitif terhadap panas.Pengeringan beku vakum adalah metode pengeringan yang terbaik untuk material sensitif terhadap panas, tetapi tidak hemat energi karena proses pengeringan yang relatif lama. Skripsi ini membahas efek penambahan udara panas sebagai usaha untuk mempercepat laju pengeringan material.
Hasil penelitian membuktikan bahwa penambahan udara panas dapat mempercepat laju pengeringan.Udara panas di dapat dari pemanas udara yang terdapat pada sistem yang berlainan dengan sistem pengering beku vakum.Penambahan udara panas terbukti memangkas waktu pengeringan dari 22.717 jam menjadi 18.5 jam.

Jellyfish (Aurella SP) containing Green Fluorescent Protein (GFP) that can be used to detect cells that were repairing DNA damaged by the cancer-causing substance. This material is very sensitive to heat. Vacuum freeze drying is the best method for drying heat-sensitive materials, but not energy efficient due to the relatively long drying process. This study discusses the effect of the addition of the hot air in an effort to accelerate the rate of drying material.
The results demonstrate that the addition of heat can accelerate the rate of drying. Hot air from the air heater can be contained in different systems with vacuum freeze dryer systems. The addition of hot air proved to cut drying time of 22 717 hours to 18.5 hours.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Roehyantini
"Tujuan : Mengetahui perbandingan respons terapi dan Disease Free Survival pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang dilakukan pengobatan kemoradiasi dan radiasi.
Tempat : Ruang rawat Paviliun ERIA dan Poliklinik Onkologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN-Cipto Mangunkusumo.
Rumusan Data : Penelitian ini bersifat uji klinik retrospektif.
Bahan dan Data Kerja : 278 pasien kanker serviks mendapat terapi lengkap selama kurun waktu 1997-2004. Terbagi 2 kelompok terapi, 199 kasus (1997-2000) adalah kelompok radiasi dan 79 kasus (2001-2004) adalah kelompok kemoradiasi. Kedua kelompok diikuti sampai dengan 1 tahun setelah selesai terapi. Kejadian yang dinilai adalah respons terapi serta adanya residif dan dihitung waktu babas tumor untuk menentukan disease free survival.
Hasil : Respons Berdasarkan Jenis Terapi :Respons komplit kelompok radiasi 179 kasus (89,95%), 14 kasus respons parsial (7,04%), 4 kasus nonrespons (2,01%) dan 2 kasus progresif (1,01%). Respons komplit kelompok kemoradiasi 73 kasus (92,41%), 4 kasus respons parsial (5,06%), 1 kasus nonrespons (1,27%) dan 1 kasus progresif (1,27%), (p = 0,899). Respons terapi pada stadium lanjut: Kelompok radiasi : komplit respons pada 99 kasus, Parsial respons 8 kasus, progresif 2 kasus. Kelompok kemoradiasi : komplit respons 63 kasus, parsial respons 3. dan 1 kasus progresif, (p . 0,05).
Disease Free Survival Berdasarkan Jenis Terapi :DFS kelompok radiasi 1 tahun 87,07%, sedangkan kelompok kemoterapi 81,66%. DFS kelompok radiasi 2 tahun 79,81%, sedangkan kelompok kemoterapi 68,6%. (p = 0,405). Disease Free Survival pada Stadium Lanjut :Kelompok radiasi DFS 85% pada 1 tahun dan 71,58% pada 2 tahun.Kelompok kemoradiasi 81% pada 1 tahun, 2 tahun sebesar 66,77%, dengan peluang residif terapi kemoradiasi 1,09 kali.
Kesimpulan : Respons terapi kelompok kemoradiasi tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok radiasi, namun secara statistik tidak bermakna. Ditinjau dari Disease Free Survival dan laju rekurensinya, perlakuan kelompok kemoradiasi tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok radiasi, namun secara statistik tidak bermakna. Peluang residif terapi kemoradiasi 1,09 kali dibanding dengan terapi radiasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wahyunianto Hadisantoso
"Latar Belakang: Mutasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) merupakan prediktor keberhasilan terapi TKI pada non-small cell lung cancer (NSCLC). Ras Asia, perempuan, bukan perokok, tipe histologis adenokarsinoma adalah karakteristik klinikopatologis yang diketahui memiliki asosiasi dengan mutasi EGFR pada NSCLC. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian yang membuktikan asosiasi tersebut di tengah keterbatasan sumber daya dan fasilitas pemeriksaan biomolekuler untuk medeteksi mutasi EGFR.
Metode: Desain studi adalah potong lintang. Subjek dikumpulkan secara konsekutif dari pasien adenokarsinoma paru stadium lanjut Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional yang memeriksakan status mutasi EGFR di Laboratorium Kalbe Genomics dalam kurun waktu Januari 2010 hingga Desember 2013. Dari rekam medis pasien ditelusuri data umur, jenis kelamin, status merokok, diagnosis dan status mutasi EGFR. Uji chi-square dilanjutkan regresi logistik digunakan untuk menilai asosiasi jenis kelamin dan status merokok terhadap status mutasi EGFR.
Hasil: Studi melibatkan 51 subjek dan didapatkan proporsi mutasi EGFR sebesar 47,1% (IK 95% = 33,4% – 60,8%). Uji bivariat menunjukkan perempuan (RO=4,80; IK 95%=1,12-20,61) dan bukan perokok (RO=4,00; IK 95%=1,23-13,06) memiliki asosiasi dengan mutasi EGFR, namun pada uji multivariat hanya status bukan perokok yang masih bermakna (RO=4,00; IK 95%=1,22-13,06).
Simpulan: Proporsi mutasi EGFR pada kelompok pasien adenokarsinoma paru stadium lanjut 47,1%. Hanya status bukan perokok yang memiliki asosiasi independen dengan mutasi EGFR.

Background: Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) mutation is predictor for successful TKI therapy in non-small cell lung cancer (NSCLC) patient. Asian, women, non-smoker, and histology of adenocarcinoma are the clinicopathological characteristics associated with EGFR mutation in NSCLC patient. In Indonesia, no research has been performed to confirm association between those characteristics while the resources and facilities to detect EGFR mutation are lacking.
Method: A cross sectional study was performed in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital and Dharmais Hospital National Cancer Center from January 2010 to December 2013. Subjects were collected consecutively from advanced lung adenocarcinoma patients who underwent examination for EGFR mutation in Kalbe Genomics Laboratory during study period. From medical records, information about age, gender, smoking status, diagnosis, and EGFR mutation status were collected. Chi square and logistic regression analysis were performed to assess association between variables.
Results: From 51 subjects participated in this study, proportion of EGFR mutation was 47.1% (CI 95% = 33,4% – 60,8%). Bivariate analysis revealed that women (OR=4,80; CI 95%=1,12-20,61) and non-smoker (OR=4,00; CI 95%=1,23-13,06) were associated with EGFR mutation. While in multivariate analysis, non-smoker status was the only significant clinical factor associated with EGFR mutation (OR=4.00; CI 95%=1.22-13.06).
Conclusion: Proportion of EGFR mutation in advanced lung adenocarcinoma patients is 47,1%. Non-smoker status is the only clinical factor associated with EGFR mutation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis
"Kanker kepala dan leher merupakan kanker yang menggambarkan berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestif atas, yang meliputi kanker pada mata, telinga, rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, orofaring, hipofaring, laring, kelenjar saliva, dan kelenjar tiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi akupunktur manual terhadap kadar MDA dan skor NAS dibandingkan dengan akupunktur manual sham pada penderita kanker kepala dan leher pasca terapi radiasi. Uji klinis acak tersamar tunggal dengan kontrol dilakukan terhadap 30 pasien kanker kepala dan leher yang dibagi secara acak menjadi kelompok akupunktur manual n=15 dan kelompok akupunktur manual sham n=15. Pemeriksaan kadar MDA dilakukan sebelum perlakuan dan setelah sesi ke-12. Penilaian skor NAS dilakukan pada saat sebelum perlakuan, setelah sesi ke-6, dan setelah sesi ke-12.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok akupunktur manual dengan kelompok akupunktur manual sham terhadap penurunan kadar MDA sebelum dan sesudah perlakuan p=0,787. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok manual dengan akupunktur manual sham terhadap penurunan skor NAS sebelum dan sesudah perlakuan yang diukur pada sesi ke-6 p=0,001 dan sesi ke-12 p=0,003.
Kesimpulan penelitian ini terapi akupunktur manual efektif untuk menurunkan skor NAS, namun kurang efektif untuk menurunkan kadar MDA pada penderita kanker kepala dan leher pasca terapi radiasi.

Head and neck cancer encompasses a wide range of malignant tumours arising from the upper aerodigestive tract, includes eyes, ears, nasal cavities, paranasal sinuses, nasopharynx, oropharynx, hypopharynx, larynx, salivary glands, and thyroid gland.
This study aims to determine the effect of manual acupuncture therapy on MDA levels and NAS scores compared with manual sham acupuncture in patients with head and neck cancer post radiation therapy. Single blinded randomized clinical trials with control were performed on 30 head and neck cancer patients divided randomly into manual acupuncture groups n = 15 and the sham manual acupuncture group n = 15. The examination of MDA levels is performed before treatment and after the 12th session. Assessment of NAS scores is performed before the treatment, after the 6th session, and after the 12th session.
The result showed no significant difference between manual acupuncture group and sham manual acupuncture group to decrease MDA level before and after treatment p = 0,787. There was a significant difference between manual group and sham manual acupuncture on NAS score decrease before and after treatment measured at 6th session p = 0,001 and 12th session p = 0,003.
The conclusion: manual acupuncture therapy effectively decrease NAS scores, but statistically less effective to reduce levels of MDA in patients with head and neck cancer after radiotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Angelia Suwignjo
"Pada kanker kepala dan leher ditemukan adanya peningkatan kadar radikal bebas dan penurunan aktivitas antioksidan, yaitu Superoksida Dismutase SOD. Salah satu terapi utama pada pasien kanker kepala dan leher adalah terapi radiasi. Efek tidak langsung terapi radiasi adalah meningkatkan kadar radikal bebas. Selain itu efek samping terapi radiasi menyebabkan penurunan kualitas hidup.
Penelitian ini dibagi secara acak menjadi dua kelompok, yaitu kelompok akupunktur manual n=15 dan kelompok akupunktur manual sham n=15. Penelitian ini menggunakan titik GV20 Baihui, LI4 Hegu, ST36 Zusanli, SP6 Sanyinjao, dan LR3 Taichong. Terapi dilakukan tiga kali seminggu selama 30 menit sebanyak 12 kali.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selisih skor SOD tidak ada perbedaan bermakna secara statistik antara kedua kelompok p=0.695 tetapi adanya perbedaan bermakna secara statistik pada selisih skor Organization for Research and Treatment of Cancer EORTC QLQ-C-30 sebelum dan setelah dua belas kali terapi antara kedua kelompok.

In head and neck cancer found an increase in free radical levels and decreased antioxidant activity, namely Superoxide Dismutase SOD . One of the main therapies in head and neck cancer patients is radiation therapy. The indirect effect of radiation therapy is to increase the levels of free radicals. In addition, side effects of radiation therapy lead to a decrease in the quality of life.
The study was randomly divided into two groups, the manual acupuncture group n = 15 and the manual acupuncture group sham n = 15. This study uses GV20 Baihui point, LI4 Hegu, ST36 Zusanli, SP6 Sanyinjao, and LR3 Taichong. Therapy is done three times a week for 30 minutes as much as 12 times.
The results of this study showed that there was no statistically significant difference in the difference between the two groups p = 0.695 but there was a statistically significant difference in the difference between the QLQ-C-30 Organization for Research and Treatment of Cancer EORTC score before and after twelve times of therapy between the two groups p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sukmana Putra
"Tujuan penelitian ini untuk menentukan model fungsi sum of exponential (SOE) terbaik dan membandingkan parameter fixed effect, random effect dan Area Under Curve (AUC) yang diperoleh pada NONMEM dan Matlab. Penelitian ini menggunakan data dari 10 pasien kanker prostat yang menerima injeksi ~3 GBq. Setlah diinjeksikan, dilakukan pemeriksaan menggunakan SPECT/CT pada waktu 1, 24, 48, 72, dan 168 jam. Data tersebut di-fitting menggunakan 54 fungsi SOE. Model fungsi terbaik ditentukan dengan kriteria nilai pembobotan Corrected Akaike Information Criterion (AICc). Fungsi terbaik yang dapat mendeskripsikan distribusi biokinetik data pada Organ at Risk (OAR) ditunjukkan fungsi f6f untuk ginjal, fungsi f4c untuk kelenjar ludah, dan fungsi f5g untuk hati. Perbedaan nilai parameter yang di fitting antara NONMEM dan Matlab memiliki nilai yang relatif besar hingga 1070%. Namun, perbedaan AUC pada NONMEM dan Matlab memiliki nilai yang kecil yaitu di bawah 1.5%.

The purpose of this study was to determine the best sum of exponential (SOE) function model and compare the fixed effect, random effect and Area Under Curve (AUC) parameters obtained in NONMEM and Matlab. This study used data from 10 prostate cancer patients who received ~3 GBq injection. After injection, SPECT/CT was performed at 1, 24, 48, 72, and 168 hours. The data were fitted using 54 SOE functions. The best function model was determined by weighting the Corrected Akaike Information Criterion (AICc). The best function that can describe the biokinetic distribution of data on Organ at Risk (OAR) is shown by the function f6f for kidney, function f4c for salivary gland, and function f5g for liver. The difference in the fitted parameter values between NONMEM and Matlab has a relatively large value of up to 1070%. However, the difference in AUC in NONMEM and Matlab has a small value which is below 1.5%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Dandi Sugandi
"Radioterapi merupakan pengobatan kanker yang menggunakan radiasi pengion untuk mematikan sel kanker tanpa akibat fatal pada jaringan sehat di sekitarnya untuk tujuan kuratif maupun paliatif. 3D-CRT menjadi salah satu teknik yang digunakan untuk penyinaran kanker dengan IMRT dan VMAT sebagai pengembangan teknik radiasi dengan memvariasikan modulasi lapangan dan gantry. Oleh karena itu, prosedur patient-specific quality assurance (PSQA) dibutuhkan untuk memverifikasi dosis perencanaan dengan dosis yang disampaikan ke pasien. PRIMO adalah program simulasi Monte Carlo yang dapat digunakan dalam verifikasi dosimetri plan treatment (TPS) radioterapi dengan cara menghitung distribusi dosis radiasi dan membandingkannya dengan hasil pengukuran. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa TPS dan membandingkan hasil perhitungan distribusi dosis TPS dengan simulasi PRIMO Monte Carlo. Perencanaan 3D-CRT, IMRT, dan VMAT dilakukan menggunakan Rando breast phantom pada TPS, kemudian distribusi dosis dibandingkan dengan hasil simulasi PRIMO untuk mendapatkan nilai HI dan CI, serta dapat mengevaluasi dose constraint pada OAR. Evaluasi dosimetrik dosis dari simulasi rekonstruksi pada volume target menghasilkan nilai HI sebesar 0,16 hingga 0,20 untuk perencanaan 3D, 0,08 hingga 0,40 untuk perencanaan IMRT dan 0,14 hingga 0,82 untuk perencanaan VMAT. Serta nilai CI sebesar 0,93 hingga 0,95 untuk perencanaan 3D, 0,81 hingga 0,99 untuk perencanaan IMRT dan 0,67 hingga 0,95 untuk perencanaan VMAT. Perbandingan antara TPS dan Monte Carlo menunjukkan bahwa PSQA yang dilakukan pada 3D-CRT memiliki deviasi HI dan CI yang lebih kecil daripada IMRT dan VMAT. Namun, terdapat penurunan HI dan CI yang signifikan pada simulasi perencanaan IMRT dan simulasi berkas Dynalog VMAT. Dosis yang diterima pada OAR masih berada dalam ambang batas penerimaan yang menandakan sparing yang baik pada jaringan sekitar. Untuk prosedur PSQA, teknik 3D-CRT masih menjadi yang paling aman karena tingkat kompleksitasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan IMRT dan VMAT, namun tidak menutup kemungkinan bahwa distribusi dosis yang dihasilkan lebih merata.

Radiotherapy is a cancer treatment that uses ionizing radiation to kill cancer cells without fatal consequences to surrounding healthy tissue for curative and palliative purposes. The 3D-CRT is one of the techniques used for irradiation with IMRT and VMAT as an advanced radiation technique, where radiation doses are administered using variated beam modulation and gantry. Therefore, a patient-specific quality assurance (PSQA) procedure is needed to ensure the accuracy of the treatment plan. PRIMO is a Monte Carlo simulation program that can be used in the verification of radiotherapy treatment plan (TPS) by calculating and comparing the dose distribution with the measurement. This study aims to evaluate the performance of the TPS and compare the results of the TPS dose distribution calculation with the PRIMO Monte Carlo simulation. The planning of 3D-CRT, IMRT, and VMAT was carried out using Rando breast phantom at TPS, and then the dose distribution was compared with the results of PRIMO simulation to obtain HI and CI values and evaluate the dose constraint on OAR. Dosimetric evaluation of the dose from the reconstruction simulation at the target volume resulted in an HI value of 0.16 to 0.20 for 3D planning, 0.08 to 0.40 for IMRT planning, and 0.14 to 0.82 for VMAT planning. As well as a CI value of 0.93 to 0.95 for 3D planning, 0.81 to 0.99 for IMRT planning, and 0.67 to 0.95 for VMAT planning. The TPS and Monte Carlo comparison shows that the PSQA conducted on 3D-CRT has a smaller HI and CI deviation than IMRT and VMAT. However, there was a significant decrease in HI and CI in IMRT planning simulations and Dynalog VMAT file simulations. The dose received at OAR is still within the dose threshold tolerances, indicating good sparring in the surrounding tissues. For the PSQA procedure, the 3D-CRT technique is still the safest due to its lower level of complexity compared to IMRT and VMAT, but the resulting dose distribution may be more even."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhlisin
"Gerak tumor akibat pernapasan pasien merupakan masalah yang signifikan dalam pengobatan radioterapi kanker paru-paru, khususnya teknik radioterapi modern Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) dan Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT). Interaksi gerakan antara gerak target tumor dan MLC (interplay effect) memiliki keterbatasan dalam hal modulasi intensitas radiasi, probabilitasnya hanya sebagian kecil Planning Target Volume (PTV) menerima dosis radiasi sesuai perencanaan dosis Treatment Planning System (TPS) pada waktu tertentu.
Penelitian ini melakukan verifikasi dosimetri antara dosis yang direncanakan TPS dan dosis yang diterima volume tumor, akibat adanya interplay effect pada teknik IMRT dan VMAT. Penelitian menggunakan fantom toraks dinamik in-house dengan target tumor bergerak translasi arah superior-inferior dengan variasi amplitudo dan periode gerak tumor sebesar 9,3 mm dan 2,3 sekon, 20 mm dan 3,44 sekon, 30 mm dan 4,22 sekon. Pengukuran dosis titik dengan meletakkan dosimeter TLD-100 LiF:Mg,Ti dan Film Gafchromic EBT2 pada titik tengah target tumor dan organ at risk spinal cord. Penyinaran teknik IMRT menggunakan 7-field dan teknik VMAT menggunakan Rapidarc partial double arc dengan dosis preskripsi (95%) sebesar 200 cGy per fraksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran gerak target tumor paru-paru menyebabkan efek dosimetri yang tidak diinginkan berupa underdosage dalam volume tumor. Deviasi dosis rata-rata pada target tumor antara perencanaan dosis TPS dan hasil pengukuran pada teknik IMRT dengan target tumor bergerak statis, bergerak 9,3 mm, bergerak 20 mm, bergerak 30 mm berturut-turut sebesar 0,3% sampai 0,5%, -2,7% sampai -3,0%, -3,7% sampai -4,6%, dan -6,0% sampai -6,6%, sedangkan deviasi dosis pada teknik VMAT berturut-turut sebesar 0,2% sampai 0,9%, -1,6% sampai -1,9%, -2,9% sampai -3,1%, dan -5,0% sampai -5,3%. Hal berbeda, deviasi dosis untuk organ at risk spinal cord pada teknik IMRT berturutturut sebesar -5,6% sampai -1,0%, -6,8% sampai -6,9%, -3,7% sampai -5,9%, dan 0,7% sampai 1,0%, sedangkan deviasi dosis pada teknik VMAT berturut-turut sebesar -1,4% sampai -3,1%, -3,0% sampai -6,3%, -1,6% sampai -4,2%, dan 0,1% sampai 0,9%. Kenaikan amplitudo gerak target tumor menyebabkan dosis yang diterima volume tumor menurun. Namun sebaliknya, adanya kenaikan amplitudo gerak target tumor menyebabkan dosis yang diterima organ at risk spinal cord meningkat.

Tumor motion due to patient's respiratory is a significant problem in radiotherapy treatment of lung cancer, especially in modern radiotherapy treatment of Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) and Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT). The interplay effect is the effect that may occur as the motion of Linac (primarily the MLC) and motion of the tumor target interferes. At delivery dose treatment, a small part of Planning Target Volume (PTV) does not recover dose according to Treatment Planning System (TPS) Prescription.
This investigation was carried out through dosimetry verification between TPS and actual dose by tumor volume due to the interplay effect in IMRT and VMAT treatment. Tumor target of in-house dynamic thorax phantom was designed in linier sinusoidal motion toward superior-inferior direction with amplitude and period variation of tumor motion of 9,3 mm and 2,3s, 20 mm and 3,44s, 30 mm and 4,22s respectively. For point dose measurement, TLD-100 LiF:Mg,Ti and gafchromic EBT2 film detectors were took placed at midpoint of tumor target and spinal cord. IMRT treatment irradiation was applied by 7-fields and VMAT treatment by partial double arc, with prescription dose (95%) of 200 cGy per fraction.
The results showed that the occurrence of lung tumor target motion causes underdosage dosimetry effect in tumor volume. Mean dose deviation of tumor target between TPS and measurement in IMRT treatment by tumor target moves at condition of static, 9,3 mm, 20 mm and 30 mm were 0,3% to 0,5%, -2,7% to -3,0%, -3,7% to -4,6%, and -6,0% to -6,6% respectively while dose deviation in VMAT treatment were 0,2% to 0,9%, -1,6% to -1,9%, -2,9% to -3,1%, and -5,0% to -5,3% respectively. On the other hand, mean dose deviation of spinal cord in IMRT treatment were -5,6% to -1,0%, -6,8% to -6,9%, -3,7% to -5,9%, and 0,7% to 1,0% respectively and in VMAT treatment were -1,4% to -3,1%, -3,0% to -6,3%, -1,6% to -4,2%, and 0,1% to 0,9% respectively. The increment amplitude of tumor target motion reduced dose received by tumor volume and conversely, increased dose received by spinal cord.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
T43728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Novirianthy
"Pendahuluan Toksisitas akut radiasi merupakan suatu proses yang diawali dengan kerusakaPendahuluan: Toksisitas akut radiasi merupakan suatu proses yang diawali dengan kerusakan sel normal. Malondialdehyde (MDA) merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid yang merupakan biomarker stres oksidatif. Catalase (CAT) adalah antioksidan enzimatik yang mengkatalisis H2O2 menjadi air dan oksigen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar MDA dan aktivitas CAT dapat dijadikan prediktor derajat toksisitas akut radiasi pada kanker serviks stadium lanjut lokal.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif terhadap 30 pasien kanker serviks stadium lanjut lokal yang memenuhi kriteria inklusi di Departemen Radioterapi RS Cipto Mangunkusumo dari Juli sampai September 2013. Pemeriksaan kadar MDA dan aktivitas CAT dilakukan sebelum radiasi dan fraksi ke-15 dengan menggunakan spektrofotometer. Derajat toksisitas akut radiasi dinilai tiap minggunya selama radiasi eksterna dan diklasifikasikan berdasarkan kriteria RTOG.
Hasil: Didapatkan rerata kadar MDA serum sebesar 7,6 +/- 1,2 nmol/mL, dan median aktivitas CAT sebesar 0,95 (0,80 ? 1,36) U/mL. Pasca 15 kali RE didapatkan peningkatan kadar MDA serum menjadi 9,5 +/- 1,9 nmol/mL (p<0,001) dan penurunan aktivitas CAT menjadi 0,82 (0,71 ? 0,96) (p<0,001). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kadar MDA dan aktivitas CAT awal serta perubahannya terhadap kejadian toksisitas akut radiasi (p>0,05).
Kesimpulan: Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa radiasi maupun kemoradiasi terbukti menyebabkan peningkatan kadar MDA dan penurunan aktivitas CAT pada kanker serviks stadium lanjut lokal, akan tetapi kadar MDA dan aktivitas CAT tidak dapat menjadi prediktor terhadap toksisitas akut radiasi.n sel normal Malondialdehyde MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid yang merupakan biomarker stres oksidatif Catalase CAT adalah antioksidan enzimatik yang mengkatalisis H2O2 menjadi air dan oksigen Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar MDA dan aktivitas CAT dapat dijadikan prediktor derajat toksisitas akut radiasi pada kanker serviks stadium lanjut lokal Metode penelitian Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif terhadap 30 pasien kanker serviks stadium lanjut lokal yang memenuhi kriteria inklusi di Departemen Radioterapi RS Cipto Mangunkusumo dari Juli sampai September 2013 Pemeriksaan kadar MDA dan aktivitas CAT dilakukan sebelum radiasi dan fraksi ke 15 dengan menggunakan spektrofotometer Derajat toksisitas akut radiasi dinilai tiap minggunya selama radiasi eksterna dan diklasifikasikan berdasarkan kriteria RTOG Hasil Didapatkan rerata kadar MDA serum sebesar 7 6 1 2 nmol mL dan median aktivitas CAT sebesar 0 95 0 80 1 36 U mL Pasca 15 kali RE didapatkan peningkatan kadar MDA serum menjadi 9 5 1 9 nmol mL p.

Introduction: Acute radiation toxicity was a process which caused by irradiation and initiated by normal cell damage. Malondialdehyde (MDA) is the end product of lipid peroxidation, and is usually used as a biomarker to assess oxidative stress. Catalase (CAT) is an enzymatic antioxidant that catalyzes H2O2 into water and oxygen. The purpose of this study was to determine whether the levels of MDA and CAT activity can be used as a predictor of acute radiation toxicity in locally advanced cervical cancer.
Methods: This is a prospective cohort study to 30 locally advanced cervical cancer patients who meet the inclusion criteria in the Radiotherapy Department of Cipto Mangunkusumo Hospital from July to September 2013. We measure MDA level and CAT activity before irradiation and on 15th fractions using sphectrophotometry. Degree of acute radiation toxicity assessed every week during external beam radiotherapy using RTOG criteria.
Results: The mean of serum MDA levels is 7.6 + / - 1.2 nmol /mL, and the median of CAT activity is 0.95 (0.80 to 1.36) U /mL. We found elevated of serum MDA level to 9.5 +/ - 1.9 nmol /mL (p <0.001) and CAT activity decreased to 0.82 (0.71 to 0.96) U /mL (p <0.001) on the 15th fraction of external beam irradiation. No statistically significant relationship is found between MDA level and CAT activity pre irradiation and its changes to the incidence of acute radiation toxicity.
Conclusion: This study showed that radiation or chemoradiation shown to cause an increase in MDA levels and decrease of CAT activity in locally advanced cervical cancer patients, but MDA levels and CAT activity cannot be a predictor of acute radiation toxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Raymond Rumantir Wardhana
"Latar belakang: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak nasofaring yang bersifat hipervaskular, agresif lokal, dan destruktif. Pencitraan sebelum pembedahan untuk menentukan ukuran dan perluasan tumor, serta embolisasi preoperatif dapat mempengaruhi jumlah perdarahan intraoperatif, yang merupakan salah satu faktor morbiditas pada pasien JNA. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh karakteristik tumor antara lain ukuran tumor, staging, dan pembuluh darah yang memperdarahi tumor, serta efek dari embolisasi preoperatif terhadap jumlah perdarahan intraoperatif.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan operasi pengangkatan tumor di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2018 hingga Maret 2022. Dilakukan penilaian ukuran tumor dan staging, serta identifikasi feeding artery menggunakan CT/MRI dan juga DSA embolisasi preoperatif, kemudian dilakukan analisis perbandingan dan korelasi terhadap jumlah perdaran intraoperatif.
Hasil: Terdapat 21 pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan pengangkatan tumor. Didapatkan perbedaan jumlah perdarahan intraoperatif yang bermakna antara pasien JNA stadium III dibandingkan dengan stadium I-II (p=0,006). Jumlah perdarahan intraoperatif lebih banyak pada tumor yang berukuran lebih besar, namun didapatkan korelasi yang lemah (R=0,43; p=0,051). Jumlah perdarahan intraoperatif juga berbeda bermakna pada tumor JNA dengan feeding artery dari kedua sisi arteri maksilaris interna dengan tumor JNA yang mendapatkan feeding artery satu sisi arteri maksilaris interna saja (p=0,009), serta keterlibatan feeding artery dari cabang arteri karotis interna (p=0,023). Persentase pembuluh darah yang dilakukan embolisasi preoperatif, juga mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif (R=-0,36; p=0,113).
Kesimpulan: Pencitraan preoperatif pada pasien JNA memegang peranan penting dalam menentukan perluasan tumor (staging), ukuran tumor, dan feeding artery yang berpengaruh terhadap jumlah perdarahan intraoperatif pada pasien JNA. Tindakan embolisasi preoperatif juga memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif

Background: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) is a benign tumor of the nasopharynx that is hypervascular, locally aggressive, and destructive. Imaging before surgery to determine the size and extent of the tumor, as well as preoperative embolization can affect the amount of intraoperative bleeding, which is one of the morbidity factors in JNA patients. This study aimed to assess the effect of tumor characteristics such as tumor size, staging, and blood vessels supplying the tumor, as well as the effect of preoperative embolization on the amount of intraoperative bleeding.
Methods: The study was conducted on JNA patients who underwent preoperative embolization and surgical removal of tumors at the Cipto Mangunkusumo National General Hospital from 2018 to March 2022. Tumor size and staging were assessed, as well as identification of feeding arteries using CT/MRI and DSA preoperative embolization, then we performed a comparative and correlation analysis of the amount of intraoperative bleeding.
Results: There were 21 JNA patients who underwent preoperative embolization and tumor removal. There was a significant difference in the amount of intraoperative bleeding between patients with stage III JNA compared to stage I-II (p = 0.006). The amount of intraoperative bleeding was higher in larger tumors, but a weak correlation was found (R=0.43; p=0.051). The amount of intraoperative bleeding was also significantly different in JNA tumors with feeding arteries from both sides of the internal maxillary artery compared to JNA tumors with feeding arteries on one side of the internal maxillary artery only (p=0.009), and the involvement of feeding arteries from the internal carotid artery branch (p=0.023). The percentage of vessels that underwent preoperative embolization also reduced the amount of intraoperative bleeding (R=-0.36; p=0.113).
Conclusion: Preoperative imaging in JNA patients plays an important role in determining tumor expansion (staging), tumor size, and feeding arteries that affect the amount of intraoperative bleeding in JNA patients. Preoperative embolization also have an important role in reducing the amount of intraoperative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>