Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163459 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adithia Ramadhan
"Penelitian ini membahas tentang peran politik film Fahrenheit 9/11 yang dibuat oleh Michael Moore pada tahun 2004 dalam upaya menjaga dukungan masyarakat liberal Amerika Serikat dalam pemilihan umum. Film ini menggunakan teknik framing, dimana menekankan pada empat isu, terpilihanya George W. Bush dalam pemilihan umum tahun 2000 melawan Al Gore, kemudian Tragedi 11 September 2001, Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Irak, serta bisnis yang dilakukan oleh George W. Bush dan koleganya selama perang berlangsung.

The purpose of this research is to analyze the political role of the Fahrenheit 9/11 documentary movie made by Michael Moore in 2004 that try to keep liberal American Support in the Presidential Election. This Film using framing technique and focus on four things, which are George W. Bush's victory in the 2000 elections against Al Gore, the September 11 tragedy of 2001, the U.S. invasion of Afghanistan and Iraq, and the businesses of George W. Bush that profited from those wars."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S44287
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafalya Rahma
"Film dokumenter menggambarkan dan meliput realitas, dalam era media massa dokumenter dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menyelidiki, memicu diskusi terbuka tentang isu-isu terkini dan membayangkan dampak pengetahuan dan produksi. Agenda setting adalah sebuah konsep yang telah digunakan di politik dalam mengatur informasi mana yang dianggap paling penting bagi publik. Dengan penggambaran realita, dokumenter dapat membentuk opini publik yang dapat digunakan sebagai alat penyusunan agenda. Film dokumenter Sexy Killer dirilis di Youtube, 14 April 2019 disaat suasana pemilihan presiden 2019. Film tersebut menampilkan apa yang ada di balik industri pertambangan batu bara dan efek sampingnya terhadap lingkungan dan masyarakat serta mengungkap beberapa tokoh politik termasuk kedua pasangan calon presiden. Melalui penelitian sekunder, studi pustaka dokumenter, dan menganalisis artikel berita, makalah penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh agenda setting Pilpres 2019 dan apakah film dokumenter dapat dikategorikan sebagai upaya agenda setting.

Documentary film depicts and covers reality, in this era of mass-media documentary can be utilised as a tool to investigate, trigger open discussion of current issues and imagining impact of knowledge and production. Agenda setting is a concept that has been used in politics as it sets which information is perceived most important to the public. With its depiction of reality, documentary can mold public opinion which can be used as a tool of agenda setting. The documentary film Sexy Killer was released on Youtube, April 14th 2019 during the 2019 presidential election atmosphere. The film shows what is behind the coal mining industry and its side effects to the environment and the community and exposes several political figures including the two presidential candidates. Through secondary research, literature review of the documentary and analysing news articles, this research paper aims to understand the effects of agenda setting in the 2019 presidential election and whether the documentary can constitute as one."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nida Lathifah
"The New York Times dan The Washington Post merupakan dua koran nasional Amerika yang diketahui memiliki bias liberal. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bias liberal kedua koran tersebut pada pemberitaan pemilihan presiden Indonesia tahun 2014. Jurnal ini menggunakan kerangkan Analisis Wacana Kritis dengan menerapkan metode tiga dimensi Norman Fairclough (analisis tekstual, praktik wacana, dan praktik sosial budaya.
Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa kedua koran tersebut bias terhadap Jokowi dan tim koalisinya yang cenderung mendukung kebebasan dan keberagaman. Temuan penelitian ini penting untuk mengkritik bias yang ada pada koran-koran Amerika, terutama dalam meliput berita dari negara-negara lain.

The New York Times and The Washington Post are two American national newspapers that are known to have a liberal bias. This research aims to explore the liberal bias of the newspapers in the 2014 Indonesian presidential election news. In order to do so, this research utilizes the Critical Discourse Analysis framework by applying Norman Fairclough's three dimensional methods (textual analysis, discourse practice, and sociocultural practice).
The findings show the newspapers have a bias toward Jokowi and his coalition team who tend to support liberality and plurality. The findings are significant to criticize the bias of these American newspapers, especially in covering news from other countries."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Natasya Aulia
"Skripsi ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai proses rekonstruksi citra Donald J. Trump dan empat usulan kebijakannya sebagai calon presiden Amerika Serikat oleh Fox and Friends dalam pemilihan presiden 2016. Sedangkan perspektif teoritis yang digunakan sebagai dasar analisis mengacu pada framing theory yang digunakan. diprakarsai oleh Robert Entman. Dalam perspektif yang diambil, dapat dibuktikan bahwa proses framing menunjukkan positioning Donald J. Trump pada sebuah wacana politik dalam peliputan kebijakan. Proses tersebut akan menjelaskan struktur pembentukan citra Donald J. Trump selama masa kampanye. Selanjutnya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur dan analisis dokumen pada sampel liputan acara. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa peristiwa tersebut telah direkonstruksi dalam menggambarkan citra Donald J. Trump dan kebijakannya.

This thesis is intended to answer research questions regarding the process of reconstructing the image of Donald J. Trump and his four policy proposals as a candidate for president of the United States by Fox and Friends in the 2016 presidential election. Meanwhile, the theoretical perspective used as the basis for the analysis refers to the framing theory used. initiated by Robert Entman. In the perspective taken, it can be proven that the framing process shows Donald J. Trump's positioning on a political discourse in policy coverage. This process will explain the structure of the image formation of Donald J. Trump during the campaign period. Furthermore, this study uses a qualitative method with literature studies and document analysis on the sample coverage of the event. Thus, the conclusion that can be drawn from this research is that the event has been reconstructed in describing the image of Donald J. Trump and his policies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Surya Purnama
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan wacana eksepsionalisme Amerika dalam kampanye Donald J. Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Untuk mengungkap penggunaan wacana eksepsionalisme Amerika dalam kampanye Trump, penelitian ini mengkaji transkrip pidato penerimaan pencalonan presiden oleh Trump pada Konvensi Nasional Partai Republik. Metodologi kualitatif dilakukan pada penelitian ini dengan menggunakan pendekatan wacana sejarah Discourse-Historical Approach yang dikemukakan oleh Reisigl dan Wodak 2009. Selain itu, konsep komunikasi politik berupa pembingkaian emosi dari Castells 2009 juga digunakan untuk memperluas kajian penelitian ini. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa Trump mengeksploitasi narasi identitas masyarakat Amerika Serikat dengan menggunakan wacana eksepsionalisme Amerika. Selain itu, Trump juga mengeksploitasi rasa amarah dalam menggunakan wacana eksepsionalisme Amerika.

The thesis examines the role of American exceptionalism in Donald J. Trump's campaign in the 2016 U.S presidential election. To analyze his use of American exceptionalism, the study focuses on the speech he delivered when he accepted a presidential nomination at the Republican National Convention. The study uses a qualitative method by employing Reisigl and Wodak rsquo s 2009 Discourse Historical Approach and a political communication concept of emotional framing by Castells 2009. The results show that Trump exploited the narrative identity of American citizens by using American exceptionalism. Moreover, he also exploited anger to amplify the notion of American exceptionalism in his campaign."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4538
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arish Fadillah
"ABSTRAK
Etika seringkali menjadi masalah yang membentur pembuat film dokumenter. Dilema terjadi antara mana yang harus atau tidak harus dimasukkan ke dalam film, hingga perlakuan sang sutradara terhadap narasumber dokumenternya. Salah satu kasus yang cukup ramai di tahun 2012 adalah pengakuan dari Anwar Congo, tokoh utama di film The Act of Killing, bahwa Ia merasa ditipu dan menganggap film yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer tentangnya lebih banyak merugikan dirinya. Sehingga terlihat bahwa ada indikasi pelanggaran etika di dalam film ini.Namun pendapat lain akan muncul ketika membawa perspektif utilitarianisme dalam keputusan Joshua untuk membuat film The Act of Killing, bukan untuk menyulut kemarahan orang Indonesia atau untuk membuka apa yang sering disebut luka lama, melainkan mencoba menyelesaikan perihal masalah sejarah yang tidak diceritakan secara lengkap atau perihal penindasan terhadap kelompok tertentu yang masih meninggalkan luka hingga sekarang.Analisis etika yang dilakukan ingin melihat apakah terbukti The Act of Killing sebagai film dokumenter melanggar beberapa nilai etika film dokumenter dan kemudian melihat etika tersebut dalam perspektif utilitarianisme, apakah tak apa melanggar etika jika untuk sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat bagi banyak orang.
ABSTRACT

Ethics often become a problem that afflicts documentary filmmaker. The Dilemma of ethics occurs between what are should or should not be included in the film, to how the director treats the sources. One significant case on this subject appears in 2012, when Anwar Congo, the main cast of The Act of Killing, confesses that he felt cheated and considers that the film made by Joshua Oppenheimer about him brings notoriety. Thus, it is apparent that there are indications of a violation of ethics in The Act of Killing movie.However, another opinion will arise when viewing Joshua rsquo s decision to make The Act of Killing from the perspective of utilitarianism. The film is not intended to ignite the anger of Indonesian people or to open the lsquo old wounds rsquo , but rather trying to resolve the subject matter of history that was not told in full package, or about oppression against certain groups that still left them traumatized.The analysis wanted to see the proof that there are some violations of documentary ethical values in The Act of Killing and then look at the ethics from the perspective of utilitarianism, does it still violate ethics when it brings something more substantial and beneficial for many people."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Santosa
"Kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan peristiwa yang pertamakalinya bagi bangsa Indonesia. Dalam kampanye itu aktor politik berupaya untuk menciptakan citra dan opini yang posisif dimasyarakat melalui media massa, TVRI merupakan salah satu aiternatif media yang dapat dipergunakan sebagai media dalam pemberitaan kampanye. Pembentukan ctra itu sangat penting sebab tidak ada tindakan tanpa didasari citra. Citra merupakan unsur-penentu dalam tindakan (Nimmo, 2001: 4-5); Dengan demikian; persoalan penelitian ini adalah, sebagai apakah bangun citra kandidat presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikonstruksikan oleh TVRI?
Sesuai dengan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui bangunan citra kandidat presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberita.an TVRI selama mass kampanye pemilihan presiden putaran pertama Sesuai dengan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Analisis framing yang mengadopsi model Gamson dan Modigliani (1989:2) maka paradigma penelitian ini konstruktivisme.
Sesuai dengan tema yang diangkat pasangan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan calon wakil presiden Jusuf KalIa yaitu: menciptakan Indonesia yang aman, adil dan sejahtera. Bagi masyarakat Jawa, kondisi itu hanya bisa dicapai jika penguasa sejati, dimana memiliki kekuatan batin yang tangguh, memiliki sifat alus (halus). Halus dalam tutur kata, mampu mengendalikan emosi, selalu sopan. Penguasa demikian ini dalam mitologi jawa, dijuluk Satrio Piningit.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bangun citra kandidat presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemeberitaan TVRI adalah Satrio Piningit. Package Satrio Piningit terbentuk dari berbagai elemen yang membentuk bingkai ini tersebut. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini, yaitu ketika kandidat presiden SBY berdialog dengan seorang pedagang, ia menggunakan bahasa jawa halus (kromo inggil). Dan ketika menanggapi issu negatif yang dialamatkan kepadanya, ia tetap sopan dan toleran. Kesediaan kandidat SBY menjenguk pasien di rumah sakit yang menderita akibat terkena ledakan balon gas, mengesankan bahwa kandidat ini memiliki sikap empati. Dengan demikian bagi kandidat Presiders SBY, hubungan antar manusia bersifat inter subyektif, orang lain tidak dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Sifat hubungan demikian merupakan hubungan manusiawi.
Secara akademis, khususnya bagi media televisi dalam pembingkaian berita perlu disesuaikan dengan praksis sosial budaya yang berlaku dimana pesan hendak disampaikan. Selain itu, perlu mendapatkan perhatian dalam pengajaran pengambilan gambar untuk mendapatkan kesan tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arum Diah Purwoningrum
"ABSTRACT
Penelitian ini membahas tentang keputusan yang dibuat oleh U.S. Supreme Court dalam menyelesaikan kasus sengketa pemilihan presiden tahun 2000. Untuk dapat menjelaskan hal tersebut, penelitian ini menggunakan konsep judicial activism, konsep Mahkamah Agung sebagai pembuat kebijakan nasional, enam gagasan politik dan Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat, dan konsep Federal Supreme Court berdasarkan The Federal Papers. Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan bahwa para hakim di U.S. Supreme Court dapat membuat keputusan politis karena peran mereka sebagai salah satu bagian dari cabang kekuasaan politik di pemerintahan. Dengan menggunakan fungsi politik mereka yang konstitusional, U.S. Supreme Court mencegah pelanggaran konstitusi dengan mengakhiri sengketa kasus pemilu Bush v. Gore. Penelitian ini menunjukan bahwa U.S. Supreme Court menggunakan fungsi politik mereka pada sengketa pemilihan presiden tahun 2000 guna mempertahankan peran mereka untuk memastikan bahwa Konstitusi tidak dilanggar dalam cara apapun, dan agar kasus tersebut tidak mencapai ranah Kongres. Fakta bahwa Bush v. Gore tidak memiliki preseden sebagai rujukan untuk penyelesaian kasus, membuat U.S. Supreme Court memiliki alasan untuk membuat keputusan politis dengan menggunakan judicial activism. Keputusan tersebut diambil guna membuat hukum dan preseden baru dari kasus Bush v. Gore, dan menjadikannya sebagai landmark case.

ABSTRACT
This research analyses the ruling decision that of the U.S. Supreme Court on settling the Presidential / General Election dispute in the year 2000. This research analyses the issues of judicial activism, Supreme Court as a national policy maker, six notions of political, and the Federal Supreme Court concept according to the Federal Papers. This reseach argues that the justices of U.S. Supreme Court could make such political decision because their role as a part of political branch of the government. By using its constitutional political function, the Supreme Court prevents a violation of the constitution by putting an end to the Bush v. Gore dispute. This research shows that the U.S. Supreme Court had to exercise their political function on presidential election dispute by the year 2000 in order to maintain their role to make sure that the Constitution is not being violated in any way, and to avoid this case from reaching the Congress. The fact that Bush v. Gore does not have a precedent to refer to, makes the U.S. Supreme Court had their reason to make a political decision by using judicial activism. The action was taken in order to make a new law and new precedent so that the Bush v. Gore can be deemed as a landmark case."
2016
S63767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>