Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61517 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cahyo Arswandaru
"Subjek merupakan salah satu objek kajian yang memiliki andil besar dalam pergerakan pemikiran filsafat. Diskursus mengenai subjek hadir dalam setiap periodisasi filsafat, sejak jaman Yunani Kuno hingga filsafat Kontemporer. Pemetaan tentang subjek ini salah satunya diungkapkan oleh seorang pemikir psikoanalisa, yaitu Jean Jacques Lacan, melalui pembacaannya atas subjek Cartesian dan subjek Freudian yang dipadukan dengan gagasan dialektika Hegel, serta strukuralisme dari Saussure. Subjek Lacanian mengemban tiga wilayah utama, yaitu The Imaginary, The Symbolic, dan The Real, dimana ketiga wilayah tersebut saling berintegrasi membentuk kerangka subjek, serta digerakan oleh hasrat dan kekurangan yang menjadi poros dalam roda triadik tersebut. Komplemen lain yang turut membentuk kerangka subjek ialah kehadiran Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, rangkaian penanda hingga Jouissance sebagai jawaban atas konflik yang senantiasa diemban oleh subjek dalam usahanya untuk mencapai keutuhan diri. Subjek Lacanian dijelaskan sejak masa kelahiran hingga mencapai puncak konflik di wilayah Simbolik. Selaras dengan hal tersebut, sinopsis yang disajikan dalam teks album The Wall melalui narasi lirik lagu sejak lagu pertama hingga terakhir, menyajikan cerita mengenai perjalanan pencarian jati diri subjek sejak kelahiran hingga puncak konflik hidup yang dialaminya. Jalan cerita yang disajikan dalam teks album The Wall relevan dengan alur pemetaan subjek Lacanian. Analisis atas teks The Wall merupakan sebuah usaha menemukan kebaruan yang tersembunyi dibaliknya.

Subject is an object of study that have a significan impact in philosophical discourse. This discourse about subject present in every periodization of philosophy, from the Ancient Greek to the Contemporary philosophy. One of the Psychoanalitic thinker that revealed about this mapping of subject is Jean Jacques Lacan, through his reading of Cartesian subject and Freudian subject combined with the concept of Hegelian dialectic, and also structuralism from Saussure. Lacanian subject contains three main areas, there are The Imaginary, The Symbolic, and The Real, where this three regions are integrated to form the structure of subject, and its also powered by desire and lack. Another complements that form the subject are the presents of Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, chain of signifiers, and Jouissance as the solution of subject’s conflict in order to attain the self completeness. Lacanian subject is explained since the birth of subject until the climax of conflicts in Symbolic area. In tune with this mapping of subject, The Wall present a narration in its text, about the journey of a subject, since the birth until the climax conflicts of life. The narration is formed by every lyrics of the song, from first to last in the album. The storyline of The Wall’s text is relevant with the mapping line of Lacanian subject. Analysis of The Wall is an effort to find novelty beyond its text."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S45091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beetz, Johannes
London: Palgrave Macmillan, 2016
146.32 BEE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Irawan
"Aku yang ambigu, Sintesa Amara Pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan. Konsep Aku yang ambigu merupakan upaya pengkajian ulang atas pertanyaan, apa artinya menjadi manusia? Secara teknis pertanyaan ini berusaha dijawab dengan suatu usaha sintesa di antara pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan tentang manusia. Merleau-Ponty mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang babas, otonom dan utuh secara individual. Sebaliknya menurut Jacques Lacan manusia adalah makhluk yang "calf' dan terkungkung dalam berbagai bentuk simbolis bahasa dan penanda Perbedaan ini merupakan konsekuensi logis dari kelanjutan perdebatan dan atau proses transisional humanitas manusia dari zaman modern ke zaman post-modern. Manusia dalam zaman modern dipandang sebagai makhluk yang rasionalobjektif-universal sedangkan pada zaman post-modem manusia adalah irrasionalsubjektif-partikular, tergeser dari pusat kesadarannya dan tercecer ke sudut-sudut ketidaksadaran naluriah yang asli dan purba.
Konsep Aku yang ambigu lebih jauh merupakan refleksi kritis atas perkembangan penyelidikan manusia dari zaman ke zaman di mana pada dasamya dalam keseluruhan dan kesatuan hidupnya bermakna ganda bahkan multi dimensional. Maksudnya manusia sejak dilahirkan memiliki potensi untuk ambigu dalam arti sebagai makhluk yang ambivalen, paradoks bahkan kontradiksi dalam dirinya sendiri maupun ketika berada di dalam dunianya.
Identitas Aku yang ambigu menjadi tidak terbantahkan ketika sudah dieksplisitkan dalam perilaku dan wujud kehidupan sehari-hari. Hal ini yang membuat penyelidikan tentang manusia sampai detik ini tidak pernah berhenti dan mengenal kata akhir.
Dalam penelitian ini kenyataan dan realitas seperti yang terungkap di atas dirumuskan ulang dan disistematisasikan dalam kerangka tematis filsafat manusia bahwa manusia adalah makhluk yang ambigu. Ada tiga hal penting untuk dikatakan sehubungan dengan rumusan tersebut. Pertama aspek ketidaksaran atau irrasionalitas dalam konsep Aku yang ambigu yang menandakan bahwa keambiguitasannya bertempat dalam wilayah naluriah atau dunia bawah sadar manusia sehingga memang sudah merupakan fitrah dan asli. Aspek yang kedua adalah aspek ketubuhan dan aspek yang ketiga adalah aspek kebahasaan. Aspek yang kedua dan ketiga ini satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Keduanya berperan membentuk individu yang berperilaku arnbigu antara yang bertubuh dan berbahasa. Kenyataan atas ambiguitas antara aspek yang kedua dengan aspek yang ketiga membangun rumusan baru bahwa Aku kini menjadi ambigu antara Aku yang penuh atau Aku yang cair.
Jalan ambiguitas bukan jalan tengah atau jalan dengan mengambil satu pengertian saja dari dua pengertian yang ada dan pada saat yang sama menghilangkan pengertian yang lain. Jalan ambiguitas juga bukan berarti bahwa kedua pengertian (potensi) dilebur ke dalam suatu definisi baru tentang sesuatu (Aku) tetapi lebih dimaknai sebagai sebuah pendekatan yang mendasarkan diri pada temporalitas. Maksudnya kedua pengertian tersebut sama-sama berpotensi mengaktualisasikan diri dalam ruang dan waktu yang melingkupinya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1995
302.1 MAP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Erdinast-Vulcan, Daphna
"Contents :
Part one. Homesickness, borderlines, and contraband -- The architectonics of subjectivity -- The poetics of subjectivity -- The shattered mirror of modernity -- Part two. The exilic constellation -- Introduction -- The dead end of omniscience : reading Bakhtin with Bergson -- In the beginning was the body : reading Bakhtin with Merleau-Ponty -- From dialogics to trialogics : reading Bakhtin with LeÌ?vinas -- Coda : a home away from home."
California: Standford University, 2013
801.95 ERD b (1);801.95 ERD b (2);801.95 ERD b (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Haworth Press, 1984
025.47 SUB
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tairas, J.N.B., compiler
Jakarta: Pusat Pembinaan Perpustakaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985
R 025.49 TAI p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Hehakaya. Shane Antoinetta
"Skripsi ini merupakan telaah filosofis terhadap sistem demokrasi dalam masyarakat pluralis saat ini, yang mana kondisi di dalamnya terjadi penyingkiran subyek sehingga menjadi subyek bagian yang tak memiliki bagian. Hal ini memberikan celah bagi terjadinya kesalahan hitung yang memunculkan kondisi ketidaksetaraan. Praktik-praktik polis dalam masyarakat, melalui logika polisinya memunculkan distribusi sensibilitas yang mengklasifikasikan subyek-subyek di dalam sistem.
Adanya pengklasifikasian dalam hal apapun menurut Rancière merupakan kondisi ketidaksetaraan. Menanggapi masalah ketidaksetaraan ini, terdapat solusi yang berpotensi memberikan jalan keluar, yaitu dengan cara subyek berada dalam posisi politiknya untuk berpartisipasi secara aktif dalam merebut kesetaraannya. Tindakan politik yang dapat dilakukan subyek adalah dengan melalui disensus yang berwujud pada deklasifikasi.
Terkait dengan permasalahan di atas, polis juga tidak dapat begitu saja dihilangkan, namun cara yang dapat dilakukan adalah dengan terus menerus mengungkap apa yang tersembunyi di dalam polis. Disensus sebagai jalan untuk mengkonfrontasi partisi sensibilitas dengan cara berpartisipasi aktif sebagai subyek politik untuk merebut kesetaraan. Upaya ini merupakan bentuk politik demokratisasi sebagai proses disensus.
Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali akan pentingnya menyertakan seluruh subyek dalam sistem demokrasi, sehingga setiap subyek dapat mencapai kesetaraannya secara aktif. Aspirasi yang diperjuangkan pada tulisan ini merupakan suatu kritik terhadap sistem demokrasi yang menyingkirkan subyek-subyek di dalam sistem.

This thesis is an exploration of philosophical about democracy system in the pluralist society today, in which the elimination of subject occurs. Therefore, this would be the subject that is called the part that has no part. The calculation error might arise and this also could lead to the inequality. Moreover, the police practice in society that exists through its policy of logic will lead to the distribution of the sensibility of subject classification in the system.
According to Rancière, inequality will occur whenever classification exists in whatever situation. In regards to the inequality, there is an alternative that could potentially solve this issue. This could be solved if the subject in their political position participates actively in gaining their equality. For instance, subject can do a tangible dissensus in declassification.
In this case, it does not necessarily mean that a police could be removed. It would be better if we do investigation frequently to reveal something that is hidden in the police. Dissensus is a way to confronting partition of the sensibility through the active participation in achieving equality as a political subject. These efforts are form of political democracy as a dissensus process.
This thesis aims to remind us about the importance of including the entire subject in the democracy system, and thus, every subject can achieve its equality actively. The aspiration in this thesis is a criticism toward democracy system that eliminates subjects in the system.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43070
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Okvi Elyana
"Pembicaraan mengenai komunitas dalam pemikiran Jean-Luc Nancy sesungguhnya adalah suatu upaya untuk membangkitkan kembali nilai-nilai persaudaraan di dalam masyarakat. Oleh karena itu komunitas yang ideal adalah Ada-Dalam-Kebersamaan. Kondisi ini tidak mensyaratkan manusia untuk menjadi sama, melainkan untuk menciptakan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki perbedaan yang tidak dapat diatasi, bahkan dengan menciptakan persamaan. Komunitas justru hadir dari kesadaran akan perbedaan yang menjadi landasan untuk saling menghormati manusia yang senantiasa hidup bersama. Ada-Dalam- Kebersamaan tidak pernah mencapai titik akhir karena yang dibutuhkan adalah proses untuk selalu berada di Dalam kebersamaan. Maka sesungguhnya komunitas di dalam pemikiran Nancy memiliki dimensi utopia yang tidak mungkin terwujud karena selalu bergerak ke tempat-tempat berbeda. Namun ketidakmungkinan ini justru menciptakan kemungkinan agar senantiasa berada dalam proses mendekatinya. Hal ini karena ketika sesuatu dapat diwujudkan,maka ia bukanlah sebuah utopia.

In his discourse about community, Jean-Luc Nancy elucidating an effort to reviving the notion of fraternity in society. Therefore the ideal form of community is the state of Being-In-Common. This condition does not require every person to be the same, but rather to bring an understanding that each person has his own differences which is ceaselessly incomprehensible for one another, thus cannot be solved with an idea about sameness. By this perceptive, community takes place in the very awareness of this understanding about difference as a value-ground for each person to be able to live together. Being-In-Common would never come to an end because its main idea stands in the never-ending process of it, that is to always be In common. Hence community in Nancy's thought will always be in an utopian dimension since it can never be finally achieved. But this impossibility to reach the final purpose is exactly the thing that opens up the possibility for an endless attempt to pursue it. For when something has completely achieved, then it is no more can be called as utopia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42802
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengindeksan adalah proses pembentukan representasi suatu dokumen dengan menggunakan istilah-istilah yang mencerminkan isi dokumen tersebut. skema klasifikasi dan daftar tajuk subjek merupakan indeks konvensional yang biasa digunakan dalam sistem pralaras (prefcoordination system), sedangkan tesaurus terutama digunakan dalam sistem pascalaras (postcoordination system). Pengkajian bertujuan untuk membandingkan sistem pengindeksan dan katalog sebagai metode temu kembali informasi dg berbagai sisitem yg diterapkan oleh pengindeks. Serta mengetahui manfaat masing-masing sistem pengindeksan dan katalog pada era teknologi informasi. Pengorganisasian informasi mencakup proses katalogisasi/klasifikasi dan pengindeksan subjek..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>