Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deny Setiawan
"Gibsit adalah mineral alumina dioktahedral, [Al(OH)3]. Struktur kristal gibsit merupakan tumpukan oktahedral aluminium hidroksida. Setiap lembar terdiri dari kation Al3+ yang berkoordinasi dengan 6 hidroksil (OH-), dan setiap ion OH- berkoordinasi dengan dua Al3+. 6 oktahedral yang membentuk cincin menyebabkan terbentuknya rongga oktahedral pada gibsit. Rongga ini dapat disisipi oleh kation yang berukuran kecil seperti lithium. Gibsit dan gibsit diinterkalasi litium (LIG) dapat mengadsorpsi anion melalui pertukaran anion. Sifat mengadsorpsi melalui pertukaran anion ini digunakan untuk menangkap kontaminan-kontaminan anion, seperti Cr(VI) dalam air. Gibsit alam dihilangkan senyawa besi dan material organik menggunakan metode asam askorbat-asam sitrat dan hidrogen peroksida (gibsit purifikasi). Preparasi interkalasi lithium ke dalam gibsit (LIG) dipreparasi dengan menambahkan gibsit ke dalam larutan LiCl. Pada studi ini, sebanyak 0,15 gram gibsit alam, gibsit purifikasi, LIG alam dan LIG purifikasi dimasukkan ke dalam 100 ppm larutan Cr(VI) pada pH 4 dan 10. Kemudian distirer selama 5, 15, 30, 60, 120, 180, 240, 360, 900 menit. Hasilnya menunjukkan bahwa adsorpsi Cr(VI) relatif lebih tinggi pada pH 4 dibandingkan pH 10. Gibsit purifikasi terinterkalasi litium (LIG purifikasi) menunjukkan adsorpsi paling tinggi sekitar 9,5 mg/gram pada pH 4 dan sekitar 7,90 mg/gram pada pH 10 .

Gibbsite is dioctahedral alumina mineral, [Al(OH)3]. Crystal structure of gibbsite is octahedral packed of aluminium hydroxide. Each layer consist of cation Al3+ which coordinates with 6 hydroxyls and each ion OH- coordinates with 2 Al3+. 6 oktahedral make octahedral voids. This octahedral voids can hold small cation like lithium. Gibbsite and gibbsite intercalated litium (LIG) is capable of adsorbing anions through an ion-exchange reaction. The anion exchange adsorption capability is applied in scavenging anionic contaminants, such as Cr(VI) in the water. LIG was prepared by added gibbsite in to LiCl solutions. In this study, the adsorption of Cr(VI) by gibbsite and LIG was investigated at pH 4 (bichromate ions) and pH 10 (chromate ions). The results showed that Cr(VI) adsorption was relatively high in pH 4 compared to pH 10. Gibbsite with purification and then intercalated with lithium (LIG purification) showed highest adsorption around 9,5 mg/gram pH 4 and 7,90 mg/gram pH 10."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S44044
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariska Lukmana
"Dalam penelitian ini, dilakukan preparasi gibsit diinterkalasi litium (LIG) dari mineral gibsit alam. LIG dipreparasi melalui interkalasi LiCl ke gibsit dan membentuk struktur [LiAl2(OH)6]+ dengan lapisan interlayer ion Cl- dan air. LIG ini memiliki efektivitas dan kapasitas lebih baik dibanding mineral gibsit untuk menghilangkan fosfat dalam air. Adsorpsi terjadi melalui pertukaran anion Cl- di- interlayer dalam LIG dengan fosfat. Adsorpsi maksimum pada pH 4,5 dan menurun dengan meningkatnya pH, karena adanya kompetisi dengan anion OH- seiring kenaikan pH. Pertukaran anion adalah reaksi yang cepat, selesai dalam beberapa menit. Sebaliknya, adsorpsi pada permukaan adalah proses yang lambat dan membutuhkan beberapa hari untuk mencapai kesetimbangan. Adsorpsi pada pH asam lebih banyak dalam bentuk ion monovalen H2PO4-, dan adsorpsi pada pH yang lebih tinggi cenderung lebih selektif terhadap ion divalen HPO42- dan OH-. Hasil ini menunjukkan bahwa LIG menjadi pengadsorpsi yang efektif untuk menghilangkan fosfat dalam air pada kondisi pH 4,5.

In this research, preparation gibbsite intercalated lithium (LIG) of mineral gibbsite nature. LIG was prepared by intercalation of LiCl into gibbsite and form structures [LiAl2(OH)6]+ with ion Cl- layers and interlayer water. LIG has better effectiveness and capacity than gibbsite mineral to eliminate phosphates in the water. Adsorption occurs through anion exchange of Cl- in LIG with phosphate in the interlayer. Maximum adsorption at pH 4.5 and decreased with increasing pH, due to competition with OH- anions with increasing pH. Anion exchange reaction is rapid, complete in a few minutes. In contrast, adsorption on the surface is a slow process and can take several days to reach equilibrium. Adsorption at pH more acidic in the form of monovalent ion H2PO4-, and adsorption at higher pH tend to be more selective about divalent ion HPO42- and OH-. These results suggest that LIG be effective adsorbent for removing phosphate in water at pH 4.5 conditions."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S44353
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanka Julianandi
"Meningkatnya kegiatan perindustrian seperti industri pelapisan logam dan industri tekstil diiringi pula dengan peningkatan limbah logam-logam beracun di perairan seperti Cr(VI). Telah banyak metode yang digunakan untuk menanggulangi limbah Cr(VI) tersebut, salah satunya dengan metode adsorpsi.Pada penelitian ini, adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben gibsit dan gibsit terinterkalasi litium. Metode purifikasi yang digunakan adalah metode Tributh Lagaly yang memberikan pengaruh pada hasil adsorpsi.Adsorpsi dilakukan pada tiga variasi pH yaitu, pH 4, pH 8, dan pH 10.
Hasil kapasitas adsorpsi maksimum didapat pada gibsit alam terinterkalasi litium (LiG alam) dengan kondisi asam yaitu pH 4 sebesar 7,0662 mg Cr(VI)/g gibsit pada 100ppm. LiG purifikasi memberikan hasil adsorpsi yang lebih rendah, karena banyak unsur-unsur yang hilang, seperti Mg dan Ca yang hilang pada saat proses purifikasi, unsur-unsur tersebut dapat membantu pengurangan jumlah Cr(VI) dengan membentuk ikatan ionik dengan Cr2O7 2- atau CrO4 2-. Proses adsorpsi ini terjadi dengan mekanisme pertukaran anion.

The advance of industrya ctivities such as metal plating industry and textile industry waste water is followed by an increase in toxic metals in water such as Cr ( VI ). There have been many methods used to combat the waste of Cr ( VI ), the one with the adsorption method. In this study, adsorption performed using adsorbents gibsit and gibsit intercalated lithium. Purification method used is the Tributh Lagaly method which give effect to the adsorption results. Adsorption is done in three variations, namely pH, pH 4, pH 8, and pH 10.
Results obtained at the maximum adsorption capacity of natural gibsit intercalated lithium ( natural LIG ) with a pH that is acidic condition 4 of 7.0662 mg Cr ( VI ) / g gibsit at 100ppm. Lig adsorption purification gave lower results, because many elements are lost during the purification process, the elements can help reduce the amount of Cr ( VI ) to form ionic bonds with Cr2O7 2-or CrO4 2-. The adsorption process occurs with the anion exchange mechanism.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57087
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Widya Rinukti
"Pada penelitian ini, mineral gibsit (Al2(OH)6) digunakan sebagai adsorben untuk adsorpsi fosfat pada media air. Dilakukan empat perlakuan pada mineral gibsit untuk mengetahui perbedaan daya adsorpsinya. Gibsit di purifikasi dengan metode Tributh Lagaly dan diinterkalasi dengan LiCl selama 24 jam untuk meningkatkan daya adsorpsi nya. LiCl yang terinterkalasi ke dalam gibsit akan membentuk struktur [LiAl2(OH)6]+ dan akan terjadi pertukaran anion Cl- pada saat proses adsorpsi pada lapisan interlayer gibsit.
Gibsit hasil purifikasi terinterkalasi litium (LiG purifikasi) memiliki kapasitas adsorpsi paling besar dan pH 4,5 merupakan kondisi dimana gibsit memiliki kapasitas adsorpsi optimum sebesar 5,173 mg P/g gibsit dan berdasarkan data hasil EDX terdapat unsur fosfor sebesar 1,04% (%Wt). Daya adsorpsi menurun seiring menurunnya jumlah spesi ion H2PO4-/HPO42- dalam larutan. Hasil ini menunjukkan LiG purifikasi dapat digunakan sebagai adsorben alternatif untuk adsorpsi fosfat pada air.

In this study, gibbsite mineral (Al2(OH)6) was used as an adsorbent for the adsorption of phosphate in water. There are 4 treatments for gibbsite mineral to know the differences in adsorption capacity. In this study, Tributh Lagaly method was applied for purification of gibbsite. Gibbsite was intercalated with LiCl for 24 hours to increase the adsorption. LiCl intercalatig into gibbsite giving a structure of [LiAl2(OH)6]+ and anion exchange process of Cl- will occur during the adsorption process on the gibbsite interlayer.
Purified and lithium-intercalated Gibbsite (purified LiG) in the aquos solution at pH 4,5 has given the highest adsorption capacity of 5.173 mg P/g gibbsite when 0,3 g of gibbsite was applied and based on the results of EDX measurement, it contained 1.04% (%Wt) of elemental phosphorus. The adsorption decreased with decreasing amount of H2PO4-/HPO42- species. These results showed purified LiG can be used as an adsorbent for phosphate removal from water.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihite, Onggal
"ABSTRAK
Di dalam dunia kesenian visual, dunia Barat membedakan antara seni dan kerajinan. Dalam kesenian Jawa pembedaan tersebut tidak dikenal. Tetapi dikotomisasi antara seni dan kerajinan umum berlaku di Kampung Taman. Munculnyapun belum demikian lama yaitu beberapa tahun setelah tradisi baru mereka dalam membuat batik. Tradisi baru mereka adalah membuat batik lukis yang bukan untuk memenuhi fungsi busana melainkan sebagai pendukung dekorasi interior saja. Munculnya tradisi baru tersebut mereka melahirkan pula cara ekepresi yang berbeda.
Perbedaan cara berekspresi di dalam kesenian batik masyarakat Kampung Taman akibat dari adanya dikotomi antara seni dan kerajinan. Yang secara umum orang-orang Taman mendefinisikan seni sebagai karya-karya yang bersifat individual dan dibuat dalam jumlah terbatas. Sedangkan kerajinan adalah karya produk massal dibuat dalam jumlah yang banyak (dalam bentuk yang berulang-ulang) oleh banyak orang. Akan tetapi ketika dihadapkan terhadap ciri-ciri bentuk satuan karya apakah itu karya seni atau kerajinan masyarakat tidak dapat mengkategorikan secara jelas tanpa melihat konteks di luar satuan karya tersebut.
Kampung Taman adalah kawasan wisata, di mana hasil kesenian masyarakatnya mempunyai kaitan erat dengan pasar yang bersifat turistik. Masalah yang menarik dari gejala-gejala ini adalah: pertama, mengapa muncul cara berekspresi yang berbeda dalam menghadapi pasar yang bersifat turistik?; kedua apabila hasil suatu karya seni dan kerajinan demikian Samar mengapa masyarakat Taman mengkategorikan seni bertentangan dengan kerajinan?; ketiga, apabila kategori seni dan kerajinan lebih mencerminkan pertentangan, bagaimana hubungan kesenian dengan konflik dan kerjasama yang ada dalam masyarakat pelaku kesenian batik?
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah mencoba mengidentifikasi, memahami, dan menjelaskan konflik dan juga kerjasama yang terwakili dengan adanya dikotomisasi antara seni dan kerajinan.
Dalam upaya menjelaskan gejala-gejala ini diperlukan suatu pengamatan terlibat dan wawancara mendalam terhadap masyarakat pelaku kesenian batik di Kampung Taman. Kampung Taman diambil sebagai lokasi penelitian berkat kerangka teori yang dibuat dan pertimbangan-pertimbangan teknis: tempat tersebut memungkinkan dikaji secara mendalam, dan orang-orang yang dapat diajak kerjasama sehingga didapat data-data yang memadai.
Dikotomisasi seni dan kerajinan seperti ini bukanlah kebiasaan pada masyarakat Jawa. Pengadopsian istilah seni dan kerajinan menimbulkan konflik kepentingan. Karena mereka dapat mendefinisikan karya lain sebagai kerajinan dan orang lain sebagai perajin. Sehingga ada kelompok masyarakat yang membuat karya batik yang bersifat individualistis dan yang bersifat produk massal. Konflik berkaitan dengan pasar di mana karya-karya unik individualistik direproduksi oleh orang lain secara massal. Pengadopsiam konsep seni dan kerajinan tersebut tidak diikuti dengan mendaftarkan hak cipta pada lembaga yang berwenang. Konflik-konflik tersebut diekspreslkan dengan merendahkan karya-karya kerajinan. Selain itu masing-masing kelompok membuat organisasi kesenian masing-masing. Yang satu berlabel seni dan yang satu lagi berlabel kerajinan.
Namun ada ketidaktegasan dalam membuat kategori apakah karya tertentu digolongkan sebagai kerajinan atau seni. Seni dapat menjadi kerajinan, dan seni dapat pula mengandung unsur kerajinan. Ketidaktegasan tidak menghalangi dikotomisasi antara seni dan kerajinan. Ini pula yang menandakan adanya konflik kepentingan antara dua kelompok tersebut. Karena suatu karya bukan konteksnya pada karya itu sendiri melainkan terkait dengan siapa pembuatnya.
Sisi lain dari konflik mereka juga dapat melakukan kerjasama. Jika konflik kepentingan masyarakat mengambil semacam model dikotomisasi antara seni dan kerajinan. Kerja sama mempunyai nuansa lain. Kerjasama bukan mengambil model dari seni mengandung unsur kerajinan dan kerajinan dapat menjadi seni. Kerjasama mereka lakukan dalam upaya menonjolkan Kampung Taman sebagai "desa seni" supaya menjadi sorotan masyarakat lain yang lebih luas. Ini ada hubungannya dengan upaya pemugaran situs budaya Kompleks Taman Sari oleh pemda DIY. Pemugaran ini dikhawatirkan terjadinya penggusuran. Masyarakat saat ini masih dalam tanda tanya tentang kelangsungan hidup mereka bagaimana nasib mereka jika pemugaran itu terlaksana. Untuk itu selama dalam masa menunggu lebih baik mereka berpameran karya-karya batik di luar kampung mereka, supaya masyarakat lain tahu bahwa mereka eksis. Untuk itu mereka perlu bekerjasama dalam upaya tersebut."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Reny Indriyana Utami
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S49509
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ucu Saefurohman
"ABSTRAK
Proses komunikasi, kolaborasi dan koordinasi yang baik berdampak besar
terhadap efektivitas organisasi dan merupakan elemen penting dalam pencapaian
pelayanan kesehatan yang bermutu. Tujuan penelitian ini untuk menelaah pola
komunikasi, kolaborasi dan koordinasi di Puskesmas Ibrahim Adjie Kota
Bandung yang menerapkan standar mutu ISO 9001:2008 dan sebagai puskesmas
berprestasi tahun 2016 di Jawa Barat. Metode penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif bersifat konfirmatori. Keabsahan data dijaga dengan teknik
triangulasi sumber dan metode melalui wawancara mendalam pada empat orang
narasumber, diskusi group terarah oleh enam orang staf, observasi dan telaah
dokumen. Hasil penelitian menunjukan terdapat pola komunikasi semua level dan
saluran. Pola kolaborasi spektrum luas bersifat spesialisasi, diformalisir. Pola
koordinasi bersifat penguatan dan perluasan. Tantangan yaitu pemilihan prioritas
penyampaian informasi, adanya peran ganda, kesalahpahaman, kesulitan
menselaraskan waktu kegiatan dengan instansi lain, pengulangan proses
koordinasi ketika ada pergantian pejabat seperti camat atau lurah, adanya
keterlambatan persetujuan laporan program kegiatan dari pihak kecamatan dan
kelurahan. Saran yaitu agar terus menjaga pola yang telah ada dan
meningkatkannya, perlu adanya advokasi untuk penguatan sumber daya manusia,
perlu ada nota kesepahaman dengan instansi lain, perlu mentransfer pola proses
yang telah kepada personil puskesmas secara berkesinambungan. Instansi luar
yang sejenis perlu meniru dan menerapkan pola proses yang ada dari Puskesmas
Ibrahim Adjie

ABSTRACT
The process of communication, collaboration and coordination have a major
impact on the effectiveness of the organization and an important element in the
achievement of quality health services. The purpose of this study to analyze
patterns of communication, collaboration and coordination in Puskesmas Ibrahim
Adjie - Bandung, which has implemented a quality standard ISO 9001: 2008 and
as the best health center in 2016 in West Java. The research method uses a
qualitative approach is confirmatory. To maintain the validity of the data was
performed using triangulation sources and methods of data collection is done by
in-depth interviews to four people who are important in the process, focus group
discussions by six staff, observation and study of the document. The results
showed there is a pattern of all levels and channels of communication. The
pattern of broad-spectrum collaboration is secondary. Coordination patterns are
strengthening and expansion. Barriers that often happens, the choice of priority
delivery of information, the dual role, misunderstanding, trouble harmonize time
activities with other agencies, the repetition of the process of coordination when
there is change of officials such as district or village heads, the delay in the
approval of program activity reports from the district and village. Suggestions are
to continue to maintain the existing pattern and increase, the need for advocacy
for the strengthening of human resources, the need for a MoU, it is necessary to
transfer the pattern of the process that has been ongoing basis to the health center
personnel. Outside agencies similar to apply the pattern of the existing processes"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neli Haryanti
"Badan Perencanaan Pembangunan Daerah adalah salah satu perangkat daerah mempunyai fungsi pokok sebagai badan perencanaan pembangunan daerah. Wewenang Bappeda induk sebagai koordinator dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesejahteraan masyarakat. Koordinasi merupakan upaya yang sangat penting yang dilakukan oleh Bappeda dan jajarannya daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja pembangunan daerah. Dengan Adanya permasalahan pembangunan daerah menggambarkan kendala internal Pelaksanaan koordinasi, koordinasi di internal Bappeda terlihat kurang baik dari kerjasama, komunikasi dan disiplin anggotanya, oleh karena itu penelitian ini bertujuan menganalisis pelaksanaan koordinasi serta faktor-faktor mempengaruhinya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan postpositivist. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dari wawancara studi pustaka dan mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi koordinasi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah cukup efektif. Hasil ini diketahui melalui Proses analisis empat dimensi yaitu dimensi koordinasi harus terpusat, koordinasi harus terintegrasi, koordinasi harus berkesinambungan, dan koordinasi harus ada
menggunakan pendekatan multi-kelembagaan. Dimensi yang terpenuhi adalah dimensiK oordinasi harus terintegrasi dan koordinasi harus berkesinambungan, sedangkan dua Dimensi lain yaitu dimensi koordinasi harus terpusat dan koordinasi harus menggunakan pendekatan multi-kelembagaan tidak terpenuhi. Faktor-faktor itu Pengaruh ini dianalisis dengan menggunakan teori Hasibuan (2006) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan koordinasi yaitu faktor kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja, dan disiplin. Dari segi faktor kesatuan tindakan, pelaksanaan koordinasi belum terlaksana dengan baik karena adanya perintah tidak ada satupun isu yang dikeluarkan dalam proses penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kota kedua departemen di Bappeda kepada instansi di bawahnya. Faktor
komunikasi, pelaksanaan koordinasi sudah dikomunikasikan dengan baik kepada semua pemangku kepentingan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Faktor ketiga, pembagian kerja juga telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Walikota tertuang dalam Susunan Organisasi Tata kerja masing-masing perangkat daerah. Faktor keempat, yaitu disiplin, menunjukkan Badan-badan dalam proses tersebut belum terpapar pada kemauan dan kecenderungan yang tinggi dari badan-badan tersebut dalam prosesnya penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

The Regional Development Planning Agency is one of the regional apparatuses having the main function as a regional development planning agency. The authority of the main Bappeda as coordinator in the preparation of Regional Government Work Plans greatly influences the development of community welfare. Coordination is a very important effort made by Bappeda and its regional staff in the preparation and implementation of regional development work plans. The existence of regional development problems illustrates internal constraints. The implementation of coordination, coordination within Bappeda looks less good than the cooperation, communication and discipline of its members, therefore this study aims to analyze the implementation of coordination and its factors.
influence it. This research was conducted using a postpositivist approach. The data needed in this study comes from literature and in-depth interviews. The results showed that the coordination implementation of the Regional Government Work Plans by the Regional Development Planning Agency was quite effective. These results are known through a four-dimensional analysis process, namely the dimensions of coordination must be centralized, coordination must be integrated, coordination must be sustainable, and coordination must exist. using a multi-institutional approach. The dimensions that are fulfilled are that the coordination dimension must be integrated and the coordination must be sustainable, while the other two dimensions, namely the coordination dimension must be centralized and the coordination must use a multi-institutional approach is not fulfilled. These factors. This influence is analyzed using the theory of Hasibuan (2006) about the factors that affect the success of the implementation of coordination, namely factors unity of action, communication, division of labor, and discipline. In terms of the unity of action factor, the implementation of coordination has not been carried out properly because there was no single issue issued in the process of drafting the Regional Government Work Plan. said the two departments at Bappeda to the agencies under it. Factor communication, the implementation of coordination has been well communicated to all stakeholders in the preparation of the Regional Government Work Plan. The third factor, the division of labor has also been implemented properly in accordance with applicable regulations The regulations of the Minister of Home Affairs and the Mayor are contained in the Organizational Structure of the work procedures of each regional apparatus. The fourth factor, namely discipline, shows that the Agencies in the process have not been exposed to the high willingness and inclination of these agencies in the process of preparing Local Government Work Plans.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>