Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131397 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rumondang, Natasia
"Skripsi ini membahas tentang upaya ASEAN dalam menciptakan kestabilan regional pada masa Perang Dingin (1967-1991) yang ditunjukkan melalui kemunculan konsep ZOPFAN dan keterlibatan organisasi ini dalam pencarian solusi untuk menyelesaikan Konflik Kamboja. Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah dan ditulis secara eksplanatif-deskriptif. Skripsi ini menyimpulkan bahwa ASEAN berhasil memberikan penyelesaian kepada Konflik Kamboja sebagai upaya untuk menciptakan kestabilan regional Asia Tenggara.

Regional order is needed in order to achieve a regional stability. According to Michael Leifer, in general terms, regional order means the existence of a stable structure of an inter-governmental relationship informed by common assumption about the bases of inter-state conduct. In other words, regional order refers to a condition of security obtaining between regional states which is upheld by their deferring to a formal or informal set of rules. As a region that is known for its instability, South East Asia after the end of The Second World War have had a few attempts to develop the region and also to create regional stability such as Association of Southeast Asia (ASA) and Maphilindo. But none of these works well until in 1967 when a new regional organization takes a shape in what is known as Association of Southeast Asia Nation (ASEAN). This organization shows its efforts to create regional stability through the emergence of ZOPFAN concept and how to implement this concept in South East Asia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S8094
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: [publisher not identified], 2001
327.9 FOR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tety Mudrika Hayati
"ABSTRAK
Kajian ini berusaha mengemukakan kebijakan yang dilakukan ASEAN dan kepentingan negara-negara besar di bawah Asia Pasifik dalam upaya membangun masalah-masalah keamanan di kawasan tersebut.
Kajian ini untuk menjelaskan bagaimana ARF pada saat ini sebagai realisasi yang paling dekat dalam konsep keamanan kooperatif. Dengan menjelaskan konsep itu sendiri dan usulan Australia tentang keamanan kooperatif dengan menjelaskan bagaimana ARF dibangun berdasarkan pengalaman ASEAN sebagaimana ASEAN mengadopsi usulan Australia tentang keamanan kooperatif begitu juga upaya-upaya yang telah di lakukan ARF.
Kajian ini melihat bahwa situasi keamanan pasca perang dingin di negara-negara besar, yang menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian dan hal ini membuktikan bahwa kawasan Asia Pasifik masih kurang mempunyai kerangka multilateral, adanya perlombaan senjata serta isu-isu teritorial dan kedaulatan.
ASEAN menyadari perlu mempraktekkan sejumlah elemen dari keamanan kooperatif dalam hubungan antar negara. Australia dengan didukung oleh negara-negara besar telah sepakat untuk menjadikan PMC dalam mempromosikan usulan-usulan mereka. Oleh karena itu ARF memberikan bobot politis untuk merealisasikan pemikiran keamanan kooperatif.
Kajian ini menyimpulkan bahwa ARF merupakan realisasi dari konsep keamanan kooperatif. Keamanan kooperatif menjadi konsep yang paling baik bagi isu-isu keamanan di kawasan Asia Pasifik dan ARF sebagai wahana terbaik untuk membahas isu-isu tersebut.
Kajian ini juga merekomendasikan bahwa ARF harus mengembangkan peranannya melalui dialog-dialog yang tidak resmi serta pertukaran informasi untuk mencapai ketahanan dan keamanan di kawasan. Hal yang terpenting adalah apabila ARF mampu mencapai hasil yang nyata."
2002
T2467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Su Adah
"Skripsi ini membahas tentang kebijakan détente (peredaan ketegangan) pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon. Peredaan ketegangan dengan Uni Soviet ini dilatarbelakangi oleh kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dan krisis peluru kendali Kuba. Presiden Nixon bersama dengan Penasehat Keamanan Nasionalnya Henry Kissinger membentuk grand design (rencana besar) dan grand strategi (strategi besar) dengan mengubah kebijakan lebih mengarah kepada negosiasi dengan negara-negara Komunis seperti Uni Soviet dan Cina. Puncak negosiasi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dilaksanakan dalam Moscow Summit yang menghasilkan perjanjian SALT 1 mengenai pembatasan senjata nuklir bagi kedua negara.

This study focuses on détente policy during President Richard Nixon’s era. Reducing tension towards Sovyet was caused by United States’ loss in Vietnam War and missile crisis in Cuba. President Nixon, along with the National Security Adviser Henry Kissinger, established grand design and grand strategy by changing their policy about Communist states, such as Sovyet and China. This negotiation between United States and Sovyet reached its peak when Moscow Summit was held and resulted in SALT 1 Agreement on both states’ limiting nuclear weapon.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55644
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Nurul Izza
"Animasi secara umum digunakan sebagai media hiburan. Akan tetapi, Uni Soviet menggunakan animasi sebagai media propaganda yang memadukan produksi citra visual, narasi, dan suara untuk membangun framing musuh dan menggiring persepsi publik terhadap Amerika Serikat pada era Perang Dingin. Penelitian ini membahas representasi Amerika Serikat dalam film animasi ?????????/Millioner/Jutawan yang dibuat oleh Uni Soviet sebagai bentuk propaganda. Artikel ini bertujuan menunjukkan cara Uni Soviet merepresentasikan Amerika Serikat sebagai hal yang negatif dalam upaya melakukan propaganda. Teori representasi Stuart Hall menunjukkan bahwa makna diproduksi oleh bahasa. Berdasarkan pemaparan representasi Amerika Serikat dalam animasi/Millioner/Jutawan diketahui bahwa animasi tersebut memiliki peran sebagai alat propaganda Uni Soviet untuk mengkritik imperialisme Amerika Serikat dan membentuk opini publik terhadap penggambaran Amerika ke arah yang lebih negatif. Amerika Serikat digambarkan sebagai negara kaum borjuis yang antagonis, kapitalis, industrialis, ceroboh, dan serakah.

Animation is generally used as a medium of entertainment. However, the Soviet Union used animation as a propaganda medium that combined the production of visual images, narration, and sound to build enemy framing and lead public perception of the United States during the Cold War era. This research discusses the representation of the United States in the animated film /Millioner/The Millionaire made by the Soviet Union as a form of propaganda. This article aims to show how the Soviet Union represented the United States as negative things in an effort to carry out propaganda. Stuart Hall’s representational theory suggests that meaning is produced by language. Based on the presentation of the representation of the United States in the animation ?????????/Millioner/The Millionaire it is known that the animation has a role as a propaganda tool for the Soviet Union to criticize US imperialism and shape public opinion towards a more negative depiction of America. The United States is portrayed as a country of antagonistic, capitalist, industrialist, careless, and greedy bourgeoisie."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dave Emmilio Zegno Fudi
"Berlin sebagai ibukota Jerman tidak hanya dikenal dengan peninggalan historis dalam bentuk budaya material (material culture) seperti monumen atau bangunan dengan gaya arsitektur tertentu, tetapi juga menyimpan kisah spionase dunia pada era Perang Dingin. Sebagai “pusat pertarungan“ ideologi Perang Dingin, Berlin sangat lekat diasosiasikan dengan spionase. Kesan ini sering diangkat sebagai tema berbagai produk media, baik yang diproduksi di dalam atau luar Jerman. Salah satu produk media populer yang mengangkat tema spionase di Berlin adalah serial manga Spy X Family (2019) karya Tetsuya Endo. Penggambaran kota Berlint dalam serial manga ini dapat dimaknai sebagai representasi Berlin pada era Perang Dingin. Dengan menganalisis serial manga ini secara semiotik, penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana Berlin sebagai wilayah sentral pada era Perang Dingin direpresentasikan dalam budaya populer. Analisis semiotik terhadap penggambaran landscape dan kehidupan di kota Berlint dalam manga Spy X Family ini merepresentasikan kota Berlin sebagai pusat spionase yang tertata rapi dan menyediakan ruang tinggal yang layak bagi penduduknya.

Berlin is not only known for its historical heritage in the form of material culture, such as monuments or buildings with a particular architectural style, but also for keeping stories of world espionage during the Cold War era. As the arena of ideology contestation of the Cold War, Berlin is closely associated with espionage. This impression is often used as the theme of various media products produced inside and outside Germany. One of the popular media products with the theme of espionage in Berlin is the manga series Spy X Family (2019) by Tetsuya Endo. The depiction of the city of Berlint in this manga series can be interpreted as a representation of Berlin during the Cold War era. By analyzing this manga series semiotically, this study aims to reveal how Berlin, as a central region during the Cold War era, was represented in popular culture. This semiotic analysis of the depiction of landscape and life in the city of Berlint in the Spy X Family manga represents the city of Berlin as an espionage center that is neatly arranged and provides decent living space for its inhabitants."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Korea: Korean Association of Southeast Asian Studies (KASEAS), 2003
327.17 REG
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Wiguna
"ABSTRAK
Sejak awal berdirinya, Indonesia sering diasosiasikan sebagai pemimpin di institusi kawasan Asia Tenggara, The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Berakhirnya Perang Dingin membuat peran yang dilakukan Indonesia semakin beragam. Tulisan ini akan melihat posisi Indonesia dan kondisi lingkungan yang mendorong Indonesia dalam menjalankan peran di ASEAN. Secara kronologis, tulisan ini akan melihat peran Indonesia di ASEAN pada masa Orde Baru pasca Perang Dingin, peran Indonesia di ASEAN pada masa krisis ekonomi Asia 1997, dan peran Indonesia di ASEAN pada masa pasca krisis ekonomi 1997. Tinjauan pustaka ini berusaha untuk menunjukkan konsensus, perdebatan, dan kesenjangan akademis dalam topik ini. Dari pemetaan literatur yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Baru pasca Perang Dingin, Indonesia tetap mampu menginisiasi kerja sama di ASEAN walaupun signifikansi ASEAN sempat dipertanyakan. Pada masa krisis ekonomi Asia 1997, krisis ekonomi, kebakaran hutan, dan instabilitas politik di Indonesia menjadi sumber masalah di ASEAN. Krisis tersebut membuat Indonesia berperan pasif di ASEAN. Pasca krisis, Indonesia kembali menunjukkan kepemimpinannya dengan menginisiasi Komunitas ASEAN maupun memediasi konflik di kawasan, salah satunya adalah kasus Preah Vihear. Namun pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia dinilai tidak lagi memprioritaskan ASEAN dalam kebijakan luar negerinya. Indonesia berfokus pada urusan dalam negeri dan mencoba berperan lebih di tingkat internasional. Secara umum, peran Indonesia di ASEAN didominasi di sektor keamanan dan politik. Kajian literatur menunjukkan bahwa kepentingan, kepemimpinan, dan dinamika politik internal dan internasional memengaruhi peran yang dilakukan Indonesia di ASEAN.

ABSTRACT
Since its inception, Indonesia has often been associated as a leader in the institution of the Southeast Asian region, The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). The end of the Cold War made Indonesia's role more diverse. This paper will look at Indonesia's position and environmental conditions that are driving Indonesia to play a role in ASEAN. Chronologically, this paper will look at Indonesia's role in ASEAN during the post-Cold War New Order, Indonesia's role in ASEAN during the 1997 Asian economic crisis, and Indonesia's role in ASEAN in the post-1997 economic crisis period. This literature review seeks to show consensus, debate, and academic gaps in this topic. From the literature mapping conducted, it can be concluded that in the post-Cold War New Order era, Indonesia was still able to initiate cooperation in ASEAN even though the significance of ASEAN was questioned. During the 1997 Asian economic crisis, the economic crisis, forest fires and political instability in Indonesia were a source of problems in ASEAN. The crisis made Indonesia a passive role in ASEAN. After the crisis, Indonesia again showed its leadership by initiating the ASEAN Community and mediating conflicts in the region, one of which was the Preah Vihear dispute. But in the first period of President Joko Widodo's administration, Indonesia was considered to no longer prioritize ASEAN in its foreign policy. Indonesia focuses on domestic affairs and tries to play a greater role at the international level. In general, Indonesia's role in ASEAN is dominated in the security and political sectors. The literature study shows that the interests, leadership, and dynamics of internal and international politics influence the role of Indonesia in ASEAN."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>