Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178622 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iletta Nathania Tjioe
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure terhadap domain kemandirian pada remaja penyandang sindroma down. Penelitian ini juga melihat variabel yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap domain remaja penyandang sindroma down. Pengukuran parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure menggunakan alat ukur Parents as Social Context Questionnaire (PSCQ) (Skinner, dkk., 2005) dan pengukuran kemandirian remaja penyandang Sindroma Down menggunakan alat ukur AAMD Adaptive Behavior Scale (Bagian Psikologi Anak dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983). Partisipan berjumlah 32 orang dengan karakteristik sebagai orang tua dari remaja penyandang sindroma down. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure terhadap kemandirian pada fungsi berdikari, aktivitas ekonomi, perkembangan bahasa, perkembangan angka dan waktu, kegiatan rumah tangga, dan sosialisasi remaja penyandang sindroma down. Parental structure secara signifikan mempengaruhi domain perkembangan bahasa (Beta = 0.517; p = 0.014; signifikan pada L.o.S 0.05) dan perkembangan angka dan waktu (Beta = 0.560; p = 0.011; signifikan pada L.o.S 0.05), sedangkan parental involvement secara signifikan mempengaruhi sosialisasi (Beta = 0.482; p = 0.013; signifikan pada L.o.S 0.05) pada remaja penyandang Sindroma Down. Berdasarkan hasil tersebut, orang tua perlu meningkatkan parental autonomy support, parental involvement, dan terutama parental structure untuk membantu meningkatkan kemandirian anak.

This research was conducted to find the effects of parental autonomy support, parental involvement, and parental structure on domains of independence on adolescents with Down Syndrome and to find out which variable contributes significantly. Parental autonomy support, parental involvement, and parental structure was measured using an adapted instrument called Parents as Social Context Questionnaire (PSCQ) (Skinner, et al., 2005) and independence of of adolescents with Down Syndrome was measured using an adapted instrument called AAMD Adaptive Behavior Scale (Bagian Psikologi Anak dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983). The participants of this study are 32 parents of adolescents with Down Syndrome. The main results of this study show that parental autonomy support, parental involvement, and parental structure significantly affect domains of independence namely independent functioning, economic activity, language development, numbers and time, domestic activity, and socialization of adolescents with Down Syndrome. Parental structure significantly affects two domains which are language development (Beta = 0.517; p = 0.014; significant on L.o.S 0.05) and numbers and time (Beta = 0.560; p = 0.011; significant on L.o.S 0.05), while parental involvement significantly affects socialization domain (Beta = 0.482; p = 0.013; significant on L.o.S 0.05). Based on those results, it is necessary for parents to increase their parental autonomy support, parental involvement, and especially parental structure to help increase their children’s independence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sienni Sanchia Santoso
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara keterlibatan orang tua dan kompetensi sosial remaja down syndrome. Kompetensi sosial diukur berdasarkan keterampilan sosial dan perilaku adaptif, yang tergambarkan dari ada tidaknya perilaku maladaptif. Pengukuran keterlibatan orang tua menggunakan alat ukur Alabama Parenting Questionnaire (APQ) (Frick, 1990) dan pengukuran kompetensi sosial menggunakan alat ukur Social Skills Rating System (SSRS) (Gresham & Elliott, 1990). Partisipan berjumlah 31 orang tua dan pengasuh utama dari remaja down syndrome berusia antara 11 hingga 24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan orang tua dan keterampilan sosial remaja down syndrome (r = 0.422; p = 0.018, signifikan pada L.o.S 0.05). Artinya semakin tinggi keterlibatan orang tua, semakin tinggi keterampilan sosial remaja down syndrome. Akan tetapi, terdapat hubungan yang tidak signifikan antara keterlibatan orang tua dan perilaku maladaptif (r = 0.063; p = 0.737, tidak signifikan pada L.o.S 0.05). Berdasarkan hasil tersebut, orang tua disarankan untuk terlibat dalam kehidupan anaknya yang menyandang down syndrome dengan mengajarkan keterampilan sosial dan perilaku adaptif sesuai norma sosial.

This research was conducted to find the correlation between parental involvement and social competence behavior in adolescent with down syndrome. Social competence is measured based on social skills and adaptive behavior, which is illustrated from the absence of maladaptive behaviors. Parental involvement was measured using an instrument called Alabama Parenting Questionnaire (APQ) (Frick, 1990), and social competence was measured using Social Skills Rating System (SSRS) (Gresham & Elliott, 1990). The participants of this research are 31 parents and primary caregiver of adolescent with down syndrome at the age of 11 to 24 years old. The result of this research show that parental involvement positively correlated significantly with social skills (r = 0.422; p = 0.018, significant at L.o.S 0.05). This means that the higher the parental involvement, the higher the social skills of adolescent with down syndrome. However, there is no significant correlation between parental involvement and maladaptive behavior (r = 0.062; p = 0.737, not significant at L.o.S 0.05). Based on these results, it is advisable for parents to become involved in their child?s life to teach appropriate social skills and adaptive behavior according to social norms."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45232
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwidyawati Purnaningrum
"ABSTRAK
Anak dengan sindrom Down merupakan anak yang mengalami beberapa keterbatasan yang berdampak terhadap kemandirian. Anak dengan sindrom Down memiliki ketergantungan pada ibunya, sehingga seorang ibu memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pola asuh yang tepat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan pola asuh ibu terhadap kemandirian perawatan diri pada anak sindrom Down. Penelitian ini menggunakana metode kuantitatif cross sectional. Responden yang didapat dalam penelitian ini sebanyak 38 orang. instrumen yang digunakan adalah kuesioner The Pediatric Evaluation of Disability Inventory PEDI dan kuesioner pola asuh. Hasil pengolahan data dengan menggunakan uji Fisher rsquo;s Exact didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian perawatan diri anak dengan sindrom Down di Kabupaten Bekasi p= 0,364 >? 0,05 . Tidak ada hubungan kemandirian perawatan diri dengan karakteristik anak usia, jenis kelamin dan kognitif anak >? 0,05 . Selain itu juga tidak didapatkan hubungan antara pola asuh ibu dengan karakteristik ibu usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan . Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal dalam anak dan ibu tidak mempengaruhi pemberian pola asuh dan kemandirian perawatan diri anak. Studi ini memberikan gambaran baru tentang kemandirian anak dengan sindrom Down dan pola asuh ibu. Diharapkan kedepannya ibu melatih kemampuan lain yang sesuai dengan potensi anak seperti dalam komunikasi atau kehidupan sosial.

ABSTRACT<>br>
Children with Down syndrome are children who experience some limitations that affect the independence. Children with Down syndrome have a dependence on their mother, so a mother has a very important role in providing proper parenting. This study was conducted to see the relationship of mother 39 s parenting to self reliance self care in children with Down syndrome. This research used quantitative cross sectional method. Respondents obtained in this research were 38 samples. The tools used to obtain the data are The Pediatric Evaluation of Disability Inventory PEDI questionnaires and parenting style questionnaires. Results of data processing using Fisher 39 s Exact Test is p 0.364 0.05. There is no relationship between mother 39 s parenting style and children self care with Down syndrome in Bekasi District. There is no relationship between self chldren with children characteristic age, gender and cognitive p 0,05 . However there is no relationship between mother parenting style with mother characteristic age, education, job, and family income p 0,05 .It can be concluded that internal factors in children and mothers do not affect the provision of parenting and children. This study provides a new picture of self care on children with Down syndrome and mother 39 s parenting style. It is expected that in the future Family train another activities that suitable with potention of the children like in comunincation and social life. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fina Devy Aryanti
"Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikarakteristikkan dengan keterlambatan perkembangan yang dapat mempengaruhi kemandirian anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemandirian dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari pada anak dengan sindrom Down usia sekolah dan remaja dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif non-eksperimen. Responden penelitian berjumlah 43 orang tua/ pengasuh anak dengan sindrom Down di Kota Depok.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas anak berada dalam kategori mandiri sebagian: 31 anak (72,1%); selebihnya mandiri total: 7 anak (16,3%) dan ketergantungan total: 5 anak (11,6%). Untuk itu, diperlukan pendidikan kesehatan dan dukungan emosional bagi keluarga, untuk mencapai kemandirian yang optimal pada anak dengan sindrom Down.

Down syndrome is a genetic disorder which characterized by lack of developmental that may affect the child's independence. This study aims to determine the level of independence of child with Down syndrome in school age and adolescents. This study used descriptive quantitative non-experimental approach with 43 parents or caregivers of child with Down syndrome in Depok.
The result showed that the majority of respondents belongs to modified independence: 31 children (72,1%), while respondents who belongs to total independence: 7 children (16,3%) and total dependence: 5 children (16,3%). For the reason, health education and emotional support for families is needed to achieve optimum independence in children with Down syndrome.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S52891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frascilly Grasia
"Down syndrome merupakan suatu kondisi yang berkaitan dengan keterbatasan perkembangan. Adanya keterbatasan ini membuat anak down syndrome membutuhkan caregiver untuk membantu mereka melaksanakan aktivitas seharihari. Caregiver dapat mengalami dampak negatif akibat merawat anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu dampak negatifnya adalah caregiver strain. Caregiver strain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah dukungan sosial. Caregiver strain dapat berkurang jika caregiver mendapatkan dukungan sosial, khususnya perceived social support.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara caregiver strain dan perceived social support. Metode pengambilan data yang dilakukan adalah pengisian kuesioner dan melakukan probing terhadap item dalam kuesioner caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Kemudian partisipan diminta untuk mengisi kuesioner perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support).
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara caregiver strain dan perceived social support dengan r=-.174, namun tidak signifikan dengan p>0,05. Pada penelitian ini, partisipan ditemukan memiliki caregiver strain yang relatif rendah dan perceived social support yang relatif tinggi.

Down syndrome is condition related with developmental impairment. These impairments make the child with Down syndrome needs caregiver to help them carry out their daily activities. Caregiver may be negatively impacted due to caring for family members with special needs. One of the negative impacts is caregiver strain. Caregiver strain is influenced by several factors. One factor that influence caregiver strain is social support. Caregiver strain can be reduced if the caregiver get social support, especially perceived social support.
This study aimed to examine the correlation between caregiver strain and perceived social support. Method of data collection was questionnaires and do some probing to the items in the questionnaire caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Then participants were asked to complete a questionnaire perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support).
The results showed a negative relationship between caregiver strain and perceived social support with r = - .174, but not significant with p> 0.05. In this study, participants were found to have relatively low caregiver strain and perceived social support were relatively high.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Tissalia
"Down Syndrome (Sindroma Down) merupakan suatu kelainan autosom kongenital akibat disjungsi kromosom 21 yang ditandai dengan keterbelakangan perkembangan fisik, mental serta intelektual. Penelitian menunjukkan prevalensi penyakit periodontal yang tinggi pada anak sindroma Down. 1 C-telopeptida merupakan penanda biologis yang ditemukan meningkat pada kerusakan tulang alveolar. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak sindroma Down dan anak normal dengan penyakit periodontal. Seluruh subyek dinilai tingkat keparahan penyakit periodontal (PBI= Papilla Bleeding Index) dan konsentrasi C-telopeptida pada salivanya. Hasil penelitian menunjukkan nilai PBI yang lebih tinggi pada kelompok sindroma Down dibandingkan dengan kelompok normal (p= 0.061). Konsentrasi C-telopeptida pada kelompok sindroma Down lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal (p=0.101). Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara konsentrasi C-telopeptida dan keparahan penyakit periodontal pada anak sindroma Down.

Down Syndrome is an autosome congenital disorder caused by disjunction of chromosome 21, which is characterized by growth retardation of physical, mental and intellectual. Research shows a high prevalence of periodontal disease in Down syndrome children. 1 C-telopeptide were a biological marker that found increased in alveolar bone resorption. This study aimed to determine differences in the concentration of salivary C-telopeptide in Down syndrome children and normal children with periodontal disease. All subjects assessed for the severity of periodontal disease (PBI = Papilla Bleeding Index) and the concentration of salivary C-telopeptide. The results showed a higher value of PBI in the Down syndrome group compared with the normal group (p = 0.061). Concentration of salivary C-telopeptide on child with Down syndrome was higher than the normal group (p = 0.101). This study shows there is a relationship between the concentration of C-telopeptide and severity of periodontal disease in Down syndrome children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pariury, Dea Shanta
"Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk tanggapan anak penyandang down syndrome terhadap pertanyaan, Berita faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya tanggapan-tanggapan tersebut. Tujuan penelitian ini bertolak dari anggapan bahwa anak down syndrome memiliki berbagai keterbatasan, khususnya dalam bidang Bahasa, walau demikian mereka tetap dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Penelitian ini merupakan studi kasus seorang anak perempuan berusia 6 tahun penyandang kelainan down .syndrome berbahasa Indonesia yang tergolong ringan. Berdasarkan data, ditemukan bahwa ada senibilan bentuk tanggapan ketika informan menanggapi berbagai pertanyaan, yaitu tanggapan yang sesuai dan berhubungan dengan pertanyaan, tanggapan berupa perintah, tanggapan berupa dramatisasi, tanggapan berupa tindakan nonverbal, tanggapan tidak sesuai, tanggapan tidak berbubungan, tanggapan berupa pengaIihan perhatian, tanggapan berupa ketidakacuhan, dan tanggapan berbentuk sikap diam. Tanggapan-tanggapan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu perkembangan kognitif, pengetahuan dan kosakata, perhatian terhadap objek pembicaraan, dan partisipan yang diajak bicara. Aspek-aspek lain kemudian muncul dalam penelitian ini dan memerlukan penelitian lanjutan. Penelitian yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah penelitian mengenai: 1) Pengaruh jenis pertanyaan terhadap bentuk tanggapan yang diujarkan oleh penyandang kelainan keterbelakangan mental; 2) Perbandingan kemampuan percakapan anak penyandang DS dengan anak normal yang memiliki urnur mental yang lama; dan 3) Pemahaman konsep yang berhubungan dengan asosiasi semantis pada anak penyandang DS"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S10816
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vinchia
"Pasien trisomi21 memiliki peningkatan resiko leukemia terutama tipe Leukemia Mielositik Akut(LMA). Proses leukemogenesis terjadi dalam 3 hit. Hit pertama adalah trisomi 21, hit kedua adalah varian gen GATA1 dan hit ketiga adalah mutasi somatik lainnya. Hit pertama dan kedua cukup untuk menyebabkan Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola varian gen GATA1 dalam memengaruhi TAM. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pasien dianamnesa dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan patologi klinik dan ekstraksi DNA. DNA akan dilakukan PCR, elektroforesis dan Sanger Sequencing. Data akan dilakukan analisis bioinformatik. Subyek terbanyak berusia 0-1 bulan(45,75%), dilahirkan oleh ibu <35 tahun(78,1%) dan lebih banyak dijumpai pada kehamilan multipara(71,8%). Kelainan laboratorium yang paling sering adalah anemia, dan lebih banyak dijumpai pada pasien 0-1 bulan, kelahiran aterm dari ibu primipara. Dari hasil analisis bioinformatik ditemukan 79 varian dan pada 32 pasien, di antaranya 10 silent, 67 missense dan 2 nonsense. Pada pengujian patogenisitas, nonsense mutation dapat diklasifikasikan sebagai pathogenic. Pada pasien TAM lebih banyak dijumpai hanya gejala laboratorium(62.5%) daripada pasien dengan gejala klinis dan laboratorium(37.5%). Keseluruhan varian nonsense menunjukkan gejala klinis dan laboratorium, pada varian missense didapatkan 47,7% sampel hanya dengan gejala laboratorium, sedangkan pada silent variant didapatkan 30% sampel dengan gejala laboratorium.

Trisomy21 have increased risk of Acute Myelocytic Leukemia(AML). Leukemogenesis occurs in 3 hits. The first hit was trisomy21, the second hit was GATA1 gene variant and third hit was somatic mutation. The first and second hit were enough to cause Transient Abnormal Myelopoiesis(TAM). The purpose of this study was to determine the variant of GATA1 gene in influencing TAM. This research is descriptive cross-sectional research. Anamnesis dan physical examination will be done. Blood samples will be taken. DNA will be further processed through PCR, electrophoresis and Sanger Sequencing. The data will be analyzed bioinformatically. Most subjects were aged 0-1month(45.75%), borned to mothers <35years (78.1%) and were more common in multiparous pregnancies(71.8%). The most frequent laboratory abnormalities are anemia, these are more common in patients aged 0-1month, born aterm from primiparous mothers. From the results of bioinformatic analysis, 79 variants were found in 32patients, of which 10were silent, 67were missense and 2were nonsense. In pathogenicity testing, we found this nonsense variant is pathogenic. TAM patients were frequently found with laboratory symptoms only(62.5%). All of the nonsense variants show clinical and laboratory symptoms. In missense variant, 47.7% of the samples only show laboratory symptoms, while 30%silent variant shows laboratory symptoms only."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yanti Rahayuningsih
"Latar Belakang: Pasien sindrom Down (Down?s syndrome/DS) berbeda dari anak normal karena memiliki banyak kelainan selain defek jantung yang dapat memengaruhi luaran pasca-operasi jantung. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai luaran pasca-operasi penyakit jantung bawaan (PJB) pada DS di pusat-pusat pelayanan jantung di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui luaran jangka pendek dan mortalitas pada pasien DS yang dilakukan operasi jantung di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Metode: Studi kohort retrospektif dan prospektif pada subjek anak dengan DS yang menjalani operasi koreksi PJB. Kontrol adalah anak tanpa DS yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi, dengan matching rentang usia dan jenis penyakit jantung yang sama dengan pasien DS.
Hasil: Sebanyak 57 pasien DS dan 43 non-DS yang telah menjalani operasi koreksi PJB diikutkan dalam penelitian. Karakteristik dasar antar kelompok tidak berbeda bermakna. Jenis PJB terbanyak pada DS adalah defek septum atrioventrikular (AVSD) dan defek septum ventrikel (VSD) masing-masing sebesar 31,6%, tetralogi Fallot (TF) 21%, defek septum atrium (ASD) 7%, duktus arteriosus persisten (PDA) 7% dan transposisi arteri besar (TGA)-VSD 1,8%. Lama rawat ruang rawat intensif (ICU) pada DS 1,9 (0,6-34) hari dibanding non-DS 1 (0,3-43), p=0,373. Lama penggunaan ventilator pada DS 19,9 (3-540) jam, non-DS 18 (3-600), p=0,308. Krisis hipertensi pulmoner (PH) tidak terjadi pada kedua kelompok, proporsi komplikasi paru pada DS 24,6% dibanding non-DS 14%, dan sepsis pada DS 28,1% dibanding non-DS 14% tidak berbeda bermakna. Proporsi blok atrioventrikular (AV) komplit pada DS 10,5% dan non-DS tidak ada, dengan p=0,036. Kematian di rumah sakit (RS) pada DS 8,8%, non-DS tidak ada, dengan p=0,068.
Simpulan: Morbiditas dan mortalitas pasca-operasi jantung pada DS tidak terbukti lebih sering terjadi dibandingkan dengan non-DS.

Background: Down syndrome patients different from normal child because many other genetic related aspects that can affect outcome after congenital heart surgery. Until now there has been no research on the outcome after congenital heart surgery on paediatric Down syndrome patients in Indonesia.
Objective: To determine the short term outcomes and mortality in DS patients who underwent heart surgery at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta.
Methods: A prospective and retrospective cohort study was conducted to subject with DS who underwent heart surgery from July 2007- April 2015. Control group was patients without DS who underwent heart surgery with matching on age and type of heart defects.
Results: A total of 57 DS patients and 43 non-DS patients were recruited during study period. Basic characteristics between groups were not significantly different. Most type of CHD in patients with DS were AVSD and VSD respectively in 18 (31,6%), tetralogi of Fallot 12 (21%), ASD 4 (7%), PDA 4 (7%) and TGA-VSD 1 (1,8%) patients. Duration of ICU stay in patients with DS was 1,9 (0,6-34) days compared to non-DS patients 1 (0,3-43) days, p=0,373. Duration of mechanical ventilation in patients with DS was 19,9 (3-540) hours, compared to non-DS patients 18 (3-600) hours, p=0,308. Pulmonary hypertension crisis was not occurred in both groups. Pulmonary complication in patients with DS was 14 (24,6%) compared to non-DS 6 (14%) patients, and sepsis in patients with DS was 16 (28,1%) compared to non-DS 6 (14%) patients, there was no difference. Complete AV block in patients with DS was 6 (10,5%) compared none in patients with non-DS, p=0,036. In-hospital mortality in patients with DS was 5 (8,8%), compared none in patients with non-DS, significantly different with p=0,068.
Conclusion: Morbidity and mortality after cardiac surgery in DS is not proven to be more frequent compared to non-DS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syukriman Bustami
"Sindrom Down merupakan suatu kelainan genetik dengan angka kejadian relatif tinggi, relatif mudah dikenal sejak rnasa bayi, dan didapati secara universal pada semua ras atau tingkat social ekonomi.
Di Indonesia, sebagaimana negara sedang berkembang lainnya, kelainan ini belum mendapat cukup perhatian. Pemerintah sedang berjuang mengatasi penyakit infeksi dan masalah defisiensi gizi. Dengan membaiknya kondisi ekonomi, diharapkarn 20 tahun mendatang masalah infeksi dan defisiensi gizi tidak lagi merupakan masalah besar. Seba1iknya kelainan bawaan atau kelainan genetik akan muncul menjadi masalah kesehatan masyarakat (Wahidiyat, dkk., 1987).
Angka kejadian sindrom Down di Indonesia hingga saat ini belum diketahui. Di RSCM, Jakarta, pada periode 1975-1979, dari sejumlah 19.382 kelahirarn hidup dilaparkan 21 kasus {1,08 perseribu) bayi sindrom Down, (Kadri, dkk., 1982). Angka ini sesuai dengan angka kejadian rata-rata sebesar 1 perseribu, sebagaimana dilaporkan oleh banyak penelitian. Seandainya angka ini diberlakukan umum di Jakarta dengan penduduk 8.498.709 jiwa dan kelahiran hidup 231. 165 jiwa atau 2,72% pertahun (BPS Pusat, 1988), akan ditemukan sekitar 231 kasus baru sindrom Down setiap tahun.
Lebih luas lagi, di Indonesia dengan sekitar 5 juta kelahiran hidup (BPS Pusat, 1988), akan dijumpai sekitar 5000 kasus baru sindrom Down setiap tahunnya. Keadaan ini dapat merupakan masalah besar baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, lapangan kerja maupun dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah tersebut.
Lebih dari 50 gejala klinis dilaporkan dapat menyertai sindrom ini. Sebagian besar diantaranya, seperti kelainan pada mata, rigi kulit atau tangan, tidak menimbulkan masalah kesehatan. Gejala-gejala ini bervariasi dari sedikit atau tanpa defek sampai abnormalitas berat, dan selama proses tumbuh kembang dapat berubah menjadi lebih atau kurang derajat abnormalitasnya (Dreg, 1975; National Information, Center for Handicapped Children and Youth, 1983; Cunningham, 1988).
Hipotoni merupakan salah satu gejala utama yang biasanya berkurang derajatnya dengan bertambahnya umur. Pada bayi yang menderita sindrom Down, 45-80% kasus disertai gejala ini, sedangkan pada anak berkisar antara 60-85%. Persentase Hipotoni menurut golongan umur dalam tahun belum ada yang melaporkan (Levinson, dkk., 1955; Lee dan Jackson, 1972; Breg, 1975; Nara, 1976; Henderson, 1987; Cunningham, 1988).
Mekanisme pasti bagaimana kelainan kromosom menyebabkan gejala hipotoni belum diketahui, begitu juga kaitan dengan gejala atau variabel lain (Jebsen, dkk., 1961; Rabe, 1964; Currni)gham, 1988). Meskipun kelainan ini disebabkan faktor genetik, tetapi masih dapat dipengaruhi oleh lingkungannya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>