Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154792 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nindia Imantika
"Penelitian yang membahas mengenai kebijakan penetapan cagar budaya sebagai non-obyek Pajak Hiburan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang dari kebijakan tersebut, untuk menggambarkan proses formulasi kebijakannya, dan untuk menganalisis dampak yang muncul dari pengimplementasiannya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data dengan studi lapangan dan studi kepustakaan, dan teknik analisis data kualitatif, terdapat tiga hasil penelitian. Pertama, hal yang melatarbelakangi kebijakan adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Daerah dalam pengenaan Pajak Hiburan. Kedua, terdapat tiga tahap dalam formulasi kebijakan yang menghasilkan penetapan cagar budaya sebagai non-obyek Pajak Hiburan. Ketiga, dampak yang muncul adalah adanya tax loss pada penerimaan Pajak Hiburan yang ditanggung Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman serta peningkatan keuntungan yang diperoleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko.

The research discusses about the determination of culture site as non-object of Entertainment Tax in The Law Number 28 Year 2009. It has purposes which are to analyze the background of the policy, to describe the process of the policy formulation, and also to analyze the impacts which come from the policy implementation. By using qualitative approach method, data collection technique by field research and library research, and qualitative data analysis technique, there are three results from this research. First, the background of the policy is the lack of Local Government`s understanding about the levy of Entertainment Tax. Second, there are three stages in the policy formulation that finally gives result in determination of culture site as non-object of Entertainment Tax. Third, the impacts from the policy implementation are tax loss on Entertainment Tax revenue which is beared by the Local Government of Sleman Regency and the profit increase which PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko gets."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S44906
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tris Diana
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai proses formulasi kebijakan insentif Pajak Bumi dan Bangunan atas lahan pertanian di Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi lapangan (wawancara mendalam) dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan insentif Pajak Bumi dan Bangunan bagi lahan pertanian berlangsung pada saat pembahasan Raperda Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Pembuatan Kebijakan Insentif tersebut dilatarbelakangi oleh posisi Kabupaten Sleman yang strategis sehingga rawan akan fenomena konversi lahan pertanian menjadi non pertanian, dan alternatif kebijakan yang dipilih sebagai insentif Pajak Bumi dan Bangunan bagi lahan pertanian adalah pengurangan tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang kemudian dicantumkan dalam Pasal 8 Peraturan daerah tersebut.

This undergraduate thesis was conducted to get a overview of how the process of formulations policy property tax incentive on agricultural land in the Sleman Regency. This study used a qualitative approach to techniques of collecting data through field reasearch (Indepth-Interview) and literatur study. The results of this research show that the process of formulation policy property tax insentive on agricultural land takes place at the time of the discussion of the draft regulation the number 11 in 2012 about the rural and urban property tax. The incentive policies backed by the creation of the strategic position of Sleman Regency so prone to the phenomenon of conversion of farmland to non farmland, and alternative policy chosen as tax incentives for agricultural land is the reduction of tax rates was then be stated in the section 8 regulations of the area."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47499
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Fatimah
"Penelitian dengan judul Desentralisasi Bidang Pariwisata Di Daerah : Studi Kasus Peletakan Kewenangan Pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan Di Daerah Istimewa Yogyakarta ini dilatarbelakangi oleh keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pernerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam pasal 9 UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa Propinsi sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Selain itu termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan kewenangan Daerah Kabupaten/Kota mencakup semua kewenangan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan yang diatur dalam pasal 9.
Pariwisata sebagai salah satu sub sektor yang penting peranannya bagi perekonomian nasional maupun daerah, ofeh Pemerintah Propinsi DIY maupun Pemerintah Kabupaten Sleman ditetakkan sebagai sektor unggulan daerah yang diharapkan dapat menjadi penggerak perekonomian daerah setempat. Candi Prambanan yang merupakan obyek wisata penting bagi sektor pariwisata di DIY dimana pengelolaannya saat ini dilakukan oleh suatu BUMN, telah diperebutkan kewenangan pengelolaannya baik oleh Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman maupun antara Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Kabupaten Klaten. Hal ini disebabkan karena lokasi obyek wisata tersebut terletak antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten yang merupakan perbatasan Propinsi Sawa Tengan dengan Propinsi DIY. Belum adanya peraturan yang mengatur tentang kewenangan pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan (TWCP) di era desentralisasi saat ini, mengakibatkan terjadinya konflik perebutan kewenangan antara Pemerintah Propinsi DIY dengan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Dari latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pada tingkat pemerintahan manakah pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan sebaiknya diletakkan serta model pengelolaan bagaimanakan yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi dari pemerintah daerah pada saat ini? Permasalahan tersebut penulis coba selesaikan dengan pendekatan model desentralisasi fiscal dari Anwar Shah (1994), bahwa untuk menentukan letak suatu kewenangan dapat diukur dengan kriteria-kriteria desentralisasi yaitu : a. economies of scale, b. economies of scope, c. benefit-cost spinout, d. consumer sovereignty, e. political proximity dan d. economic evaluation of sectoral choice.
Sedangkan untuk menentukan model pengelolaan terbaik yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi dari pemerintah daerah, penulis mengajukan 3 alternatif model pengelolaan yaitu 1. Pengelolaan TWCP secara mandiri oleh pemerintah daerah setempat, 2. Pengelolaan TWCP secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah melalui kepemilikan saham, 3. Pengelolaan TWCP oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat bagi basil (statusquo). Sesuai dengan pendapat World Bank (1998) bahwa untuk meletakan suatu kewenangan hams dilihat juga kemampuan kelembagaannya yang terdiri dari kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan, maka masing-masing tingkat pemerintahan dilihat juga ampek kelembagaanya, sesuai dengan tuntutan persyaratan model yang ditawarkan. Tuntutan persyaratan model 1 antara lain adalah tercapainya skala ekonomi dan terpenuhinya kualitas sumber daya manusia, Model 2 menuntut kemampuan keuangan dari pemerintah daerah untuk membeli saham yang ditawarkan. Sedangkan model 3 tidak menuntut persayaratan tertentu.
Setelah dilakukan penelitian di lapangan dengan menyebarkan kuessioner kepada responden (expert) dan wawancara mendalam maka tingkat pemerintahan yang paling tepat untuk mengelola TWCP adalah Pemerintah Pusat. Hal ini terutama disebabkan karena Masan economic evaluation of sectored choice, yaitu bahwa TWCP peranannya sangat penting bagi perekonomian nasional, regional maupun lokal, sehingga perlu dikelola oleh pemerintah pusat. Ada faktor non ekonomi yang juga sangat menentukan bahwa pemerintah pusat harus mengelola TWCP, yaitu bahwa Candi Prambanan merupakan salah satu world heritage yang ada di Indonesia, dimana pengelolaannya diawasi oleh UNESCO. Karena itu ada kekhawatiran jika kewenangan pengelolaan TWCP diserahkan sepenuhnya kepada pemda setempat akan terjadi eksploitasi terhadap obyek wisata tersebut demi untuk peningkatan PAD, yang pada akhirnya akan merusak keutuhan dan keaslian Candi Prambanan.
Selanjutnya setelah dilakukan analisa terhadap laporan keuangan, maka model pengelolaan terbaik yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi adalah model pengelolaan secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah meialui kepemilikan saham. Hanya saja yang menjadi kendala untuk saat ini adalah bahwa pemerintah daerah setempat (Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman) belum mampu untuk membeli sejumlah saham yang ditawarkan. Sedangkan model pengelolaan yang ditempuh oleh pemerintah pusat saat ini yaitu bagi hasil, di mana kewenangan pengelolaan ada di pemerintah pusat dan pemerintah Kabupaten Sleman bersama-sama Pemerintah Kabupaten Klaten mendapatkan bagi hasil sebesar 5,65% dan 4,35% dari retribusi obyek wisata Prambanan belum memuaskan semua pihak. Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Propinsi Sawa Tengah sebagai pihak yang mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan suaka peninggalan sejarah dan purbakala Candi Prambanan serta promosi wisata belum mendapatkan kontribusi keuangan dari retribusi obyek wisata tersebut. Oleh karena itu penulis sarankan agar perlu adanya kontribusi keuangan dari retribusi obyek wisata TWCP terhadap pemerintah propinsi setempat, mengingat kemampuan keuangan pemerintah propinsi saat ini sangat kecil."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T1795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Aurellia
"Penelitian dilakukan di Daerah Aliran Sungai Opak Wilayah Prambanan dan sekitarnya meliputi Kecamatan Prambanan dan Piyungan, Yogyakarta dengan luas area sebesar 74,84 km. Selama beberapa tahun terakhir, daerah penelitian kerap dilanda  krisis air bersih bahkan di musim penghujan.  Kejadian ini sejalan dengan semakin bertambahnya pembangunan permukiman, tempat wisata, dan penginapan di daerah tersebut. Maka, peneliti melakukan pemetaan daerah potensi resapan sebagai salah satu upaya konservasi daerah resapan air dalam perencanaan tata ruang. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuat peta potensi ialah metode penginderaan jauh dan SIG. Pada beberapa penelitian sebelumnya, metode ini dinilai cukup efektif dalam memetakan daerah resapan. Adapun berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat beberapa parameter yang digunakan penelitian ini untuk memetakan daerah resapan, yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, litologi, tutupan lahan, densitas drainase, densitas kelurusan, dan curah hujan. Parameter-parameter ini kemudian diolah menjadi peta-peta tematik lalu direklasifikasi sesuai dengan tingkat kemampuan setiap kelasnya dalam menyerap dan meloloskan air ke akuifer. Setelah itu, dilakukan pembobotan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan hasil yaitu: kemiringan lereng 32,3%, jenis tanah 23,4%, litologi 17,6%, tutupan lahan 10,4%, densitas drainase 7,6%, densitas kelurusan 4,7%, dan curah hujan 3,7%. Hasil integrasi ketujuhparameter menghasilkan lima kelas daerah potensi resapan yaitu potensi sangat rendah mencakup 0,6% daerah penelitian, potensi rendah mencakup 7,2%, potensi moderat mencakup 29,3%, potensi tinggi mencakup 42,5%, dan potensi sangat tinggi mencakup 20,7% daerah penelitian. 

The research was conducted in the Opak River Watershed in the Prambanan and surrounding areas, covering Prambanan and Piyungan sub-districts, Yogyakarta with an area of 74.84 km. Over the past few years, the study area has often been hit by a clean water crisis even in the rainy season. This incident is in line with the increasing development of settlements, tourist attractions, and inns in the area. So, the researcher conducted a mapping of potential infiltration areas as one of the efforts to conserve water catchment areas in spatial planning. One method that can be used to create a potential map is remote sensing and GIS. In some previous studies, this method was considered quite effective in mapping infiltration areas. As based on previous research, there are several parameters used by this research to map infiltration areas, namely slope, soil type, lithology, land cover, drainage density, straightness density, and rainfall. These parameters were then processed into thematic maps and reclassified according to the level of ability of each class to absorb and pass water to the aquifer. After that, weighting was done using the Analytical Hierarchy Process (AHP) method with the results: slope 32.3%, soil type 23.4%, lithology 17.6%, land cover 10.4%, drainage density 7.6%, alignment density 4.7%, and rainfall 3.7%. The integration of the seven parameters resulted in five classes of infiltration potential areas: very low potential covering 0.6% of the study area, low potential covering 7.2%, moderate potential covering 29.3%, high potential covering 42.5%, and very high potential covering 20.7% of the study area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prizka Anindya Rahmi
"Skripsi ini membahas mengenai analisis terhadap implementasi kebijakan pajak hiburan yang dikenakan atas penyelenggaraan usaha Spa di kabupaten Sleman. Analisis mencakup latar belakang dari pengenaan Spa sebagai objek pajak hiburan serta implementasi dari kebijakan tersebut. dalam analisis ini juga membahas lebih dalam mengenai permasalahan terkait benturan antara pemerintah pusat dengan PPN dan pemerintah daerah dengan pajak hiburan atas usaha Spa tersebut.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pengenaan pajak hiburan atas penyelenggaraan usaha Spa sudah tepat diberlakukan, terkait dengan kesesuaian spa sebagai penerimaan daerah dan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Implementasi pajak hiburan atas penyelenggaraan usaha spa di kabupaten sleman tidak berjalan optimal dikarenakan adanya benturan dengan pungutan pusat yang memungkinkan terjadinya pajak berganda dan kurang maksimalnya upaya komunikasi dan kurangnya sumber daya manusia. Sedangkan implementasi pajak atas penyelenggaraan usaha spa yang dilakukan KPP Pratama Sleman didasarkan atas tidak masuknya spa sebagai golongan jasa kesenian dan hiburan yang dikecualikan dalam negative list pasal 4A ayat (2).

This thesis discusses the analysis of implementation entertainment tax policy charged on business administration Spa in Sleman district. The analysis covers the background of Spa as an object of the imposition of entertainment tax and the implementation of the policy. In this analysis are also discussed more deeply about the problems related to conflicts between the central goverment by VAT and local government by entertainment tax on the Spa business.
The results of this study is that the imposition of entertainment tax on the Spa business organization is appropriate imposed, related to the suitability of the spa as a local revenue and to increase local revenue. Implementation of the entertainment tax for the Spa business in Sleman not optimal due to the clash with the central charges that allow double taxation and less the maximum of communication and lack of human resources.
While the implementation of the tax on the implementation of the spa business which conducted by KPP Primary Sleman based on Spa doesn‟t entry as a class art and entertainment service in the negative list of excluded article 4A paragraph (2).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Taryati
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998/1999
338.642 5 TAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Silvana Sausan
"ABSTRAK
Kebijakan pengalihan wewenang pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (selanjutnya disebut BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Kabupaten atau Kota telah menimbulkan kendala dalam praktek pelayanan dan
penyelesaian BPHTB karena tidak terdapatnya atau tidak jelasnya pengaturan
dalam ketentuan peralihan mengenai pihak mana yang berwenang mengelola
BPHTB yang telah diproses selama masa transisi. Masa transisi tersebut dimulai
sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah pada tanggal 1 Januari 2010 sampai sebelum tanggal
efektifnya Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18
Tahun 2010 sebagai dasar hukum pemungutan BPHTB yaitu 31 Desember 2010.
Tesis ini membahas pengaturan penyusunan Undang-undang (legal drafting) yang
seharusnya mengenai transisi status pemungutan BPHTB sebagai Pajak Daerah
dan perlindungan hukum dan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat
sebagai Wajib Pajak dalam masa transisi ini dan bagaimana peran Notaris dalam
menyikapinya. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (yuridis empiris)
dengan tipe penelitian eksplanatoris dan preskriptif. Hasil penelitian menyarankan
Pemerintah Pusat agar mengamandemen Ketentuan Peralihan dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai dasar dilaksanakannya ketentuan dalam
masa peralihan bagi peraturan-peraturan dibawahnya. Selain itu Kantor Pelayanan
Pajak harus memberikan pelayanan konseling mengenai adanya ketentuan ini, dan
di masing-masing kantor harus disediakan brosur yang isinya petunjuk bagi Wajib
Pajak untuk mendapatkan penyelesaian bagi pembayaran yang telah dilakukan
sebelum BPHTB menjadi Pajak Daerah.

Abstract
Policy of diversion authorized collection of Land and Building Transfer Tax
(hereinafter referred to BPHTB) of the Central Government to the Government of
the District or the City has caused problems in practice and settlement services
BPHTB because the absence or lack of clarity regarding the transitional
provisions of arrangements in which the authority manages BPHTB that have
been processed during the transition period. The transition period started in the
enforcement of Law Number 28 Year 2009 on Regional Taxes and Levies dated
January 1, 2010 until just before the effective date of Provincial Regulation of
Special Capital City Region of Jakarta Number 18 Year 2010 as the legal basis of
BPHTB collection on December 31, 2010. This thesis discusses the preparation of
proper legislation setting (legal drafting) about the transition BPHTB status as a
Regional Tax collection and legal protection and solutions for problems facing
society as a Taxpayer in this transition period and how the role of Notaries in
react. This study is an empirical legal research (empirical juridical) with the type
of explanatory and prescriptive research. The results suggest that the Central
Government should amend the Transitional Provisions in Law Number 28 of 2009
as the basis for the implementation of the provisions in the transitional period for
the regulations under it. In addition the Tax Office should provide counseling
about the existence of this provision, and in each office shall be provided a
brochure that gives instructions for Taxpayers to get a settlement for payments
made before BPHTB a Regional Tax."
2012
T31503
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Mila Pertiwi
"[Tesis ini membahas tentang perlunya dilakukan pembatasan kewenangan pemungutan pajak daerah (closed list) pada Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota selaku penyelenggara otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pada sisi lain perlu juga dilakukan penambahan basis pemungutan pajak daerah Kabupaten/Kota. Kebijakan pembatasan kewenangan atas pajak daerah ini ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penerapan prinsip “open list” dalam UU Perpajakan Daerah sebelumnya,
dirasakan memberatkan masyarakat, pada sisi lain Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota rata-rata hanya mencapai kurang dari 10%, oleh karenanya UU Nomor 28 Tahun 2009 merubah prinsip “open list” menjadi “closed list” dan menambah basis pemungutan pajak daerah kabupaten/kota. Hasil penelitian menunjukkan, pembatasan kewenangan diperlukan untuk menjamin kepastian hukum agar pelaksanaan pemungutan pajak tidak menimbulkan penyalahgunaan wewenang dari administrasi pemerintahan. Penambahan basis
pemungutan pajak telah berdampak positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah, khususnya pada Pemerintahan daerah Kabupaten Bogor. Namun dalam perjalanannya beberapa ketentuan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan perubahan sosial oleh karenanya perlu dilakukan
penyesuaian dalam UU ini.;This thesis discusses about the need to limit the local tax collection authority (closed list) on the Regional Government of Regency/City as the administrator of regional autonomy in the widest meaning. On the other hand it is also necessary to add
the local tax collection base of Regency/City. The policy of limitation of local tax collection established in Law No. 28 Year 2009 on Regional Taxes and Levies. Application of the principle of “open list” in the previous law of local taxation is perceived of burdening the public, on the other hand the Regency /City Revenue in average only account for less than 10%, therefore, Law No. 28 of 2009 changed the principle of “open list” to became “closed list” and added the tax collection base of the regency/city. The research results showed that the limitation of authority is necessary to ensure legal certainty that the implementation of tax collection does not cause any abuse of authority of government administration. The addition of the tax collection base has positive impact on the improvement of regional revenue, particularly in Bogor Regency Administration. However, in the course, some provisions of Law No. 28 of 2009 is inconsistent with the development of social change that it is therefore necessary to make adjustments to this Law., This thesis discusses about the need to limit the local tax collection authority
(closed list) on the Regional Government of Regency/City as the administrator of
regional autonomy in the widest meaning. On the other hand it is also necessary to add
the local tax collection base of Regency/City. The policy of limitation of local tax
collection established in Law No. 28 Year 2009 on Regional Taxes and Levies.
Application of the principle of “open list” in the previous law of local taxation is
perceived of burdening the public, on the other hand the Regency /City Revenue in
average only account for less than 10%, therefore, Law No. 28 of 2009 changed the
principle of “open list” to became “closed list” and added the tax collection base of the
regency/city.
The research results showed that the limitation of authority is necessary to
ensure legal certainty that the implementation of tax collection does not cause any
abuse of authority of government administration. The addition of the tax collection
base has positive impact on the improvement of regional revenue, particularly in
Bogor Regency Administration. However, in the course, some provisions of Law No.
28 of 2009 is inconsistent with the development of social change that it is therefore
necessary to make adjustments to this Law.]"
Universitas Indonesia, 2015
T44303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rustiono Widodo
"Kawasan Rawan Bencana KRB III Gunung Merapi adalah kawasan yang letaknya dekat sumber bencana, oleh sebab itu kawasan ini harus bebas dari permukiman penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk: 1 melihat kondisi yang menyebabkan masyarakat tetap tinggal di KRB III Gunung Merapi 2 melihat kondisi kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana letusan gunung api 3 membuat indeks kesiapsiagaan masyarakat dengan metode skoring dan pembobotan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan mixed method. Penentuan jumlah responden dengan rumus Slovin dengan batas toleransi 7 persen dan terpilih sebanyak 151 responden. Penentuan responden untuk kepala keluarganya dengan menggunakan sistematik random sampling. Analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tetap tinggal di daerah rawan bencana menggunakan analisis deskriptif. Sementara untuk indeks komposit kesiapsiagaan menggunakan lima parameter yaitu pengetahuan bencana, kebijakan kesiapsiagaan bencana, rencana tanggap darurat, peringatan dini bencana dan mobilisasi sumber daya. Selanjutnya, setiap pertanyaan yang sudah dikelompokan berdasarkan parameter dikalikan dengan nilai bobot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 61,6 persen masyarakat merasa nyaman dan tenteram tetap tinggal di daerahnya meski daerahnya rawan bencana. Kenyamanan ini dikarenakan faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial. Faktor lingkungan terutama kesuburan tanah, potensi pasir, kerikil dan batu. Sebanyak 56,9 persen penduduknya berpenghasilan lebih besar dari upah minimum regional kabupaten yang sebesar 1,4 juta rupiah per bulan. Sebanyak 92,7 persen mereka mempunyai kerabat yang masih tinggal di satu lokasi dan 95,4 persen aktif dan ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan seperti arisan, pengajian, dan perkumpulan lainnya. Sementara itu indeks kesiapsiagaan di daerah penelitian dalam kategori sedang atau dalam kondisi siap dengan nilai 66,83.

Disaster Prone Areas KRB III of Mount Merapi is an area that located near the source of the disaster, therefore that area must be free from residential areas. This study aims to 1 considering the conditions that cause people to stay in KRB III of Mount Merapi 2 analyze the factors of community preparedness to face of volcanic eruption disaster 3 Create a community preparedness index using the scoring and weighting method. This research is conducted by mixed method approach. Determination the number of respondents carried out by Slovin formula with a tolerance limit of 7 percent and selected 151 respondents. Determination of respondent for head family by using systematic random sampling. Determination the factors that cause people to stay in disaster prone areas using descriptive analysis. As for the composite index preparedness used five parameters namely disaster knowledge, disaster preparedness policy, emergency response plan, disaster early warning, and resource mobilization. Then each question that has been grouped by parameter multiplied by the weight value.
The results showed that 61.6 percent of people feel comfortable and peaceful stay in their area despite the disaster prone areas. This convenience is due to environmental, economic, and social factors. Environmental factors, especially soil fertility, the potential of sand, gravel, and stone. 56.9 percent of the population earns more than the district minimum wage of 1.4 million rupiahs per month. About 92.7 percent of them have relatives who still live in one location and 95.4 percent active and participate in community activities such as arisan, pengajian, and other associations. Meanwhile, the index of preparedness in the research area is in the medium category with a value of 66.83.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>