Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145358 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sita Ariyani
"Latar belakang: Penyakit Kawasaki (PK) merupakan vaskulitis akut sistemik yang belum diketahui penyebabnya dan mempunyai predileksi pada arteri koroner terutama bayi dan anak balita. Sebanyak 20-40% kasus PK yang tidak diobati akan mengalami kelainan arteri koroner. Masalah PK di Indonesia saat ini adalah masih banyak kasus yang underdiagnosis dan terlambat didiagnosis, serta beberapa kasus overdiagnosis. Sejauh ini belum ada publikasi penelitian tentang PK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui profil klinis dan pemeriksaan penunjang PK pada anak di Indonesia.
Metode: Penelitian deskriptif potong lintang. Data diperoleh dari rekam medis pasien anak 0-18 tahun dengan diagnosis PK selama periode 1 Agustus 2011 hingga 31 Juli 2012 di 3 rumah sakit di Jakarta dan Tangerang.
Hasil: Terdapat 66 subjek yang sesuai dengan diagnosis PK. Sebanyak 77% subjek berusia balita dengan usia tersering 1-2 tahun. Proporsi anak lelaki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1. Seluruh subjek mengalami demam dengan gambaran klinis paling sering adalah perubahan pada bibir dan rongga mulut seperti eritema, bibir pecah-pecah, lidah stroberi, dan eritema difus mukosa orofaring (100%), ruam polimorfik (89%), dan injeksi konjungtiva tanpa eksudat (88%). Gambaran klinis paling jarang adalah limfadenopati servikal unilateral (53%). Anemia dan leukositosis sering terjadi pada fase akut, sedangkan trombositosis mulai terjadi pada minggu kedua. Peningkatan LED dan CRP terjadi pada fase akut, namun pada 15% subjek peningkatan LED tidak disertai oleh peningkatan CRP atau sebaliknya. Hipoalbuminemia terjadi pada 70% subjek. Gambaran infiltrat pada foto toraks didapatkan pada 71% subjek. Aneurisma arteri koroner pada ekokardiografi saat awal diagnosis didapatkan pada 30% subjek. Sebagian besar merupakan aneurisma kecil, 3% aneurisma sedang, dan 1% aneurisma raksasa.
Simpulan: Gambaran klinis paling sering selain demam adalah perubahan pada bibir dan rongga mulut, ruam polimorfik, dan injeksi konjungtiva tanpa eksudat, sedangkan yang paling jarang adalah limfadenopati servikal unilateral. Pemeriksaan LED dan CRP sebaiknya dilakukan bersamaan untuk mendukung diagnosis. Hipoalbuminemia dan gambaran infiltrat pada foto toraks mungkin dapat dipertimbangkan sebagai alat bantu diagnosis PK pada anak di Indonesia, namun masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.

Background: Kawasaki disease (KD) is an acute systemic vasculitis with unknown cause. The main predilections are the coronary arteries, especially in infants and children under five. As many as 20-40% of untreated KD will develop coronary problems. Currently, many of the KD cases in Indonesia are still under- or late diagnosed, and some cases are even overdiagnosed. However, there has not been any research publication on KD in Indonesia.
Objective: To describe the clinical and supportive examination profiles of KD in Indonesian children.
Method: A cross-sectional observational study of children under 18 years old with KD diagnosed within August 1st 2011 and July 31st 2012 was performed. Data were obtained from the medical records of patients from 3 hospitals in Jakarta and Tangerang.
Results: Of 66 subjects diagnosed of KD, 77% subjects were children aged 1-2 years old, with male and female ratio was 2:1. All subjects had fever with common clinical profiles were: changes in lips and oral cavity such as erythema, lips cracking, strawberry tongue and diffuse erythema of oropharyngeal mocosae; polymorphic rashes; and non-exudative conjunctival injection (100%, 89%, and 88%, respectively). Unilateral cervical lymphadenopathy was seen in 53% subjects. Anemia and leukocytosis were frequently seen in acute phase, while thrombocytosis developed during the second week. The ESR and CRP also increased during acute phase. However, in 15% subjects with increased ESR, the CRP remained normal, and vice versa. Hypoalbuminemia occured in 70% subjects, and infiltrate on chest xray appeared in 71% subjects. The incidence of coronary artery aneurysm at initial echocardiography was 30%, with small aneurysm were predominant, 3% considered moderate, and 1% was categorized as giant aneurysm.
Conclusion: Changes in lips and oral cavity, polymorphic rashes, and non-exudative conjunctival injection are the most common clinical profiles, besides fever. Unilateral cervical lympadenopathy is the least frequent manifestation. The ESR and CRP examinations should be done to support the diagnosis of KD. Hypoalbuminemia and infiltrate findings on chest xrays might be considered as an aid in diagnosing KD in Indonesian children. However, further study is needed for validation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlang Setiawan
"LATAR BELAKANG
Kelenjar getah bening merupakan salah satu organ yang termasuk sistem retikuloendotelial dan mempunyai peranan penting dalam pertahanan tubuh. Disamping itu kelenjar getah bening merupakan juga organ yang sering terkena penyakit, baik hanya berupa reaksi hiperplasia maupun infeksi, tumor primer, tumor sekunder dan penyakit sistemik (1,2,3).
Biopsi terbuka merupakan tindakan yang amat penting baik dalam fungsinya sebagai diagnostik maupun digunakan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit (4,5). Di samping kegunaannya yang penting tersebut, biopsi terbuka mempunyai resiko yang harus diperhatikan, misalnya dapat mempermudah penyebaran tumor ganas, menimbulkan bekas operasi, biaya mahal dan dapat memberikan kesan pada penderita bahwa penyakitnya telah diobati dengan tindakan ini (5,6,7).
Biopsi aspirasi kelenjar getah bening pertamakali dilaporkan oleh Grieg dan Gray (8) pada tahun 1904 terhadap penderita Tripanosomiasis. Kemudian pada tahun 1930, Martin dan Ellis (9) lebih lanjut mejelaskan tentang teknik biopsi aspirasi jarum halus. Perkembangan tindakan ini makin cepat dan luas, bahkan saat ini tindakan biopsi aspirasi jarum halus telah menjadi tindakan rutin di negara maju, serta telah dilakukan terhadap berbagai organ, baik yang letaknya superfisial maupun yang letaknya dalam rongga dada / perut (10,11,12).
Mengingat tindakan biopsi aspirasi jarum halus merupakan tindakan yang aman., murah dan mempunyai ketepatan diagnosis yang tinggi (13,14,15,16,17), maka sewajarnyalah tindakan ini diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang, terutama negara dengan keadaan sosial ekonomi yang masih kurang/rendah.
Di Indonesia laporan tentang biopsi. aspirasi jarum halus belum banyak dipublikasikan, walaupun mungkin telah banyak dilakukan di beberapa pusat pendidikan. Sedangkan akhir-akhir ini Zajdela dkk (18), telah memperkenalkan tindakan biopsi jarum halus tanpa aspirasi pada tumor payudara, menghasilkata sediaan yang cukup dan ketepatan diagnosis tidak berbeda dengan biopsi aspirasi jarum halus.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besarnya ketepatan diagnosis biopsi jarum halus pada limfadenopati supersial penderita dewasa serta mempergunakan cara Zajdela dkk pada awal tindakan biopsi jarum halus. Sebagai tolok ukur adalah diagnosis histologik sediaan blok parafin.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Kurniawan
"Kanker paru merupakan kanker yang paling banyak ditemukan dan paling mematikan di dunia. Penentuan stadium kanker paru umumnya dilakukan oleh dokter radiologi dengan melihat pembesaran kelenjar getah bening (KGB) mediastinal. KGB mediastinal cukup sulit dideteksi secara visual dikarenakan memiliki kontras yang rendah  terhadap jaringan di sekitarnya, ukuran dan bentuknya yang bervariasi, serta tersebar di berbagai lokasi. Oleh karena itu, akhir – akhir ini dikembangkan sistem computer-aided detection (CADe) sebagai alat bantu bagi dokter radiologi untuk mendeteksi KGB mediastinal secara otomatis. Metode terbaik saat ini dalam sistem CADe KGB mediastinal tersebut menggunakan 2D convolutional neural network (CNN) yang diterapkan dari 3 sudut pandang (axial, coronal, sagittal). Namun, sifat 3D dari KGB mediastinal dihipotesakan akan lebih terwakili jika menggunakan 3D CNN. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan 3D CNN yang kemudian diubah menjadi 3D fully convolutional network (FCN)  untuk mendeteksi kandidat KGB mediastinal di dalam suatu tumpukkan citra CT. Kandidat KGB mediastinal tersebut kemudian dianalisa untuk mengurangi false positive (FP) menggunakan 3 metode, yaitu perhitungan mean HU, deteksi kontur menyerupai lingkaran, dan klasifikasi menggunakan 3D CNN. Performa terbaik dari sistem CADe KGB mediastinal ini diperoleh ketika menggunakan 3D CNN dalam tahap pengurangan FP dengan sensitivitas 77% dan 12 FP/pasien.

Lung cancer is the most common and the deadliest cancer in the world. Lung cancer staging usually was done by radiologist by detecting mediastinal lymph node (LN) enlargement. Mediastinal LN is difficult to be detected visually due to its low contrast to the surrounding tissues, various size and shape, and sparse location. Therefore, computer-aided detection (CADe) system has been developed as a tool for radiologist to detect medistinal LN automatically. The state of the art mediastinal LN CADe system used 2D convolutional neural network (CNN) from 3 planar views (axial, coronal, sagittal). However, the 3D features of mediastinal LN are hypothesized to be more reprenseted if 3D CNN is used. Therefore, in this experiment we used 3D CNN which is converted to 3D fully convolutional network (FCN) to detect mediastinal LN candidate in a stack of CT images. Then, the mediastinal LN candidates were analyzed using 3 methods to reduce the false positive (FP), which are the calculation of the mean HU, the blob detection, and the classification using 3D CNN. The best performance of this CADe system was achieved when the 3D CNN was used in the FP reduction stage which has 77% of sensitivity and 12 FP/ patient."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T54516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Kartika
"ABSTRAK
Penyakit Kawasaki PK merupakan penyakit akut febris yang menyerang anak-anak berusia 5 tahun dengan penyebab yang belum diketahui. Pengalaman merawat anak dengan PK masih terbilang langka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali pengalaman Ibu yang merawat anak dengan PK pada fase akut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan partisipan menggunakan teknik convenience sampling yang melibatkan 15 partisipan melalui wawancara mendalam dengan pertanyaan semi terstruktur. Penelitian ini mengidentifikasi enam tema, yaitu kepastian dalam ketidakpastian, berpacu dengan waktu pengobatan, natur seorang ibu: berjuang demi keselamatan anak, menjalani ketetapan Tuhan, cukup sekali merasakan, dan menumbuhkan kewaspadaan akan PK. Temuan ini selanjutnya memicu semua pihak untuk mulai membangun kewaspadaan akan PK dan bersama-sama mendukung kebijakan strategis untuk memberikan penanganan dan asuhan keperawatan yang holistik tepat pada waktunya.

ABSTRACT
Kawasaki Disease KD is an acute febrile disease which attack children under 5 years old with unknown cause. Caring children with KD is still a rare experience. The purpose of this study was to explore mothers rsquo experience of caring children with KD in acute phase, by using a descriptive qualitative method with a phenomenological approach. Convenience sampling was used and 15 participants were involved through semi structured in depth interview technique. The result of the study revealed six main themes certainty in uncertainty, racing against time of treatment, the nature of a mother struggling for the safety of her children, go through God rsquo s will, once is enough, and gaining KD awareness. This findings trigger all parties to gain KD awareness and support KD policies for giving the treatment and the holistic nursing care in time."
2017
T47739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Farid Aziz, supervisor
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor prediktor metastasis kelenjar getah bening (KGB) pada pasien dengan kanker serviks stadium IB dan IIA. Penelitian dilakukan dari bulan Mei 1996 sampai bulan Desember 2001. Ada 183 pasien kanker serviks dengan stadium menurut FIGO IB dan IIA menjalani operasi histerektomi radikal dan limfadenektomi. Dari pasien tersebut 158 pasien yang dapat dinilai, terdiri dari 43 pasien dengan metastasis KGB dan 115 tanpa metastasis KGB. Rancangan penelitian adalah kasus-kontrol. Kasus adalah pasien dengan metastasis KGB dan kontrol pasien tanpa metastasis KGB. Analisis multivariat dilakukan setelah analisis bivariat. Pada analisis bivariat umur < 39 tahun, diameter lesi >4 cm, stadium IIA > 4 cm, histopatologi dengan diferensiasi sedang dan buruk, invasi ke pembuluh darah dan limfa merupakan variabel yang independen terjadinya metastasis KGB dengan nilai p ≤ 0,05. Tetapi pada analisis multivariat yang muncul sebagai variabel independen adalah umur muda, paritas > 4, diameter lesi, histopatologi adenoskuamosa, dan invasi limfo-vaskular dengan nilai p ≤ 0,05. Kesimpulan: Usia muda, paritas > 4, stadium IIA > 4 cm, diameter lesi, histopatologi adenoskuamosa, invasi limfa-vaskular merupakan faktor risiko terjadinya metastasis dan dapat dipergunakan sebagai faktor prediktor metastasis KGB. (Med J Indones 2004; 13: 113-8)

The aim of this study was to identify possible predictor factors of lymph node metastases in patients with cervical cancer stage IB and IIA. Study was conducted between May 1996 and December 2001. There were 183 patients of cervical cancer with FIGO Stage IB and IIA who were underwent radical hysterectomy and lymphadenectomy. From those 158 patients could be evaluated, consisting 43 patients with node metastases 115 patients without metastases. Research design was case control study. Case was patients with node metastases and control was those without node metastases. Multivariate analysis was made after bivariate analysis. On bivariate analysis age < 39 years, diameter of lesion > 4 cm, stage IIA > 4 cm, histopathology moderate and poor differentiation, blood and lymphatic vessel invasion were independent variables for node metastases with p value ≤ 0.05. However, on multivariate analysis younger age, parity ≥ 4, diameter of lesion, histopathology adenosquamous, and lymph vascular invasion (+) as independent factors for node metastases with p value ≤ 0.05. Conclusion: Younger age, parity ≥ 4, stage IIA > 4 cm, diameter of lesion, histopathology adenosquamous, and lymph vascular invasion (+) were risk factors for node metastases and can be used as predictors. (Med J Indones 2004; 13: 113-8)"
Medical Journal of Indonesia, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-113
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Luly Anggraini
"Anomali gigi merupakan gangguan tumbuh kembang yang umum dialami oleh penyandang sindroma Down, terdiri dari anomali jumlah, ukuran, bentuk dan struktur.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi anomali gigi pada penyandang sindroma Down di Jakarta.
Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan desain cross sectional pada 174 penyandang sindroma Down usia 14 tahun ke atas yang dipilih dengan teknik purposive sampling.
Hasil: Anomali jumlah hipodonsia 80.90 , supernumerari 6.74 dan kombinasi hipodonsia dan supernumerari 12.36 . Anomali ukuran mikrodonsia 98.81 dan makrodonsia 1.19 . Anomali bentuk fusi 66.675 dan talon cusp 33.33 . Anomali struktur hipoplasia enamel 70.83 , hipokalsifikasi enamel 12.50 , kombinasi hipoplasia dan hipokalsifikasi enamel 4.17 dan diskolorasi gigi 12.50.
Kesimpulan: Penyandang sindroma Down di SLB C Jakarta menampilkan prevalensi anomali gigi yang cukup tinggi dengan hipodonsia dan mikrodonsia sebagai anomali paling sering terjadi serta menunjukkan kecenderungan pada laki-laki.

Dental anomaly is a common developmental disorder experienced by people with Down syndrome consisting of number, size, shape and structure anomalies.
Aim: This research aims to describe the frequency distribution of number, size, shape and dental anomalies structure in people with Down syndrome aged 14 years and above in Jakarta.
Method: The method of this research is descriptive with cross sectional design done on 174 people with Down syndrome aged 14 years and above chosen with purposive sampling technique.
Result: Anomalies of number hypodontia 80.90, supernumerary 12.36 and combination of hypodontia and supernumerary 12.36. Anomalies of size microdontia 98.81 and macrodontia 1.19. Anomalies of shape fusion 66.67 and talon's cusp 33.33 Anomalies of structure enamel hypoplasia 70.83 , enamel hypocalcification 4.17, combination of enamel hypoplasia and hypocalcification 12.50 and tooth discoloration 12.50.
Conclusion: People with Down syndrome in SLB C Jakarta showed a high prevalence of dental anomalies with hypodontia and microdontia as the most common anomalies that have a tendency in boys.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astetin Eka Pranavita
"Latar Belakang: Transbronchial needle aspiration (TBNA) konvensional merupakan salah satu modalitas minimal invasif yang digunakan untuk diagnosis dan staging kanker paru serta tumor mediastinum terutama jika EBUS-TBNA tidak tersedia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepositifan biopsi TBNA konvensional KGB paratrakeal kanan bawah (KGB 4R) dan subkarina (KGB 7) pada pasien kanker paru dan tumor mediastinum.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung pada pasien kanker paru atau tumor mediastinum yang menjalani TBNA konvensional pada KGB 4R dan/atau KGB 7 di RSUP Persahabatan Jakarta, Indonesia.
Hasil Penelitian: Total 33 pasien menjalani tindakan TBNA konvensional. Hasil TBNA positif sebanyak 20 (60,6%) yang terdiri dari 18 kasus keganasan dan dua kasus infeksi M. Tuberculosis. Pada kasus adenokarsinoma 58,3% pemeriksaan mutasi EGFR menggunakan sediaan sitologi TBNA. Jarum 21 G memberikan hasil TBNA positif lebih banyak dibandingkan jarum 19 G (masing-masing 68,2% dan 45,5%). Kelompok 1-2 set TBNA menunjukkan hasil TBNA positif 55,6% sedangkan kelompok 3-4 set TBNA menunjukkan hasil TBNA positif 66,7%. Kelompok jiggling 10-14 tusukan menunjukkan hasil TBNA positif 70% sedangkan kelompok jiggling 15-20 tusukan menunjukkan hasil TBNA positif 56,5%. Kelenjar getah bening subkarina memberikan hasil TBNA positif lebih banyak dibandingkan KGB paratrakeal kanan bawah (masing-masing 75% dan 47,1%). Ukuran KGB < 30 mm memberikan hasil TBNA positif lebih sedikit dibandingkan ukuran KGB ≥ 30 mm (36,4% berbanding 53,8%).
Kesimpulan: Jarum TBNA 21 G, pengambilan spesimen sitologi sebanyak 3-4 set TBNA, jumlah jiggling sebanyak 10-14 tusukan, KGB 7 dan KGB berukuran ≥ 30 mm memberikan hasil TBNA positif lebih banyak.

Background: Minimally invasive conventional transbronchial needle aspiration (C-TBNA) is an alternative method for diagnosing and staging a lung cancer and mediastinal tumor when EBUS-TBNA is unavailable. This study was to determine the positivity level of C-TBNA biopsies in different techniques (repeated sets and jiggled) at the right lower paratracheal (station 4R) and subcarinal (station 7) lymph nodes in lung cancer and mediastinal tumor cases.
Methods: This cross-sectional study was carried out by direct observation of lung cancer and mediastinal tumor cases examined by using C-TBNA of the station 4R and/or 7 lymph nodes at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia.
Results: A total of 33 patients underwent C-TBNA. Positive results were 20 (60.6%), of which 18 cases were malignancy and two cases were M. tuberculosis infection. In the case of adenocarcinoma, 58.3% showed EGFR mutations from cytological exam. The 21 G needle yielded more positive TBNA results than the 19 G needle (68.2% and 45.5%, respectively). Repeated 1-2 sets of TBNA showed 55.6% positive results while repeated 3-4 sets of TBNA showed 66.7% positive results. The 10-14 jiggled TBNA showed 70% positive results while the 15-20 jiggled TBNA showed 56,5% positive results. Station 7 lymph node TBNA received more positive TBNA results than station 4R lymph node (75% and 47.1%, respectively). Lymph nodes of size < 30 mm yielded less positive TBNA result than of size ≥ 30 mm (36.4% vs 53.8%).
Conclusion: Specimen collection using 21 G TBNA needle, by means of repeated 3-4 sets or 10-14 jiggled, done at station 7 lymph nodes, and at lymph nodes of size ≥ 30 mm were observed to yield more positive TBNA results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivena Susanti
"Latar belakang. Obesitas pada anak HAK dapat terjadi akibat penyakit dan terapi glukokortikoid. Belum diketahui prevalens gizi lebih dan obesitas pada anak HAK di Indonesia serta faktor-faktor yang berhubungan.
Tujuan. Mengetahui prevalens gizi lebih dan obesitas anak HAK dan faktor yang berhubungan (faktor penyakit, faktor terapi, dan faktor umum).
Metode. Uji potong lintang pada anak HAK yang berobat di RSCM dan RS lain di Jabodetabek selama Maret-Juni 2013. Pencatatan data klinis, analisis diet, dan pemeriksaan kadar 17-hidroksiprogesteron (17-OHP) dilakukan pada setiap subjek.
Hasil penelitian. Sebanyak 49 subjek (38 perempuan dan 11 lelaki, rentang usia 0,4-18,3 tahun) memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 79,6% subjek adalah tipe salt wasting (SW) dengan median usia awal terapi 2,5 tahun lebih muda dibandingkan kelompok non-SW. Rerata dosis hidrokortison adalah 17,2 (SB 6,4) mg/m2/hari dan median durasi terapi 5,7 (rentang: 0,1-18,3) tahun. Sebagian besar subjek memiliki kontrol metabolik undertreatment (36/49), sesuai dengan median kadar 17-OHP 19 (rentang: 0,2-876) nmol/L. Terdapat 19 subjek sudah pubertas, 6 diantaranya mengalami pubertas prekoks. Prevalens gizi lebih dan obesitas sebanyak 5,3% ditemukan pada kelompok usia balita dan 66,7% pada kelompok usia lebih dari 5 tahun. Sebanyak 62,5% subjek memiliki asupan gizi lebih. Subjek dengan usia lebih dari 5 tahun, sudah pubertas, atau mengalami pubertas prekoks lebih berisiko mengalami gizi lebih dan obesitas. Durasi terapi glukokortikoid berkorelasi sedang (r=0,668; P=0,000) dengan indeks massa tubuh (IMT), sedangkan dosis terapi tidak menunjukkan korelasi dengan IMT.
Simpulan. Prevalens gizi lebih dan obesitas pada anak HAK dalam penelitian ini adalah 42,9%. Subjek dengan usia lebih dari 5 tahun, sudah pubertas, atau mengalami pubertas prekoks lebih berisiko mengalami gizi lebih dan obesitas. Terdapat korelasi antara durasi terapi glukokortikoid dengan IMT.

Background. Children with congenital adrenal hyperplasia (CAH) have a higher risk of being overweight and obese. The prevalence of obesity and its related factors in children with CAH in Indonesia is unknown.
Objective. To study the prevalence of overweight and obesity in children with CAH and its related factors.
Methods. A cross-sectional study in children with CAH at Cipto Mangunkusumo Hospital and other private hospitals around Jakarta during March to June 2013. History, physical examination, dietary analysis, and 17-OHP blood level were evaluated.
Results. Forty-nine children with CAH were recruited in this study, consisted of 38 girls and 11 boys, with median age 6.1 (0.4-18.3) years old, and 79.6% were salt wasting (SW) type. Children with SW type had 2.5 years earlier treatment onset compared to non-SW type. The mean of hydrocortisone dose was 17.2 (SD 6.4) mg/m2/day, with median treatment duration was 5.7 (ranged: 0.1-18.3) years. Most subjects had undertreatment metabolic control (36/49) with median level of 17-OHP 19 (range: 0.2-876) nmol/L. Nineteen subjects were within pubertal stage with 6 of them had precocious puberty. Most subjects (62.5%) were overfeeding. The prevalence of overweight and obesity were higher among children more than 5 years old (66.7%) than children less than 5 years old (5.3%). Subjects with age more than 5 years old, within puberty stage, or with precocious puberty had a higher risk of obesity. Body mass index (BMI) had a moderate correlation (r=0,668; P=0,000) with treatment duration, but not with glucocorticoid dose.
Conclusions. Prevalence of overweight and obesity in CAH children in this study was 42.9%. Aged more than 5 years old, being in the puberty stage, or having precocious puberty had a higher risk of obesity. There was a moderate correlation between BMI and treatment duration."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Johan Ricardo
"Latar Belakang: Kanker ovarium epitelial merupakan jenis keganasan ovarium yang paling sering ditemukan dan bersifat agresif. Upaya melakukan deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan ginekologi, dikombinasi dengan pemeriksaan ultrasonografi, advanced imaging (CT-Scan, MRI) dan pemeriksaan kadar serum CA-125, namun untuk menentukan diagnosis pasti diperlukan pemeriksaan histopatologi. Tujuan: Membandingkan temuan metastasis kelenjar getah bening pada advanced imaging (CT-Scan, MRI) dengan histopatologi pada kasus kanker ovarium epitelial.dan menentukan rentang waktu antara dilakukkan advanced imaging dengan tindakan operasi. Metode: Penelitian ini bersifat kohort retrospektif. Sampel penelitian adalah pasien dengan riwayat kanker ovarium epitelial stadium awal yang sudah dilakukan limfadenektomi di RSCM pada tahun 2017-2022 dengan teknik consecutive sampling. Pengumpulan data melalui data sekunder. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji Mc Nemar atau Kappa. Hasil: Dari karakteristik didapatkan usia rata-rata 48 tahun, paling banyak dengan jenis clear cell carcinoma (36.7%), dan ditemukan paling banyak pada ovarium kanan (43.3%). Hasil advanced imaging tidak memiliki nilai kesepakatan yang berarti dengan hasil histopatologi (Kappa value -0.01, p >0.05). Hasil paling banyak ditemukan metastasis di pelvis kiri. Rentang waktu dilakukannya operasi setelah pemeriksaan advanced imaging, paling banyak dalam waktu kurang dari 3 bulan (50.0%). Kesimpulan: Semakin cepat waktu dilakukan tindakan operasi semakin tinggi survival rate. Tidak ada hubungan yang signifikan antara ditemukannya limfadenopati pada advanced imaging dan histopatologi.

Background: Epithelial ovarian cancer is the most common and aggressive type of ovarian malignancy. Efforts aimed at early detection are gynecological examination, combined with ultrasound examination, advanced imaging (CT-Scan, MRI) and CA-125 levels, but to determine a definite diagnosis a histopathological examination is needed. Objective: To compare the findings of lymph node metastases on advanced imaging (CT-Scan, MRI) with histopathology in cases of epithelial ovarian cancer. And to determine the time interval between advanced imaging and surgery. Methods: This study used a retrospective cohort. The sample of the study was patients with a history of early-stage epithelial ovarian cancer who had undergone lymphadenectomy at RSCM in 2017-2022 by consecutive sampling technique. Data collection through secondary data. Data were analyzed univariately and bivariately with the Mc Nemar or Kappa test. Results: The features revealed that the average age was 48 years, that clear cell carcinoma was the most prevalent form (36.7%), and that it was most frequently discovered in the right ovary (43.3%). According to the study's findings, there was no significant correlation between the outcomes of advanced imaging and those of histopathology (Kappa value: -0.01, p >0.05). The results showed that most metastases were found in the left pelvis. This study evaluated the length of surgery following enhanced imaging test revealed that 50% of patients underwent surgery in less than three months on average. Conclusion: The difference between preoperative and intraoperative findings will be minimized if surgery is conducted early. There was no significant correlation between lymphadenopathy findings on advanced imaging and histopathology."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najib Advani
"Latar belakang: Penyakit Kawasaki (PK) adalah suatu vaskulitis akut sistemik yang terutama menyerang bayi dan anak balita dan belum diketahui etiologinya. Pada kasus PK yang tidak diobati 15-25 % akan mengalami aneurisme koroner yang dapat berakhir pada infark miokard, penyakit jantung iskemik atau kematian. Berbagai faktor diduga berperan terhadap terjadinya aneurisme koroner. Peran dan kondisi SPE (sel progenitor endotel), suatu subtipe sel punca mulai diteliti dengan tujuan kelak dapat digunakan untuk terapi kelainan koroner pada PK.
Tujuan: Mengetahui frekuensi aneurisme koroner pada PK, faktor risiko terjadinya serta perjalanan klinisnya; jumlah dan kualitas SPE pada fase akut maupun lanjut PK dengan atau tanpa aneurisme koroner serta membandingkan jumlah dan kualitas SPE pada kedua fase tersebut.
Metode: Subjek adalah pasien PK yang datang berobat selama periode 10½ tahun di 5 RS di Jabotabek. Terdapat 4 desain penelitian yaitu studi potong lintang untuk penelitian faktor risiko aneurisme koroner. Kohort retrospektif untuk perjalanan klinis serta potong lintang untuk masing masing SPE fase akut dan SPE fase lanjut. Subjek diperiksa darah dan ekokardiografi.
Hasil: Didapat 667 subjek dengan PK. Frekuensi aneurisme koroner pada fase akut PK 33,3 %, fase konvalesen 7,9 %. Faktor risiko aneurisme koroner adalah lama demam > 7 hari sebelum terapi (p < 0,001; RO 2,02; IK 1,15 sampai 3,53) dan kadar albumin yang rendah (p 0,001; RO 0,53; IK 0,32 sampai 0,87). Mayoritas aneurisme kecil dan sedang kembali normal dengan berlalunya waktu, aneurisme raksasa tidak. Subjek tanpa aneurisme hingga 2 bulan awitan, selanjutnya tetap normal. Tidak ada pebedaan jumlah dan kualitas SPE (CD34+) pada pasien dengan dan tanpa aneurisme koroner pada fase akut dan lanjut. Jumlah SPE (CD34+) lebih tinggi pada fase akut dibanding fase lanjut (p < 0,001).
Simpulan dan saran: Lama demam > 7 hari sebelum terapi dan kadar albumin yang rendah merupakan faktor risiko aneurisme koroner. Prognosis aneurisme ditentukan oleh diameternya. Jumlah SPE (CD34+) pada fase akut lebih tinggi secara bermakna dibanding fase lanjut. Pada pasien PK terapi sebaiknya dilakukan sebelum hari ke-8 demam untuk mencegah komplikasi koroner. Pada pasien tanpa aneurisme koroner hingga 2 bulan awitan, ekokardiografi selanjutnya tidak mutlak dilakukan.

Background: Kawasaki disease (KD) is an acute systemic vasculitis with unknown etiology that mainly affects infants and young children. Coronary aneurysms develop in 15 - 25 % of untreated cases and may lead to myocardial infarction, ischemic heart disease or sudden death. There were some risk factors suspected to play a role in the development of coronary aneurysms. The role of EPC (endothelial progenitor cells) a subtype of stem cell, in KD has been studied lately with the aim that they could be manipulated to treat coronary lesions.
Objective : To investigate the frequency of coronary aneurysms in KD, risk factors for the development of coronary aneurysms and their clinical course; number and quality of EPC in patients with and without aneurysms in acute and late phase of KD, and compare the number and quality of EPC between acute and late phase of KD.
Methods: Subjects were KD patients treated during the period of 10½ years in 5 hospitals in Jabotabek area. There were 4 study designs, namely cross-sectional for coronary risk factors, retrospective cohort for the clinical course and cross sectional for EPC study in acute and late phase. Subjects had blood and echocardiography examinations.
Results: There were 667 KD patients studied. The frequency of coronary aneurysms in acute phase was 33.3 % and 7.9 % in convalescence. Risk factors for coronary aneurysms were duration of fever > 7 days (p< 0.001; OR 2.02; CI 1.15 to 3.53) and low level of albumin (p= 0.001; OR 0.53; CI 0.32 to 0.87). Majority of small and medium sized aneurysms regressed over time but giant aneurysms did not. Subjects without coronary aneurysms till 2 months of onset would remain normal later. No difference was noted in the number and quality of EPC (CD34+) between subjects with and without aneurysms in acute and late phase. The number of EPC (CD34+) in acute phase higher than that of the late phase (p< 0.001).
Conclusion and suggestion: Duration of fever over 7 days before treatment and low level of albumin were the risk factors for the development of coronary aneurysms. Outcome of aneurysms was determined by the size of the diameter. The number of EPC was significantly higher during acute phase compared to that of the late phase. Patients with KD should have been treated before day 8 of fever to prevent coronary complications. For patients without coronary aneurysms till 2 months after onset, further echocardiography is not a necessity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>