Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195033 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Risha Ayuningtyas
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penilaian jalan napas saat ini menjadi suatu standar prosedur yang harus dilakukan setiap kunjungan pra-anestesia, termasuk pada populasi pediatrik. Namun demikian, pedoman yang sudah ada pada populasi dewasa tidak dapat begitu saja dipakai untuk populasi pediatrik.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara beberapa ukuran parameter kraniofasial dengan skor Cormack-Lehane pada populasi anak di Indonesia.
Metodologi: Data dikumpulkan secara consecutive pada 121 pasien yang akan menjalani anestesia umum. Dilakukan pengukuran jarak tepi bawah bibir ke ujung mentum, jarak tragus telinga ke sudut mulut, jarak angulus mandibula ke ujung mentum, jarak mentohioid, dan jarak horizontal antara angulus mandibula kanan dan kiri. Dilakukan penilaian tingkat kesulitan laringoskopi menggunakan klasifikasi Cormack-Lehane, yang kemudian dibagi menjadi mudah dan sulit laringoskopi. Kemudian dilakukan analisa data untuk mencari hubungan antara ukuran parameter-parameter ini dengan skor Cormack-Lehane.
Hasil: Insidensi skor Cormack-Lehane I sampai IV masing-masing 67,8%; 23,1%; 6,6%; dan 2,5%. Semua ukuran parameter kraniofasial yang diukur memiliki hubungan bermakna dengan skor Cormack-Lehane (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara ukuran parameter kraniofasial dengan skor Cormack-Lehane.

ABSTRACT
Background: Airway assessment is now becoming a standard of procedure in every pre-anesthesia visit, including in pediatric population. However, guidelines for adults may not be applied readily for pediatric population.
Objective: This study was performed to determine the association between craniofacial parameters and Cormack-Lehane Score in pediatric population in Indonesia.
Methods: We collected data on 121 consecutive patients who were scheduled for general anesthesia. The distance from lower lip to menthom, ear tragus to mouth, mandible angle to menthom, mentohyoid distance, and the horizontal length of right and left mandible were measured. Laryngeal view were graded using the Cormack-Lehane classification and divided into two groups: easy and difficult for laryngoscopic visualization. The association of these parameters with the Cormack-Lehane Score group was analyzed.
Results: The incidence of Cormack-Lehane Score grade I to IV was 67,8%; 23,1%; 6,6%; and 2,5% respectively. All the craniofacial parameters we measured have a significant association with the Cormack-Lehane Score (p<0,05).
Conclusion: There are significant association between craniofacial parameters and Cormack-Lehane Score."
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jemmy Wilson Tanod
"Latar belakang: Dalam setiap kunjungan pra anestesia, penilaian jalan nafas sangat penting, terutama pada pasien anak. Namun, pedoman yang ada pada dewasa tidak dapat dipakai pada populasi pediatri.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara lima ukuran parameter kraniofasial dengan skor Cormack-Lehane pada populasi anak usia 4-12 tahun di Indonesia.
Metodologi: Data dikumpulkan secara consecutive pada 134 pasien yang menjalani anestesia umum. Dilakukan pengukuran jarak tepi bawah bibir ke ujung mentum, jarak angulus mandibula ke ujung mentum, jarak tragus telinga ke sudut bibir, jarak mentohioid dan jarak antara angulus mandibula kanan dan kiri. Dilakukan penilaian tingkat kesulitan laringoskopi menggunakan skor Cormack-Lehane, kemudian dibagi menjadi mudah dan sulit laringoskopi. Kemudian dilakukan analisa data untuk mencari hubungan antara lima parameter ini dengan skor Cormack-Lehane.
Hasil: Insidens skor Cormack-Lehane I sampai IV masing-masing 47,4%; 43,6%; 6,8%; dan 2,3%.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara lima parameter kraniofasial dengan skor Cormack-Lehane pada anak usia 4-12 tahun.

Background: In every pre anesthesia visite, airway assessment is very important, especially in pediatric patient. However, adult airway guidelines can not be applied in pediatric population.
Objective: To perform the association between five craniofacial parameters and Cormack-Lehane score for 4 to 12 year-old pediatric in Indonesia.
Methods: Data collected consecutively in 134 patients who underwent general anesthesia. The distance of lower lip to mentum, mandible angle to mentum, ear tragus to mouth, mentohyoid distance and distance of left and right mandible were measured. Laryngoscopic view were counted using Cormack-Lehane score and divide into two groups: easy and difficult for laryngoscopic view. The associations of these five parameters with Cormack-Lehane score were analyzed.
Results: Incidence of Cormack-Lehane score grade I to IV was 47,4%; 43,6%; 6,8%; and 2,3%.
Conclusion: There are no significant association among the craniofacial parameters and Cormack-Lehane score in 4 to 12 years-old pediatric patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58617
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Natalia Ekawari
"Latar Belakang: Kecemasan sering terjadi pada anak terutama masa pranestesia dan merupakan suatu kondisi dan komplikasi yang sering terabaikan oleh dokter spesialis anestesiologi dalam pelayanan anestesia. Pada studi ini dibandingkan keefektifan ketamin 4 mg/kgbb dosis intranasal dengan ketamin 5 dosis mg/kgbb per oral dalam efek sedasi dan mengurangi kecemasan.
Metode: 104 anak secara acak tersamar ganda dibagi dalam 2 kelompok sama banyak. Kelompok pertama mendapat ketamin intranasal (N=51) dan kelompok kedua mendapat ketamin per oral (N=50).
Hasil: Anak yang tersedasi baik pada kelompok ketamin intranasal sebesar 45,1% sedangkan pada kelompok ketamin per oral hanya 24% (p<0,05; 2,13E-0,2;0,52). Sebagai anti kecemasan, 68,6% anak pada kelompok ketamin intranasal mudah dipisahkan dari orangtua (efektif) dan hanya 48% anak yang mudah dipisahkan dari orangtua pada kelompok ketamin per oral (p<0,05; 1,03E-0,2;0,48). Hipersalivasi terjadi pada 3,9% anak pada kedua kelompok sedangkan muntah sebesar 4,9% juga pada kedua kelompok.
Kesimpulan: sebagai premedikasi pada pasien anak, ketamin dosis 4 mg/kgbb intranasal memberikan efek sedasi dan anti kecemasan yang lebih baik bila dibandingkan dengan ketamin dosis 5 mg/kgbb peroral.
Kata kunci: premedikasi, ketamin, intranasal, per oral, sedasi, anti kecemasan.

Background: Anxiety often accompanied children, especially during pre anesthesia and this condition and complication often overlooked by the anesthesiologist in practices. The purpose of our study was to investigate, whether premeditation with ketamine 4 mg/kgbb intranasal or ketamine 5 mg/kgbb orally is more effective to gives sedation and ant anxiety.
Method: Hundred and four pediatric patient, in randomized, divided into two equal groups. First group received ketamine intranasal (N=51) and the second group received ketamine orally (N=50).
Result: 45.1% children had good sedation in intranasal group, while in oral group is only 24% (p<0,05; 2,13E-0,2;0,52). As for anti anxiety, 68.6% children in intranasal group is easy to be separated from the parents (effective) and only 48% children in oral (p<0,05; 1,03E-0,2;0,48). Hyper salivation occurs in 3.9% children in both groups, while 4.9% children vomit in both groups.
Conclusion: 4 mg/kgbb intranasal ketamine gives better sedation effect and better anti anxiety effect compare to 5 mg/kgbb oral ketamine as premedication to pediatric patient.
Key words: premedication, ketamine, intranasal, orally, sedation, ant anxiety.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avy Retno Handayani
"Latar belakang: Patensi jalan napas merupakan hal paling penting dalam manajemen pasien di dalam kamar operasi maupun di luar kamar operasi. Kegagalan ataupun keterlambatan dalam manajemen jalan napas akan membawa dampak yang buruk terhadap morbiditas maupun mortalitas pasien. Prediksi kesulitan jalan napas dapat dilakukan dengan penilaian klinis maupun pemeriksaan penunjang. Cormack-Lehane grading telah lama digunakan sebagai prediksi kesulitan laringoskopi melalui visualisasi laring. Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh W Yao dan Bin Wang, dikatakan ukuran lebar lidah diatas 6.0 cm dapat menjadi prediksi terjadinya kesulitan intubasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kesulitan intubasi adalah kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading ≥ 3. Penelitian ini bertujuan untuk mencari apakah terdapat hubungan ukuran lebar lidah dengan kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading.
Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain cross sectional ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat, CCC, dan Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli sampai September 2022. Populasi subjek adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan pembiusan total dan menggunakan ETT. Ketebalan lidah diukur dengan menggunakan ultrasonografi. Penilaian Cormack Lehane Grading dilakukan melalui visualisasi laring pada saat laringoskopi dan sebelum dilakukan intubasi endotrakeal.
Hasil: Kelompok subjek dengan karakteristik sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane Grading (≥3) terbukti memiliki rerata ketebalan lidah yang lebih tebal dibandingkan kelompok mudah intubasi. Kelompok sulit intubasi juga terbukti memiliki Modified Mallampati Score yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Ketebalan lidah dan Modified Mallampati Score berhubungan dengan sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane grading, sehingga dapat digunakan sebagai prediktor kesulitan jalan napas.

Background: Airway patency is a critical variable to maintain, either in perioperative or emergency setting. Failure or delay in airway management is associated with life-threatening complications. Prediction of difficult airway management can be done through bedside clinical examination and/or further investigations. Cormack Lehane grading has long been known as a parameter to assess difficult airway by visualization of the larynx. According to W Yao and Bin Wang, tongue thickness > 6.0 cm may be a predictor of difficult airway. One of the factors associated with difficult-to-intubate patients is difficult laryngoscopy as indicated by Cormack Lehane grading ≥ 3. This study aimed to investigate the correlation between tongue thickness and difficult laryngoscopy assessed through Cormack Lehane Grading.
Methods: This prospective observational study was conducted in Central Surgery Unit, CCC, and Kirana Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period of July to September 2022. This study involved patients undergoing surgical interventions with general anesthesia and endotracheal intubation. Tongue thickness of each subject was assessed by ultrasonography. The assessment of Cormack Lehane grading in each subject was conducted through visualization of the larynx during laryngoscopy and prior to tracheal intubation.
Results: Difficult-to-intubate group characterized by Cormack Lehane grading ≥3 was associated with thicker tongue and higher Modified Mallampati score.
Conclusion: Tongue thickness and modified Mallampati score were associated with difficult laryngoscopy and endotracheal intubation based on Cormack Lehane grading. Therefore, tongue thickness may serve as a potential predictor of difficult airway.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Orpa Diana Suek
"Permasalahan yang sering muncul dalam merawat klien dengan ventilasi mekanik di PICU adalah masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Salah satu teori keperawatan yang dapat diaplikasikan di ruang perawatan intensif adalah Model Konservasi Myra E. Levine yang mempunyai 3 konsep dasar yaitu konservasi, adaptasi dan keutuhan (wholeness). Tahapan proses keperawatan yang dilakukan adalah melakukan pengkajian, merumuskan trophicognosis dan hypothesis yang tepat, mengimplementasikan rencana dan melakukan evaluasi terhadap setiap respon organismik klien yang bertujuan untuk membantu klien beradaptasi selama dalam perawatan dan mencapai wholeness sebagai seorang individu yang unik. Intervensi yang dapat dilaksanakan untuk mempertahankan bersihan jalan napas yang efektif, antara lain fisioterapi dada, penghisapan lendir, humidifikasi, inhalasi, dan mobilisasi. Peran Ners Spesialis Keperawatan Anak selama merawat anak dengan ventilasi mekanik adalah sebagai praktisi, pendidik, advokat dan peneliti. Ners Spesialis Keperawatan Anak diharapkan terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang keperawatan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada klien dan keluarga.

Nursing problem that often arises in caring of pediatric patient with mechanical ventilation at PICU is ineffectiveness of airway clearance. One of the nursing theories that can be applied in intensive care unit is Myra E. Levine Conservation Model which has 3 basic concepts. Those concepts are conservation, adaptation and wholeness. Stages of the nursing process are assesment, formulate appropriate trophicognosis and hypothesis, implementing the intervention and evaluating every client organismic response that is aimed to help clients adapting during the treatment and achieving wholeness as a unique individual. Interventions that can be implemented to maintain an effective airway clearance are chest physiotherapy, mucus suction, humidification, inhalation, and mobilization. The Role of Ners Specialist of Pediatric Nursing for caring of a pediatric patient with mechanical ventilation is as practitioner, educator, advocate and researcher. Ners specialist of pediatric nursing are expected to continue develop knowledge and technology in the field of nursing to improve the quality of nursing care to clients and families."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Perdana Kesuma
"Pasien dengan pneumonia bakterial memiliki kemungkinan 40-60% berkembang menjadi efusi pleura (parapneumonia effusion) dengan keparahan yang berbeda-beda. Selain gangguan pada pola nafas, masalah ansietas merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien pneumonia. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan mendeskripsikan asuhan keperawatan pada anak dengan parapneumonia effusion dan menganalisis penerapan intervensi latihan tekhnik nafas dalam yang dikombinasikan dengan dzikir/doa dan imajinasi terbimbing sebagai salah satu intervensi keperawatan utama dalam mengatasi permasalahan gangguan pola nafas tidak efektif dan nyeri pasien. Hasil evaluasi didapatkan intervensi teknik relaksasi ini memberikan dampak yang positif bagi status pernafasan pasien dan meningkatkan oksigenasi serta menurunkan nyeri dan meningkatkan respon reslaksasi pasien. Latihan pernafasan tekhnik nafas dalam dikombinasi dengan dzikir dan doa serta imajinasi terbimbing sangat sederhana, cost-effective, cepat, aman dan mudah untuk dilatih. Implikasi keperawatan dari studi ini menemukan bahwa penting untuk menerapkan tekhnik relaksasi ini dalam melakukan manajemen pasien dengan parapneumonia effusion

Pneumonia bacterial have a 40% - 60% chance of developing to parapneumonia effusion with varying severity. In addition to interference with breathing patterns, anxiety problems are a problem that often occurs in patients with pneumonia. This scientific work aims to describe nursing care in a teenager with parapneumonia effusion and analyze the application of breathing technique exercise combined with dzikir / prayer and guided imagination as one of the main nursing interventions in overcoming problems of ineffective breathing patterns and pain. Evaluation results show that this relaxation technique has a positive impact on the patients respiratory status and increases oxygenation and reduces pain and improves the patients relaxation response. Breathing techniques in combination with dhikr/pray and guided imagination is very simple, cost-effective, fast, safe and easy to practice. The nursing implications of this study found that it is important to apply this relaxation technique in managing patients with parapneumonia effusion"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shendy Meike Sari
"Latar belakang. Bonfils adalah alat fiberoptik kaku yang dapat digunakan untuk intubasi baik pada jalan nafas normal maupun sulit. Penelitian ini membandingkan teknik pendekatan midline dan retromolar dalam melakukan intubasi dengan Bonfils pada suatu pelatihan dengan subjek penelitian adalah PPDS Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM tahap mandiri dan paripurna. Pelatihan pada maneken ini dilakukan di SIMUBEAR (Simulation Based Education and Research Center) IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute). Subjek tidak terbiasa menggunakan Bonfils, sehingga pelatihan ini menjadi kesempatan yang baik. Terdapat 10 langkah DOPS (Direct Observation of Procedural Skills) yang harus dikerjakan oleh setiap subjek untuk masing-masing teknik. Penelitian ini menilai DOPS, lama waktu intubasi dan jumlah upaya yang dilakukan untuk melakukan intubasi dengan Bonfils.
Metode. Penelitian ini merupakan uji eksperimental, acak, tidak tersamar, crossover yang dilakukan pada bulan September 2018. Subjek penelitian sebanyak 45 orang yang diambil dengan metode total sampling, dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda dalam sekuens. Kelompok 1 terdiri dari 23 orang yang melakukan intubasi dengan Bonfils pendekatan midline terlebih dahulu kemudian pendekatan retromolar dan kelompok 2 terdiri dari 22 orang yang melakukan sebaliknya. Uji statistik data kategorik berpasangan menggunakan uji McNemar dan data numerik berpasangan dengan uji Wilcoxon Signed Ranks Test.
Hasil. Keberhasilan intubasi dengan Bonfils melalui pendekatan midline pada DOPS 1, DOPS 2 dan pada kasus jalan nafas sulit sebesar 71,1%, 86,7%, 88,9%, sedangkan pada pendekatan retromolar adalah 68,8%, 68,9%, 64,4%. Lama waktu intubasi yang diperlukan untuk pendekatan midline pada jalan nafas normal dan sulit adalah 59 (18-224) detik dan 55 (24-146) detik, sedangkan pada pendekatan retromolar adalah 64 (38-200) detik dan 74,5 (26-254) detik. Kemudahan melakukan intubasi dengan Bonfils dinilai dari jumlah upaya yang dilakukan oleh subjek sebanyak 1x, yaitu pada pendekatan midline 64,4% dan retromolar 35,6% pada jalan nafas normal, dan 66,7% serta 46,7% pada jalan nafas sulit.
Simpulan. Keberhasilan dan kemudahan intubasi dengan Bonfils melalui pendekatan midline lebih baik dibandingkan dengan pendekatan retromolar pada maneken.

Background. The Bonfils Intubation Fibrescope is a rigid optical instrument for performing orotracheal intubation has becomes a useful device in the management of normal and difficult airways. In this study, we compared midline and retromolar approach techniques using Bonfils in simulation-based training that would allow the highest level residents of Anesthesiology Department perform tracheal intubation faster and a higher success probability. Data were collected from 45 participants using an airway simulator in SIMUBEAR (Simulation Based Education and Research Center) IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute). The participants who uncommon using Bonfils were randomly assigned to a sequence of techniques to use. These two techniques become a challenge for the participants. The ten steps of DOPS (Direct Observation of Procedural Skills) were performed with each technique. We did the assessment of DOPS, time of intubation, and the amount of attempt of intubation.
Methods. We did the randomized crossover trials in which participants are assigned randomly to a sequence of techniques using Bonfils with midline and retromolar approach on September 2018. These 45 participants were collected by total sampling method, divided into two groups. Group 1 (n=23) did the intubation using midline approach first then retromolar and group 2 (n=22) did the retromolar first then midline approach. Each participant was being trained using those techniques by ten steps of DOPS, then they were tested to intubate a mannequin on normal and difficult airways. The researchers obtained the DOPS scores, time of intubation, and the amount of intubation attempts. We analyzed this study using McNemar test for categoric data and Wilcoxon Signed Ranks test for numeric data.
Results. This study compared the success rate, intubaton time and the amount of intubation attempts using Bonfils with midline and retromolar approach. It was found that the success rate in midline approach was better than retromolar. For the ease rate, we obtained data from the intubation time and the amount of intubation attempts. The intubation time in midline approach (59 (18-224) s and 55 (24-146) s) was shorter than retromolar (64 (38-200) s and 74,5 (26-254) s) in normal and difficult airways respectively. And also we found that 64,4% participants could did one attempt of intubation using Bonfils with midline approach and only 35,6% participants did the retromolar approach.
Conclusions. Success and ease rate of intubation using Bonfils with midline approach is better than retromolar approach techniques in mannequin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Kurniawan
"Positioning yang optimal pada pasien akan berdampak pada airway manajemen dan ventilasi, menjaga keselarasan posisi tubuh, serta memberikan keamanan dan kenyamanan fisiologis. Tindakan positioning sudah dilakukan di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo dengan tujuan untuk mengurangi resiko luka dekubitus, tetapi belum dilihat efeknya pada kemampuan fisiologis paru pasien yang terpasang ventilator. Dari berbagai bentuk tindakan positioning yang dapat dilakukan terhadap pasien hingga saat ini belum ada protokol – protokol khusus yang menjelaskan terkait positioning mana yang paling efektif dan efisien terhadap pasien khususnya pada pasien dengan kejadian prolong ventilator diruang ICU. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh dan efektifitas positioning lateral kanan kiri 30 ° dan positioning lateral kanan kiri 90 ° terhadap keberhasilan weaning pada pasien dengan prolong ventilator mekanik di ruang ICU. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 responden yang dibagi menjadi 20 responden kelompok intervensi 1 ( positioning lateral kanan kiri 90 ° ) dan 20 responden kelompok intervensi 2 ( positioning lateral kanan kiri 30 ° ). Metode penelitan ini adalah quasy eksperiment dengan desain Pre test and post test pada kedua kelompok intervensi ( with control group ). Hasil penelitian menunjukan positioning lateral kanan kiri 30 ° berpengaruh secara sigifikan terhadap keberhasilan weaning pada pasien dengan prolong ventilator mekanik ( p value 0,000 ) dibandingkan positioning lateral kanan kiri 90 ° (p value 0,180). Pengaturan sudut kemiringan pada saat pemberian positioning lateral akan mengurangi tahanan otot - otot perut sehingga mengurangi tekanan ke diafragma dan meringankan kompresi dada. Hal ini akan berdampak pada masuknya udara lebih banyak ke dalam paru – paru serta meningkatnya oksigenasi dalam meningkatkan fungsi fisiologis paru. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi suatu gold standar baru berupa pemberian intervensi positioning lateral kanan kiri 30 ° khususnya pada pasien dengan penggunaan ventilator diruang ICU.

Optimal positioning of the patient will have an impact on airway management and ventilation, maintain body position alignment, and provide physiological safety and comfort. Positioning action has been carried out in the ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo with the aim of reducing the risk of pressure sores, but the effect has not been seen on the physiological abilities of the lungs of patients on ventilators. Of the various forms of positioning actions that can be performed on patients, there are currently no specific protocols that explain which positioning is most effective and efficient for patients, especially in patients with prolong ventilator events in the ICU. The purpose of this study was to determine the effect and effectiveness of right and left lateral positioning of 30 ° and right and left lateral positioning of 90 ° on the success of weaning in patients with mechanical ventilator prolong in the ICU. The sample in this study amounted to 40 respondents who were divided into 20 respondents in the intervention group 1 (right and left lateral positioning 90 °) and 20 respondents in the intervention group 2 (right and left lateral positioning 30 °). This research method is a quasi-experimental design with pre-test and post-test in both intervention groups (with control group). The results showed that right and left lateral positioning of 30 ° had a significant effect on the success of weaning in patients with mechanical ventilator prolong (p value 0.000) compared to right and left lateral positioning of 90 ° (p value 0.180). Adjusting the angle of inclination at the time of lateral positioning will reduce the resistance of the abdominal muscles thereby reducing pressure on the diaphragm and relieve chest compressions. This will have an impact on the entry of more air into the lungs and increased oxygenation in improving the physiological function of the lungs. The results of this study are expected to become a new gold standard in the form of giving an intervention of 30° right and left lateral positioning, especially in patients using ventilators in the ICU."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Hutami Sundaur
"

Pneumonia pada anak sangat rentan terjadi terutama pada negara berkembang. Biasanya pada pneumonia tanda gejala yang muncul adalah terdapat sekret berlebih pada jalan napas, batuk, terdapat retraksi dada dan napas cuping. Mayoritas masalah keperawatan yang sering muncul anak dengan pneumonia yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas. Karya ilmiah itu bertujuan untuk melihat keefektifan pemberian intervensi keperawatan postural drainase pada anak dengan pneumonia. Hasil yang didapatkan anak pneumonia yang diberikan intervensi postural drainase efektif terhadap perubahan status pernapasan daripada anak yang tidak dilakukan intervensi keperawatan postural drainase. Salah satu indikasi status perubahan pada anak terdiri dari frekuensi napas dalam rentang normal (<40x/menit pada anak usia 1-5 tahun, dan <60x/menit pada anak usia <1 tahun), tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada napas cuping hidung, serta suara napas normal (vesikuler), selain status pernapasan hal yang dapat dilihat yaitu hasil rontgen toraks menunjukkan tidak ada infiltrasi pada lapang paru. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi terhadap tenaga kesehatan untuk menerapkan secara efektif pada lahan praktik rumah sakit untuk meningkatkan bersihan jalan napas pada anak dengan pneumonia.


Pneumonia in children is very vulnerable, especially in developing countries. Usually the symptom pneumonia that appears is there is hypersecretion in the airway, coughing, trouble breathing, there is chest retraction and nasal flaring. The most problem related with pneumonia is ineffective airway clearance. The scientific aimed to look the effectiveness of giving postural drainage intervention in children with pneumonia. It was found that pneumonia children who were given postural drainage intervention would be more effective than children who were only given inhalation and suction interventions without postural drainage. One of indicated is respiration status child with pneumonia with normal scale (<40 times per minutes in child 1 until 5 years old, and <60 times per minutes in child ages under 1 year), no chest retraction and nasal flaring, and breathing normally. Beside respiration status, the result of Rontgen thorax is no infiltrate in lungs area. The results of this scientific are expected to be used as information for health workers to apply effectively to the hospital practice area to streamline the airway clearance in children with pneumonia."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Anes Rimu
"Penyakit jantung bawaan dan abnormalitas jalan napas merupakan dua kondisi yang saling berkaitan dan dapat terjadi bersamaan. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan dapat berpengaruh pada tata laksana serta prognosis pasien. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan melihata data dari rekam medis pasien penyakit jantung bawaan di RSCM tahun 2020–2022. Data yang diambil ialah usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosis penyakit jantung bawaan, dan kondisi abnormalitas jalan napas. Data disajikan untuk melihat prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan. Dari 69 subjek pasien penyakit jantung bawaan yang memenuhi kriteria inklusi, 15 atau 21,7% diantaranya memiliki abnormalitas jalan napas. Jenis penyakit jantung bawaan yang paling banyak ditemukan ialah Tetralogy of Fallot sebanyak 27 (39,1%) kasus. Jenis abnormalitas jalan napas yang paling banyak ditemukan ialah Laringomalasia sebanyak 9 (13%) kasus. Oleh karena itu, prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan ialah sebesar 21,7%, dengan jenis abnormalitas jalan napas terbanyak ialah laringomalasia sebesar 13%. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan memerlukan perhatian khusus dalam penanganan pasien. 

Congenital heart disease and airway abnormalities are two related conditions that can occur together. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease can affect patient management and prognosis. The research was conducted retrospectively by looking at data from medical records of congenital heart disease patients at RSCM from 2020–2022. The data collected were age, gender, weight, diagnosis of congenital heart disease, and airway abnormality conditions. The data was presented to see the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease. From 69 subjects of congenital heart disease patients who met the inclusion criteria, 15 or 21.7% of them had airway abnormalities. The most commonly found type of congenital heart disease was Tetralogy of Fallot, with 27 (39.1%) cases. The most commonly found type of airway abnormality was Laryngomalacia, with 9 (13%) cases. Therefore, the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease is 21.7%, with the most common type of airway abnormality being Laryngomalacia at 13%. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease requires special attention in patient management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>