Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116787 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Icha Musywirah Hamka
"ABSTRAK
Jenis penelitian ini adalah etnografi yang berfokus pada aktivitas pemanfaatan ekosistem danau dan bentuk-bentuk kebijakan pengelolaan yang ditetapkan oleh pemerintah dan kelembagaan adat. Teknik pengumpulan data adalah studi pustaka, observasi partisipasi, dan wawancara mendalam. Lokasi penelitian meliputi empat wilayah kecamatan yang memiliki wilayah danau terluas yakni Kecamatan Tempe, Kecamatan Sabbang Paru, Kecamatan Tanasitolo Dan kecamatan Belawa. Informan adalah masyarakat sekitar danau, tokoh adat, serta kepala dan staf SKPD yang terkait dengan manajemen danau. Penelitian ini menemukan Danau Tempe menjadi sumber daya milik bersama (common property resources) karena dapat dimanfaatkan dan diakses secara bersama oleh semua orang tanpa batasan yang tegas. Bentuk kebijakan pengelolaan danau dirancang dan dibuat oleh pemerintah dan lembaga adat lokal. Bentuk kongkrit kebijakan pengelolaan danau, dijabarkan dalam peraturan daerah serta dalam bentuk system norma, upacara adat dan pamali-pamali, yang pengawasannya dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta masyarakat. Secara de yure, Danau tempe dikelola secara kolaborasi (collaborative management ) antara pemerintah dengan lembaga adat, namun secara de facto, fungsi manajemen kolaborasi tidak optimal sehingga Danau Tempe tampak seperti sumber daya yang bisa diakses oleh siapa saja, tanpa aturan ( open access )

ABSTRACT
This research is a ethnography type that focused to the activity of lake ecosystem and forms of management policies set by governments and traditional institutions. The data collection technique is literature, participant observation and deep interviews. Research Location covers four regions districts that had the largest lake district area of Tempe, District Sabbangparu, district Tanasitolo and district Belawa. Informants are people around the lake, traditional leaders and also the heads and staff SKPD who related to lake management. This study found that the lake Tempe as be a common property resources (common property resources) because it can be shared and utilized by all people without clear limits. Forms of lake management policy is designed and made by local government and traditional institutions. Concrete forms of lake management policy, spelled out in local legislation as well as in the form of system norms, ceremonies and taboos-taboos, the monitoring carried out by policy makers and the public. In de yure, Tempe Lake managed in collaboration between the government and indigenous institutions (collaborative management), but de facto, collaboration management functions are not optimal so Tempe lake looks like resources that can be accessed by anyone, without rules (open access) "
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999
398.212 ABD c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widodo Saptoputro Suparman
"Pada kegiatan eksploitasi dan produksi gas bumi yang dilakukan oleh Kontraktor Production Sharing (KPS Energy Equity EPIC (Sengkang) Pty. Ltd. disingkat EEES di Lapangan Gas Kampung Baru, Desa Poleonro, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan, gas yang dihasilkan dari sumur-sumur gas di Lapangan Kampung Baru, Blok Sengkang, Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya mempunyai kandungan gas Hidrogen Sulfida (H2S) cukup tinggi, yaitu berkisar antara 50-600 ppm.
Kehadiran senyawa belerang di dalam bahan bakar sangat tidak disenangi dalam pengelolaannya, karena semakin tinggi kandungan belerang akan menjadikan mutu bahan bakar semakin rendah. Di samping itu, senyawa belerang dapat merugikan makhluk hidup karena menghasilkan gas-gas yang bersifat racun seperti hidrogen sulfida (H2S) dan sulfur dioksida (SO2). Selain itu gas hydrogen sulfida sangat korosif pada permukaan logam. Dengan demikian akan menimbulkan problema yang serius dalam pemipaan dan peralatan-peralatan produksi lainnya. Karenanya sebagai pengguna bahan bakar gas, PLTG Sengkang mensyaratkan bahwa kandungan H2S yang terdapat dalam gas maksimal 10 ppm.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh EEES untuk menurunkan atau memisahkan senyawa belerang yang terkandung di dalam gas tersebut yaitu dengan memberikan campuran bahan kimia pada proses pentawaran (Sweetening Process).
Pemakaian bahan kimia tersebut sendiri dalam pelaksanaannya akan menghasilkan limbah cair maupun limbah padat dari bekas kemasannya. Selain itu, senyawa sulfida yang terdapat dalam bahan bakar (H2S) maupun yang terjadi akibat proses pembakaran (SO2) juga akan menghasilkan limbah gas yang dapat membahayakan lingkungan sekitarnya dimana kegiatan pemerosesan gas tersebut berada.
Pusat Pemrosesan Gas Alam (Central Processing Plant) Kampung Baru yang berada di Kecamatan Gilirang, Kabupaten Daerah Tingkat II Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan, dengan luas mencapai 147 km2, wilayah ini adalah 5,86% dan wilayah Kabupaten Wajo, atau 0,15% dari luas wilayah propinsi Sulawesi Selatan yang luasnya sekitar 100.500 km2. Kondisi tanah di sekitar lokasi penelitian cenderung tanah kapur, sebagian besar lahan merupakan sawah tanah hujan yang ditanami padi satu kali, dan sungai sering mengalami kekeringan dan bahkan sampai defisit air.
Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi (produced water) tersebut ditampung di suatu kolam dan di evaporasikan dengan bantuan sinar matahari, limbah cair domestik dibuang langsung ke sungai, sedangkan limbah gas di bakar melalui flare stack setinggi 30m.
Seat ini Pusat Pemerosesan Gas Alam (Central Processing Plant) Kampung Baru akan ditingkatkan kapasitas produksinya dari 27,5 menjadi 53 juta setara kaki kubik gas setiap hari, sesuai dengan meningkatnya laju permintaan bahan bakar gas untuk pembangkit listrik.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memilih cara yang efektif dalam mengelola lingkungan pada proses pengilangan gas alam yang bersifat asam pada pabrik pemrosesan gas alam di Lapangan Gas Bumi Kampung Baru, dan secara khusus untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan kimia dalam proses pengilangan gas alam yang bersifat asam tersebut terhadap kualitas lingkungan.
Diharapkan dari penelitian ini didapatkan hasil: (1) dengan berkurangnya pemakaian bahan kimia dalam proses pengilangan gas alam yang bersifat asam akan dapat mengurangi terjadinya limbah yang dihasilkan dari pabrik pemerosesan gas alam tersebut terhadap lingkungan sekitar, (2) dengan semakin berkurangnya bahan kimia yang digunakan, dari segi ekonomi akan mengurangi biaya produksi dan pengelolaan lingkungan.
Hipotesis kerja yang diajukan adalah (1) Penggunaan bahan kimia dalam pemerosesan gas alam yang bersifat asam dapat meningkatkan konsentrasi logam dalam produk gas alam maupun limbahnya, dan (2) Keberadaan Pabrik Pengilangan Gas Alam yang bersifat asam dapat mempengaruhi lingkungan perairan dan udara sekitarnya.
Penelitian dilakukan dengan metode Kuasi Eksperimental dan dilaksanakan dari bulan Juni 2001 sampai dengan Agustus 2002, dimana data yang digunakan adalah data primer dan sekunder dalam bentuk time series. Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas gas alam dari sumur gas, dan sebagai variabel tidak bebas adalah kualitas cairan terproduksi (produced liquid) yang diambil di pipa outlet dan kolam penampung limbah (Evaporation pond). Sebagai kontrol juga dilakukan pengambilan sampel air tanah/permukaan, tanah dan udara ambient dan lokasi sekitar. Data primer yang diperoleh dari pengukuran secara langsung di lapangan dan di laboratorium, serta data salt-under yang diperoleh dari penelitian sebelumnya, studi pustaka dan sebagainya, kemudian dianalisis secara deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian penulis berkesimpulan bahwa: (1) Penggunaan bahan kimia dalam proses pengilangan gas alam yang bersifat asam akan berpengaruh terhadap konsentrasi logam (ppm) yang terdapat dalam bahan kimia bekas (Cr, Cu), dan air buangan (As, Cr), serta menghasilkan limbah padat (sludge) yang bersifat reaktif dan korosif, (2) Bahan kimia meningkatkan konsentrasi logam (ug/m3) dalam gas alam tersebut (Ba, Zn, Cad Cu, Cr, Se); (3) Terjadinya limbah B3 dari padatan yang terperangkap pada Coalescing Filter yang dipasang di Patila Metering Station sebelum gas alam tersebut digunakan untuk bahan bakar turbin; (4) Terdapat kandungan logam berat yang cukup tinggi dalam air limbah di Iuar parameter yang tercantum dalam Kep.MNLH No.Kep-42/MNLH/10/96 maupun SK.Gub.Sulsel No.465/1995; (5) Kemungkinan terjadinya pencemaran tanah dan air tanah disekitar lokasi penelitian dengan melihat adanya kandungan hidrokarbon pada contoh tanah dan pemeriksaan kualitas air tanah yang memperlihatkan beberapa parameter sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan Peraturan Menteri No. 416/Menkes/Per.IX/1990; (6) Terjadinya pencemaran udara di sekitar lokasi, yaitu dengan melihat hasil pengukuran terhadap kandungan debu/partikulat sudah melampaui batas baku mutu menurut PP No. 41/1999, dan diperkirakan konsentrasi SO2 dari emisi gas maksimum adalah 2794,9 ug/m3, melampaui baku mutu menurut PP No. 41/1999 yang besarnya 900 ug/m3; (7) Terjadi pencemaran bau yaitu dengan mendengar pengaduan masyarakat sekitar mengenai adanya bau telur busuk; (8) Terjadinya peningkatan penyakit ISPA dan terdapatnya penyakit anemia dan penyakit kulit alergi pada masyarakat disekitar Pusat Pengilangan Gas Alam sejak beroperasinya pabrik tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas penulis menyarankan untuk: (1) mencari alternatif lain mengenai bahan kimia yang ramah lingkungan; (2) memperbaiki atau mengubah desain dari sistem pengolah limbah cair terproduksi dan desain sistem pengolah limbah cair domestik yang ada sekarang; (3) mengadakan kajian lebih lanjut mengenai Kep.MNLH No. Kep-42/MNLH/14/96 jo Kep-09/MNLH/4/97 mengenai Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi; (4) perlu dilakukan pemantauan dan pengelolaan atas debu (partikulat) dan emisi SO2 yang keluar dari flare stack, agar terjadinya pencemaran udara dari kegiatan pengilangan gas alam yang bersifat asam dapat diminimalisasikan; (5) melakukan pengelolaan lebih lanjut untuk filter bekas; dan (6) melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kegiatan Pengilangan Gas Alam terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

The Effect of Natural Gas Processing Refinery Activity on the Environment (Case study at Kampung Baru Central Processing Plant, Sengkang Block Gas Field, Wajo Regency, South Sulawesi)In the exploration and production of natural gas activities performed by Energy Equity Epic (Sengkang) Pty. Ltd, the Production Sharing Contractors of Badan Pelaksana MIGAS, abbreviated as Energy Equity Epic Sengkang (FEES), at Kampung Baru Gasfield, Poleonro Village, Gilireng District, Wajo Regency, the South Sulawesi Province, the natural gas produced by gas wells generally contain relatively high content of Hydrogen Sulfide (H2S), which is between 50-600 PPM.
The higher content of Sulfur in gasoline makes lower quality gas fuels. Beside, the Sulfur compound can bring damage to the living creatures as it produces poisonous gas such as Hydrogen Sulfide (H2S) and Sulfur Dioxide (SO2). Also the Hydrogen Sulfide is corrosive to metal surface. It can make serious problems to piping and other production equipment. Therefore, as the user of gas, Sengkang Gas Power Plant requires maximum 10 PPM of H2S in gas. One of the efforts conducted by EEES in reducing or filtering the Sulfur compound contained in gas is by giving chemical substance in sweetening process.
The chemical itself produce liquid and solid waste (from the packaging). The Sulfur compound contained in H2S and the one produced as the result of incineration (SO2) also produces waste harmful to the surrounding environment.
The Kampung Baru Central Processing Plant is located at Gilirang District, Regency of Wajo, South Sulawesi. The area is 147 km2, 5,86% of the total area of Wajo Regency, or 0.15% from 100,500 km2, the total area of South Sulawesi. The area is partly limestone and mostly is one time planted rice field, and the river is frequently dry.
The Liquid waste produced from production process is put into a pond and evaporated with sun energy, while domestic waste is channeled directly to the river. Gas liquid is incinerated through flare stack with high level of 30 in.
The production capacity of Kampung Baru Central Processing Plant is going up from 27.5 to 53 mmcf per day, following the increase of demand for gas supply for power plant.
This research is conducted to find out (1) the effective environmental management for gas processing in gas produced from the Kampung Baru gas field, in particular and (2) to find out the impact of chemical use in processing gas towards environment.
The expected results are (1) the decrease of sulfur level will reduce the use of chemical substance in gas processing which also will reduce the waste produced from the plant, (2) the less chemical substance used, the less cost for production and environmental management.
The proposed work hypothesis are (1) the use of chemicals in gas processing can increase metal concentrate contained in natural gas and the waste produced, and (2) The existence of acidic Gas Processing Plant can give impact to the surrounding waters and air.
The research was conducted with Experimental Kuasi method. It was conducted from June 2001 until September 2002, where the data used was primary and secondary data in a form of time series. The free variable in this research is the gas quality from gas field and the non-free variable is the quality of produced liquid taken from the outlet pipe and the evaporation pond. The sample was also taken from soil and air from the surrounding area. The primary data obtained from direct measuring at the field and in laboratories, and the secondary data obtained from the previous research, book research and etc, and then analyzed descriptively.
Based on the research, the writer conclude that the writer conclude that (1) the use of chemical gas processing will give impact to metal concentrate (ppm) contained in used chemical (Cr, Cu) and wasted water (As, Cr), sludge which is corrosive and reactive, (2) the chemical increase the metal concentrate (ug/m3) contained in gas (Ba, Zn, Cd, Cu, Cr, Se); (3) the solid matter stuck in coalescing filter installed at PMS before the gas is used for turbine fuel produces B3 waste. (4) There is relatively high contain of heavy metal in waste water exceeding the parameter stated in the Decree of Environmental Minister No. Kep-42/MNLH/14/96 and Decision Letter of the Governor of South Sulawesi No.465/1995; (5) the possibility of soil and ground water pollution in the surrounding research area because there is hydrocarbon content in the soil sample and the examination on ground water showed that some parameter had exceeded the quality standard stated in the Ministerial Regulation No.416/Menkes/Per.IX/1990; (6) pollution occurred in the surrounding area as resulted in the metering on particulate content which had exceeded the limit of quality standard according to the Government Regulation No.41/1999, and it is estimated that the SO2 concentrate from gas emission is 2794.9 ug/m3, exceeding the limit of quality standard according to the Government Regulation No.41/1999 which is 900 ug/m3; (7) an air pollution occurred which produces bad odor based on the report from surrounding residents; (8) There is an increase of ISPA disease, anemia and allergic skin problems suffered by community live in the Gas Processing Plant surrounding ever since the plant started its operation.
Based on the research and the conclusion above the writer suggests the following:
(1) to look for other alternative to use chemicals that are environmental friendly;
(2) to change the design of produced liquid and domestic waste processor system available at present; and
(3) to study further regarding Kep.MNLH No.Kep-42/MNLH/14/96 dated 9 October 1996 regarding the Quality Standard of Liquid Waste for Activities in Oil and Gas and Geothermal;
(4) it requires monitoring and management on particulate and gas emission as the result of flare stack, to minimize the air pollution produced from the gas processing plant; and
(5) to do more intensive a research on the impact of activities at Gas Processing Plant toward community health in the surrounding area."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktovianus Rusmin
"The environmental degradation was a major problem for people who living in the coastal area of Paojepe village. Some previous efforts to address this problem were not successful due to top-down approach and lack of community participation. Learning from the experience, a partnership between University of Indonesia, an NGO, and local community was established to address coastal abrasion by replanting mangrove. Local institutions such as kinship relations and patron-client relationship (Punggawa-Sawi) were functioned as capital in implementing the program. Awareness rising on coastal rehabilitation through local institutions can encourage people to undertake mangrove conservation."
2005
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Heintje Ndahawali
"Danau Tondano yang terletak di Kabupaten Minahasa merupakan salah satu sumber daya alam perairan yang sangat strategis dan penting bagi perkembangan perekonomian di Propinsi Sulawesi Utara. Hal ini dapat dilihat dari manfaatnya sebagai sumber bahan pangan (ikan), sumber air minum (PDAM Manado), pengairan sawah, kebun, keperluan rumah tangga penduduk sekitar danau, sumber air untuk industri, sumber energi PLTA, media transportasi dan pariwisata. Saat ini salah satu kegiatan masyarakat yang menonjol di sekitar Danau Tondano adalah memelihara ikan dalam budidaya jaring apung (BJA). Kegiatan tersebut berdampak positif karena dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pelaku usaha budidaya dan juga meningkatkan produksi perikanan di Kabupaten Minahasa. Selain berdampak positif, jika berkembang tanpa kendali kegiatan BJA yang kelewat intensif ini bisa menimbulkan dampak negatif karena kegiatan tersebut menghasilkan limbah organik (terutama pencemaran unsur nitrogen dan fosfor) yang besar akibat pemberian pakan yang tidak efisien sehingga sisa pakan dan kotoran ikan akan menumpuk di dasar perairan. Penumpukan limbah organik ini akan mencemari danau, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air seperti eceng gondok (Eiclzhornia crasssipes (Mart.) Solms), Hydrilla verticillata ((L.F.) Royle), Ceratophyllum demersum (L.) , dan lain-lain diikuti dengan terbentuknya gas-gas yang dapat menyebabkan kematian organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta diakhiri dengan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau.
Penelitian ini bertujuan: (a) membandingkan kualitas perairan pada wilayah yang ada kegiatan BJA dan yang tidak ada kegiatan BJA, (b) mengetahui kualitas dan tingkat kesuburan perairan Danau Tondano, (c) mengetahui jumlah limbah organik dan kegiatan budidaya ikan jaring apung dan. daya dukung serta daya tampung perairan Danau Tondano terhadap kegiatan tersebut, (d) mengetahui dampak pencemaran air terhadap ekosistem danau yang meliputi keberadaan dan fungsi Danau Tondano serta terhadap lingkungan dan kehidupan manusia yang memanfaatkannya.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: (a) kegiatan budidaya ikan jaring apung paling mempengaruhi kualitas dan tingkat kesuburan perairan Danau Tondano, (b) Apabila kegiatan BJA berlangsung terus tanpa terkendali maka akan berdampak terhadap keberadaan dan fungsi Danau Tondano serta bagi kehidupan manusia yang memanfaatkannya.
Penelitian dilaksanakan dengan metode survei dan ekspos fakto selama 1 bulan dari tanggal 11 Juni sampai 16 Juli 2001. Pengambilan sampel air dilakukan di empat stasiun pengamatan. Tiga stasiun di mana terdapat aktivitas BJA dan satu stasiun tidak terdapat kegiatan BJA. Stasiun-stasiun yang dimaksud adalah: Stasiun I di Desa Eris (2078 unit jaring apung), Stasiun II di Desa Kakas (350 unit jaring apung) , Stasiun III di Desa Remboken (40 unit jaring apung) dan Stasiun IV di Desa Tolour (tidak BJA). Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali meliputi: suhu, kecerahan, pH, DO, BOD, nitrat, nitrit, amoniak dan fosfat. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan membandingkannya dengan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kelas III (pembudidayaan ikan air tawar) dan pendapat para ahli.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk parameter kualitas air tertentu yaitu: BOD, NH3, NO3, dan P04 di stasiun I, II, dan III telah melewati ambang batas (daya tampung) yang dipersyaratkan dalam PP Nomor 82 tahun 2001 untuk kelas III dan menurut pendapat para ahli. Hal ini diduga disebabkan oleh limbah organik dari aktivitas BJA yang telah berlangsung dari tahun ke tahun. Stasiun IV (tidak ada kegiatan BJA) masih menunjukkan kualitas air yang lebih baik dibandingkan stasiun I, II, dan III. Selama tahun 1994-2000, jumlah rata-rata beban pencemar yang dihasilkan dari aktivitas BJA di Danau Tondano adalah sebanyak 2.951,5 ton limbah organik yang mengandung 138,8 ton nitrogen dan 29,004 ton fosfor.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan: (a) Perlu adanya peraturan daerah (PERDA) yang mengatur tentang zonasi (pewilayahan) perairan Danau Tondano untuk usaha budidaya ikan, penangkapan, reservat/perlindungan, dan zona penyangga berdasarkan pada fungsi, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kesesuaian ruang dengan mengacu pada UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan , UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, memperbaiki cara pemberian pakan dan jumlah pakan yakni 3% dari bobot ikan peliharaan per hari dan diberikan tiga kali sehari. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan, sehingga dapat mencegah pencemaran perairan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian pakan yang tepat untuk satu unit jaring apung dengan padat penebaran 1750 ekor ikan, berat awal total biomassa ikan 50 kg, dan masa pemeliharaan tiga bulan adalah 337,5 kg pakan, tidak seperti yang terjadi sekarang di mana selama masa pemeliharaan tersebut jumlah pakan yang dihabiskan rata-rata sebanyak 450 kg pakan/unit. Metode budidaya ini akan dapat terlaksana dengan baik jika disosialisasikan kepada para petani ikan melalui berbagai program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan, memperbaiki konstruksi BJA dan jarak antarunit jaring apung sebaiknya 10-30 m agar supaya reaerasi dapat berlangsung dengan baik di samping perlu dilakukan pengaturan musim tanam dan panen serta diversifikasi jenis ikan yang dipelihara (ikan gurami, ikan nila dan ikan patin), (d) Perlunya pengembangan teknologi BJA yang ramah iingkungan sebagai suatu teknologi yang efektif, efisien dengan produktivitas tinggi serta dampak negatifnya terhadap lingkungan perairan diupayakan seminimal mungkin. Teknologi yang dimaksud contohnya adalah satu petak keramba dengan 2 tingkat jaring (ganda), jaring pertama (lapisan atas) berukuran 5 x 5 x 3 m dengan ukuran mata jaring 1 atau 1,5 inci dipelihara ikan mas (Cyprinus carpio) dengan padat penebaran 50-105 kg/unit dan jaring kedua (di lapisan bawah) berukuran 7 x 7 x 4 m dengan ukuran mata jaring 0,5 atau 0,75 inci dipelihara ikan nila (Tylapia niloiica) dengan padat penebaran 18-50 kg/unit. Dengan rasio konversi pakan untuk ikan mas 1,3-1,68 dan ikan nila 0,5-0,9 dan masa pemeliharaan 2,5-3,5 bulan, diperoleh produksi ikan mas antara 944-1276 kg dan ikan nila 143-263 kg. Selanjutnya disarankan perlunya penelitian lanjutan tentang penggunaan jaring apung rangkap tiga yang mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik di mana bisa meningkatkan efisiensi pemberian pakan dan produksi ikan, (e) sebagai salah satu upaya untuk mengurangi populasi eceng gondok di Danau Tondano maka disarankan untuk melakukan studi tentang pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan makanan ternak, pemupukan, penghasil gas bio, penyerap limbah, dan bahan baku untuk pembuatan kertas, (f) perlu penelitian lanjutan tentang jumlah limbah organik dari aktivitas permukiman, pertanian, pariwisata dan lain-lain sehingga dapat diketahui kegiatan apa yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pencemaran di Danau Tondano. Dengan demikian dapat dilakukan tindakan penanggulangan menurut skala prioritas, dan (g) untuk pengelolaan Danau Tondano ke depan maka peneliti menyarankan agar dibentuknya semacam badan kaordinasi (pengelola) yang bertugas untuk mengintegrasikan semua kepentingan para stakeholder dengan konsep one lake, one plan, one management.

Tondano Lake located in Minahasa Regency is one of the strategic and important natural resource for the economic development in North Sulawesi Province. This is due to its multifunction such as sources of food stuff (fish), drinking water, water for industries, water for PLTA, transportation media and tourism object. One of the prominent community activities at Tondano lakeside is floating net fish culture (BJA). This activity provides positive impact on the increase of fishery production and increasing the fish farmer income in Minahasa. On the other side, this activity also creates negative impact on water quality since by the inefficiency of feed consumption by fish population, a lot of organic waste will pollute the water quality and as the results of fish metabolism which will accumulate on the lake's bed. This accumulation will deteriorate water quality of the lake from eutrophication that stimulates blooming of phytoplankton and water hyacinth such as Eichhornia crassipes ((Mart.) Solms), Hydrilla verticilata ((L.F.) Royle), Ceratophylum demersum (L.) followed by the emergency of poisonous gases that may kill aquatic organisms (especially cultured fishes) and finally ended by thickness of anaerobic layer in the water body.
The objectives of this research are: (a) to compare water quality in the area which has BJA activity and in the area which has no BJA activity, (b) to find out the water quality and the eutrophication level of Tondano Lake, (c) to find out the amount of organic waste produced by floating net fish culture and the carrying and absorbing capacity of Tondano Lake on this activity, (d) to find out the impact of deteriorated water on the lake ecosystem which include the existence and function of Tondano Lake for human life.
The hypotheses of this research were: (a) fish floating net culture most influence the quality and fertilization level of Tondano Lake, (b) the quality and fertilization level of water will influence the existence and function of Tondano Lake and for the human life.
Survey was conducted for one month from 11 June - 16 July 2001. Water samples were taken at four stations. Three of them were used for BJA activity and one station has no BJA activity. The stations were in Eris Village (2078 units of floating net), Kakas Village (350 units of floating net), Remboken Village (40 units of floating net) and Tolour Village. Sampling of water quality was conducted three times a day including: temperature, pH, dissolved oxygen, biological oxygen demand, carbon dioxide nitrate, nitrite, ammonia and phosphate then the obtained data were analyzed descriptively and compared with Government Regulation No. 82 of 2001 about Water Quality Management and Water Pollution Control for class III (freshwater fish culture).
It was concluded that water quality parameters such as BOD, NH3, NO3, and PO4 in station I, station II and station III have exceeded the threshold level as required by Government Regulation No. 82 of 2001 (class III) and according to the experts opinion. Station IV showed better water quality than station I, station II and station III. Since 1994-2000, the average amount of organic waste produced by B.IA in each year was of 2.951,5 tons that content 138, 8 tons of nitrogen and 29,004 tons of phosphor.
Based on these results, it was suggested that: (a) Regional regulation (PERDA) is needed to regulate the zoning of fish culture activity, fish catching, reservation and buffer zone based on the function, carrying capacity, absorbing capacity of living environment and space conformity according to Act No. 9 of 1985 about Fishery, Act No. 24 of 1992 about Spatial Management, Act No. 23 of 1997 about Management of Living Environment, and Government Regulation No. 82 of 2001 about Water Quality Management and Water Pollution Control, (b) improving of fish feeding accordance efficiently up to 3% of fish weight and feeding is done three times in a day. According to the method, the requirement of fish food (pellet) to culture 1.750 of fish seeds which have initial weight 50 kg and culture time 3 months was 337,5 kg of pellet, (c) improving of KJA construction and the distance between each unit must be 10-30 m so that aeration take place continuously, arrange the harvest time and diversification of fish culture (i.e. gurami, nila and Patin fishes), (d) it is needed to develop BJA with an environmental friendly attitude namely by double floating net technique to minimize food waste into water. This technique has been tested to gold fish (Cyprinus carpio) and nila fish (lyalapia nilotica) and showed satisfied result. Furthermore it is suggested that three layers of nets may provide and increase efficiency in this net fish culture, balancing fish production and fish feeding pellets, (e) as an effort to minimize the water hyacinth population in Tondano Lake, it is suggested to make research the utilization of eceng gondok as livestock food, fertilizer, biogases producer and waste absorbing, (f) further study is needed the extend of organic waste produced by agriculture, settlement, tourism and other activities at Tondano Lake so that water pollution control can be carried out according to its priority scale, and (g) it is suggested to form a management coordination board of Tondano Lake that function to integrate all the interests of the stakeholder based on the concept of one lake, one plan, and one management.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T5211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joice Evelyn Ariesabeth
"Wilayah pesisir merupakan salah satu bagian dari sumberdaya alam yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Kegiatan pembangunan di wilayah tersebut secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak merugikan. Ekosistem mangrove yang termasuk dalam wilayah pesisir dan pertambangan emas yang menggunakan merkuri sebagai salah satu aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup manusia adalah komponen lingkungan yang menjadi topik utama penelitan ini.
Pertambangan emas di Sulawesi Utara beberapa tahun terakhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu daerah yang menjadi pusat kegiatan penambangan tersebut adalah Kecamatan Ratatotok, di mana terdapat penambang emas berskala besar dan kecil, yaitu PT. Newmont Minahasa Raya dan penambang tradisional tanpa izin. Penambangan emas yang dilakukan oleh penduduk setempat masih menggunakan cara tradisional. Merkuri digunakan pada proses ekstraksi emas dan sisa pengolahan yang tidak terpakai lagi langsung dibuang ke Sungai Totok yang bermuara di Teluk Totok. Ekosistem pesisir, khususnya ekosistem mangrove dan pertambangan emas berskala kecil merupakan dua hal penting bagi penduduk yang berada di Kecamatan Ratatotok. Oleh karena itu, perlu diperhatikan keseimbangan keduanya agar tidak merugikan penduduk setempat, salah satunya mengembangkan penelitian yang menunjang, mengenai kemampuan absorpsi atau penyerapan logam berat khususnya merkuri pada ekosistem mangrove. Adapun lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah peran ekosistem mangrove dalam mengabsorpsi logam berat merkuri yang akan memasuki perairan laut. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menganalisis konsentrasi merkuri pada air, sedimen, tumbuhan (akar dan daun) dan biota yang berada di ekosistem mangrove; 2) Mengetahui peran ekosistem mangrove dalam menyerap merkuri, terutama dalam hubungannya dengan sungai dan laut (khususnya pada air dan sedimen di ketiga lokasi). Bagian dari tumbuhan yang dijadikan sampel pada ekosistem mangrove adalah akar dan daun dari Rhizophora sp. dan Avicennia sp., dan biota (bivalvia: Polymesoda coaxans dan gastropoda: Telescopium mauritsi, T. telescoplum, Terebralia palustris) yang berasosiasi dan berada di sekitar tumbuhan tersebut. Data primer didapat dari analisis kandungan merkuri Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) tanpa nyala, sedangkan data yang dihasilkan dari analisis laboratorium akan dianalisis secara statistik menggunakan Uji Kruskal-Wallis dan Man-Whitney Test.
Pada ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur, konsentrasi merkuri berturut-turut yang paling tinggi hingga yang paling rendah adalah biota, daun, sedimen, akar, air. Adapun kisaran konsentrasinya adalah sebagai berikut: biota (0,149-1,913 mg/kg), daun (0,086-0,121 mg/kg), sedimen (0,014-1,699 mg/kg) dan akar (0,008-0,018 mg/kg). Sedangkan dalam hubungannya dengan sungai dan laut (Sungai Totok dan Teluk Totok), ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur tidak berperan dalam menyerap merkuri (khususnya pada air dan sedimen di ketiga lokasi). Konsentrasi merkuri pada sedimen berturut-turut dari yang tertinggi hingga terendah adalah di laut/Teluk Totok (1,147-19,549 mg/kg); di Sungai Totok (0,119-9,249 mg/kg); dan di ekosistem mangrove ((0,014-1,699 mg/kg). Sedangkan air, yang tertinggi ekosistem mangrove (1 μg/L), Sungai Totok (kurang dari 1-1 μg/L) dan Laut/Teluk Totok kurang dari 1 μg/L.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa biota merupakan komponen pada ekosistem mangrove yang menyerap atau mengabsorpsi merkuri paling banyak, diikuti oleh daun, sedimen, akar dan air. Merkuri yang terdapat pada ekosistem mangrove masuk melalui pasang surut air laut serta melalui deposisi dari atmosfer. Maka, ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur tidak berperan dalam menyerap atau mengabsorpsi merkuri, karena masukan merkuri yang berasal dari sungai tidak secara langsung masuk ke dalam ekosistem mangrove melainkan terus ke laut.
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, maka dapat diberikan beberapa saran untuk dijadikan pertimbangan yaitu: perlunya penelitian lanjutan untuk melihat dampak merkuri dalam jaringan, baik pada tumbuhan mangrove maupun pada biota lain. Selain itu, bagi masyarakat yang berada di lokasi penelitian agar mendapatkan informasi yang cukup mengenai merkuri dan bahayanya dalam kehidupan sehari-hari.

Coastal regions are among the natural resources most vulnerable to the effect of human activities. Development activities in a coastal region will directly or indirectly affect the environment in a harmful way. The mangrove ecosystem of the coastal area and gold mining utilizing mercury - a means of livelihood for the population - are the environmental components focused in this research.
Gold mining in North Sulawesi has developed rapidly in the past few years. Ne of the areas that became the centre for the mining activities is located in Ratatotok Sub regency, where PT. Newmont Minahasa Raya and illegal traditional miners conduct large and small-scale mining operations. Mining by the local population is still performed through traditional means. Mercury is used at the extraction process and the unneeded waste directly disposed into the Totok River, which flows to the Totok Bay. The coastal ecosystem, in particular the mangrove ecosystem and small-scale gold mining are two essential factors for the Ratatotok population. Consequently, consideration must be given o the proper balance between these two factors to prevent damage to the local population, one of which is by conducting a research to determine the ability of the mangrove ecosystem to absorb heavy metals, in particular mercury. The location chosen for this research is the mangrove ecosystem at the East Ratatotok village, Ratatotok Subregency, South Minahasa Regency, North Sulawesi.
The main problem addressed in this research I the functional extent the mangrove in absorbing mercury heavy metals flowing to the sea. This research aims to: 1) Analyze the concentration of mercury in the water, sediments, plants (roots and leaves) and biota found in the mangrove ecosystem; 2) To determine the function of the mercury in the function of the mangrove ecosystem in absorbing mercury, mainly relating to the river and sea (in particular in the water and sediment at the three locations). Parts of the plants taken as sample from the mangrove ecosystem are the roots and leaves of Rhizophora mucronata and Avicennia marina, while biota associated and found around the surrounding plants are bivalvia: Polymesoda coaxans and gastropoda: Telescopium mauritsi, T. telescopium, Terebralia pallustris. Primary data are obtained from the mercury concentration analysis using nameless Atomic Absorption Spectrophotometer (SSA), while laboratory analysis values will be statistically analyzed using the Kruskal-Wallis and Man-Whitney Test.
At the East Ratatotok mangrove ecosystem, the highest to the lowest levels of concentration of mercury are respectively biota, leave, sediment, roots, water. The range of concentration is as follows: biota (0,149-1,913 mg/kg), leaves (0,086-0,121 mg/kg), sediment (0,014.1,699 mg/kg) and roots (0,008-0,018 mg/kg). While in connection with mercury concentrations of the river and sea (Totok River and Totok Bay), the mangrove ecosystem in East Ratatotok village in East Ratatotok village has no function in absorbing mercury (specifically in water and sediment at the three locations). Mercury concentrations found in sediment by order of high to low levels: Totok Bay (1,147-19,549 mg/kg), Totok River (0,119-9,249 mg/kg) and mangrove ecosystem ((0,014-1,699 mg/kg). While mercury concentrations in water are: mangrove ecosystem (1 μg/L), Totok River (less than 1-1 μg/L) and Teluk Totok (less than 1 μg/L).
Based on the research result, biota is the component in the mangrove ecosystem with the highest mercury absorption ability, followed by leaves, sediment, roots and water. The mercury found in the mangrove ecosystem entered trough the tidal waters of the sea, and through deposits from the atmosphere. Hence the mangrove ecosystem in East Ratatotok village does not function in the absorption of mercury problem of the area, as the source of mercury from the river does not directly enter the mangrove ecosystem, but flows directly to the sea.
Based on the research findings, several suggestions can be forwarded for consideration, which are: a further research is required to study the effects of mercury in tissues, in the mangrove plants as well as in other biota. In addition, adequate information should be made available to the population living in the research area, so that they obtain knowledge on mercury and its hazards to daily life.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Antomi
"Danau merupakan tempat bermuaranya segala jenis pencemaran.Penelitian ini menghitung dan mensimulasikan perkembangan nilai ekonomi dari setiap tipe penggunaan lahan, tingkat pencemaran serta menganalisis tingkat kerentanan sosial ekonomi masyarakat nagari.Studi ini mengungkapkan bahwa dari tipe penggunaan lahan yang memperlihatkan perkembangan ekonomi dan tingkat kerusakan yang tinggi adalah penggunaan lahan KJA. Pertumbuhan ekonomi KJA tahun 2014 mencapai 1,5 trilyun rupiah, sedangkan kondisi IMLP perairan danau tahun 2014 adalah 60,37 yang berarti Danau Maninjau dalam kondis tercemar sedang. Dilihat dari tingkat kerentanan sosial ekonomi masyarakat nagari yang ada di KDM ditemukan bahwa nagari yang termasuk rentan yaitu Nagari Tanjung sani, Nagari Sungai Batang, Nagari Bayur, Nagari Koto Malintang dan Nagari Maninjau. Alternatif kebijakan mitigasi dengan menggunakan analisis hierarki proses diajukan prioritas kebijakan mitigasi ekosistem danau maninjau berkelanjutan pada kawasan rentan yaitu mengembangkan pertanian lahan kering, menerapkan pertanian pada lahan basah, penguatan hukum adat dan nilai-nilai tradisi, membuat pakan organik yang ramah lingkungan, mengembangakan ekonomi kreatif.

The lake is place boils down all kinds of pollution. This study calculate and simulate the development of economic value from each type land use, the level of pollution and to analyze the vulnerability of socioeconomic villages. This study revealed that from types of land use that demonstrate the economic development and a high level of damage is land use Floating Net Cages (FNC). FNC economic growth in 2014 reached 1.5 trillion IDR, while the condition of Water Qualityindex(WQI) of the lake in 2014 was 64,56, which means Maninjau Lake in polluted conditions being. Judging from the level of social and economic vulnerability village communities that exist in the lake area maninjau found sub-districts that are prone namely Tanjung sani, Sungai Batang, Bayur, Koto Malintang and Maninjau. Alternative mitigation policies by using analytical hierarchy process proposed priority mitigation policies lake ecosystems maninjau sustainable in areas vulnerable are developing dryland agriculture, agricultural implement on wetlands, strengthening of customary law and traditional values, making organic feed environmentally friendly, develop the creative economy."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suraidah Hading
"Studi ini bertolak dari anggapan bahwa keluarga merupakan agen sosialisasi nilai-nilai gender yang diwujudkan dalam pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan anak yang diterapkan dalam suatu etnis ditentukan oleh budaya dalam etnis itu dan telah membawa dampak yang tidak selalu positif pada anak-anak yang dibesarkan di dalamnya.
Studi ini bermaksud menyibak tabir yang menyelimuti pola pengasuhan anak perempuan. Dalam masyarakat yang menjunjung budaya siri' pendekatan kualitatif berperspektif perempuan digunakan untuk memahami permasalahan budaya itu. Maka, teori belajar sosial, dan pandangan feministik digunakan untuk dapat menjelaskan nilai-nilai budaya yang terwujud dalam pengasuhan anak. Hasil studi menunjukkan bahwa pola pengasuhan anak dalam budaya siri', Etnis Bugis Wajo, dipengaruhi oleh budaya patriarki. Hal itu telah melahirkan ketidakadilan gender terhadap anak perempuan yang berwujud marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban ganda.
Secara khusus, penelitian ini menunjukkan dua hal. Pertama, para perempuan yang patuh pada budaya siri', dilihat dari sisi budaya, dianggap pantas, tetapi dirugikan karena hak-haknya terpasung. Kedua, perempuan yang memberontak pada budaya siri' dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya, tetapi memperoleh keuntungan, karena mampu menentukan kehidupannya sendiri.

Bugisnese Women in Siri’ Culture : A Study on Child Rearing and Its Impact on Wajo Bugisnese Women in South Sulawesi Province. The study is based on the assumption that family is a significant agent to socialize gender norms through child rearing practices. The child rearing practiced in an ethnicity is influenced by the culture held by the community, and the practices may not always bring positive effect to the children grow in the culture.
The study aims to discover the closed curtain covering rearing practices to girl child. In a society glorifies Sir/ culture, a qualitative-feministic approach of research needs to be used for that purpose. The study uses social learning theories and feministic ideas in comprehending how the culture and socialization practices might implant stereotypical self-concepts of women. Strong with patriarchal norms, the Siri culture maintains gender inequality to women - manifested in marginalization, subordination, stereotypes, multiple burdens and violence.
Specifically, the study points to two situations. Firstly, women who were submissive to the culture are seen culturally as those who were 'decent'. But actually they were shackled, their rights were denied. Secondly, women who resisted the culture were seen as 'indecent'. Yet, or however, they gained benefits, since they have their own selves. They were able to take stand and decide for her own lives.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T2313
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi Hamdat
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai rumah tangga sebagai unit produksi dengan mengetengahkan kasus usaha pertenunan tradisional (gedongan) di Kabupaten Wajo. Usaha pertenunan gedongan. di Kabupaten Wajo adalah merupakan usaha rumah tangga yang dikelola secara tradisional. Kegiatan menenun ini umumnya dilakukan oleh kaum wanita, dan mereka adalah penenun secara turun-temurun. Unit usaha dikelola dalam rumah tangga sehingga hal ini sangat berperan dalam proses sosialisasi dan alih keterampilan bagi anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Dalam pengertian bahwa rumah tangga penenun'tidak hanya berfungsi sosial tetapi jugs membawakan, fungsi ekonomi. Penenun-penenun tradisional di Wajo sejak dins telah membiasakan anak-anak mereka mengenal peralatan tenun yang digunakan, untuk selanjutnya memahami kegunaan dari tiap-tiap peralatan tersebut. Kebiasaan ini pada akhirnya akan mendorong anak-anak turut berpartisipasi dalam kegiatan bertenun.
Kemampuan bertahan usaha rumah tangga tenun gedongan di Kabupaten Wajo turut ditentukan oleh organisasi sosial seperti kekerabatan dan hubungan-hubungan patron-klien.Dalam usaha ini telah terbentuk hubungan kerja antar kerabat yang memiliki arti ekonomi dan relevansi penting bagi bertahannya usaha rumah tangga tersebut.
Hubungan patron-klien yang dikenal dalam masyarakat Wajo sebagai hubungan Ponggawa-sawi, di mana posisi seorang Ponggawa dimungkinkan karena ia memiliki kekuatan .ekonomi dan bertindak sebagai pemodal bagi sejumlah sawi. Dengan demikian bagi sejumlah penenun yang kekurangan modal usaha, maka menjalin hubungan kerja dengan seorang patron merupakan salah satu alternatif pilihan."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Zainal Abidin Farid
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
D1067
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>