Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134250 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rekho Adriadi
"ABSTRAK
Penelitian ini ingin mengetahui hubungan pemekaran daerah dengan munculnya Murman Effendi sebagai “bos lokal” di kabupaten Seluma, serta dampaknya terhadap praktek pemerintahan di kabupaten Seluma. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan wawancara mendalam dan studi dokumen. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori “bossisme lokal”.
Pemekaran daerah merupakan bentuk dari keganjilan struktur lembaga negara. Di Indonesia pemekaran daerah merupakan suatu fenomena yang muncul pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru, melalui desentralisasi dan otonomi daerah terbuka peluang bagi daerah untuk membentuk daerah otonomi baru. Terbukanya peluang bagi daerah untuk membentuk daerah otonomi baru dimanfaatkan oleh elite-elite politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat lokal. Elite lokal inilah yang kemudian menjadi bos-bos lokal di daerah pemekaran. Melalui desentralisasi dan otonomi daerah para bos lokal mempunyai kekuasaan untuk mendominasi seluruh sektor politik, sosial, ekonomi dan budaya di daerah. Kabupaten Seluma yang merupakan sebuah kabupaten baru masih dalam tahap perkembangan baik fisik maupun sumber daya manusia, peranan Murman Effendi sebagai bos lokal sangat sentral.
Dampak dari bossisme lokal di Seluma yaitu tidak terwujudnya pemerintahan yang baik, ketiadaan lembaga yang kuat seperti legislatif dan civil society sebagai penyeimbang dari kekuasaan eksekutif membuat Murman Effendi menjadi bos lokal di kabupaten Seluma. Murman Effendi sebagai bos lokal mendominasi kekuasaan di kabupaten Seluma. Implikasi teori menunjukkan bahwa Murman Effendi merupakan “bos lokal” yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru, namun Murman Effendi tidak menggunakan intimidasi dan kekerasan dalam menjadi ”bos lokal”.

ABSTRACT
This research aims to know the relation between regional expansions with the emergence of Murman Effendi as “local boss” in Seluma regency and also to know the impact to the governance practices in Seluma regency. Researcher used qualitative method with an interview approach deeply and document study. The theory which was used in this research was local bossism theory.
Regional expansion is a manifestation of national institution structure peculiarity. In Indonesia regional expansion is a phenomenon which is arise after the collapse of new order governance, through decentralization and regional autonomy. The opportunity for a regional to form a new regional autonomy has been used by local political elites in order to gain power in local level. These local elitesare the ones which become local bosses in regional expansion. Through decentralization and regional autonomy, local bosses have power to dominate every sector such as politics, social, economy and culture in regional. Seluma regency is new regency which is still in development stage both physics and human resources, the role of Murman Effendi as local boss is important.
The impact of local bossism in Seluma was that there was no realization of good governance, there were no strong institutions such as legislative and civil society as the balancer from executive power which causes Murman Effendi became local boss in Seluma regency. Murman Effendi as a local bos dominated power in Seluma regency. The theory implication shows that Murman Effendi was a local boss which arised after the collapse of new order but Murman Effendi did not use intimidation and violence."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Abdullah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kontestasi elit lokal dalam konflik pembentukan Kabupaten Mamasa dalam kerangka pemikiran Pierre Bourdieu tentang habitus, modal dan ranah (field). Dengan menggunakan metode kualitatif melalui studi kasus, penelitian ini mengkaji perpecahan internal elit Mandar dalam merespon kebijakan pemekaran daerah melalui penetapan Undang-Undang nomor 11 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Mamasa, yang berimplikasi terhadap lahirnya konflik horozontal pada masyarakat Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM) di Kabupaten Mamasa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa para elit Mandar terpolarisasi ke dalam dua habitus kelompok politik, yaitu kelompok pro pemekaran dan kontra pemekaran. Habitus politik kelompok pro pembentukan Kabupaten Mamasa dilatari oleh kekuasaan atau kemandirian dalam mengelola pembangunan dan kesejahteraan di daerahnya. Sedangkan habitus politik kontra pemekaran Kabupaten Mamasa dilatari oleh upaya mempertahankan relasi etnisitas, keagamaan, dan pengalaman kesejarahan dengan penduduk Mandar. Kedua kelompok politik tersebut memaksimalkan kekuatan modal, baik sosial, ekonomi, budaya maupun simbolik, untuk bertarung memenangkan arena kontestasi pemekaran daerah. Akhirnya, melalui habitus dan kekuatan modal yang dominan, para elit politik pro pemekaran Mamasa berhasil memenangkan kontestasi dengan mempertahankan dan menyukseskan implementasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2002.

ABSTRACT
This thesis examines the contestation between local political elites over the establishment of the Mamasa Regency, through Pierre Bourdieu?s concepts of habitus, capital and field. Using a qualitative method with a case study approach, this research examines the internal schism among the elites of the Mandar ethnic group in responding to the regional expansion policy through the issuance of Law No. 11/2002 on the Establishment of the Mamasa Regency, which triggers a horizontal conflict in the Aralle, Tabulahan and Mambi (ATM) people in Mamasa regency. This research concludes that the elites of the Mandar ethnic group are polarized into two groups with differing political habitus, which respectively supports and opposes the regional expansion. The habitus of the group supporting the expansion is the seeking of ways to gain the power or independence to manage the region?s infrastructure and people development, whereas the habitus of group opposing the regional expansion is the seeking of ways to maintain ethnic relations as well as preserve religious and historical experiences with the Mandar people. Both political groups utilized various capitals (social, economic, cultural and symbolic) to achieve their respective goals in the arena of political contestation. Ultimately, through powerful habitus and dominant capitals, the pro-regional expansion group succeeded in maintaining the regional expansion and implemented the Law No. 11/2002 on the Establishment of the Mamasa Regency."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Rahmadansyah
"ABSTRAK
Penelitian ini memfokuskan perhatian proses pemekaran dan pelaksanaan pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Bengkulu Tengah. Penelitian ini juga mengkaji tata cara pengusulan pembentukan daerah otonom baru ditinjau dari perspektif ketahanan daerah.
Untuk menjawab permasalahan penelitian, penelitian ini mengkaji tentang proses pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah menjadi daerah otonom baru dalam perspektif Ketahanan Daerah dan juga mengkaji proses pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang pertama di Kabupaten Bengkulu Tengah serta menganalisis pemekaran Kabupaten Bengkulu Tengah menjadi daerah otonom baru ditinjau dari indikator-indikator Ketahanan Nasional (ipoleksosbudhankam).
Jenis Penelitian yang digunakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriftif. Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah Pemerintahan Daerah Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah dan Komisi Pemilihan Umum Bengkulu Tengah. Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel menggunakan sampel bertujuan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara, sumber tertulis dan data statistik. Selanjutnya data dianalisa melakukan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemekaran di Kabupaten Bengkulu Tengah telah melalui proses-proses yang telah diatur melalu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000, serta tidak ada konflik-konflik yang berarti yang melibatkan pihak-pihak yang menerima maupun yang menolak pemekaran tersebut. Proses Pemilihan Umum di Kabupaten Bengkulu Tengah berjalan dengan aman, adapun perselisahan akibat Pemilihan tersebut dilaksanakan melalui aturan-aturan yang berlaku yang melibatkan lembaga peradilan yang telah diamanatkan oleh Undang-undang. Adapun dari indikator-indikator ketahanan nasional menyimpulkan juga bahwa pemekaran di Kabupaten Bengkulu Tengah layak untuk dimekarkan walaupun ada beberapa catatan-catatan.
Dari hasil kesimpulan tersebut mengisyaratkan bahwa proses pemekaran di Kabupaten Bengkulu Tengah telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemda harus bekerja keras membangun sarana dan prasarana demi kesejahteraan masyarakat. Dengan terpilih pimpinan daerah yang pertama diharapkan bisa mengakomodir semua kepentingan masyarakat pada umumnya. Juga Pemerintah daerah dapat meningkatkan kinerja penyelenggarakan pemerintahan daerahnya yang berbasis masyarakat.

ABSTRACT
This study focused expansion process and the general election of Regional Head and Deputy Head of Region Central Bengkulu. This study also examines the establishment of procedures for the nomination of new autonomous regions in terms of regional security perspective.
To answer problems research, this study examines the process of formation of Bengkulu Central to the new autonomous region in the Regional Resilience perspective and also reviews the general election of Regional Head and Deputy Head of the first in Central Bengkulu and Bengkulu Central analyze expansion into new autonomous indicators in terms of National Defense (ipoleksosbudhankam).
The study used a type used in this study is a type of descriptive research by providing a picture or description of the situation as clearly as possible without any treatment of the research object. The unit of analysis in this study is the North Bengkulu Regional Government, Local Government and the Central Bengkulu Bengkulu Central Election Commission. In this study using a sampling technique aims samples. Collecting data in this study using observation, interviews, written sources and statistical data. Furthermore, the data analyzed do data reduction, data display and conclusion.
The results showed that the process of expansion in Central Bengkulu have gone through the processes that have been regulated through Law No. 22 of 2004 and Government Regulation No. 129 of 2000, and no significant conflicts involving parties who receive or reject the division. Election Process Regional Head and Deputy Head of Region Central Bengkulu run safely, while the election result conflik implemented through rules that apply involving the judiciary which has been mandated by the Act. The resilience of national indicators also concluded that the expansion in Central Bengkulu worth bloomed although there are some records.
The conclusion of the results suggests that the process of expansion in Central Bengkulu been run in accordance with the legislation in force. Local governments must work hard to build infrastructure and facilities for the welfare of society. With the first elected regional leaders are expected to accommodate all the interests of society at large. Local governments can also improve the performance-based arrangements for local government community."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Triana
"Pelaksanaan terkait inspeksi kesehatan lingkungan sarana air minum merupakan kegiatan pengawasan yang dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi. Kurangnya data dan informasi yang didapatkan, mempengaruhi belum tercapainya cakupan akses air minum layak. Adapun evaluasi terkait dengan pelaksanaan inspeksi kesehatan lingkungan sarana air minum bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaannya ditingkat Puskesmas Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh puskesmas di Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu yakni sebanyak 42 puskesmas. Sampel dalam penelitian ini adalah 30 puskesmas (sampel minimal) yang dipilih secara acak sederhana atau simple random sampling (SRS) di Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu. Analisis data menggunakan analisis statistik dan uji kurva ROC. Komponen yang di teliti diperoleh hasil bahwa struktur manajemen surveilans pelaksanaan inspeksi kesehatan lingkungan yaitu legal aspek dan pelaksanaan surveilans masih kurang baik. Adapun fungsi dasar pelaksanaan inspeksi kesehatan lingkungan yaitu konfirmasi dan interprestasi masih kurang baik. Selain itu, fungsi pendukung pelaksanaan inspeksi kesehatan lingkungan diantaranya pedoman, pelatihan, sistem komunikasi, sarana dan prasarana kurang baik. Sedangkan pada mutu surveilans pelaksanaan inspeksi kesehatan lingkungan yang terdiri dari kualitas data, kesederhanaan, juga masih kurang baik. Berdasarkan uji sensitivitas-spesifisitas diantara tingkat risiko inspeksi kesehatan lingkungan pada sarana air minum terhadap kejadian diare tidak menunjukan hasil yang signifikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan dukungan dan kerjasama dari semua pihak terkait, baik pemerintah pusat dan daerah, dinas kesehatan maupun puskesmas untuk mencapai tujuan pelaksanaan kegiatan inspeksi kesehatan lingkungan di bidang kesehatan lingkungan menjadi lebih baik.

Implementation of environmental health inspection of drinking water is a surveillance activity conducted to obtain data and information. Lack of data and information obtained, affecting the unprecedented coverage of drinking water access. The evaluation is related to the implementation of environmental health inspection of drinking water aims to know the description of the implementation of primary healthcare in Seluma and Bengkulu. This type of research is descriptive research using the Cross Sectional design. The population in this study is the entire primary healthcare in Seluma and Bengkulu in the city of 42 primary healthcare. The samples in this study were 30 primary healthcare (minimal sample) which were chosen at random simple or simple random sampling (SRS) in Seluma District and Bengkulu City. Analyze data using statistical analysis and ROC curve testing. Components that are carefully obtained the results that the management structure of the implementation of environmental health inspection is legal aspects and implementation of surveillance is still lacking good. The basic function of environmental health inspection is that confirmation and inner achievement is still less good. Besides, the function of supporting the implementation of environmental health inspection includes guidelines, training, communication systems, facilities, and infrastructure is not good. While in the quality surveillance of the implementation of Environmental health inspection consisting of data quality, simplicity, is also still less good. Based on the sensitivity-specificity test among the risk level of environmental health inspection in drinking water to the incidence of diarrhea does not show significant results. Therefore, the support and cooperation of all stakeholders, both central and local governments, public health agencies, and primary healthcare to achieve the objectives of environmental health inspection activities in the field of environmental health is better."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zamzori
"Perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang dengan cepat, tahun 2002 tercatat 4,12 juta ha, dan sekitar 30% dari luas tersebut adalah perkebunan rakyat (smallholder). Peningkatan efisiensi dan nilai tarnbah perkebunan, rakyat diperlukan agar minyak sawit Indonesia lebih kompetitif di pasaran dan pendapatan petani meningkat. Makin luas kebun kelapa sawit makin banyak limbah dihasilkan, baik limbah kebun ataupun limbah dari pabrik minyak sawit. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah tersebut berpotensi mencemari Iingkungan. Limbah dari kebun (gulma, daun dan pelepah sawit) serta limbah dari pabrik (lumpur, serat dan tandan kosong sawit) dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sapi atau sebagai bahan kompos. Dengan pemanfaatan limbah tersebut maka pendapatan petani akan meningkat dan potensi pencemaran lingkungan akan menurun.
Sebagian besar (99%) produksi ternak Indonesia berasal dari peternakan rakyat. Perkebunan kelapa sawit dapat mendukung peternakan rakyat, yaitu sebagai penyedia pakan yang berasal dari limbah kebun danlatau pabrik minyak sawit. Ternak dapat memanfaatkan gulma yang ada di kebun kelapa sawit sehingga mengurangi penggunaan herbisida dan biaya pengendalian gulma. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang atau bahan pengomposan bersama limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit sehingga meningkatkan penggunaan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Dengan pemanfaatan gulma dan kompos, biaya dan potensi pencemaran dari herbisida dan pupuk anorganik menjadi Iebih rendah.
Kecamatan Talo adalah salah satu pusat pengembangan peternakan di Kabupaten Seluma, Bengkulu; tahun 2001 tercatat 2.400 ekor ternak sapi. Di kecamatan ini terdapat perkebunan dan pabrik kelapa sawit milik negara, serta dukungan sistem kemitraan dan bibit subsidi sehingga berkembang perkebunan
kelapa sawit rakyat; tahun 2001 tercatat 1.033 ha. Di tingkat petani, berkembang kepemilikan kebun kelapa sawit dan ternak sapi oleh petani yang sama, yang dalam tulisan ini disebut petani integrasi.
Sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-peternakan sapi pada petani di Kecamatan Talo, belum diketahui pola/bentuk integrasi yang diterapkan, keuntungan dari sisi ekonomi dan ekologi, serta perbandingan kualitas kompos dari bahan campuran limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit dan kotoran temak sapi dengan kompos buatan petani.
Hipotesis yang diajukan adalah: 1) Dari sisi ekonomi, penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-peternakan sapi pada petani di Kecamatan Talo Kabupaten Seluma Propinsi Bengkulu menguntungkan; 2) Dari sisi ekologi, penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-peternakan sapi tersebut juga menguntungkan; 3) Kualitas kompos.-dari bahan campuran limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi lebih baik daripada kompos buatan petani. Pembuktian hipotesis menggunakan uji F dan wilayah berganda Duncan dengan α 5%
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode survei dan eksperimen. Survei dilakukan pada Bulan Mei-Juni 2004 di Kecamatan Talo Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Eksperimen dilakukan pada Bulan Juni-September 2004 di halaman dan di dalam rumah kasa milik Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Tujuan survei adalah untuk mengetahui bentuk/pola integrasi, keuntungan integrasi dari sisi ekonomi dan ekologi. Keuntungan dari sisi ekonomi adalah selisih pendapatan dari kebun kelapa sawit antara petani integrasi dan petani non-integrasi, atau selisih pendapatan dari ternak sapi antara petani integrasi dan peternak non-integrasi. Keuntungan dari sisi ekologi adalah selisih jumlah penggunaan pestisida, pupuk anorganik, dan kompos antara petani integrasi dan non-integrasi.
Tujuan eksperimen adalah untuk mengetahui perbandingan kuaiitas antara kompos perlakuan yang diuji dengan kompos petani (kontrol). Juga dilakukan analisis rasio manfaat-biaya (B/C ratio) untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha.
Sampel dalam survei ditentukan secara sengaja dan acak sederhana. Tiga desa dan dua tahun tanam kelapa sawit menghasilkan dengan jumlah petani integrasi terbanyak ditentukan secara sengaja. Sampel dipilih secara acak sederhana dan diambil sebanyak 20% dari populasi target untuk petani integrasi dan non-integrasi, serta 100% (sensus) untuk peternak non-integrasi.
Eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 (tiga) ulangan. Ada 2 (dua) tahap eksperimen yaitu pengomposan dan pengujian kompos ke tanaman. Perlakuan yang diuji pada pengomposan adalah: 1) Cempuran
limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi 25% dari berat bahan (KP-25); 2) Campuran limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran ternak sapi 50% dari berat bahan (KP-50); 3) Campuran limbah kebun dan kotoran temak sapi 25% dari berat bahan (K-25); 4) Campuran limbah kebun dan kotoran ternak sapi 50% dari berat bahan (K-50); dan 5) Kompos buatan petani (Kontrol).
Pengukuran kualitas kompos meliputi kandungan C organik, N, P, K, Ca dan Mg total serta pengujian ke tanaman. Sebagai tanaman uji digunakan kangkung dengan rancangan acak lengkap, 3 (tiga) ulangan dan 8 (aelapan) tanaman tiap polibag. Tanaman uji diukur pertambahan tinggi mingguan, berat kering tajuk dan akar.
Kesimpulan penelitian adalah: 1) Bentuk/pola integrasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu menyatu dan terpisah antara perkebunan kelapa sawit dan petemakan sapi; 2) Secara ekonomi, penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-petemakan sapi pada petani di Kecamatan Talo Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu belum menguntungkan, baik ditinjau dari perkebunan kelapa sawit maupun dari petemakan sapi. Peningkatan pendapatan diperoleh hanya dari nilai hasil ternak itu sendiri; 3) Secara ekologi, penerapan integrasi nyata menguntungkan, yang terlihat dari penggunaan pupuk anorganik dan herbisida petani integrasi nyata lebin rendah serta penggunaan pupuk organik nyata lebih tinggi daripada petani non-integrasi. 4) Kualitas kompos perlakuan KP-25 (campuran limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi 25% dari berat bahan) lebih baik daripada kompos perlakuan petani dilihat dari kandungan N dan K total; kandungan N dan K total perlakuan KP-25 masing-masing sebesar 1,87% dan 1,81% nyata lebih tinggi daripada perlakuan petani yang masing-masing sebesar 1,47% dan K 1,15%. Kualitas kompos perlakuan K-25, K-50 dan KP50 tidak berbeda dengan kompos perlakuan petani. BIC ratio perlakuan-perlakuan yang diuji kurang dari 1, yang menunjukkan bahwa dari sisi ekonomi tanpa ekologi tidak menguntungkan.
Saran: a) Agar pendapatan meningkat dan potensi pencemaran lingkungan (dari limbah ataupun dari penggunaan masukan-luar) menurun, sebaiknya setiap pengembangan perkebunan kelapa sawit menerapkan integrasi dengan peternakan, misalnya dengan temak sapi; b) Agar penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit peternakan sapi pada petani di Kecamatan Tale Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu menguntungkan secara ekonomi maka perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan cara memanfaatkan temak sebagai rekanan (Partnership) untuk kerja di kebun kelapa sawit serta cara pemanfaatan limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit untuk pakan ternak atau kompos; c) Agar kompos perlakuan KP-25 (campuran limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi 25% dari berat bahan) menguntungkan secara ekonomi, perlu dilakukan kajian lebih mendalam terhadap teknik pengomposan sehingga miurah dan mudah diterapkan petani.

Palm plantation in Indonesia has developed fast, in 2002 there were 4.12 ha, and around 30% of it belonged to smallholders. More efficiency and additional value are needed so that Indonesian palm oil can be more competitive in global market and consequently it will increase the farmers' income. The larger the plantation the more waste it produces: waste from plantation and from the palm oil factory. The waste will pollute the environment if there is no treatment for it. Waste from plantation (weed, palm leaves and stems) and waste from the factory (mud, fiber and empty stems) can be reused as feed for cows or as the materials for compost. This treatment will increase the farmers' income and will decrease pollution.
Most (99%) of Indonesia's livestock is produced by farmers. Palm plantation can support the farmers by providing the feed for cattle from its waste. On the other hand, the cattle can eat the weed in the plantation so it will reduce herbicide use and weed management cost. The cattle's dung can be used as fertilizer or as one of the materials in composting along with plantation waste and palm oil factory waste so it will increase organic fertilizer use and decrease inorganic fertilizer use. This system can reduce cost and potential pollution of herbicide and inorganic fertilizer.
Talo sub-district is one of the livestock development centers in Seluma residence in the province of Bengkulu; In 2001 there were 2,400 cows in the farm. In this sub-district were state plantation and palm oil factory. With partnership system and subsidized seeds, they developed smallholders palm plantation. In 2001 there were 1,033 ha of smallholders palm plantation. The farmers became integration farmers for they had developed an integrated system: plantation and cow farming.
The main topic of this thesis is: a research of the integration system of palm plantation -- cow farming by farmers in Talo sub-district, related to: a) the form/pattern of the applied integration system; b) economical and ecological
benefits of the system; and c) quality comparison between compost made of plantation waste and/or palm oil factory and cow dung, and compost made by farmers.
The hypothesis is: 1) From economical view, the integration system of palm plantation-cow farming by farmers in Talo sub-district is beneficial; 2) From ecological view, the integration system of palm plantation-cow farming by farmers in Talo sub-district is also beneficial; 3) The quality of compost made of plantation waste and/or palm oil factory and cow dung is better than compost made by farmers. The hypothesis would be tested using F test and Duncan double area with a 5 %.
The research used qualitative and quantitative approach with survey and experiment methods. The survey was held from May to June 2004 in Talo sub-district, Seluma residence in the province of Bengkulu. The experiment was held from June to September 2004 in the yard and inside the gauze house of Faculty of Agriculture of University of Bengkulu.
The objective of the survey is to see the integration form/pattern, the economical and ecological benefits of integration system. The economical benefit is the difference between the income from palm plantation of the integration farmers and that of non-integration farmers, or the difference between the income from cow farming of integration farmers and that of non-integration farmers. The ecological benefit is the difference of the amount used for pesticide, inorganic fertilizer and compost by integration farmers from that of non-integration farmers.
The objective of the experiment is to compare the quality of the treated compost and that of farmers' compost (control). Benefit/cost ratio (B/C ratio) -analysis was also conducted to check the business feasibility rate.
The samples of the survey were determined in purpose and simple random. Three villages and two years productive plantation with most integration farmers were chosen in purpose. Samples were determined in simple random and were taken of 20% of the target population of integration farmers and non-integration farmers, and 100% (census) of non-integration farmers.
The experiment was using complete random plan with three repetitions. There were two steps in the experiment: the composting and the testing of compost on plants. The composting treatments were: 1) Mixture of plantation waste and palm oil factory waste and 25% of cow dung of material weight (KP-25); 2) Mixture of plantation waste and palm oil factory waste and 50% of cow dung of material weight (KP-50); 3) Mixture of plantation waste and 25% of cow dung of material weight (K-25); 4) Mixture of plantation waste and 50% of cow dung of material weight (K-25); and 5) Compost made by farmers (control).
The measurement of the compost quality includes the total amount of C organic, N, P, K, Ca and Mg and a test to plants. The tester plant was
kangkoong with complete random plan, 3 (three) repetition and 8 (eight) plants in each pot. The tester plants were measured to see the weekly height growth and the dry weight of the plants' root and crown.
The conclusion of the experiment is: 1) The integration shape/pattern can be defined into 2 general types: the palm plantation and cow farm are integrated and separated; 2) From economical view, the application of the integration of palm plantation-cow farming by farmers in Talo sub-district, Seluma residence, Bengkulu is not beneficial from the palm plantation side or cow farming side. The increase of the income is only from the cattle value; 3) From ecological view, the applied integration is clearly beneficial because the usage of inorganic fertilizer and herbicide by integration farmers is less and the usage of organic fertilizer is higher than non-integration farmers. 4) The quality of compost of KP-25 treatment (the mixture of plantation waste and palm oil factory and 25% cow dung of material weight) is better than that of farmers' considering the amount of total N and K; the amount of total N and K in KP-25 treatment is each 1.87% and 1.81%. It is clearly higher than that pf farmers' which contains 1.47% N and 1.15% K. The quality of compost with K-25, K-50 and KP-50 treatments is not different from farmers' compost. The BIC ratio of tester treatment is less than 1 (one). It shows that from the economical view without ecological view it is not beneficial.
Suggestion: a) To increase farmers' income and to reduce pollution (from waste or outside-input use), it is suggested that every palm plantation be integrated with livestock, such as cow farming; b) The integration of palm plantation-cow farming in Talo sub-district, Seluma residence, Bengkulu can be economically beneficial if there are socialization and trainings of how to use cattle in partnership with palm plantation and how to use plantation waste and/or palm oil factory waste as cattle's feed or compost; c) In order to make KP-25 treatment compost (the mixture of plantation waste and palm oil factory waste and 25% cow dung of the material weight) economically beneficial, a deeper study of compost making techniques is needed to make it easier and cheaper to produce.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilal Ramdhani
"Proses pemekeran Provinsi Cirebon dimulai sejak tahun 2009, ketika Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dideklarasikan. Sampai tahun 2019, P3C belum mampu membentuk koalisi elite politik lokal untuk mengusulkan pemekaran Provinsi Cirebon, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah menyebutkan bahwa cakupan wilayah pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus yang berada di wilayah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon (ciyaumajakuning). Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi, teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil menunjukkan bahwa tidak terbentuknya koalisi elite politik lokal di ciayumajakuning dikarenakan adanya perbedaan isu di antara kelompok elite politik lokal yang menyetujui (elite politik di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon) dengan elite politik lokal yang menolak (elite politik di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan) mengenai isu pemanfaatan sumber daya ekonomi, pembangunan daerah, kepentingan politik, etnisitas dan sejarah politik eks-karesidenan Cirebon. Selain itu, lemahnya koalisi elite politik lokal yang hanya didukung oleh tiga wilayah dan perilaku koruptif para elite yang menyetujui usulan pemekaran Provinsi Cirebon baik di tingkat bawah maupun tingkat atas, berakibat pada tidak terbentuknya pemekaran Provinsi Cirebon selama tahun 2009-2019.

The proliferation process of the Cirebon Province began in 2009, when the Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) was declared. Until 2019, the P3C had not been able to form a coalition of local political elites to propose the proliferation of the Cirebon Province, as stated in Article 8 of Government Regulation No. 78 of 2007 concerning the procedures for forming, abolishing and merging regions, stating that the area of the formation of provinces was at least 5 (five) district / city. This study uses a qualitative approach with case study research methods in the areas of Cirebon Regency, Majalengka Regency, Indramayu Regency, Kuningan Regency and Cirebon City (ciyaumajakuning). Data collection techniques carried out by interviews, observation and documentation, data analysis techniques using data reduction, data presentation and drawing conclusions. The results show that there was no coalition of local political elites in the Ciayumajakuning area due to differences in issues between local political elite groups that agreed (political elites in Cirebon Regency, Indramayu Regency and Cirebon City) with local political elite groups that refused (political elites in Majalengka Regency and Regency Kuningan) concerning the issue of utilizing economic resources, regional development, political interests, ethnicity and the political history of the ex-residency of Cirebon. In addition, the weak coalition of the local political elite which was only supported by three regions and the corrupt behavior of the elite who agreed to the proposed proliferation of the Cirebon Province both at the lower and upper levels, resulted in the absence of the proliferation of Cirebon Province during 2009-2019."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rianisa Mausili
"Penelitian ini membahas tentang Strategi Politisi Muda Pada Pemilihan Kepala Daerah Tingkat Kabupaten dan Tantangan Primordialisme. Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo sebagai pemuda yang ikut dalam kontestasi pilkada di kabupaten Gowa menggunakan jalur independen, melekat unsur primordialisme dalam dirinya dan melawan Raja Gowa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif (design studi kasus) yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dan dokumentasi. Esensi penelitian ini adalah Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo sebagai Bupati Gowa terpilih pada pemilihan kepala daerah tahun 2015 merupakan potret keberhasilan pemuda dalam kontestasi pemilihan Bupati dalam suatu daerah. Selain itu, Ia sebagai pemuda memiliki hubungan darah dengan bupati sebelumnya sehingga dirinya selalu dikritik sebagai calon yang dipundaknya melekat unsur primordialisme dan memiliki lawan politik yang sangat berat yaitu Raja Gowa yang terlibat dalam kontestasi tersebut. Realitas itu mengharuskan dirinya dan timnya menyiasati dan merancang strategi kampanye berupa mengandalkan seorang komunikator yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni, mengemas kampanye dalam bentuk persuasif melalui pertemuan langsung dengan masyarakat dan membuat program program zikir dan doa sebagai medium untuk menampilkan image dirinya sebagai kandidat terbaik yang religius. Ia juga menggunakan strategi pelibatan relawan yang dari berbagai kalangan untuk menaikkan popularitasnya sebagai kandidat, melibatkan berbagai media untuk menayangkan berita tentangnya secara positif dan yang sangat fenomenal yaitu Ia mampu menentukan pilihannya kepada Karaeng Kio sebagai wakilnya dengan pertimbangan pengalaman birokrasi dan popularitas. Selain itu, dalam kontestasi Pilkada di kabupaten Gowa, citra primordial dikonstruksi melalui simbol-simbol dan praktek politik sehingga kontestasi sesungguhnya hanyalah sebuah pertempuran antara klan Yasin Limpo dan Raja Gowa untuk memperebutkan ruang kekuasaan tertinggi di kabupaten Gowa yaitu menjadi seorang Bupati.

This study discusses about the Strategy of Young Politicians in District Head Election and Primordialism Challenges. Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo as a youth took a part in Gowa elections used an independent way, attached a primordialism to himself and stood out against Gowas King. The method used in this study is a qualitative method (case study design) that is descriptive. Collecting the data has been done by interveiew (in-depth interview) and documentation. The essence of this research is that Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo as the Gowa Regent elected in the 2015 regional head election is a portrait of the success of youth in the contestation of the Regents election in a region. In addition, Ichsan as a youth who has a blood relation with the previous regent was always criticized as candidate whose shoulder was attached to an element of primordialism and had a very heavy political opponent, namely King Gowa who was involved in the contestation. That reality requires him and his team to get around and design a campaign strategy in the form of relying on a communicator who has capable capacity and capability, packing campaigns in a persuasive manner through direct meetings with the community and making remembrance and prayer programs as a medium to present his image as the best faithful candidate. He also used the strategy of volunteer involvement from various circles to increase his popularity as a candidate, involving various media to broadcast the news about him positively and a very fantastic point from Ichsans way is that he made a big decision to choose Your Honour Kio as his vice in consideration of bureaucratic experience and popularity. Otherwise, in the regional election in Gowa district, primordial images were constructed through political symbols and practices so that the actual contestation was only a battle between the Yasin Limpo clan and the King of Gowa to fight for the highest power space in Gowa district, namely becoming a regent.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilvia Difa Nawi
"Skripsi ini membahas mengenai faktor keuntungan yang didapatkan oleh Rahmat Effendi sebagai petahana dalam Pilkada Kota Bekasi tahun 2018. Rahmat Effendi mendapatkan faktor keuntungan sebagai petahan, diantaranya adalah pro incumbent endorser bias, lalu campaign discount, dan district partisan bias. Dalam Pilkada Kota Bekasi tahun 2018, terdapat dua pasang calon yang maju. Diantaranya adalah Rahmat Effendi-Tri Ardhianto dan Nur Supriyanto-Adhy Firdaus. Rahmat Effendi sebagai petahana mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari penantangnya dalam Pilkada Kota Bekasi tahun 2018, sehingga Rahmat Effendi dapat memenangkan Pilkada Kota Bekasi tahun 2018. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam.

This thesis discusses the profit factors obtained by Rahmat Effendi as incumbents in the Bekasi City Election in 2018. Rahmat Effendi gets a profit factor as a defense, including the pro incumbent endorser bias, then a discount campaign, and a biased district partisan. In the Bekasi City Election in 2018, there are two pairs of candidates who advance. Among them are Rahmat Effendi-Tri Ardhianto and Nur Supriyanto-Adhy Firdaus. Rahmat Effendi as a incumbent benefits far more than the challenger in the Bekasi City Election in 2018, so Rahmat Effendi can win the Bekasi City Election in 2018. The method used in this thesis is a qualitative method carried out by in-depth interviews.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiman
"ABSTRAK
Disertasi ini dilatarbelakangi dengan seringnya terjadi pemasalahan perbatasan Indonesia-Malaysia yang sangat menganggu keamanan dan kedaulatan NKRI. Ketertinggalan pembangunan perbatasan Indonesia merupakan salah satu penyebab terjadinya permasalahan perbatasan khususnya di Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Berdasarkan UU No. 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara dan Perpres No. 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), negara mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam pembangunan perbatasan guna pencapaian masyarakat perbatasan yang sejahtera dan aman. Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan mengusulkan pembangunan jalan, dermaga, listrik, sarana pendidikan, kesehatan dan lainnya sesuai RPJMD tahun 2012-2016 kepada Pemerintah Pusat untuk membuka keterisolasian dan ketertinggalan pembangunan pada 12 wilayah kecamatan perbatasan.
Pertanyaan penelitian ini bagaimana peran BNPP dan power interplay antar lembaga, mengapa terjadi perbedaan prioritas kebijakan dan kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta mengapa anggaran minim dan bagaimana respon dan nasionalisme masyarakat perbatasan?
Penelitian ini menggunakan metode kualitiatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara. Teori Miliband tentang negara memiliki otoritas sebagai teori utama. Teori Distribusi kekuasaan dalam hubungan Pusat-Daerah oleh B.C.Smith, Rondinelli dan Cheema serta teori nasionalisme sebagai teori pendukung dalam kajian ini.
Temuan penelitian menunjukkan peran BNPP sebagai lembaga koordinasi. Keanggotaan BNPP di dominasi oleh kementerian dan lembaga negara sehingga terjadi ego sektoral dan power interplay antar lembaga dan pemerintah daerah mengakibatkan BNPP tidak efektif. Perbedaan prioritas kebijakan dan kepentingan program pembangunan infrasruktur perbatasan terjadi, karena kepentingan nasional Pemerintah meliputi aspek politik, keamanan dan strategis geografi. Kepentingan Daerah meliputi membuka isolasi wilayah, pelayanan masyarakat, membangun kawasan ekonomi dan nasionalisme. Anggaran perbatasan minim, dan masyarakat mengalami pergeseran orientasi nasionalisme.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa hubungan (distribusi) kekuasaan dan kewenangan Pemerintah Pusat pada Daerah dalam pembangunan infrastruktur perbatasan di Kabupaten Nunukan masih dominasi Pusat. Sesuai dengan teori negara oleh Miliband dan Skocpol, dan Smith tentang distribusi kekuasaan dalam hubungan Pusat-Daerah, sehingga belum memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah perbatasan Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Perlu penguatan regulasi dan institusi BNPP serta keberpihakan pemerintah pusat (negara) pada percepatan pembangunan perbatasan

ABSTRACT
The background of this study is often happen problems in Indonesian-Malaysian borders which very threatened security and sovereignty of NKRI. Underdevelopment in Indonesian border were one of cause Indonesian border problems in Nunukan Regency of North Borneo Province. According State Territorial Policy Number 43, year of 2008 and Presiden Policy Number 12 year of 2010 about National State Institution of Border Management (BNPP), state have outhority in border developments for society prosperity and security. Nunukan Local Goverment had to proposed road developments, port, electric construction, education and health facilities according RPJMD 2012-2016 policy for central Government to opens territorial isolation and underdevelopment in 12 border districs.
This research questios, how was the rule of BNPP and power interplay with other institutions, why happen differences of policy priority and Central-Local Goverment intersts. Why were budgets and nationalism border society.
This research used kualitatif methods and the case study, data collecting by library studi and interview. State theory by Miliband as main theory, Central-Local Governments Relations by B.C.Smith, Rondinelli and Cheema and nationalism were supports theories in this research.
The result of reserch showed that BNPP rule as coordinatif institution, members of BNPP dominant by departements and state institutions so that ego sectoral happen and power interplays with anathor institutions and local government so that BNPP was not efectif. Policy priority defferences and national interests of Central Goverment consists politic aspec, security and strategic geografic. Local Government including to opens isolation territorial, public service, economics development territorial and nationalism.
Theoritical implications showed that outhority distributions relations Central Government for Local Government in border infrastructur developments in Nunukan Regency of North Borneo Provinci dominated by Central Government. So that relevants by State theory about authority of Miliband and Skocpol and Central-Local Government distribution theory by Smith. Thus border infrastructur developments by Central Government were not give impacts for society prosperity and local development of Nunukan Regency of North Borneo Provinci. So that must to sthreengtness for regulations and institution of BNPP and aligmants Central Government (state) for border developments accelerations."
2016
D2226
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanty Wisudarini
"Sejak otonomi daerah dilaksanakan tahun 2001, banyak terbentuk Daerah Otonom Baru (DOB) sebagai hasil dari pemekaran daerah. Salah satu alasan suatu daerah dimekarkan adalah DOB hasil pemekaran dapat mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-nya) sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pemekaran daerah, peningkatan APBD dan kesejahteraan masyarakat di daerah hasil pemekaran. Dengan menggunakan panel data regression model dan unit analisis DOB yang terbentuk tahun 2003 dan 2008, penelitian ini menunjukkan bahwa pemekaran memang membuat APBD per kapita DOB meningkat cukup besar, terutama setelah lima tahun pemekaran, baik pemekaran daerah yang terjadi pada tahun 2003 maupun tahun 2008. Namun, peningkatan APBD per kapita di DOB hasil pemekaran daerah tahun 2003 belum berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat di DOB. Sementara untuk pemekaran daerah tahun 2008, hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan APBD per kapita di DOB berasosisi positif dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di DOB yang ada di daerah tertinggal, namun tidak demikian untuk daerah yang tidak tertinggal. Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan bahwa jika persyaratan-persyaratannya dipenuhi, maka usulan pemekaran daerah untuk daerah tertinggal sebaiknya disetujui. Karena dengan dimekarkan, bukan hanya APBD per kapitanya yang meningkat, tetapi juga kesejahteraan masyarakatnya juga meningkat.

Since regional autonomy was implemented in 2001, many New Autonomous Regions (DOB) have been formed as a result of regional proliferation. One of the reasons for a region to be proliferated is that the new autonomous regions can manage its own Regional Income and Expenditure Budget (APBD). This study aims to analyze the relationship between regional proliferation, the increase in the Regional Income and Expenditure Budget (APBD) and the welfare of the community in the area resulting from the proliferation. By using panel data regression models and analysis units for new autonomous regions that were formed in 2003 and 2008, this study shows that proliferation has indeed made the APBD per capita of new autonomous regions increase considerably, especially after five years of proliferation, both regional proliferation that occurred in 2003 and 2008. However, the increase in the APBD per capita in the new autonomous regions from regional proliferation in 2003 has not succeeded in raising the welfare of the community in the new autonomous regions. Meanwhile, for regional proliferation in 2008, the results of the study show that the increase in APBD per capita in new autonomous regions has a positive assosiation with the increase in the welfare of the community new autonomous regions in underdeveloped regions, but not so for regions that are not underdeveloped. Therefore, this study suggests that if the requirements are met, then the proposed for regional proliferation in underdeveloped regions better be approved. Because with the regional proliferation, not only the APBD per capita increased, but also the welfare of the community also increased."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>