Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60944 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meilania Saraswati
"ABSTRAK
Tujuan: Menilai ekspresi protein Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) pada Karsinoma Sel Ginjal (KSG) serta kaitannya dengan faktor-faktor prediktor prognosis yang dinilai secara histopatologik (subtipe, staging histopatologik, derajat anaplasia inti Fuhrman)
Metode: Studi potong lintang terhadap jaringan yang difiksasi formalin dan diletakkan di dalam parafin dari pasien-pasien dengan KSG, yang diwarnai menggunakan metode imunohistokimia terhadap protein EGFR.
Hasil: Ekspresi EGFR pada membran ditemukan pada 46% dari keseluruhan kasus (N=41) dan ekspresi EGFR di sitoplasma ditemukan pada 49% dari keseluruhan kasus (N=41). Terdapat hubungan antara subtipe histopatologik dan derajat anaplasia inti Fuhrman dengan ekspresi EGFR di sitoplasma (nilai p 0,017 dan 0,014 dengan uji Fisher’s exact). Tidak ditemukan asosiasi antara staging histopatologik dengan ekspresi EGFR.
Diskusi: Perlu dibuat penelitian lanjutan dengan membandingkan ekspresi EGFR terhadap angka kesintasan pasien serta dibandingkan dengan faktor prediktor prognosis yang lain. Kemaknaan lokasi ekspresi EGFR di sitoplasma juga memerlukan perhatian khusus dan pembuktian secara ilmiah.

ABSTRACT
Objective: To study the expression of Epidermal Growth Factor Receptor protein in Renal Cell Carcinoma (RCC) and its relationship with prognostic predictor factors evaluated histopathologically (subtype, histopathological staging, Fuhrman nuclear grading).
Methods: This was a cross-sectional study on 41 formalin-fixated paraffin-embedded tissue of patients with RCC, stained using immunohistochemical method against EGFR protein.
Result: Membranous EGFR expression was found in 46% of cases (N=41), while cytoplasmic EGFR expression was found in 49% of cases. There was a significant association between histopathological subtype or Fuhrman nuclear anaplasia grading and cytoplasmic expression of EGFR (p value 0,017 and 0,014, respectively, using Fisher’s exact test). No significant association was found between histopathological staging and EGFR expression
Discussion: A further study on the association EGFR expression and survival, and its comparison to other prognostic factors is necessary. The significance of EGFR expresion in the cytoplasm requires special attention and further scientific evidence."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST adalah sarkoma jaringan lunak yang sulit dibedakan dengan beberapa sarkoma sel spindel karena morfologinya yang serupa. MPNST bersifat agresif dengan angka rekurensi yang tinggi dan cenderung bermetastasis terutama ke paru.Tipe histologik dan lokasi termasuk faktor yang menentukan prognosis MPNST. Terapi kombinasi pada MPNST dengan reseksi komplit, kemoterapi, dan radiasi belum meningkatkan kesintasan pasien MPNST. Anti terhadap Epidermal growth factor receptor EGFR telah dipakai dalam terapi untuk tumor epitelial ganas, sedangkan penggunaannya pada sarkoma masih dalam penelitian. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan histologik dan variabel prognostik klinis lainnya.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pemilihan sampel secara konsekutif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM tahun 2007-2015. Diagnosis MPNST ditegakkan secara histopatologik dan imunohistokimia. Dilakukan pulasan imunohistokimia EGFR pada MPNST derajat tinggi dan MPNST derajat rendah dengan penilaian semikuantitatif, serta menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan dan variabel klinis seperti usia, jenis kelamin, ukuran, lokasi tumor dan batas sayatan.
Hasil: Ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan MPNST derajat rendah 80 vs 20 , p=0,000 .Terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan MPNST. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan usia, jenis kelamin, lokasi tumor, ukuran tumor dan batas sayatan.
Kesimpulan: Peningkatan ekspresi EGFR sejalan dengan peningkatan derajat histologik, sehingga dapat digunakan untuk membantu menentukan progressifitas MPNST.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015. MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size , location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000 . There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST, merupakan sarkoma jaringan lunak yang prognosis nya buruk karena tidak responsif terhadap kemoterapi. Epidermal growth factor receptor EGFR terlibat dalam transduksi sinyal mitogenik dan jalur proliferasi sel. Ekspresi EGFR yang tinggi pada tumor sudah dipakai untuk menentukan apakah tumor dapat diberikan terapi anti-EGFR. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah serta ekspresi EGFR sebagai faktor prognostik.
Metode: Penenelitian ini merupakan penelitian potong lintang, restrospektif, deskriptif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi yang telah didiagnosis selama periode 2007-2015. Dilakukan pulasan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal EGFR. Selanjutnya dilakukan scoring berdasarkan persentase sel dengan membrane dan atau sitoplasma yang berwarna coklat pada 500 sel/5 LPB : 0 tidak terpulas, 1 terpulas 30. Perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah dianalisis menggunakan uji Chi-square. Selain itu di analisis hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi dan ukuran tumor.
Hasil: Ditemukan ekspresi EGFR yang lebih tinggi pada MPNST derajat tinggi dibandingkan dengan MPNST derajat rendah yang secara statisitk bermakna p=0,000. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi maupun ukuran tumor.
Kesimpulan: Ekspresi EGFR yang tinggi dapat digunakan untuk dasar memberikan terapi anti-EGFR pada MPNST derajat tinggi.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015.MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000. There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tantri Hellyanti
"Latar belakang: Penderita kanker ovarium umumnya datang berobat pada stadium lanjut, sehingga kekambuhan pasca pembedahan dan pemberian kemoterapi mencapai 70-80%. EGFR mengaktifkan jalur sinyal yang menginduksi onkogenesis dan proliferasi sel. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran EGFR dalam patogenesis tumor serosum ovarium dan peluangnya untuk digunakan sebagai penanda keganasan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel terdiri atas 15 kasus tumor jinak, 15 kasus borderline dan 15 kasus adenokarsinoma di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2008-2012. Dilakukan pulasan imunohistokimia EGFR dan penilaian dengan H score.
Hasil: Terdapat perbedaan ekspresi EGFR yang bermakna antara kelompok tumor serosum jinak (H score = 15), borderline (H score = 60) dan adenokarsinoma (H score = 120), dengan p=0,000.
Kesimpulan. Ekspresi EGFR pada tumor serosum ovarium meningkat seiring peningkatan derajat keganasan.

Background: Most of ovarian cancer patients are diagnosed in already advanced stage, therefore 70-80% of cases having recurrence after surgical staging and chemotherapy. EGFR activates signaling pathways which induce oncogenesis and cell proliferation. The aim of this study is to analyze the role of EGFR in the pathogenesis of serous ovarian tumors and its possibility to be used as a malignant marker.
Methods: This was a cross-sectional study on each 15 cases of benign, borderline and malignant serous ovarian tumors from Anatomical Pathology Department FMUI/CMH in 2008-2012. EGFR status was assessed by immunohistochemistry technique and the expression was evaluated using H score.
Results: There was significant difference between EGFR expression in benign (H score = 15), borderline (H score = 60) and malignant serous ovarian tumors (H score = 120), p=0,000.
Conclusion: The EGFR immunoexpression was increased along with the higher degree of serous ovarian tumor malignancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eifel Faheri
"Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) salah satu pilihan terapinya adalah kemoterapi neoajuvan. Respon kemoterapi ini, di pengaruhi oleh Epidermal Growth Factor Receptor(EGFR), faktor yang berperan pada pertumbuhan dan invasif tumor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat ekspresi EGFR dengan respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif, dilakukan penilaian respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer, pada pasien KNF yang telah mendapat kemoterapi dan dilakukan pemeriksaan ekspresi EGFR.
Hasil penelitian: Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring untuk ekspresi negatif, positif dan kuat, berturut-turut sebesar (10%), (70%) dan (20%). Pasien yang respon terhadap kemoterapi neoajuvan adalah 23 pasien (76,6%) dan tidak respon 7 pasien (23,4%). Kelompok pasien yang memberikan respon terhadap kemoterapi, 15 pasien ( 50%) memiliki intensitas EGFR yang lemah. Pasien dengan tingkat ekstensif T3-T4 , mempunyai ekspresi EGFR lebih besar dibandingkan T1-T2 tumor.
Kesimpulan : Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring di Indonesia sebesar 90 persen. Kemoterapi neoajuvan lebih respon pada tumor dengan ekspresi EGFR positif dan intensitas EGFR yang lemah. Tumor dengan tingkat ekstensif yang lebih tinggi, mempunyai ekspresi EGFR lebih tinggi.

Background: Neoadjuvan chemotherapy is one option of treatment for nasopharyngeal cancer (NPC). The response of chemotherapy influenced by EGFR expression. EGFR is important factor for the growth and tumors invasion. Purpose of the study is compare of the EGFR expression level with response of neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The methods is cross-sectional descriptive study that assessment of response to neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The NPC patients who have received chemotherapy is examined of EGFR expression.
Result of the study is the proportion of EGFR expression in NPC for negative, positive and strong expression is 10%, 70%, and 20% respectively. Patients who responses to neoadjuvan chemotherapy are 23 patients(76.6%) and non-responses 7 patients (23.4%). The group patients who responses to chemotherapy, 15 patients (50%) have EGFR weak intensity. Patients with T3-T4 tumors (56,6%) have EGFR expression is greater than T1-T2 tumors(44,4%).
Conclusion: The proportion of EGFR expression in NPC in Indonesia is 90 percent. Neoajuvan chemotherapy is more response in tumors with positive EGFR expression and weak intensity. Tumors with high extensive levels have higher EGFR expression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
"Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis.
Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural.
Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya.
Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor.

Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis.
Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion.
Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship.
Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion.
Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fita Ferdiana
"Latar belakang: Rabdomiosarkoma (RMS) merupakan sarkoma yang banyak ditemukan pada anak dan dewasa muda. Secara histopatologik ada 4 tipe, yaitu embrional, alveolar, spindel, dan pleomorfik. Tipe histologi dan lokasi (favorable dan unfavorable) termasuk faktor yang menentukan prognosis RMS. Terapi kombinasi pada RMS dengan reseksi komplet, kemoterapi, dan radiasi belum meningkatkan kesintasan pasien RMS terutama pada stadium lanjut. Anti terhadap Epidermal growth factor receptor (EGFR) telah dipakai dalam terapi untuk tumor epitelial ganas, sedangkan penggunaannya pada sarkoma masih dalam penelitian. Dalam penelitian ini dibandingkan ekspresi EGFR pada rabdomiosarkoma anak tipe embrional (RMSE) dan alveolar (RMSA) yang memiliki perbedaan prognosis, serta dilihat ekspresi EGFR pada lokasi favorable dan unfavorable.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pemilihan sampel secara konsekutif. Sampel terdiri atas 17 kasus RMSE dan 13 kasus RMSA di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2008-2015. Diagnosis RMSE dan RMSA ditegakkan secara histopatologi dan imunohistokimia MyoD1 dan atau desmin positif. Dilakukan pulasan imunohistokimia EGFR pada RMSE dan RMSA dengan penilaian semikuantitatif, membandingkan kedua tipe histologik dan lokasi tumor.
Hasil: Ekspresi EGFR pada RMSE lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan RMSA (53% vs 23%, p=0,029). Bila dihubungkan dengan lokasi, maka ekspresi EGFR pada RMSE lebih tinggi pada lokasi unfavorabe dibanding lokasi favorable (p=0,412). Ekspresi EGFR pada RMSA lebih tinggi pada lokasi favorable dibanding lokasi unfavorable (p=0,592).
Kesimpulan: Ekspresi EGFR pada RMSE lebih tinggi dibandingkan pada RMSA, dengan ekspresi EGFR pada RMSE di lokasi unfavorable lebih tinggi dibanding pada lokasi favorable walaupun tidak bermakna secara statistik.

Background: Rhabdomyosarcoma (RMS) is the most common sarcoma in children and young adults. Histologically, RMS is divided into 4 types: embryonal, alveolar, spindle, and pleomorphic. Histologic type and location (favorable and unfavorable) are amongst factors that determine prognosis of rabdomyosarcoma. Combined therapies on RMS which consist of complete resection, chemotherapy, and radiation do not increase the survival, especially in advanced stage. Anti-EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study was to compare the expression of EGFR in rhabdomyosarcoma embryonal type (ERMS) and alveolar type (ARMS) which have different prognosis; and comparing EGFR expression in favorable and unfavorable locations.
Method: This was a restropective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 17 ERMS and 13 ARMS in Departement of Anatomical Pathology FMUI/RSCM 2008-2015. ERMS and ARMS was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining, MyoD1 and or desmin positive. EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively, and compared the 2 histologic types and location.
Results: There was differences between EGFR expression on ERMS and ARMS (p=0.029). EGFR expression on ERMS was more frequent in unfavorable location than favorable location (p=0.412). EGFR expression on ARMS was more frequent in favorable location than unfavorable location (p=0.592).
Conclusions: Expression EGFR on ERMS was more frequent than ARMSA. RMSE on unfavorable location tented to express EGFR more frequent even did not reach statistical significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Qanita Hana Amira
"Kanker payudara adalah jenis kanker yang memiliki kasus baru terbanyak dan penyebab kematian tertinggi di kalangan wanita. Hal tersebut menjadikan pemahaman mengenai konsep pengobatan presisi (precision medicine) perlu dikembangkan, salah satunya dengan penggunaan kultur primer dari jaringan kanker pasien. Epidermal growth factor receptor (EGFR) telah dilaporkan umum digunakan sebagai marker prognostik kanker payudara melalui deteksi protein menggunakan metode immunohistokimia (IHK). Namun, metode tersebut memiliki kekurangan dalam menjadi acuan penentuan terapi adjuvant. Penggunaan kultur primer sebagai pengganti cell lines dalam penelitian kanker perlu terus dikembangkan karena lebih mewakili karakteristik fenotipe dan genotipe dari jaringan kanker in vivo. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ekspresi relatif gen EGFR pada sampel kultur primer dan jaringan asalnya serta mengetahui perbandingan ekspresi relatif gen EGFR pada sampel jaringan jinak dan jaringan ganas kanker payudara. Metode yang digunakan, yaitu melalui deteksi mRNA gen EGFR dengan semi kuantitatif RT-PCR pada dua pasien yang mewakili jaringan jinak dan ganas. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara ekspresi EGFR pada kultur primer dan jaringan asal, serta ekspresi EGFR pada jaringan ganas lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan jinak. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kultur primer dapat dijadikan model alternatif dalam penelitian kanker, serta EGFR dapat dijadikan marker potensial dalam menentukan tingkat agresivitas kanker payudara.

Breast cancer is a type of cancer that has a highest rate of incidence as well as mortality among women. This makes the understanding of the concept of precision medicine need to be continuously developed, in wich one of the methods is through using primary cultures from patient's tissue. It has been reported that epidermal growth factor receptor (EGFR) is commonly used as a prognostic marker of breast cancer through protein detection using the Immunohistochemical (IHC) method. However, this method has shortcomings in being a reference for determining adjuvant therapy. The use of primary culture as a subtitute cell lines in cancer research needs to be developed due to its more representative of the phenotype and genotype characteristics of cancer tissue in vivo. Therefore, this study aims to determine the relative expression level of the EGFR gene in primary culture sample and its tissue origin as well as comparing the relative expression of the EGFR gene in samples of benign tissue and malignant tissue of breast cancer. The method used is the detection of EGFR gene mRNA with semi-quantitative RT-PCR in two patients representing benign and malignant tissues. The results showed that there was no significant difference between EGFR expression in primary culture and tissue of origin, and EGFR expression in malignant tissue was higher than in benign tissue. Hence, it can be concluded that primary culture can be used as an alternative model in cancer research, and EGFR can be used as a potential marker in determining aggressiveness level of breast cancer."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
"Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD.
Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD.

Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital.
Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital.
Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD.
Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Birril Qudsi
"belakang: Karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) adalah salah satu kanker yang paling umum dijumpai dengan angka survival 52.0% yang tidak meningkat secara bermakna walaupun tatalaksana kanker ini terus berkembang. Cornulin merupakan protein spesifik untuk sel skuamosa yang penting dalam diferensiasi epitel. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rendahnya ekspresi cornulin berhubungan dengan gambaran klinikopatologi dan survival yang lebih buruk dibandingkan dengan ekspresi tinggi. Oleh karena sifatnya yang spesifik dan belum ada penelitian mengenai ekspresi cornulin sebagai faktor prognosis di Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara ekspresi cornulin dan survival pada pasien dengan KSSRM.
Tujuan: Mengetahui potensi cornulin sebagai penanda biologis survival pada pasien dengan KSSRM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif yang dilakukan dari periode Juni 2021 sampai dengan Mei 2022. Populasi penelitian ini merupakan pasien dengan diagnosis KSSRM yang ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis dan menjalani terapi di Divisi Bedah Onkologi Departemen Ilmu Bedah RSCM periode Januari 2015 – Mei 2020. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi cornulin dan skor imunihistokimia ditentukan menggunakan immunoreactive score (IRS). Skor IRS < 6 berarti ekspresi rendah dan ≥ 6 berarti ekspresi tinggi. Analisis statistik univariat, bivariat, dan survival dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS.
Hasil: Cornulin tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM. T, N, dan stadium memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM dengan nilai p masing-masing adalah 0.001, 0.040, dan 0.001. T dan N memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ekspresi cornulin pada pasien dengan KSSRM, dengan nilai p masing-masing adalah 0.034 dan 0.030.
Kesimpulan:Cornulin sebagai protein penanda biologis KSSM tidak dapat menjadi prediktor dari survival pasien dengan KSSM.

Background: Oral squamous cell carcinoma (OSCC) is one of the most common cancers with a 52.0% survival rate which does not increase significantly even though the management of this cancer continues to develop. Cornulin is a specific protein for squamous cells that is important in epithelial differentiation. Previous studies have shown that low cornulin expression is associated with worse clinicopathological features and survival compared to high cornulin expression. Due to its specific nature and no research on cornulin expression as a prognostic factor has been done in Indonesia, the author is interested in knowing the relationship between cornulin expression and survival in patients with OSCC.
Objective: To determine the potential of cornulin as a biological marker for survival in patients with OSCC.
Methods: This study used a retrospective cohort study design that was conducted from June 2021 to May 2022. The population of this study were patients with OSCC diagnosis confirmed by histopathological examination and undergoing therapy at the Division of Surgical Oncology, Department of Surgery, RSCM for the period January 2015-May 2020. Immunohistochemical examination was performed to determine the expression of cornulin and the immunohistochemical score was calculated using the immunoreactive score (IRS). IRS score < 6 means low cornulin expression and ≥ 6 means high cornulin expression. Univariate, bivariate, and survival statistical analyses were performed using SPSS software.
Results: Cornulin did not have a statistically significant relationship with survival in patients with OSCC. T, N, and stage had a statistically significant relationship with survival in patients with SCC with p values ​​of 0.001, 0.040, and 0.001, respectively. T and N had a statistically significant relationship with cornulin expression in patients with OSCC, with p-values ​​of 0.034 and 0.030, respectively.
Conclusion: Cornulin as a biological marker protein of OSCC cannot be a predictor of the survival of patients with OSCC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>