Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181577 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvantri Aji Jaya
"ABSTRAK
Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan tindakan angioplasti koroner dengan atau tanpa stent untuk membuka lesi yang tersumbat pada manajemen akut STEMI. Keterlambatan waktu door to ballon lebih dari 90 menit akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien akut STEMI di rumah sakit. Faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya waktu door to ballon memerlukan perhatian khusus bagi tenaga kesehatan khususnya perawat yang berkontribusi dalam pelayanan tindakan IKPP. Penelitian ini merupakan studi cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif yang berasal dari data sekunder 200 sampel rekam medis pasien akut STEMI yang menjalani tindakan IKPP. Hasil analisa data teridentifikasi ada 4 faktor yang mempunyai hubungan signifikan terhadap lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit yaitu: jaminan kesehatan pasien, kecepatan waktu pengaktifan kateterisasi, kecepatan waktu transfer pasien dan kecepatan inflate ballon. Pada akhir model multivariat menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit adalah kecepatan waktu transfer pasien akut STEMI.

ABSTRACT
Primary Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is a coronary angioplasty procedure to revascularize obstructive lesion in acute ST-segment-elevation myocardial infarction (STEMI) management, with or without using stent. Prolonged door to ballon time (> 90 minutes) will increase hospital mortality rate in patients with STEMI. Contributing factors in door to ballon time is important for health practitioner, especially nurses who are involved in Primary PCI procedure. This was a cross sectional study with a retrospective data collection. Secondary data from 200 medical records of patients were collected underwent primary PCI samples. Data analysis showed that there are 4 factors that have significant relationship with prolonged door to ballon duration time (> 90 minutes), namely patient insurance, catheterization activation time, patient transfer time, and ballon inflated time. A multivariate model showed that the most dominant factor in prolonged door to ballon time (> 90 minutes) is patient transfer time.This study suggests that Hospital which have primary facilities could have efforts to decrease prolonged door to ballon time."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irvantri Aji Jaya
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan tindakan Angioplast dengan atau tanpa stent untuk membuka lesi yang tersumbat pada manajemen akut STEMI. Keterlambatan waktu door to ballon lebih dari 90 menit akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien akut STEMI di rumah sakit. Faktor faktor yang berhubungan dengan lamanya waktu door to ballon memerlukan perhatian khusus bagi tenaga kesehatan khususnya perawat yang berkontribusi dalam layanan tindakan IKPP. Penelitian ini merupakan studi coss sectional dengan pengambilan data secara retrospektif yang berasal dari data sekunder 200 sampel rekam medis pasien akut STEMI yang menjalani tindakan IKPP.
Hasil analisa data teridentifikasi ada 4 faktor yang mempunyai hubungan signifikan terhadap lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit yaitu: jaminan kesehatan pasien, kecepatan waktu pengaktifan kateterisasi, kecepatan waktu trsnfer pasien dan kecepatan inflate ballon. Pada akhir model multivariat menunjukan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit adalah kecepatan waktu transfer pasien akut STEMI.

Primary Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is a coronary angioplasty procedure to revascularize obstructive lession in acute ST-segment-elevation myocardial infraction (STEMI) management, with or without using stent. Prolonged foor to ballon time (> 90 minutes ) will incerase hospital mortality rate in patients with STEMI. Contributing factors in door to ballon time is important for health practitioner, especially nurses who are involved in Primary PCI procedure. This was cross sectional study with a retrospective data collection. Secondary data from 200 medical records of patients were collected underwent primary PCI samples.
Data analysis showed that there are 4 factors that have significant relationship with prolonged door to ballon duration time (>90 minutes), namely patient insurance, catheterization activation time, patient transfer time, and ballon inflated time. A multivariate model showed that the most dominant factor in prolonged door to ballon time (>90 minutes) is patient transfer time. This study suggests that hospital which have primary facilities could have efforts to decrease prolonged door to ballon time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T31961
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Elisa Feriyanti
"Latar Belakang: Reaktivitas platelet yang tinggi terutama pada kondisi Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST) memerlukan antiplatelet untuk menginhibisi aktivasi dan agregasi platelet sehingga mencegah kejadian trombosis lebih hebat. Eptifibatide, suatu penghambat glikoprotein (Gp) IIb/IIIa diberikan sebagai terapi tambahan pada terapi reperfusi Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP). Reaktivitas platelet yang tetap tinggi ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami kejadian aterotrombosis yang berulang.
Tujuan: Menilai inhibisi agregasi platelet sebagai respon terapi Eptifibatide dan menilai adanya hubungan antara respon inhibisi agregasi platelet terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor (KKM) pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Metode: Pasien IMA-EST yang diberikan Eptifibatide dan dilakukan IKPP dilakukan pemeriksaan fungsi platelet pada menit ke-10 setelah bolus Eptifibatide dengan alat Multiplate analizer. Pasien akan diikuti selama perawatan rumah sakit untuk melihat KKM.
Hasil: Dari 99 subyek penelitian, sekitar 55% subyek merupakan non-responder. Didapatkan 18 pasien mengalami KKM, terbanyak adalah gagal jantung (8 orang), aritmia maligna (3 orang), angina berulang (2 orang), stroke (2 orang) dan reinfark, infeksi dan perdarahan mayor masing-masing 1 orang. Dua belas orang subyek yang mengalami KKM merupakan kelompok subyek non-responder dan 8 subyek berasal kelompok responder. Dari analisa statistik didapatkan bahwa respon inhibisi agregasi platelet yang kurang yaitu pasien non-responder terhadap Eptifibatide tidak meningkatkan risiko terjadinya KKM.
Kesimpulan: Angka subyek IMA-EST dan menjalani IKPP yang non-responder terhadap Eptifibatide sebanyak 55% dengan nilai agregasi yang amat bervariasi yaitu 1 AU hingga 131 AU. Tidak terdapat adanya hubungan respon inhibisi agregasi platelet dalam terapi Eptifibatide dengan KKM pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Background: Eptifibatide, an inhibitor of glycoprotein IIb/IIIa administered as adjunctive therapy to reperfusion therapy Primary PCI in ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) patients. Persistently high platelet reactivity was found in patients who experienced recurrent atherothrombotic events during antiplatelet therapy.
Objective: To evaluate the level of platelet inhibition after Eptifibatide therapy and to assess the relation between level of platelet inhibition and Major Cardiaovascular event (MACE).
Methods: Platelet function test by Multiplate analyzer was performed in STEMI Patients who undergone Primary-PCI, Ten minutes after a bolus of Eptifibatide. MACE were prospectively monitored during hospitalization and the incidence of MACE correlated with the measured level of platelet inhibition.
Results: From 99 subjects, approximately 55% of the subjects were non-responders (high platelet reactivity). 18 patients experienced MACE, most were heart failure (8 people), malignant arrhythmias (3 people), recurrent angina (2 people), stroke (2 people) and reinfark, infections and major bleeding each 1 person. 12 subjects experienced MACE was from the non-responder group and 8 subjects from the responder grup. The study was found that the level of platelet inhibition wasn’t an independent predictor for the risk of MACE.
Conclusion: Less achieved therapeutic effects of platelet Inhibition (non-responders) to Eptifibatide in STEMI undergo Primary PCI patient was found in the majority (55%) subjects. Different level of platelet inhibition wasn’t an independent predictor for the risk of MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Risma Sanggul
"Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST/ ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut yang berat dan menetap akibat oklusi total arteri koroner sehingga diperlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan revaskularisasi dilakukan dalam 12 jam onset serangan angina pektoris dan didapatkan elevasi segmen ST yang menetap atau ditemukan Left Bundle Branch Block (LBBB). Tatalaksana Intervensi Koroner Perkutan primer lebih disarankan dibandingkan fibrinolisis. Penelitian mengenai mortalitas selama 3 tahun pada pasien pasca STEMI dengan IKP primer belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan waktu pengamatan selama 3 tahun. Populasi studi adalah adalah semua pasien diagnosis STEMI dengan terapi IKP primer berusia ≥ 18 tahun dan keluar rawat hidup Tahun 2011-2012 di RSJPD Harapan Kita. Kriteria inklusi sampel adalah pasien didiagnosa STEMI dan keluar rawat dalam keadaan hidup 01 Januari 2011- 31 Desember 2012 dan Pasien STEMI yang berusia ≥ 18 tahun dengan total sampel sebanyak 466 orang. Data pasien diperoleh dari Jakarta Acute Coronary Syndromes (JACS) dan rekam medis. Analisis data dilakukan dengan Stata 12. Pada analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regression time independent, didapatkan pasien STEMI dengan IKP primer yang tidak teratur kontrol memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kontrol teratur ( Adj HR = 5,7 ; 2,447 ? 13,477 ; p value = 0,0001). Pasien STEMI yang DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan tidak DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 - 6,150; p value = 0,034). Pasien STEMI dengan kelas killip II memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kelas killip I (Adj HR = 2,31 ; 0,99 ? 5,363 ; p value = 0,05). Model estimasi risiko hazard: H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]. Keteraturan kontrol, diabetes mellitus dan kelas killip admisi memengaruhi risiko mortalitas pasien STEMI dengan IKP primer di RSJPD Harapan Kita.

ST -Segment Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) is a part of the heavy acute coronary syndromes and settled due to total occlusion of the coronary arteries that required immediate revascularization to restore blood flow and myocardial reperfusion as soon as possible . Revascularization performed within 12 hours of onset of angina pectoris and ST segment elevation obtained were settled or discovered Left Bundle Branch Block ( LBBB ) . Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) Procedures more advisable than fibrinolysis. The purpose of this study to determine the factors that affect the risk of 3 years mortality and resulted in a scoring system STEMI patients with primary IKP based on demographic and clinical patients at the Hospital Cardiovascular Harapan Kita . This study used a retrospective cohort design with observation time for 3 years . The study population was is all STEMI patients with a diagnosis of PPCI ≥ 18 years old and alive at discharge at 2011-2012 in RSJPD Harapan Kita . The inclusion criteria were patients diagnosed STEMI alive at discharge at January 2011 - December 2012 and STEMI patients ≥ 18 years old with a total sample of 466 people . Data obtained from the patient Jakarta Acute Coronary Syndromes ( JACS ) and medical records . Data analysis was performed with Stata 12. In multivariate analysis using Cox regression test time independent , STEMI patients with PPCI who irregular control have a higher mortality risk than regular controls ( Adj HR = 5.3 ; 2.345 to 13.026 ; p value = 0.0001 ) . STEMI patients with DM have a higher mortality risk than not DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 to 6,150 ; p value = 0,034 ) . STEMI patients with killip class II had a higher mortality risk than Killip class I ( Adj HR = 2,31 ; 0,991 to 5,363 ; p value = 0,035 ) . Hazard risk estimation model : H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Katrina Ruth Ulima
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan pilihan utama terapi repefusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan obstruksi mikrovaskular (OMV) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada IKPP. Osteoprotegerin (OPG) merupakan tumor necrosis factor receptor yang konsentrasinya meningkat pada pasien IMA-EST. Studi yang menganalisis hubungan konsentrasi serum OPG dengan luasnya infark masih sangat terbatas.
Metode. Tiga puluh enam pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada bulan September hingga November 2013, direkrut secara konsekutif pada studi potong lintang ini. Dilakukan analisis hubungan antara konsentrasi serum OPG sebelum IKPP dengan hs-trop T 24 jam pasca IKPP.
Hasil. Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum OPG dengan hs-trop T (r = 0.41, p =0.015). Analisis multivariat konsentrasi serum OPG dan onset nyeri mempengaruhi luas infark (indeks kepercayaan 5.15 – 49.19, p =0.017 dan indeks kepercayaan 2.56 - 15.28, p = 0.005).
Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum osteoprotegerin saat masuk dengan luas infark miokard yang diukur dengan hs-trop T pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Primary percutaneous coronary intervention (PPCI ) is the preferred option for reperfusion therapy in acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) patients and microvascular obstruction (MVO) is one of the complication that might occurred during PPCI. Osteoprotegerin (OPG) is a tumor necrosis factor receptors that may increased in STEMI patients. Studies that analyze the relationship between serum concentrations of OPG with the extent of infarction are still very limited.
Method. Thirty six patients underwent PPCI were enrolled in this cross sectional study during September to November 2013. We analyzed the relationship between serum concentrations of OPG before PPCI with the level of hs-trop T measured 24 hours after PPCI.
Results. Bivariate analysis showed a significant correlation between serum osteoprotegerin concentration and hs-trop T (r=0.41, p=0.015). Multivariate analysis showed significant correlation between the extent of infarction with both onset of pain (confidence interval 2.56-15.28, p=0.005) and serum osteoprotegerin concentrations (confidence interval 5.15-49.19, p= 0.017).
Conclusion. This study showed that serum osteoprotegerin concentration have a significant relationship to the extent of infarction measured with hs-trop T in acute STEMI patients underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
"Latar belakang: PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Dua dekade ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. Adanya polimorfisme gain of function E670G PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 423 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme PCSK9 pada saat admisi. Pemeriksaan polimorfisme PCSK9 didapatkan dengan menggunakan Real Time PCR. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Hasil: Terdapat 2,1 % polimorfisme berupa alel mutan (AG). Terdapat 65 (15,4%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari. Didapatkan analisis kesintasan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdapat hubungan yang bermakna antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari.

Background: PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. Polimorphysm gain of function PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between polymorphism gain of function E670G PCSK9 and MACCE in STEMI is still unknown. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between polymorphism Gain of Function E670G PCSK9 with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 423 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for Polymorphism PCSK9. PCSK9 Polymophism was measured with PCR RT. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: The prevalence of Poymorphisme E670G PCSK9 in STEMI patient who underwent PPCI is 2,1 %. There were 65 (15,4%) study participants who experienced MACCE in 180 days. Survival analysis shows a significant association between Polymorphsm Gain of Function E670G PCSK9 and MACCE in 180 days. (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Conclusion: There was significant association between Polymorphsm gain of function E670G PCSK9 and 180 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Dina Liastuti
"Penelitian ini meneliti tentang selisih antara tagihan dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin biaya kesehatan terhadap pelayanan kasus Infark Miokiard Akut di RSJPDHK serta selisih antara tagihan dengan klaim menggunakan tarif INA-CBG`s. Tujuan dari penelitian adalah untuk dapat memperoleh data karakteristik, mutu layanan dan permasalahan biaya dan pembayaran klaim terhadap RS oleh para penjamin/pembayar. Penelitian ini mendapatkan 5472 pasien Infark Miokard Akut selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012 terdiri dari laki laki 81,5% dan perempuan 18,5%, rata-rata usia 56,3 tahun rentang usia yang lebar (21-97 th vs 26-96 th). Sebagian besar berasal dari DKI Jakarta (51%), Tingkat keparahan I 46%, Tingkat II 47,4%, dan Tingkat III 5,9%. Lebih dari separuh pasien (54,64%) mendapat tatalaksana intervensi PTCA atau bedah jantung (CABG), sedangkan 44,54% pasien dirawat tanpa tindakan intervensi non bedah maupun bedah. Penelitian mendapatkan 43,7% pasien dengan jaminan Askes, dan hanya 2,9 % dijamin dengan Jamkes yang dibayar dengan sistem INA-CBG`s. Lama rawat pasien rata rata 7,71±6,30 hari, 87,8, % keluar RS dengan status sembuh. Kesimpulan : Mutu layanan IMA di RSJPDHK tidak dibedakan berdasarkan jenis penjamin, dan adanya selisih antara tagihan RS dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin berhubungan secara bermakna dengan kode diagnosis, jumlah tindakan sekunder, lama rawat dan tingkat keparahan penyakit. Penelitian mendapatkan nilai selisih dalam simulasi perhitungan antara tagihan terhadap klaim dengan sistem INA-CBG`s.

The Study examined the differences between the published rates and the CBG rates among patients with acute myocardial infarction (AMI) in National Cardiovascular Center (NCC) Harapan Kita. The purpose of this study is to examine whether there is quality and other differences among AMI patients paid by difference payers and payment levels. This study analyzed medical records of patients with AMI during the period of January 1, 2009 until December 31, 2012. The study found 5,472 patients with AMI consisting of 81.5% males and 18.5% females with the mean age of 56.3 years (range between 21-97 years vs. 26-96 years). Most of the patients were from Jakarta (51%). On severity levels, 46% patients were in severity level I, 47.7% severity level II, and 5.9% level III. More than half (54.6%) patients were treated with intervention (PTCA) or surgical procedures (CABG), while 44.4% patients were treated conventionally. We found that 43.7% of patients were covered by Askes, and only 2.9% were Medicaid (Jamkesmas) that were paid on DRGs. The average length of stays was 7.7 days and 87.8% were discharged in a good recovery. There was no difference in quality of treatment by difference payers or payment system although there was significant discrepancy in charges among difference payers. This differences in charges were associated differences in diagnoses, the number of secondary procedures, length of stays, and severity of the cases. It is concluded that the doctors provided the same quality of services among AMI patients, regardless of payers` status or charges."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew
"Pendahuluan: Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) telah menjadi salah satu pilihan terapi pada pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang dapat menurunkan angka kematian dengan signifikan. Sebagian pasien yang menjalani IKPP mengalami kegagalan reperfusi optimal yang disebut sebagai no-reflow phenomenon (NRP). Penilaian NRP ini dapat menggunakan berbagai metode, salah satunya dengan menggunakan thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Kegagalan reperfusi juga meningkatkan kejadian major adverse cardiac event (MACE) pada pasien. Hiperaktivitas trombosit diketahui berperan pada patofisiologi terjadinya NRP. Nilai mean platelet volume (MPV) yang merupakan ukuran rerata volume dari trombosit dianggap dapat menggambarkan aktivasi trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran nilai MPV dengan TIMI-flow dan MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan terhadap 137 subyek dengan IMA-EST yang menjalani IKPP. Pemeriksaan MPV dilakukan pada saat masuk rumah sakit dengan alat Sysmex XN-2000. Subyek dibagi berdasarkan kelompok dengan reperfusi sub-optimal (TIMI flow < 3) dan reperfusi optimal (TIMI flow 3). Luaran klinis berupa MACE dilakukan observasi selama minimal 90 hari pasca tindakan.
Hasil: Sebanyak 27.7% dan 28.9% pasien mengalami kegagalan reperfusi dan MACE. Tidak terdapat hubungan antara nilai MPV pada saat masuk rumah sakit dengan kegagalan reperfusi dan kejadian MACE 90 hari pada pasien IMA-EST di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Kesimpulan: Nilai MPV tidak dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan reperfusi dan kejadian MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Introduction: Primary percutaneous coronary intervention (PCI) has become one of the treatment options in patients with acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) which can significantly reduce mortality. In some patients who undergo primary PCI experience failure of optimal reperfusion called the no-reflow phenomenon (NRP). NRP assessment can use various methods, one of them using thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Failure of reperfusion also increases the incidence of major adverse cardiac events (MACE) in patients. Platelet hyperactivity is known to play a role in the pathophysiology of NRP. The mean platelet volume (MPV) which is a measure of the average volume of platelets is considered to be able to describe platelet activation. This study aims to determine the role of MPV values ​​with TIMI-flow and MACE in STEMI patients undergoing primary PCI.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 137 STEMI patients who underwent primary PCI. MPV examination is performed at hospital admission with Sysmex XN-2000. Subjects were divided into groups with sub-optimal reperfusion (TIMI flow <3) and optimal reperfusion (TIMI flow 3). Clinical outcomes in the form of MACE were observed for at least 90 days post-treatment.
Result: 27.7% and 28.9% of patients experienced failure of reperfusion and MACE, respectively. There is no relationship between the MPV value at hospital admission with failure of reperfusion and the incidence of 90-day MACE in IMA-EST patients at the Harapan Kita Heart and Vascular Hospital.
Conclusion: MPV values ​​cannot be used in predicting reperfusion failure and MACE events in STEMI patients undergoing primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>