Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fanany Tedja Triharya Kusuma
"ABSTRAK
Salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah pengambilalihan. Pengambilalihan merupakan cara mengembangkan perseroan yang sudah ada atau menyelamatkan perseroan yang sedang mengalami kekurangan atau kesulitan modal. Tindakan pengambilalihan, disadari atau tidak, akan mempengaruhi persaingan antar para pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan dan membawa dampak kepada konsumen dan masyarakat. Pengambilalihan dapat mengakibatkan meningkatnya atau berkurangnya persaingan yang berpotensi merugikan konsumen dan masyarakat. Pengambilalihan yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan. Ketentuan tentang nilai aset dan/atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan dimaksud telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP No. 57/2010) sebagai pelaksanaan amanat Pasal 28 dan 29 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Berdasarkan bentuknya, tipologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan memberikan data selengkap mungkin tentang objek yang sedang diteliti, karena secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pengambilalihan saham dalam perspektif hukum persaingan usaha serta pengaturannya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

ABSTRACT
Acquisition is one of the economic activities conducted by business actors. In addition, acquisition is a way to expand the existing company or retrieve the company that suffer a setback. Acquisition, whether realized or not, will affect the competition between the business actors in the relevant market and affect to the consumer. Acquisition may cause the increasing or decreasing the competition that potentially injure the consumer. Acquisition that cause the asset value and/or the selling value exceed the certain amount, shall be notified to the Commission, at the latest 30 (thirty) days since the date of merger, consolidation or acquisition. The provision on the asset value and/or the selling value as well as the procedure of such notification through Government Regulation Number 57 of 2010 on Merger or Consolidation of Business Entities and Acquisition of Company Shares that Could Result in Monopolistic Practices and/or Unfair Business Competition (Government Regulation Number 57 of 2010) as subordinate legislation of Article 28 and Article 29 Law Number 5 of 1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition (Law Number 5 of 1999). Pursuant to its form, the typology used in this research is descriptive. This descriptive method is intended to acquire clear description and provide complete data on the researched object, because the purpose of this research to provide description on shares acquisition in the perspective of competition law and its regulation in Law Number 5 of 1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition."
Universitas Indonesia, 2013
T32640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Suseno
"Indonesia menganut sistem konstitutif dalam perlindungan merek yang berarti hak atas merek terbentuk melalui pendaftaran. Meskipun sistem konstitutif perlindungan merek tersebut memberikan kepastian hukum atas pihak manakah yang memiliki hak eksklusif atas sebuah merek, namun dengan tidak dilindunginya pihak beritikad baik yang telah menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang telah terdaftar, dalam hal ini "concurrent user" dan "prior user" atas merek, dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar terhadap pihak tersebut dan juga menyebabkan kebingungan pada konsumen. Hal ini dikarenakan merek merupakan hak kekayaan intelektual yang sangat berharga yang harus dilindungi, bukan hanya sebagai aset perusahaan, namun juga sebagai identitas suatu barang atau jasa yang dapat membedakan barang atau jasa satu produsen dengan produsen lainnya. Karena alasan tersebutlah "prior user" dan "concurrent user" dari sebuah merek harus dilindungi dan dapat terus menggunakan merek yang telah ia gunakan sejak lama tersebut tanpa melanggar hak pemilik merek yang terdaftar. Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai perlindungan bagi "prior user" dan "concurrent user", dan hal ini menyebabkan kendala dalam implementasi Undang-undang Merek tersebut. Kendala dalam implementasi Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 yang berkaitan dengan "prior user" dan "concurrent user" tersebut dicerminkan dalam kasus-kasus di Indonesia yang akan dibahas selanjutnya dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlu atau tidaknya perlindungan bagi "prior user" dan "concurrent user" untuk dimasukkan kedalam Undang-undang Merek yang baru, serta perlindungan seperti apakah yang sebaiknya diberikan bagi "prior user" dan "concurrent user" tersebut. Penelitian tersebut dilakukan dengan menganalisis beberapa kasus mengenai "prior user" dan "concurrent user" yang terjadi di Indonesia, serta menganalisis perlindungan bagi "prior user" dan "concurrent user" yang ada di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Australia dan India.

Indonesia has a constitutive system in trademark protection which means that trademark rights is created through registration. Although constitutive system of trademark protection creates certainty of which party holds an exclusive rights to a trademark, but simply ignoring the rights of a bona fide party who has been using a similar trademark for a long time, in this case concurrent user and prior user of a mark, can cause a detrimental effect on their business and also creates confusion to the consumer. This is because trademark is a very valuable intellectual property that needs to be protected, not only because it is a valuable asset for a company, but most importantly it serves as an identity for a product and differentiates a product of one company from another. It is for this very reason that a prior user and an honest concurrent user of a trademark need to be protected and should not be prohibited, by a registered owner of a similar trademark, from using the mark that they have been using continuously for some time. Law No.15/2001 on Trademark Protection in Indonesia does not provide any protection for prior user or honest concurrent user of a trademark which had caused problems on the implementation of Law No. 15/2001. These problems on the implementation of trademark protection in Indonesia according to Law No.15/2001 in relation to prior user and concurrent user protection is reflected in some cases discussed later in this thesis. This thesis aims to analyse on whether there is a need for prior user and concurrent user protection to be included in the new Trademark Law in Indonesia and what kind of protection should be given. This will be done by analysing some cases about prior user and concurrent user that happened in Indonesia and also analysing prior user and concurrent user protection in other countries such as United States of America, Australia and India."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Ayu
"Adapun Hukum Merek pada dasarnya bertujuan untuk melindungi hasil karya seorang Pemilik Merek, namun demikian tidak semua Merek dapat didaftarkan dan dilindungi. Merek Generik adalah Merek yang telah menjadi milik umum, sedangkan Merek Deskriptif adalah Merek yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, Keduanya merupakan dua dari jenis-jenis Merek yang tidak dapat didaftarkan sebagaimana disebutkan di dalam UU No. 15 Tahun 2001 Pasal 5 huruf c dan d. Adapun Tesis ini merupakan penelitian yang berupaya meninjau tentang bagaimana pengaturan Merek Generik dan Deskriptif di Indonesia berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (khususnya dalam hal kriteria Merek Generik dan Deskriptif yang dapat dilindungi berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001) dan secara internasional berdasarkan Perjanjian-perjanjian Internasional yang terkait dengan Merek, kemudian di dalam Tesis ini akan dianalisa pula mengenai bagaimanakah penerapan Pasal 5 huruf c dan d UU No. 15 Tahun 2001 dalam prakteknya di Indonesia dengan melakukan analisa atas 2 (dua) Putusan Mahkamah Agung terkait permohonan pendaftaran Merek Generik dan Desktiptif di Indonesia. Maka pada Penelitian ini dapat dilihat bahwa UU No. 15 Tahun 2001, Pemeriksa Merek, dan Hakim berperan penting dalam memberikan kepastian hukum atas perlindungan Merek di Indonesia.

It is known that Law of Trademark is basically aimed at protecting the creation of Brand owner; however, not all brand are registrable and protected. Generic brand is a brand which has become public possession; meanwhile, Descriptive brand is a brand which literally delivers information related to the goods or service being registered. Both are two brands among many types of non-registrable Brands/Trademark as it has been explained in Law number 15 year 2001 article 5C&D. This thesis includes a research conducted to observe the management of Generic and Descriptive brand and internationally based on International Agreements related on Brand. Later on, the thesis also analyzed the practical enforcement of article 5C&D of Law No. 15 year 2001 in Indonesia based on 2 (two) verdicts from Supreme Court related to registration appeal of Generic & Descriptive Trademark in Indonesia. In conclusion, the research unveils the importance of Law No. 15 year 2001, Brand Examiner and Judge in delivering Law assurance on Trademark protection in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Rudiarto
"Skripsi ini membahas mengenai persamaan pada pokoknya terhadap merek yang tergolong merek tidak terkenal, dan mekanisme yang harus diatur untuk menilai bahwa suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek lain. Kedua permasalahan tersebut diulas menggunakan metode kualitatif dan ditinjau dari hukum merek. Persamaan pada pokoknya tersebut dilarang oleh Undang-undang Merek, namun belum ada mekanisme yang pasti untuk menilai suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya. Penilaian tersebut menjadi penting, karena penilaian persamaan pada pokoknya sangatlah subyektif. Ketidakjelasan mekanisme ini terkadang menimbulkan perbedaan dalam menerapkan persamaan pada pokoknya pada satu merek. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa perlu dibentuk peraturan yang menjelaskan kriteria yang pasti mengenai penilaian persamaan pada pokoknya.

This bachelor thesis discusses about likelihood of confusion to two trademarks which are not considered as famous trademarks and the mechanism which is needed to be regulated to assess likelihood of confusion. Both of those issues were examined using qualitative method in the term of trademark law. Likelihood of confusion is prohibited by Trademark Law, but still there is no clear mechanism to assess likelihood of confusion for trademark. This assessment is important, as the assessment for likelihood of confusion is subjective. The unclear mechanism can sometimes cause differency to apply likelihood of confusion theory for trademark. This research result suggest that it is needed to create regulation which explains clear characteristic to assess likelihood of confusion for trademark."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56750
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Nurcahyo
"Undang-undang merek di berbagai negara memberikan hak bagi pemilik merek terdaftar untuk memberikan surat persetujuan (letter of consent) kepada pihak lain dalam mendaftarkan merek serupa dengan tingkatan yang berbeda-beda. Namun, penggunaan letter of consent tersebut dapat mengakibatkan kemungkinan kebingungan pada publik. Bagaimana Indonesia sebaiknya mengatur mengenai penggunaan letter of consent tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan privat pemilik merek terdaftar dan kepentingan publik guna
mencegah adanya kemungkinan kebingungan pada publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis dan memaparkan mengenai pengaturan letter of consent dalam pendaftaran merek di Indonesia, Singapura dan Malaysia, dampak dari penggunaan letter of consent tersebut, serta menganalisis dan memaparkan bagaimana sebaiknya sikap Indonesia mengatur penggunaan letter of consent dalam pendaftaran merek di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan, pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara membandingkan antar Undang-undang merek Indonesia, Singapura dan Malaysia dan menganalisisnya dengan sistem dan konsep hukum di bidang merek. Pengaturan letter of consent pada setiap negara (Indonesia, Singapura dan Malaysia) berbeda-beda. Penggunaan letter of consent ternyata memiliki dampak positif dan negatif sehingga kedepannya Undang-undang Merek Indonesia harus memberikan batasan penggunaan letter of consent guna menghindari adanya dampak negatif tersebut. Batasan tersebut yaitu letter of consent tidak dapat digunakan terhadap merek identik untuk barang atau jasa sejenis.

Trademark law in several countries provides a rights for the registered trademark owner to
provide a letter of consent to other party in registering similar trademark with different degrees. However, the use of letter of consent may cause a likelihood of confusion to the
public. How Indonesia supposed to regulate the said use by considering the private rights of registered trademark owner and public interest to prevent such a likelihood of confusion to the public. The purpose of this research is to analyze and explain relating to the use of the letter of consent in trademark registration in Indonesia, Singapore, and Malaysia, as well as to analyze and explain on how Indonesia supposed to regulate the use of letter of consent in Indonesian trademark registration. The method used in this research is a normative juridical by using comparative approach, statute approach, and analytical approach. The said
approach is carried out by comparing between trademark law of Indonesia, Singapore, and Malaysia and analyze it with system and concept of law in the trademark field. Letter of consent regulation in each country (Indonesia, Singapore, and Malaysia) is different. The use of the letter of consent have a positive and negative impacts so that the later Indonesian
Trademark Law must provide the limitation of the use of the letter of consent to avoid the
said negative impact. The limitation is that letter of consent cannot be used to the identical
trademark with the same kind of goods or services.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pembahasan mengenai generic term dalam
perlindungan merek terkait dengan istilah “Town Square”
setidak-tidaknya mencakup dua masalah penting, yaitu: (1)
apa urgensi pengaturan secara khusus mengenai generic term.
dan (2) apakah merek town square merupakan generic term
sehingga dapat diajukan gugatan pembatalan merek di
Pengadilan Niaga. Di Indonesia generic term hanya diatur
secara implisit (tersirat) dalam pasal 5 huruf b dan c UU
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Sedangkan, di Amerika
Serikat, walaupun perlindungan terhadap generic term tidak
diatur secara lengkap dalam Section 45 the Lanham Act (15
U.S.C. § 1127), namun seiring dengan teori hukum tentang
generic term yang terus mengalami perkembangan sehingga
menghasilkan berbagai preseden, cara penyelesaian terhadap
masalah generic term telah mengalami kemajuan dan memiliki
kepastian hukum. Dari Berbagai data yang ada dapat
ditunjukkan bahwa generic term harus diatur secara lebih
khusus dan jelas, karena merupakan istilah yang menunjukkan
genus suatu jenis barang atau jasa dari produk yang menjadi
komoditi perdagangan yang dapat dipergunakan secara bebas
oleh seluruh warga. Dari berbagai preseden di Amerika
Serikat dapat pula dibuktikan bahwa perlindungan hukum
terhadap generic term di suatu negara sangat penting. Di
Indonesia, “Town Square” telah tergeneralisasi sehingga
menjadi generic term. Jadi, dapat dilakukan gugatan
pembatalan pendaftaran merek “Town Square” terhadap PT GMR
di Pengadilan Niaga dengan menggunakan dasar hukum pasal 68
ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek serta berbagai
teori hukum mengenai generic term. Penelitian ini
menggunakan metode normatif/doktrinal. Sedangkan, metode
pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah metode
kualitatif sehingga menghasilkan data yang bersifat
preskriptif."
Universitas Indonesia, 2005
S24458
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Widyanti Worowirasmi
"Merek merupakan salah satu elemen yang penting di dalam dunia Perdagangan,
keberadaan merek ditujukan sebagai suatu identitas dari pelaku usaha tertentu.
Keberadaan Merek terus berkembang seiring dengan perkembangan indusri,
dimana merek tidak hanya terdiri dari Merek yang bersifat Konvensional, namun
juga terdapat Merek Non-Konvensional. Salah satu jenis Merek Non-Konvensional
yaitu Position Mark (Merek Posisi). Position Mark telah mendapatkan
perlindungan di ranah Internasional. Akan tetapi, tidak semua negara melindungi
position mark sebagai Merek, dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang
tidak melindungi position mark sebagai Merek. Sebagai pembanding, pada skripsi
ini akan dibahas mengenai Perlindungan position mark di beberapa negara seperti
Uni Eropa, Jepang, dan Korea. Selain itu, skripsi ini juga membahas mengenai
permasalahan atau kendala di dalam melidungi position mark sebagai merek,
seperti ketiadaan daya pembeda, anggapan position mark sebagai dekorasi semata,
definisi yang masih rancu, dan permasalahan di dalam Undang-Undang Merek
Indonesia, serta urgensi perlindungannya di Indonesia. Metode yang digunakan di
dalam Skripsi ini adalah Yuridis-Normatif yang didukung dengan bahan-bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier, serta menggunakan pendekatan konseptual
dan komparatif terhadap hukum merek yang berlaku di negara lain

Trademark is one of the most important elements in the world of Commerce. The
existence of a Trademark is intended as an identity of a certain Business Actor. The
existence of Trademark continues to grow along with the development of Industry.
Hence, nowadays, Trademark does not only consist of the Conventional one, yet
there are also the Non-Conventional ones. One of the types of Non-Conventional
Trademarks is Position Mark. Position Mark has received protection in the
International scope. However, not all countries protect position mark as a
Trademark, where Indonesia is one of the countries that does not protect position
mark as a Trademark. As a comparison, this thesis will discuss the protection
regarding position mark in several countries, such as The European Union, Japan,
and Korea. In addition, this thesis will also discuss the problems regarding position
mark protection as a Trademark, such as the lack of distinction, the perception of
position mark as mere decoration, ambiguous definitions, and problems in the
Indonesian Trademark Law, as well as the urgency of its protection, especially in
Indonesia. The method in writing this thesis is juridical-normative research that also been supported by primary, secondary, and tertiary legal materials. This thesis also
uses a conceptual and comparative approach to trademark law in other countries
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafa Sakina Noer
"Dengan berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, hukum merek Indonesia memperluas perlindungan merek, mencakup komponen baru yaitu bentuk tiga-dimensi. Namun peraturan perundang-undangan merek yang berlaku setelah itu, tidak mengatur lebih dalam mengenai konsep merek tersebut, menyebabkan perlindungan terhadap konsep ini masih terkesan abu-abu. Di lain sisi, perlindungan merek tiga-dimensi di Amerika telah berlangsung lebih lama dibandingkan Indonesia, dan pengaturannya pun terletak pada sebuah konsep khusus bernamakan trade dress. Penelitian ini menganalisa, pertama, indikator merek tiga-dimensi di Indonesia yang tidak dielaborasi dalam hukum merek yang berlaku di Indonesia, serta peraturan pelaksananya. Kedua, penelitian ini membandingkan bagaimana perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia dan di Amerika, dari segi peraturan maupun praktiknya. Dengan harapan, akan terlihat sudah sejauh mana perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia jika dilihat dari sudut pandang trade dress Amerika. Ketiga, adakah hal-hal yang dapat Indonesia pelajari dari konsep trade dress di Amerika yang sudah jauh berkembang pesat, demi kepentingan publik di masa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atas norma hukum tertulis. Wawancara dengan pegawai pemeriksa merek Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dilakukan untuk memberikan gambaran perbedaan praktik dan peraturan tertulis tentang merek tiga-dimensi. Kesimpulan penelitian ini adalah perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia jika dilihat dari peraturan tertulis yang berlaku, sudah tertinggal jauh dari praktik yang sebenarnya dilakukan. Dalam praktiknya, perlindungan merek tersebut telah berkembang sangat pesat, dimana implementasinya banyak terinspirasi dari praktik di luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Sehingga, bisa dikatakan bahwa konsep tiga-dimensi di Indonesia sudah sejajar dengan konsep trade dress. Namun dari praktik tersebut, kebanyakan dijalankan tanpa adanya peraturan tertulisnya; masih sebatas kewenangan petugas bersangkutan ataupun dari kebiasaan yang selama ini dilaksanakan.

With the enactment of Law no. 20 of 2016, Indonesia's trademark law expands its protection of trademarks, including a new mark component, namely three-dimensional shapes. However, the trademark laws and regulations that were implemented after that, did not regulate further on the new recognized component, causing the protection of this concept still vague. On the other hand, three-dimensional marks protection in the U.S. has existed long before Indonesia and the component lies under a special concept called trade dress. This research analyzes, firstly, three-dimensional mark indicators in Indonesia which are not elaborated in the prevailing trademark laws and regulations in Indonesia. Second, this study compares the three-dimensional marks protection in Indonesia and U.S., from the aspect of regulatory frameworks and practices, with hope that the extent of three-dimensional marks protection in Indonesia will be discovered from the point of view of U.S. trade dress. Third, the values that Indonesia can learn from the U.S. trade dress concept for the benefit of the public in the future. This research uses normative legal research on written legal norms. An interview with trademark examiner of the Directorate General of Intellectual Property was conducted to provide an overview of the discrepancy between the practice and written regulations regarding three-dimensional marks. The conclusion of this research is that the prevailing written regulations of three-dimensional marks in Indonesia is far from the actual practice. In practice, the protection of the mark has developed greatly, and its implementation is mostly inspired by the practices abroad, especially the U.S. Thus, it can be asserted that the Indonesian three-dimensional mark is equivalent with the trade dress concept. However, mostly the practice is carried out without any written regulations; it is solely based on the authority of the authorized officials or from the tendency that have been implemented so far."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Jened
Jakarta: Kencana, 2015
346.048 8 RAH h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Ivor Ignasio
"Pengalihan hak atas merek terdaftar dimohonkan pencatatannya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencatatan pengalihan hak atas merek terdaftar tersebut diumumkan dalam berita resmi merek. Setelah dicatatkan, pengalihan hak atas merek terdaftar tersebut baru memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga. Ketentuan ini telah secara jelas diatur dalam Undang-Undang Merek. Namun, di dalam proses persidangan terdapat pertentangan, dimana setelah pengalihan hak atas merek dicatatkan, justru Pengadilan Niaga tetap menghendaki agar pemilik lama hak atas merek terdaftar untuk diikutsertakan dalam gugatan pembatalan hak atas merek terdaftar. Hal ini tentunya menjadi kerancuan mengenai akibat hukum pencatatan pengalihan merek terhadap pihak ketiga.

The recordation of assignment of registered trademark needs to be applied to the Minister of Law and Human Rights. The recordation of assignment of registered trademark shall be announced in the general register of trademark. The assignment of registered shall only have legal consequence to the third parties after being recorded. This provision has been regulated clearly under the Trademark Law. However, the trial proceeding shows contradiction with the provisions as set out under the Trademark Law, in which after the assignment of trademark has been recorded the Commercial Court requires the former trademark owner to be involved in the cancellation claim of registered trademark. This of course will create confusion pertaining to the legal consequence of recordation of trademark assignment towards the third parties. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>