Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143724 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinda Yanti
"Ditinjau dari masalah dan hambatan yang ada, konsep wanatani dalam pengelolaan pertanian di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang NTT belum berkelanjutan. Tujuan penelitian adalah mengajukan konsep dan model wanatani untuk pengelolaan pertanian berkelanjutan pada ekosistem semi arid. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ditinjau dari fungsi ekologi yang meliputi vegetasi, kesuburan tanah, iklim mikro, erosi, dan kesesuaian lahan wanatani belum optimal dan belum berkelanjutan untuk mendukung produktivitas dan konservasi lahan. Fungsi ekonomi yaitu produktivitas wanatani sudah optimal, namun kurangnya dukungan kelembagaan dan fungsi sosial menyebabkan pengelolaan pertanian belum optimal dan belum berkelanjutan. Simulasi model memperlihatkan integrasi fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi wanatani di ekosistem semi arid dapat meningkatkan konservasi dan produktivitas lahan.

Observed from the existing problems and obstacles, the agroforestry concept in the agricultural management in Amarasi District, Kupang Regency NTT, is not yet sustainable. The research objectives are to propose the agroforestry concept and model for the sustainable agricultural management in the semi arid ecosystem. The research result shows that observed from the ecological function including vegetation, land fertility, micro climate, erotion, and agroforestry land suitability is not yet optimal and not yet sustainable to support the productivity and conservation of agroforestry land. The agroforestry productivity economic function is already optimal, but the lack of institutional support and social function causes the agricultural management to be not yet optimal and not yet sustainable. The model simulation shows the integration of the ecological, social, and economic functions of agroforestry in the semi arid ecosystem can increase the land conservation and productivity."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lewoleba, Gregorius Goran
"Interaksi antara manusia dengan lingkungan pada hakekatnya berkembang sebagai perwujudan tanggapan aktif manusia terhadap tantangan yang dihadapi dalam suatu ekosistem. Dengan pegetahuan kebudayaan yang dimilikinya, manusia berusaha melihat, memahami, memilah-milahkan gejala untuk kemudian merencanakan tindakan dan menentukan sikap dalam beradaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan strategi yang dianggap effektif.
Upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya senantiasa ditempuh dengan berbagai macam cara antara lain melalui kegiatan pertanian. Aktivitas manusia dalam bidang pertanian tidak lain merupakan pencerminan interaksi antara lingkungan dengan kemampuan manusia untuk mengubah dan mentransfer energi yang diperlukan dalam hidupnya. Meskipun demikian, hal ini tergantung dari kondisi ekosistem yang memberi peluang bagi usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya, di samping pemahaman penduduk tentang lingkungannya.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan mengambil 120 Kepala Keluarga (KK) sebagai responden yang dipilih secara random pada 3 buah desa yang ditentukan secara purposive. Metodologi yang digunakan adalah Deskriptif Kualitatif, dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terpimpin, wawancara mendalam dan studi kepustakaan, serta pengamatan terlibat.
Dengan memperhatikan latar belakang lingkungan dan masyarakatnyat maka timbul pertanyaan bagaimana penduduk setempat bertahan hidup di lingkungan yang mempunyai kondisi fisik yang "kurang menguntungkan", apabila dilihat dari mata pencaharian mereka, khususnya dalam bercocok tanam. Lebih lanjut hal itu menunjukan bahwa betapapun "kerasnya" kondisi lingkungan penduduk setempat ternyata masyarakat dapat mengelola sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai perwujudan adaptasi aktif mereka. Oleh karena itu timbul pertanyaan lebih lanjut bagaimana masyarakat petani memahami lingkungannya ? Bagaimana mereka sampai pada keputusan beradaptasi terhadap lingkungannya dan bertahan hidup dalam kondisi fisik yang kurang mengunungkan, dengan mengembangkan pencaharian utama bercocok tanam ?
Secara umum penelitian ini dimaksud untuk memperoleh pengertian bagaimana ekosistem dan kebudayaan mempengaruhi pilihan strategi adaptasi penduduk di lingkungan savana. Lebih lanjut penelitian ini secara khusus bertujuan :
1) Untuk mengetahui pengaruh penggunaan teknologi terhadap kemampuan adaptasi masyarakat petani.
2) Untuk mengetahui pengaruh tingkat sosial petani terhadap kemampuan beradaptasi.
3) Untuk mengetahui pengaruh tingkat kebutuhan hidup masyarakat petani terhadap kemampuan beradaptasi.
4) Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan masyarakat petani terhadap kemampuan beradaptasi.
5) Untuk mengetahui pengaruh orientasi pasar masyarakat terhadap kemampuan beradaptasi
6) Untuk mengetahui pengaruh orientasi kerja masyarakat petani terhadap kemampuan beradaptasi.
7) Untuk mengetahui strategi adaptasi yang paling relevan agar dapat meningkatkan taraf hidup dengan tetap menjaga keseimbangan dan stabilitas ekosistem savana.
8) Untuk mengetahui pengaruh lingkungan dalam menentukan strategi adaptasi.
Sebagai implikasi dari keadaan lingkungan alam yang kurang menguntungkan, maka masyarakat petani di Kecamatan Amarasi menentukan strategi tindakan untuk beradaptasi dengan lingkungannya melalui kegiatan usaha tani terpadu di atas lahan kering. Bentuk kegiatan (dalam pengertian luas) yang dominan adalah perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar dan penggembalaan ternak dengan sistem lepas liar.
Sebagai akibat dari bentuk kegiatan pertanian seperti tersebut di atas, maka semakin memperbesar areal lahan kritis dalam ekosistem savana yang pada gilirannya menjadi faktor menyebab proses perusakan lingkungan.
Akan tetapi berdasarkan hasil pengalaman yang diwarisi secara turun temurun dari para pendahulunya, masyarakat petani di Kecamatan Amarasi dapat bertahan hidup dalam ekosistem savana yang demikian itu. Hal ini disebabkan karena masyarakat petani memiliki "kearifan lingkungan" untuk menetapkan strategi beradaptasi, baik adaptasi secara ekonomis maupun adaptasi secara ekologis.
Adaptasi ekologis yang cukup efektif dan masih relevan dilakukan oleh masyarakat petani di Kecamatan Amarasi adalah sistem lamtoronisasi.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kemampuan masyarakat petani beradaptasi terhadap ekosistem savana dipengaruhi oleh cultural core (inti kebudayaan) yang meliputi aspek sosial budaya, sosial ekonomi dan penguasaan teknologi yang dijabarkan ke dalam beberapa variabel yaitu orientasi kerja, kebutuhan hidup dan orientasi pasar. Sedangkan variabel yang tidak mempunyai hubungan pengaruh dengan kemampuan beradaptasi dari masyarakat petani adalah status sosial, tingkat pendidikan dan tingkat penguasaan teknologi.

Interaction among humans with their environment is basically progressing as a manifestation of active responses against challenges met in any ecosystem. With their cultural knowledge, humans try to see, understand and identify symptoms, plan their actions and determines attitudes in adapting to the environment by developing strategies, which are supposed to be effective.
Efforts to fulfill human necessities in order to survive are always achieved through various ways such as through agriculture represent reflection of interactions between environmental condition and human ability to modify natural resources and transferring them into energy they need yet; this depends on the ecosystem condition that gives opportunity for humans to survive, beside people is understanding about their environment.
This research is carried out in the Sub-District of Amarasi, District of Kupang, East Nusa Tenggara; using 120 heads of household (K<) as respondents, purposively selected by random sampling from villages.
Methodological approach used is descriptive qualitative, where data collection was conducted with the help of guided interviews and depth interview, supported by Library Studies, and participant observation.
Taking the background of environment into consideration, there is question as to how the local inhabitants in the ecosystem could survive in the ecosystem that has physical condition, which is less profitable seen from their way of living, especially in cultivation. It was also indicated how hard the local ecosystem condition might be. In reality the inhabitants are able to manage the available resources to fulfill their necessities as a manifestation of their active adaptation. Further questions are how the peasant community perceives their ecosystem and how they arrive on a decision to adapt to their ecosystem and survive in a natural condition, which is less profitable, by developing cultivation as the main economic activity. This research is meant to study how ecosystem and cultural affects community strategic adaptation alternative in a savanna ecosystem.
Further, this research is especially supposed
1) To know the influence of technology application on the adaptation ability of the peasant community.
2) To know the influence of life necessities standard of the peasant community on their adaptation ability.
3) To know the influence of education level of the peasant community on their adaptation ability.
4) To know the influence of social status of the peasant community on their adaptation ability.
5) To know the influence of market orientation of the peasant community on their adaptation ability.
6) To know the influence of work orientation of the peasant community on their adaptation ability.
7) To know the strategic adaptation which is most relevant in order to obtain living standard increase by keeping the harmony and stability of the savanna ecosystem.
8) To know the influence of environment in deciding strategic adaptation.
As implication of the condition of the natural ecosystem, which is less profitable, the peasant community in the Sub-District of Amarasi determine their strategic adaptation to their environment by way of integrated cultivation activity on the dry fields. The dominant cultivation activities (in broad meaning) are slash and burn shifting cultivation system and natural animal (wildlife) pastoral system.
As result from such kind of activities, critical areas are extending, causing environmental deteriorations.
But, based on experiences, which are inherited form, their ancestors, from generation to generation the peasant community in the Sub-District of Amarasi has been able to survive in the savanna ecosystem. This is due to the fact that the peasant community have "environmental wisdom" to determine strategic adaptation, either economic or ecologic. Ecologic adaptation, which is still effective and relevant that performed by the peasant community in .the Sub-District of Amarasi is "Lamtoro cultivation system". In this research it was found that the peasant community's ability in adapting themselves to the savanna ecosystem is being affected by their cultural core that cover their cultural, social, and economic aspects, and their technological mastery that are formulated in some variables i.e. work orientation, life necessities and market orientation. Whereas variables that have no influences on the adaptation ability of the peasant community are social status, educational level and technological mastery.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrik Ataupah
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara peternak mengelola sapi supaya dapat mengatasi masalah-masalah kekurangan makanan ternak, terutama pada musim kemarau. Studi ini juga bertujuan untuk mengetahui keputusan-keputusan apakah yang biasa diambil peternak untuk mengatasi kekurangan makanan ternak, faktor-faktor apa yang mendorong peternak untuk mengambil keputusan, dan apakah akibat dari kegiatan-kegiatan peternak terhadap lingkungan. Peternak-peternak di lokasi penelitian ini bekerja dalam ekosistem sabana Timor yang ditentukan dan dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks di antara : Musim hujan yang singkat dengan curah hujan yang tidak menentu, musim kemarau yang panjang, tanah liat yang muda:Q. mengalami erosi, tanah kapur yang poreus dan tanah karang berbatu-batu yang kering dalam musim kemarau, sungai-sungai musim yang tidak tetap debit airnya, pertumbuhan vegetasi yang tergantung pada keadaan cueca, dan pertambahan penduduk yang tidak memperdulikan daya dukung lingkungan dalam mencari nafkah. Pengelolaan ternak yang tidak dikaitkan dengan pengelolaan padang rumput, sedangkan padang rumput sabana diandalkan sebagai sumber makanan ternak, merupakan titik ancang dari proses kerusakan lingkungan yang didalangi peternak."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1983
T38089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paris: UNESCO; CRC Press, 2009
363.610 INT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ataupah, Hendrik, authro
"ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara peternak mengelola sapi supaya dapat mengatasi masalah-masalah kekurangan makanan ternak, terutama pada musim kemarau. Studi ini juga bertujuan untuk mengetahui keputusan-keputusan apakah yang biasa diambil peternak untuk mengatasi kekurangan makanan ternak, faktor-faktor apa yang mendorong peternak untuk mengambil keputusan, dan apakah akibat dari kegiatan-kegiatan peternak terhadap lingkungan.
Peternak-peternak di lokasi penelitian ini bekerja dari ekosistem sabana Timor yang ditentukan dan dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks diantara : musim hujan yang singkat dengan curah hujan yang tidak menentu, musim kemarau yang panjang, tanah list yang mudah mengalarri erosi, tanah kapur yang poreus dan tanah karang berbatu-batu yang kering dalam musim kemarau, sungai-sungai musim yang tidak tetap debit airnya, pertumbuhan vegetasi yang targantung pada keadaan cuaca, dan pertambahan penduduk yang tidak memperdulikan daya dukung lingkungan dalam mencari nafkah. Pengelolaan ternak yang tidak dikaitkan dengan pengelolaan padang rumput, sedangkan padangrumput sabana diandalkan sebagai sumber makanan ternak, merupakan titik ancang dari proses kerusakan lingkungan yang didalangi peternak.
Padang rumput menjadi arena kegiatan peternakan oleh peladang, tukang-tukang di pe desaan,pedagang,penyiar agama, pegawai negeri, dan sebagainya sehingga daya dukung lingkungan makin menurun. Ketika rumput alam makin habis oleh sapi, tidak segera dilakukan kegiatan penanaman rumput dan pohon-pohon lain untuk diberikan sumber makanan ternak, dan tidak dilakukan pengelolaan padang rumput yang baik, tetapi justru peternak berpaling pada pohon - pohon yang relatif sedikit jumlahnya. Padang rumput, hutan, dan tanah menjadi rusak, dan terjadi suatu rangkaian kerusakan lingkungan, sehingga manusi a dan sapi terpengaruh. Kawanan sapi yang lapar menyerbu ladang, sawah, dan tanaman pekarangan. Petani inempertahankan .pertaniannya dengan pagar yang tinggi dan kokoh dengan menggunakan kayu, pelepah lontar dan gebang, bambu, dan sebagainya sehingga proses perusakan hutan berlangsung.
Peternakan sapi yang dinaksudkan sebagai pengganti perdagangan cendana sebagai tulang punggung perekonomian Timor ternyata merupakan faktor perusak lingkungan meskipun demikian Pemerintah berusaha agar sapi tetap d.ipelihara rakyat, tetapi kebebasan sapi harus dibatasi, diberikan makanan dan minuman yang cukup, serta kualitasnya diper baiki. Pembatasan kebebasan sapi antara lain dilakukan relalui pembuatan pagar desa, tetapi segera timbul parselisihan antara peternak yang masih melepaskan sapi dengan penduduk desa yang membuat pager pencegah sapi. makanan utama sapi yang diikat terdi ri atas lantoro.
Kehadiran lantoro yang pada mulanya ditanam untuk penyuburan tanah dan anti erosi tetapi yang kini menjadi sumber makanan penggemuk sapi merangsang petanimenjadi peternak dan peternak meningkatkan Jumlah sapinya yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Peternak dapat memutuskan untuk melakukan peternakan dengan mengikat sapi dan sekaligus melepaskan sapi lainnya, tetapi keputusan itu menimbulkan masalah tenaga kerja dan masalah lainnya yang tidak dapat dipecahkan peternak sendiri.
Bimbingan dan penyuluhan untuk perbaikan kualitas sapi melalui kontes sapi dan inseminasi buatan dilakukan pemerintah dan diikuti peternak, tetapi menimbulkan masalah penyediaan makanan ternak.
Penanggulangan kekurangan air dilakukan melalui penggalian sumur, pembuatan cekdam, dan penggunaan batang pi-sang. Keadaan curah hujan yang tidak teratur, jenis tanah, dan kenampuan teknologi peternak yang terbatas menghambat usaha penanggulangan kekurangan air ini.
"
1983
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ausirio Sangga Ndolu
"[Skripsi ini membahas tentang pergeseran pola asuh orangtua terhadap anak yang terjadi pada keluarga Rote yang sudah menetap di kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Dimana pola asuh menggunakan budaya kekerasan sebagai instrumen dalam menuntut anaknya dalam berperilaku sesuai dengan perkembangan zaman sudah mulai bergeser kepada pola asuh yang demokrasi dimana kekerasan sudah tidak lagi menjadi budaya dalam mengasuh anak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mewawancarai 3 generasi dalam 1 keluarga. Kriteria informannya adalah kakek nenek sebagai generasi pertama orang tua sebagai generasi kedua dan anak perempuan dan laki laki remaja dan dewasa. Hasil temuan menunjukkan bahwa pola pengasuhan yang terjadi pada keluarga modern telah bergeser dari pola asuh otoriter dengan budaya kekerasan menjadi pola asuh demokratis beserta budaya kekerasan yang mulai hilang pilihan terharadap pola asuh yang mereka gunakan dipengaruhi oleh berbagai faktor faktor internal maupun eksternal dari orangtua.

This study discuses changes transitions and factors of Rote Families who have settled in Kupang NTT. Where violence as a culture its the first instrument in demands to prepare child for a better future. But In accordance with the times has begun to shift to the democracy parenting styles where violence is no longer a culture of parenting. This Study used a qualitative method by interviewing three generations in one family. Criteria informants are grandparents as the first generation parents as the second generation and female male adolescents and adults as the third generation the findings of ths study indicate that the pattern of parenting styles in Rote Families have changed. Influenced by various internal and external factors., Name Ausirio Sangga NdoluStudy Programme SociologyTitle Parenting Transititions on Rote Families in Kupang NTT This study discuses changes transitions and factors of Rote Families who have settled in Kupang NTT Where violence as a culture its the first instrument in demands to prepare child for a better future But In accordance with the times has begun to shift to the democracy parenting styles where violence is no longer a culture of parenting This Study used a qualitative method by interviewing three generations in one family Criteria informants are grandparents as the first generation parents as the second generation and female male adolescents and adults as the third generation the findings of ths study indicate that the pattern of parenting styles in Rote Families have changed Influenced by various internal and external factors Keywords Parenting the Child Shifting Patterns of Parenting styles Violence Culture ]"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S61377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Mahur
"ABSTRAK
Semua orang di muka bumi ini menyadari akan makna dan peranan tanah dalam kehidupannya. Bagi petani di pedesaan tanah mempunyai beberapa nilai dari yang paling abstrak sampai yang paling konkrit. Nilai tanah itu bagi petani dapat bersifat ekonomis dan kesejahteraan, sosial dan yuridis, serta religius.
Saat ini, di Indonesia banyak permasalahan yang timbul berkaitan dengan tanah umumnya dan pengelolan tanah khususnya. Permasalahan tanah ini di Indonesia merupakan salah satu isu nasional yang krusial dan kompleks. Ada empat hal penting mengenai tanah yang perlu ditangani segera, terutama di luar pulau Jawa yaitu (1) sistem klasifikasi tanah yang belum menjamin penggunaan tanah secara optimal, baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan, (2) begitu banyaknya instansi yang terlibat dan berkepentingan dengan Perencanaan Tata Guna Tanah sementara itu data mengenai penggunaan tanah cenderung tersentralisasi dan tidak tersedia di propinsi yang berwenang membuat keputusan tentang penggunaan tanah; (3) kendala yang dihadapi petani kecil dan migran dalam mendapatkan tanah pertanian baru yang cocok dan (4) kesulitan proyek-proyek pembangunan dalam mengidentifikasikan dan mendapat tanah usaha dalam skala yang dibutuhkan, selain karena klaim dari masyarakat setempat, juga karena adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi.
Pada dasarnya, permasalahan tanah itu timbul karena interaksi, interelasi dan adaptasi manusia atas tanah semakin kuat dan intensif. Karena itu dalam mengkaji permasalahan tanah dan pengelolaannya tidak terlepas dari manusia itu sendiri, sebagai unsur utama dalam lingkungan hidup. Ada dua hal yang esensial yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani yaitu sistem budaya para petani tersebut dan kebijaksanaan pemerintah mengenai pengelolaan tanah. Pada kajian ini kebudayaan dan kebijaksanaan pemerintah yang disoroti hanyalah mengenai insentif dan disinsentif. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 tahun 1982, bahwa insentif dan disinsentif dapat digunakan untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Permasalahan pokok tulisan ini adalah bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengelola tanahnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, mencapai tujuan-tujuannya dan mendapat ketentraman hidupnya, dalam kondisi lingkungan hidup yang senantiasa berubah. Dari permasalahan tersebut muncul dua pertanyaan yakni : (1) faktor-faktor apa yang mempunyai hubungan dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan Satar Mese, dan (2) bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Tujuan umum kajian ini ialah mengetahui bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi pada lingkungannya, yang tercermin pada sistem, pola dan cara pengelolaan tanah yang dipakai dan dikembangkannya. Secara khusus tujuan kajian ini ialah : (1) untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani; dan (2) untuk memaparkan bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Adapun hipotesis kerja yang menjadi sasaran telaahan ini adalah : (1) insentif dan disinsentif mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah; (2) insentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (3) disinsentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (4) insentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; dan (5) disinsentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah.
Data untuk kajian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder didapat melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Data primer diperoleh dari 100 responden dari kelima desa sampel. Pengumpulannya lewat wawancara berstruktur dan wawancara mendalam. Sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Survei Deskriptif Kualitatif, maka data diolah dan dianalisis dengan tabel sederhana, tabel silang dan uji statistik berupa Koefisien Kontingensi (KR) dan Kai Kuadrat.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa para petani di kecamatan Satar Mesa mempunyai kearifan dan kebijakan ekologis yang khusus mengenai pengelolaan tanah. Hal ini selain tampak pada asas dan dasar hukum mengenai sistem, pola dan cara pengelolaan tanah, juga terbukti pada tingkat keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah.
Asas dan dasar hukum pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini bertumpu pada dan merupakan pengejawantahan dari pandangan dan cita-cita hidupnya yaitu Prinsip Sosial Kolektivitas, Prinsip Keselarasan dan Keseimbangan, dan Prinsip Musyawarah Mufakat. Ketiga prinsip hidup yang demikian itu berimplikasi selain pada cara, pola dan wawasan berpikirnya dalam berinteraksi, berinterelasi dan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya, juga terutama pada sikap, perilaku, aktivitas dan tindakannya sehari-hari pada tanah. Penguasaan tanah dalam bentuk Lingko dan tobok, yang umumnya belum mempunyai surat bukti hak yang kuat; penggunaan tanah berupa ladang, sawah, pekarangan dan hutan; dan pengerjaan tanah dengan pola usaha tani dan teknologi pertanian yang relatif sederhana dan cenderung mentradisi, memancarkan sikap dan perilaku, kemampuan dan upaya para petani dalam menyesuaikan diri dengan kondisi tanah yang dikuasainya.
Pada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan tanah, kearifan dan kebijakan ekologis para petani itu ditunjukkan oleh besarnya nilai Koefisien Kontingensi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah, yang semuanya termasuk dalam katagori sedang yaitu 0,58, 0,46, 0,40 dan 0,37; ini berarti hubungan antara kedua peubah itu masing-masing relatif erat dan kuat. Signifikansi hubungan tersebut berada pada taraf 1 % dan 5 %. Oleh karena itu ketentuan Pasal 8 Undangundang Nomor 4 tahun 1982 merupakan ketentuan yang tepat dan bijak, sehingga perlu dipertahankan dan diperluas ruang lingkup berlakunya.
Namun bila ditelaah secara mendalam, tampak bahwa keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif budaya lebih kuat daripada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan, penggunaan dan pengerjaan tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa insentif dan disinsentif budaya tetap merupakan faktor penting dan menjadi acuan serta pedoman utama para petani di kecamatan ini dalam menguasai, menggunakan dan mengerjakan tanahnya. Karena itu dalam memasukkan inovasi baru yang berhubungan dengan pengelolaan tanah di kecamatan Satar Mese perlu memperhatikan dan mepertimbangkan kearifan dan kebijakan ekologis yang dimiliki dan dikembangkannya, agar inovasi itu tidak menjadi mubazir dan menimbulkan gejolak sosial. Untuk itu pandangan dan pendapat Julian Steward dan John Bennet, Glinka dan Boelars, Murphey dan Kleden cukup aktual dan masih relevan untuk diperhatikan dalam seluruh kebijaksanaan mengenai tanah umumnya dan pengelolaan tanah khususnya di Indonesia.

ABSTRACT
All people in this world realize the meaning and the role of land in their life. For the peasants in the village, land has some values, ranging from the concrete value to the abstract one. The value of a strip of land, can be economical, prosperous, sociological, juridical, and religious.
However, nowadays, many problems in accordance with the land in general and its management in particular arise in Indonesia. The land problem itself has been one of the crucial and complex national issues. There are four important points on such problem requiring immediate solutions, especially for outside Java. They are (1) the system of land classification which have not ensured land use optimally, viewed from both economical and environmental aspects; (2) the involvement of too many instances, having vested interest in the land use planning, while land use data tend to be centralized and in available in the provinces which have the authority to make decisions on the land use; (3) the smallholders and migrants have constraints in getting new favorable agriculture land; and (4) the development projects have difficulties in identifying and acquiring cultivable land in the required scale. It is caused not only by local land claims but also by government policy pertaining to the obligation to pay land compensation.
In principle, the land problem is caused by the presence of interaction, interrelation and adaptation among people which is getting more intense and intensive. Therefore, to analyze land problem and its management issue can not be separated from the people themselves as the main component of the environment. There are two essential things having much to do with the land management employed by the peasants, i.e. the cultural system of the peasants themselves and the government policy on the land management. This analysis will focus its concern on the incentive and the disincentive of the culture and the government policy. It is based on article 8 of the Act No.4 of 1982, stipulating that incentive and disincentive can be used to improve the maintenance of environment, to prevent, and to abate environmental damage and pollution.
The main issue of this writing is the investigation of how the peasants in sub district of Satar Mese deal with their land in order to fulfill their needs, to achieve their goals, and to obtain their life tranquility in this ever-changing environment. From such problem might arise two questions as follows. (1) What are the factors having relation to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in sub district of Satar Mese? (2) How is the relations of the incentive and the disincentive? of culture and government policy to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in this sub district?
The general aim of this study is to know how the peasants in this sub district anticipate the changes occurring in the environment and being manifested in the system, the pattern and the method of land management they use and develop. The specific aims are : (1) to know and to identify the factors having relation to the land management employed by the peasants; and (2) to describe how the relation is of incentive and disincentive from a culture and a government policy to the land management employed by the peasants in this sub district.
The hypothesis are : (1) incentive and disincentive as viewed from both culture and government policy, have a close relation to the land management employed by the peasants, (2) a culture incentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (3) a culture disincentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (4) an incentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants; (5) a disincentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants.
The data used in this writing consist of secondary and primary ones. The secondary data were obtained from documents and library research. The primary ones were obtained from a hundred respondents from five villages as the samples. Such data were collected through a well-designed structural and deep interviews. Since the research design used here was qualitative descriptive survey, then the primary data processing and analyzing used simple and cross tabulations, and simple statistical test of Contingency. Coefficient and Chi Square (X2).
The result of this study shows that the peasants in Satar Mese sub district have a unique ecological wisdom and intelligence in dealing with the land management. Such characteristic is not only apparent in the principle and the legal basis of the system, the pattern, and the method of the land management employed by the peasants, but also clearly seen in the tightness and the level of significance of the relationship of incentive and disincentive and the management, occupation, use and cultivation of the land employed by the peasants.
In this sub district such principle and legal basis of the land management were realized and based on the peasants way and concepts of life such as Social-Collectivity, Balance and Harmony, and Togetherness Principles. Such principles imply not only in their way of thinking, thought pattern, and insight into interacting, interrelating and adapting toward their environment, but also their attitudes, behaviors, and daily activities upon the land. The latter implications are clearly seen in the systems of land occupation as "Lingko" and "Tobok" which have no certificates; the patterns of land use which are only for dry and wet-rice field, yard and forest; and the method of land cultivation with simple farming system, pattern, and technology which tend to be a tradition. All these practices reflect their attitudes, behaviors, abilities and efforts in adapting themselves to the conditions of land they occupy.
The afore-mentioned unique ecological wisdom and intelligence of the peasants are indicated by Contingency Coefficient and Chi Square numbers on the tightness and the level of significance of the relations of incentive and disincentive to the land management. The Contingency
Coefficient numbers of relations of incentive and disincentive to the management, occupation, use, and cultivation of the land are all in medium categories, i.e. 0,58, 0.48, 0.40, and 0,37; meaning that relations between those two variables are close and strong. For that reason, article 8 of the Act No_4 of 1982 is effective and acceptable, and it needs to be maintained and more widely applied.
Nevertheless, if we analyze more thoroughly, it will be apparent that the tightness and the level of significance of incentive and disincentive relations of the culture is closer than that of the government policy. Based on that statement, the incentive and disincentive of the culture remain important factors, and become the main reference and guiding factors for the peasants in occupying, using and cultivating their land in this sub district. So, in introducing and adopting a new innovation in the land management for the peasants, we must pay attention on and consider the characteristic of the ecological wisdom and intelligence they have and develop, unless such innovation become useless, fruitless, and lead to a social movement. In relation to this analysis, the opinions and the views of Julian Steward, John Bennet, Glinka and Boelars, Kleden, and Murphey are still actual, relevant, and should be taken into account in making decisions and policies on the land and its management in Indonesia.
List of Literature :86 (from 1955 to 1991).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Fatkhiati Sadiah
"Studi ini mengeksplorasi tentang pengelolaan kawasan agropolitan Selupu Rejang di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Provinsi Bengkulu yang telah ditetapkan sebagai kawasan rintisan pengembangan agropolitan sejak tahun 2002 yaitu di kawasan agropolitan Selupu Rejang, masih belum mencapai sasaran idealnya. Tekanan yang timbul akibat aktivitas budidaya yang intensif terutama di daerah pertanian dataran tinggi, menyebabkan kawasan menjadi tidak berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan di kawasan agropolitan Selupu Rejang akibat aktivitas pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah ekologi di kawasan tersebut. Kondisi lingkungan yang terdegradasi tersebut dapat menyebabkan kawasan agropolitan menjadi tidak berkelanjutan, apalagi kawasan tersebut adalah dataran tinggi yang mempunyai peran penting untuk kestabilan ekosistem. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis kondisi eksisting, menganalisis status keberlanjutan, serta membangun model pengelolaan kawasan agropolitan berkelanjutan yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kawasan agropolitan dapat berkelanjutan jika mengintegrasikan aspek lingkungan yang sesuai dengan ekosistem Indonesia, yaitu ekosistem hutan hujan tropis. Analisis menggunakan analisis deskriptif, analisis spasial. Rap-Agrotropika, dan system dynamics. Hasil adalah model tersebut dapat menurunkan degradasi lingkungan dan secara simultan juga dapat meningkatkan produksi serta nilai tambah sektor pertanian, sehingga keberlanjutan sistem produksi pertanian, keberlanjutan ekonomi perdesaan, dan keberlanjutan lingkungan dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

This study explores the management of Selupu Rejang agropolitan area in Rejang Lebong regency, Bengkulu Province. Bengkulu Province has been designated as pilot area of agropolitan development since 2002. Selupu Rejang agropolitan was the one of agropolitan area which still has not reached the ideal target. Pressure on the environment was arising as a result of intensive farming activities, especially in the highland agricultural areas, causing the area becomes unsustainable. The data reveal that there has been environmental degradation in Selupu Rejang agropolitan due to agricultural activities. It is not in accordance with the principles of ecology in the region. Degraded environmental conditions can cause agropolitan become unsustainable, especially in the upland area that has an important role for the stability of ecosystem. Therefore, this study aims to build agropolitan area management model that integrates economic, social, and environment interests. Hence, the agropolitan development can be sustained by entering the interests of the environment in the development of the region in accordance with the rules of typical ecosystems in Indonesia, called the tropical rainforest ecosystem. This study uses descriptive analysis, spatial analysis, Rap- Agrotropika, and system dynamics. The result is a model that can reduce environmental degradation. It can also simultaneously increase production and add value to the agricultural sector. Finally, the sustainability of agricultural production systems, rural economy, and environment can be maintained and improved.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirstie Imelda Majesty
"Ekosistem perairan dan daratan di sepanjang jalur pantai utara Pulau Jawa membentuk ekosistem mangrove menjadi ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati yang saling berinteraksi, salah satunya di Desa Pantai Bahagia yang berada di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pada kenyataannya, dari tahun 1999 hingga 2014, hutan mangrove di desa ini terus mengalami degradasi karena faktor antropogenik, yakni konversi lahan mangrove menjadi tambak oleh masyarakat pesisir yang menyebabkan penggerusan pantai terus terjadi di kawasan ini, karena tidak adanya penghalang ombak, sehingga intrusi air laut menjadi tinggi dan terjadi banjir rob yang menyebabkan kerugian besar bagi warga yang sebagian besar memiliki mata pencarian sebagai petani tambak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi mangrove di Desa Pantai Bahagia dikategorikan rusak parah dan kondisi biodiversitas yang rendah, sehingga urgensi untuk melakukan rehabilitasi tergolong tinggi. Hingga tahun 2018 sudah mulai muncul partisipasi masyarakat dalam merehabilitasi hutan mangrove, namun masih tergolong rendah dan belum dapat menandingi laju kerusakannya. Karenanya, dilakukan studi pada 30 masyarakat Desa Pantai Bahagia yang memiliki kepedulian dan tingkat partisipasi mengelola mangrove yang tinggi untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan, serta menyusun strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam merehabilitasi mangrove Desa Pantai Bahagia.

Aquatic and terrestrial ecosystems along the northern coastline of Java Island form a mangrove ecosystem into an ecosystem rich in interacting biodiversity, one of which is in Pantai Bahagia Village in Muara Gembong District, Bekasi Regency, West Java. In fact, from 1999 to 2014, mangrove forests in this village continued to experience degradation due to anthropogenic factors, namely the conversion of mangrove land into ponds by coastal communities which caused coastal erosion to continue to occur in this region, due to the absence of wave barriers, so that seawater intrusion became high and there was a tidal flood which caused huge losses for residents who mostly had livelihoods as pond farmers.
The results of this study indicate that the mangrove conditions in Pantai Bahagia Village are categorized as severely damaged and have low biodiversity conditions, so the urgency to carry out rehabilitation is classified as high. Until 2018 community participation has begun to emerge in rehabilitating mangrove forests, but is still relatively low and has not been able to match the rate of damage. Therefore, a study was conducted on 30 Pantai Bahagia villagers who have a high level of care and participation in managing mangroves to analyze factors that can increase overall community participation, and develop strategies to increase community participation in rehabilitating mangrove Pantai Bahagia Village.
"
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
T51818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The objectives of this paper are: First, to discuss critically, the theoritical dimension of food security and social stress in the African arid and semi-arid environments. Because of the low level of food production and its fluctuation with severe climatic conditions, agricultural and pastoralist economic sectors are at a risk. Second, the displacement of small-scale or peasant farmers and pastoralist by public agricultural and nonagricultural schemes in regard to social stress and food production is outlined. This examination moved away from the point of view that holds the peasant farmers and pastoralist responsible for famine and consequently food insecurity. The impact of the Structural Adjustment Programmes (SAPs) on food production and security and social constraints is elucidated. The paper generally recommends that only a benign and effective political context is capable of pre-emptying the emergence of social stress and hence may prevent it from drastically damaging food security. Such a context should not only be struggled for by the peasant farmers and pastoralists, but also by all those individuals and institutions interested to contributing to food self-sufficiency and security in the arid and semi-arid environments of African."
GEOUGM 27:69 (1995)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>