Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142760 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raditya Iswandana
"Kurkumin telah banyak digunakan dan masih terus diteliti pada pemakaian topikal karena mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Pada dasarnya untuk mendapatkan efek yang optimal dari sediaan topikal, zat berkhasiat yang ada dapat terpenetrasi melalui lapisan kulit teratas. Oleh karena itu, dibuat tiga bentuk sediaan guna membandingkan perbedaan jumlah kurkumin yang terpenetrasi, yaitu krim, salep, dan gel. Daya penetrasinya diuji secara in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus galur Sprague-Dawley. Jumlah kumulatif kurkumin yang terpenetrasi dari sediaan salep, krim, dan gel secara berturut-turut adalah sebanyak 192,22 ± 2,25 μg/cm², 69,18 ± 2,79 μg/cm², dan 32,26 ± 4,63 μg/cm². Persentase jumlah kurkumin yang terpenetrasi dari sediaan salep, krim, dan gel secara berturut-turut adalah 0,53 ± 0,01%, 0,20 ± 0,01%, dan 0,09 ± 0,01%. Selain itu juga dilakukan uji stabilitas fisik melalui cycling test, uji mekanik dan pengamatan pada penyimpanan selama 8 minggu di suhu kamar, suhu hangat (40° ± 2°C), dan suhu dingin (4° ± 2°C). Ketiga sediaan menunjukkan kestabilan fisik dengan parameter kestabilan di ketiga suhu yaitu organoleptis, pH, diameter globul rata-rata, dan konsistensi.

Curcumin has been used and still being researched in topical use because it has antioxidant and antiinflammation activities. Basically, to get the optimum effect from topical preparation, drug should be penetrated through top skin layer. Therefore, three kinds of preparation were made to measure the total cumulative penetration of curcumin, i.e. cream, ointment, and gel. Penetration ability through skin was examined by in vitro Franz diffusion cell test using Sprague-Dawley rat abdomen skin as membrane diffusion. Total cumulative penetration of curcumin from ointment, cream, and gel preparations measured were 192.22 ± 2.25 μg/cm², 69.18 ± 2.79 μg/cm², and 32.26 ± 4.63 μg/cm², respectively. The percentage of penetrated curcumin from ointment, cream and gel preparations were 0.53 ± 0.01%, 0.20 ± 0.01%, and 0.09 ± 0.01%, respectively. Besides that, it also done stability test including cycling test, mechanical test, and the storage for eight weeks at room temperature, warm temperature (40° ± 2°C), and cold temperature (4° ± 2°C). The three dosage forms showed physical stability w ith stability parameters in the three temperatures were organoleptic observation, pH, globule diameter, and consistency."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S32695
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Delly Ramadon
"Salah satu tanaman yang sudah sering digunakan untuk mengobati rasa nyeri (analgesik) adalah cabai rawit (Capsicum frutescens L.). Aktivitas analgesik cabai rawit dihasilkan oleh kandungan kimianya, yaitu kapsaisin dan dihidrokapsaisin yang merupakan senyawa kapsaisinoid. Kapsaisinoid dapat diabsorpsi dengan baik melalui kulit sehingga dapat dibuat sediaan topikal. Untuk mendapatkan efek optimal dari sediaan topikal, kapsaisinoid harus terpenetrasi melalui lapisan kulit.
Pada penelitian ini dibuat dua sediaan, yaitu gel dan emulgel untuk mengetahui profil jumlah kapsaisinoid yang terpenetrasi dari kedua sediaan tersebut. Kedua sediaan diuji stabilitas fisik dan daya penetrasinya secara in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus galur Spraque-Dawley.
Jumlah kumulatif kapsaisinoid yang terpenetrasi dari sediaan gel dan emulgel secara berturut-turut adalah 153,11 ± 2,42 μg/cm² dan 321,22 ± 4,67μg/cm². Persentase jumlah kapsaisinoid terpenetrasi dari sediaan gel dan emulgel secara berturut-turut adalah 19,39 ± 0,31 % dan 40,69 ± 0,59 %. Fluks dari sediaan gel dan emulgel berturut-turut adalah 11,26 ± 0,20 μg cm-2 jam-1 dan 24,28 ± 0,52 μg cm-2 jam-1.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa daya penetrasi sediaan emulgel lebih tinggi daripada gel, dan kedua sediaan yang dibuat menunjukkan kestabilan fisik.
One of plant which has been used for healing the pain (analgesic) was chilli (Capsicum frutescens L.). The chili's analgesic acitivity was produced by its chemical compounds, i.e capsaicin and dyhidrocapsaicin which called capsaicinoids. Capsaicinoids was well absorbed from skin, therefore it could be made into topical dosage form. To get the optimum effect from topical dosage form, capsaicinoids should be penetrated through skin layer.
Therefore, two kinds of dosage forms were made to measure the total cumulative penetration of capsaicinoids, i.e. gel and emulgel. The two dosage forms was examined their physical stability and penetration ability by in vitro Franz diffusion cell test using Spraque-Dawley rat abdomen skin as diffusion membrane.
Total cumulative penetration of capsaicinoid from gel and emulgel dosage forms were 153.11 ± 2.42 μg/cm² and 321.22 ± 4.67 μg/cm², respectively. The percentage of penetrated capsaicinoid from gel and emulgel dosage forms were 19.39 ± 0.31 % and 40.69 ± 0.59 %, respectively. Flux of capsaicinoid from gel and emulgel dosage forms were 11.26 ± 0.20 μg cm-2 hour-1 and 24.28 ± 0.52 μg cm-2 hour-1, respectively.
Based on those result, it can be concluded that penetration ability of emulgel dosage form is higher than gel. Besides that, the two dosage forms showed physical stability.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42808
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hastri Mahardika
"Asam azelat (1,7-heptanedicarboxilic acid) merupakan suatu asam dikarboksilat yang diduga memiliki aktivitas anti tirosinase dengan menghambat reaksi oksidasi l-tirosin dan l-DOPA dalam pembentukan melanin. Penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas asam azelat murni dan krim asam azelat dalam menghambat tirosinase. Asam azelat diformulasikan menjadi krim dengan konsentrasi 5 dan 10 %. Uji kestabilan fisik dan kimia dilakukan dengan penyimpanan sediaan pada tiga suhu yang berbeda yaitu suhu 4 ± 2, 27 ± 2 dan 40 ± 2oC. Pengukuran penghambatan tirosinase dilakukan dengan pengukuran dopakrom yang terbentuk secara in vitro.
Hasil uji stabilitas fisik kedua krim asam azelat tidak menunjukkan pemisahan fase pada setiap suhu penyimpanan, pada uji mekanik memperlihatkan krim tahan pada gaya sentrifugasi selama satu tahun.
Hasil uji stabilitas kimia menunjukkan bahwa kadar asam azelat yang terkandung didalam krim cenderung memperlihatkan penurunan. Hasil pengukuran penghambatan aktivitas tirosinase krim asam azelat 5 % dan 10 % berturut yaitu 26,50 % dan 51,54 %. Penghambatan aktivitas tirosinase krim mengalami penurunan setelah penyimpanan selama dua bulan pada suhu kamar. Krim asam azelat 5 % menurun aktivitasnya menjadi 22,44 % dan krim asam azelat 10 % menurun aktivitasnya menjadi 46,54 %. Penurunan aktivitas penghambatan tirosinase disebabkan karena asam azelat di dalam krim mengalami oksidasi selama penyimpanan.

Azelaic acid (1,7-heptanedicarboxilic acid) is a dicarboxylic acid which is have to considered activity as tyrosinase inhibitors by inhibit is oxidation of l-tyrosine and l-DOPA in mechanism of melanogenesis. The study was conducted to investigate the inhibition tyrosinase activity of pure azelaic acid and azelaic acid in cream. Azelaic acid was formulated into creams with the concentration of 5 % and 10 %.
Physical and chemical stability test of cream was conducted with storing the creams at three different temperatures, 4 ± 2, 27 ± 2 and 40 ± 2oC respectively. Tyrosinase inhibitory activity was measured in vitro by measuring dopachrome.
The result of physical stability test showed no phase separation on storage and endure with centrifugation energy in one year. The chemical stability test showed that azelaic acid was not stable stored at any temperature. The tyrosinase inhibition activity of creams 5 % and 10 % azelaic acid were 26,50 % and 51,54 % respectively. Tyrosinase inhibition activity of creams decreased after two month stored at ambient temperature. Tyrosinase inhibition activity of cream 5 % azelaic acid decreased to 22,44 %, and cream 10 % azelaic acid decreased to 46,54 %. The decreasing of tyrosinase inhibition activity is caused by azelaic acid oxidation in cream.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S43778
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Ramadhyanti
"Niasinamida merupakan salah satu komponen produk kosmetik yang memiliki banyak manfaat, namun memiliki kemampuan penetrasi kedalam kulit yang rendah. Etosom merupakan salah satu sistem pembawa obat berbentuk vesikel dengan konsentrasi etanol yang tinggi dan dapat meningkatkan penetrasi zat aktif.
Tujuan penelitian ini adalah memformulasikan sediaan gel etosom niasinamida dan mengetahui daya penetrasinya melalui kulit secara in vitro dibandingkan dengan sediaan gel kontrol. Etosom dibuat dengan metode hidrasi lapis tipis. Etosom yang di ekstruksi dengan membran Whatman 0,4 μm memberikan karakteristik dengan ukuran rata-rata 317,3 nm, indeks polidispersitas 0,266, potensial zeta 57,37 mV, dan efisiensi penjerapan sebesar 84,23%. Jumlah kumulatif niasinamida yang terpenetrasi dari gel etosom sebesar sebesar 8019,74 ± 409,99 g/cm2 dengan persentase sebesar 70,82 ± 3,62 % dan fluks 1002,47 ± 51,25 g/cm2.jam-1.
Hasil tersebut lebih besar dan menunjukkan penetrasi yang lebih baik dibandingkan gel kontrol yang memiliki jumlah kumulatif niasinamida sebesar 2506,23 ± 236,90 g/cm2 dengan persentase sebesar 22,13 ± 2,09 % dan fluks 313,28 ± 29,61 g/cm2.jam-1.

Niacinamide is one of the component of cosmeutical products which has a lot of benefits, but doesn?t have good penetration into skin. Ethosome is a system that carries drug in vesicles with high ethanol concentration and it can increase drug penetration.
The aims of this research are to formulate ethosomal gel containing niacinamide and to compare the in vitro penetration profile between ethosomal gel containing niacinamide and conventional niacinamide gel. The ethosome was made from thin layer hidration method. The ethosome which has extructed with 0,4 μm Whatman membrane has characteristic with average particle size 317,3 nm, polidispersity index 0,266, zeta potential 57,37, and entrapment efficacy 84,23%. Total cumulative amount of niacinamide that penetrated from ethosomal gel is 8019,74 ± 409,99 g/cm2 and the percentage is 70,82 ± 3,62 %, and its flux is 1002,47 ± 51,25 g/cm2.hour-1.
Those results give better results than the conventional gel which gives total cumulative amount 2506,23 ± 236,90 g/cm2 and the percentage is 22,13 ± 2,09 %, and the flux is 313,28 ± 29,61 g/cm2. hour-1.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60677
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadyanti
"Banyak sediaan antiselulit yang beredar di pasaran dengan beragam zat aktif dan bentuk sediaan. Akan tetapi, belum diketahui bentuk sediaan dan zat aktif yang memberikan penetrasi yang lebih baik. Zat aktif yang digunakan umumnya golongan metilxantin, yaitu kafein dan aminofilin. Ada sediaan antiselulit yang menggunakan derivat vitamin A. Derivat vitamin A, tretinoin, selama ini secara topikal lazim digunakan sebagai antijerawat. Dalam penelitian ini ingin diketahui pengaruh tretinoin terhadap penetrasi kafein dan aminofilin secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dengan kulit tikus sebagai membran. Tahapan yang dilakukan adalah pembuatan dan evaluasi sediaan, serta uji penetrasi. Sediaan dibuat adalah krim, gel dan salep, mengandung kafein 3% atau aminofilin 2%, dengan atau tanpa tretinoin 0,05% pada krim dan salep serta tretinoin 0,01% pada gel. Fluks (μg.cm-2.jam-1) kafein yang terpenetrasi pada jam ke-8 dari sediaan krim, gel dan salep berturut-turut sebesar 70,10 ± 0,75; 444,67 ± 0,97 dan 55,39 ± 5,86 serta dengan adanya tretinoin berturut-turut sebesar 121,33 ± 1,55; 555,47 ± 4,27; dan 63,77 ± 1,04. Fluks (μg.cm-2.jam-1) aminofilin yang terpenetrasi pada jam ke-8 dari sediaan krim, gel dan salep berturut-turut sebesar 86,20 ± 0,32; 240,20 ± 3,00; dan 22,54 ± 1,25 serta dengan adanya tretinoin berturut-turut sebesar 140,33 ± 2,77; 379,45 ± 3,15; dan 27,05 ± 0,78. Hasil ini menunjukkan bahwa kafein dan aminofilin dengan tretinoin dapat digunakan untuk mengembangkan formula baru dengan penetrasi kafein dan aminofilin yang lebih baik.

There are many kinds of anti-cellulite products with various dosage forms and active ingredients. On the other hand, there is not enough information about dosage forms and active ingredients which give the best skin penetration. Subtances properly used in anti-cellulite products are methylxanthines, i.e caffeine and aminophylline. There are anti-cellulite products containing vitamin A derivatives but no informations enough describing its function as an anti-cellulite. So far, vitamin A derivate, tretinoin, in topical dosage forms is widely used as anti-acne agent. In this research, the effects of tretinoin on in vitro skin penetration of caffeine and aminophylline was investigated through rat skin as membrane using Franz diffusion cell. The steps of this research were formulating and evaluating dosage forms, and testing skin penetration. Formulas were made in three dosage forms, i.e cream, gel and ointment, containing 3% caffeine or 2% aminophylline, with 0,05% tretinoin in creams and ointments, and 0,01% tretinoin in gels. All investigations were compared to caffeine or aminophylline cream, gel, and ointment without tretinoin. Eighth-hour flux (μg.cm-2.hr-1) of penetrating caffeine from cream, gel, and ointment without tretinoin were 70,10 ± 0,75; 444,67 ± 0,97 and 55,39 ± 5,86; and with tretinoin became 121,33 ± 1,55; 555,47 ± 4,27; and 63,77 ± 1,04. Eighth-hour flux (μg.cm-2.hr-1) of penetrating aminophylline from cream, gel, and ointment without tretinoin were 86,20 ± 0,32; 240,20 ± 3,00; and 22,54 ± 1,25 and with tretinoin became 140,33 ± 2,77; 379,45 ± 3,15; dan 27,05 ± 0,78.. These results indicated that caffeine and aminophylline combined with tretinoin may be developed into a new formula to improve caffeine or aminophylline skin penetration.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32772
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Ayu Anggraeni
"Aminofilin merupakan salah satu derivat metilxantin yang dapat digunakan sebagai antiselulit pada sediaan topikal. Untuk membandingkan perbedaan jumlah aminofilin yang terpenetrasi pada sediaan topikal dibuat tiga sediaan yaitu dalam bentuk krim, gel, dan salep kemudian penetrasinya diuji secara in vitro dengan alat sel difusi franz menggunakan membran abdomen tikus galur Sprague-Dawley. Uji penetrasi dilakukan selama 8 jam dengan 11 kali pengambilan sampel dan masing-masing diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 272,5 nm. Jumlah aminofilin yang terpenetrasi sebanyak 3779,51 ± 25,96 μg/cm2 untuk sediaan gel, 2104,13 ± 17,00 μg/cm2 untuk sediaan krim, dan 518,24 ± 21,22 μg/cm2 untuk sediaan salep. Persentase jumlah aminofilin yang terpenetrasi dari sediaan gel adalah 26,25 ± 0,18%, dari sediaan krim 14,62 ± 0,12%, dan dari sediaan salep 3,60 ± 0,15%. Kecepatan penetrasi aminofilin yang paling besar diperoleh dari sediaan gel, kemudian krim, dan terakhir salep, yaitu masing-masing sebesar 472,44 ± 3,24 μgcm-2jam-1, 263,02 ± 2,13 μgcm-2jam-1, dan 64,78 ± 2,65 μgcm-2jam-1.

Aminophyllin is one of the methylxanthine derivate used as an anticellulite in a topical dosage form. To measure the diffusion of aminophyllin from topical dossage form, three kinds of preparation were made as cream, gel, and ointment, and then the penetration through skin were examined by in vitro Franz diffusion cell test using Sprague-Dawley rat abdomen skin as membrane diffusion. The test was done for 8 hours with 11 times samples withdrawn, and the absorption of each sample was measured by spectrophotometer UV-Vis at wavelength 272.5 nm. The diffusion of aminophyllin measured from gel preparation was 3779.51 ± 25.96 μg/cm2, from cream preparation was 2104.13 ± 17.00 μg/cm2, and from ointment preparation was 518.24 ± 21.22 μg/cm2. The percentage of diffused aminophyllin from gel preparation was 26.25 ± 0.18%, from cream preparation was 14.62 ± 0.12%, and from ointment preparation was 3.60 ± 0.15%. The highest flux of aminophyllin was from gel 472.44 ± 3.24 μgcm-2hour-1, followed by cream 263.02 ± 2.13 μgcm-2hour-1, and the last one was from ointment 64.78 ± 2.65 μgcm-2hour-1.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32732
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haniefah
"Kafein merupakan derivat metilxantin yang dapat digunakan sebagai anti selulit pada sediaan topikal. Untuk melihat perbandingan jumlah kafein yang terdifusi pada sediaan topikal dibuat 3 sediaan dalam bentuk krim, gel, dan salep. Penetrasi kafein melalui kulit diuji secara in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus galur Sprague-Dawley. Uji difusi dilakukan selama 360 menit dengan 9 kali pengambilan sampel dan masing-masing sampel diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 273,60 nm. Jumlah kafein yang terdifusi sebanyak 964,94 ± 41,46 μg/cm2 untuk sediaan gel, 736,32 ± 39,96 μg/cm2 untuk sediaan krim dan 159,52 ± 4,68 μg/cm2 untuk sediaan salep. Kecepatan penetrasi kafein yang paling besar diperoleh dari sediaan gel, kemudian krim, dan terakhir salep, yaitu masing-masing sebesar 160,82 ± 6,91 μgcm-2jam-1; 122,72 ± 6,66 μgcm-2jam-1; 26,59 ± 0,78 μgcm-2jam-1."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
S32895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Novitasari
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32740
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengaruh AHA (asam laktat) terhadap penetrasi kafein sebagai
antiselulit dalam sediaan krim, gel, dan salep secara in vitro telah diteliti.
Pada penelitian ini dibuat formula krim, gel, dan salep kafein yang
mengandung AHA dan tanpa AHA. Semua formula dievaluasi stabilitas fisik
selama delapan minggu pada suhu ±29ºC, ±40ºC, dan ±4ºC, meliputi
pengamatan organoleptis, pH, diameter globul, viskositas, konsistensi, uji
pemisahan fase dengan metode freeze thaw dan uji mekanik. Penetrasi
kafein secara in vitro dari krim, gel, dan salep dievaluasi menggunakan sel
difusi Franz melalui kulit tikus. Semua formula menunjukkan stabilitas yang
baik pada organoleptis, pH, diameter globul, viskositas, konsistensi, dan
metode freeze thaw. Namun, krim kafein yang mengandung AHA (krim A1),
serta salep kafein yang mengandung AHA (salep C1) dan tanpa AHA (salep
C2) menunjukkan pemisahan fase setelah uji mekanik. Studi penetrasi kafein
secara in vitro menunjukkan nilai fluks kafein pada jam ke-8 dari krim, gel,
dan salep yang mengandung AHA berturut-turut adalah 264,93±1,55 μg cm-2
jam-1, 455,83±1,43 μg cm-2 jam-1, dan 89,65±0,30 μg cm-2 jam-1. Nilai fluks
kafein pada jam ke-8 dari krim, gel, dan salep yang tidak mengandung AHA
berturut-turut adalah 126,42±0,77 μg cm-2 jam-1, 310,64±4,58 μg cm-2 jam-1,
dan 61,80±0,53 μg cm-2 jam-1. Dapat disimpulkan bahwa AHA meningkatkan penetrasi kafein secara in vitro dan menunjukkan nilai fluks kafein tertinggi
dari bentuk sediaan gel."
Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haqqi Budiman
"Tomat (Solanum lycopersycum L.) merupakan salah satu buah memiliki aktivitas antioksidan yang kuat karena mengandung senyawasenyawa antioksidan seperti likopen, beta karoten, vitamin C dan vitamin E. Senyawa-senyawa ini diketahui dapat mencegah dan menghambat pembentukan radikal bebas yang menyebabkan penuaan dini dan penyakitpenyakit kronis. Pada penelitian ini, tomat diformulasikan dalam sediaan krim dengan konsentrasi berbeda yaitu 0,5%, 1%, 2%, dan 3% (b/b). Uji kestabilan fisik dilakukan dengan pengamatan krim yang disimpan pada tiga suhu berbeda yaitu suhu 4oC, suhu kamar, suhu 40+2oC, uji mekanik dan cycling test. Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode peredaman DPPH berdasarkan nilai penghambatan DPPH (EC50).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa krim tomat 0,5%, 1%, 2% dan 3% memiliki kestabilan fisik setelah pengujian pada suhu 4oC, suhu kamar, suhu 40+2oC, uji mekanik dan cycling test. Krim tomat 1%, 2%, dan 3% memiliki aktivitas antioksidan yang memenuhi nilai minimum EC50, sedangkan krim 0,5% tidak memenuhi nilai EC50. Krim tomat 1% memiliki kestabilan terbaik secara fisik dan krim tomat 3% memiliki aktivitas antioksidan terkuat.

Tomato (Solanum lycopersycum L.) that the fruit mainly contained lycopene, beta carotene, vitamin C and vitamin E indECated that the fruit had antioxidant activity. These compound were known able to prevent and retention of free radECal forming whECh can cause aging and chronEC disease. This research, tomato with different concentration 0,5%, 1%, 2%, and 3% were formulated in cream. PhysECal stability test including the storage at three different temperatures including cool temperature (4oC), room temperature, and high temperature (40+2oC), mechanECal test, and cycling test. Measurement of antioxidant activity tomato cream that using DPPH method pursuant to value of DPPH retention (EC50).
This research resulted that shown tomato cream 0,5% 1%, 2%, and 3% have physECal stability with storage at cool temperature (4oC), room temperature, and high temperature (40+2oC). Tomato cream 1%, 2%, and 3% reach minimum value of retention DPPH (EC50) but tomato cream 0,5% not reach minimum value of retention DPPH (EC50). Cream tomato 1% have the best physECal stability and cream tomato extract 3% have the best antioxidant activity.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32741
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>