Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105691 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Guritno
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998
306.095 98 SRI b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Guritno
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998/1999
338.642 598 2 SRI b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Taryati
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998/1999
338.642 5 TAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Koesrijanti
"Dokumen Agenda 21 Indonesia menyajikan informasi yang komprehensif di setiap bidang yang berkaitan dengan lingkungan dan pembangunan mulai dari permasalahan yang ada sampai dengan tugas dan fungsi para pengelola lingkungan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kerjasama dan koordinasi yang terus menerus dari masing-masing pihak akan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan akan tanggung jawab masing-masing peran dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Iingkungan di Indonesia.
Konsep ini dikembangkan seiring dengan perkembangan industri sebagai salah satu strategi pembangunan yang membawa dampak tersendiri terhadap masyarakat, baik secara sosial ekonomis, maupun secara fisik seperti kondisi lingkungan hidup berubah, terutama terhadap masyarakat sekitar di mana industri tersebut berada, yaitu masyarakat desa Cintamulya, Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.
Industrialisasi sebagai salah satu strategi dalam pembangunan, dilihat pada tatanan makro telah memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi sosial. Sehingga sektor industri saat ini dipercaya sebagai sektor andalan motor pertumbuhan yang menjadi orientasi pembangunan saat ini. Dipilihnya sektor industri sebagai motor pembangunan, secara otomatis melahirkan banyak kebijakan yang Iahir dengan tujuan untuk mendorong dan menciptakan iklim bagi semakin berkembangnya sektor ini.
Ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat Indonesia dan peningkatan daya saing nasional guna menghadapi era globalisasi ekonomi telah mencuatkan konsep kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil, Diharapkan kemitraan usaha dapat mengurangi berbagai inefisiensi yang terjadi akibat kesenjangan skala usaha besar-kecil. Kemitraan sendiri secara sederhana dapat digambarkan semacam persetujuan antara dua pihak yang mempunyai kebutuhan saling mengisi dan bekerja sama, demi kepentingan keduanya atas prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan tercipta karena pihak satu memerlukan sumber-sumber yang dimiliki oleh pihak lain atau pihak kedua untuk memajukan usahanya dan sebaliknya. Sumber-sumber tersebut antara lain meliputi modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan, dan outlet untuk pemasaran hasil produksi.
Jadi, tujuan penyusunan Agenda 21 Indonesia digunakan sebagai salah satu referensi di dalam perencaanan pembangunan dan dengan pola kemitraan ini, makin jelas saja bahwa posisi Agenda 21 Indonesia amat penting di dalam upaya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tetto Wisanggeni Galmantro
"Cirebon merupakan sentra kerajinan rotan yang sudah terkenal sejak periode 1930- an dengan pusatnya yang berada di Desa Tegalwangi, Kecamatan Weru. Usaha tersebut dirintis oleh salah satu warganya hingga berkembang menjadi sentra kerajinan rotan sampai mendapat perhatian pemerintah Orde Baru pada tahun 1970 untuk mengembangkan industri rotan sampai ke pasar ekspor. Penelitian ini membahas tentang perkembangan industri rotan Desa Tegalwangi tahun 1970 – 1990-an dengan menggunakan metode Sejarah yang meliputi, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Sumber yang digunakan berupa arsip pemerintah, berita surat kabar, buku, dan jurnal artikel sebagai pendukung. Penelitian tentang industri rotan di Indonesia memang sudah ada, tetapi penelitian tentang industri rotan di Desa Tegalwangi, Cirebon masih jarang khususnya pada periode 1970 – 1990-an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan industri rotan yang dilakukan pemerintah Orde Baru melalui program pilot project di Desa Tegalwangi dengan memberikan bantuan berupa pelatihan serta kredit modal kepada para perajin dan pengusaha. Hal tersebut kemudian berdampak pada pertambahan jumlah perusahaan rotan, penyerapan tenaga kerja yang meningkat, rotan Tegalwangi yang berhasil menembus pasar internasional, meningkatnya kesejahteraan warga desa. Tetapi terdapat juga dampak buruk, yaitu pengusaha yang kekurangan bahan baku dan aksi penjiplakan desain.
Cirebon has been famous since the 1930s as a rattan craft center that with its center in Tegalwangi Village, Weru District. This business was started by one of the residents and developed into a rattan craft center until it received attention from the New Order government in 1970 to develop the rattan industry to the export market. This research discusses the development of the rattan industry in Tegalwangi Village in the 1970s - 1990s using historical methods which include heuristics, verification, interpretation and historiography. The sources used are government archives, newspaper reports, books and journal articles as support. Research on the rattan industry in Indonesia already exists, but research on the rattan industry in Tegalwangi Village, Cirebon is still rare, especially in the 1970 - 1990s period. The research results show that the development of the rattan industry was carried out by the New Order government through a pilot project program in Tegalwangi Village by providing assistance in the form of training and capital credit to craftsmen and entrepreneurs. This then had an impact on increasing the number of rattan companies, increasing employment opportunities, Tegalwangi rattan succeeded in penetrating the international market, improving the welfare of village residents. However, there are also bad impacts, such as rattan entrepreneurs lacking raw materials and plagiarizing designs."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Handaru
"Penelitian-penelitian yang mengungkap tentang perempuan pekerja rumahan masih terbilang langka. Kalau pun ada, fokus aspek yang diteliti juga masih sangat terbatas. Penelitian dengan mengungkap tentang kepuasan kerja perempuan pekerja rumahan yang bekerja di sektor industri pengolahan rotan ini diharapkan dapat lebih mernperkaya penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Hasil studi pendahuluan di lapangan ditemukan gejala khusus yang dialami perempuan pekerja rumahan yang ada di lokasi penelitian. Mereka merasakan ada kepuasan dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka. Secara konfrontatif gejala tersebut berbeda dengan gambaran dalam sebuah teori, khususnya teori Karl Marx.
Oleh karena itu penelitian ini berupaya mengungkap apa sebenarnya makna kepuasan kerja itu bagi perempuan pekerja rumahan yang bekerja di sektor industri pengolahan rotan dan menemukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa kepuasan kerja yang dirasakan perempuan pekerja rumahan yang bekerja di sektor industri pengolahan rotan pada dasarnya mencakup banyak segi, namun pada intinya dapat dibagi dalam dua segi, yaitu kepuasan dari segi imbalan/upah dan kepuasan dari segi tercapainya tujuan-tujuan hidup atas pekerjaan itu. Dengan demikian makna kepuasan kerja bagi perempuan pekerja rumahan yang bekerja di sektor industri pengolahan rotan kiranya dapat dijabarkan sebagai " Kondisi tercapainya ekuivalensi antara tenaga yang dikeluarkan dengan imbalan yang diperoleh dan terwujudnya serangkaian tujuan hidup mereka atas pekerjaannya."
Beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja perempuan pekerja rumahan yang bekerja di sektor industri pengolahan rotan di Desa Bodesari, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, antara lain : faktor kemajuan, makna pekerjaan, kondisi dan kemudahan dalam pekerjaan,kebijakan pengusaha, hubungan dengan majikan/perusahaan, sistem penggajian dan hubungan dengan rekan sekerja.
Hasil pembahasan mengenai kepuasan kerja dalam kaitannya dengan pemberdayaan, diperoleh gambaran bahwa kepuasan kerja dirnaksud ternyata dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya-upaya pemberdayaan perempuan pekerja rumahan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Tebay
"Salah satu masalah lingkungan Sosial yang dihadapi oleh PTFI ialah bagaimana memindahkan masyarakat Amungme dari Kampung Waa yang letaknya hanya 8 Km dari Kota Tambang Tembagapura ke Desa Harapan Kwamki Lama dan Masyarakat Kamoro Subsuku Nawaripi dari Kampung Kali Kopi ke Desa Nayaro, Kecamatan Mimika Baru, untuk menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat pengelolaan PTFI.
Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua bekerjasama dengan PTFI untuk memindahkan masyarakat Amungme dan Kamoro dari lokasi lama ke lokasi pemukiman yang baru dengan tujuan, di samping menghindari kemungkinan terjadinya bahaya, agar mereka dekat dengan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi sehingga dapat melepaskan kebiasaan ladang berpindah, berburu, meramu, dan bergantung pada kemurahan alam dan berpenghasilan menetap. Dengan demikian ada perbaikan mutu kehidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan. Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud pada masyarakat Amungme, karena Bapak Kepala Suku Tuarek Natkime beserta para pengikutnya sejak awal tidak ikut pindah ke lokasi yang baru. Hal ini disebabkan karena menurut kepercayaan orang Amungme daerah kawasan tengah sampai kawasan pantai adalah kawasan yang terlarang, daerah pamali, tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya karena di kawasan inilah terdapat alat kelamin vital Ibu Amungme, yang selalu menyusui dan memberi mereka kehidupan. Daerah ini enak untuk dilihat karena panoramanya yang indah tetapi tidak untuk dihuni, hanyalah tempat untuk cari makan. Bila melanggar maka resikonya adalah mara bahaya, sakit malaria, dan berbagai macam penyakit panu, kurap, kadas, sipilis, aids, dan lainnya. Yang pindahpun bertahan selama bantuan Pemerintah dan PTFI masih mengalir. Setelah terhenti, sebagian lagi kena penyakit malaria dan mati, sebagian lagi karena takut kena konfrontasi antara TNI dan Gerakan OPM pada tahun 1977, mereka semua melarikan diri ke lokasi lama. Kemudian hanya sebagian kecil kurang lebih 12 KK yang kembali ke pemukiman baru pada tahun 1980.
Memang disadari bahwa pemindahan masyarakat dari kawasan pegunungan ke kawasan tengah atau pesisir pantai membutuhkan daya adaptasi di lingkungan yang baru, apalagi secara budaya daerah ini dianggap sebagai daerah terlarang (pamali). Perbedaan iklim, jenis lahan pertanian, lingkungan alam dan sosial menjadi hambatan.
Melalui penelitian ini ingin diketahui:
1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro yang berkaitan dengan upaya pemukiman kembali.
2. Pola adaptasi di lokasi yang baru.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola adaptasi tersebut.
Sasaran penelitian adalah masyarakat Amungme dan Kamoro yang berada di lokasi lama maupun yang baru.
Dalam penelitian ini diajukan dua hipotesis yaitu:
1. Keterikatan kepada leluhur, tingkat pendidikan, usia, dan penghasilan tidak berpengaruh terhadap pola adaptasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Amungme dan Kamoro dalam menghadapi perubahan lingkungannya.
2. Kegiatan PTFI tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan kelima fungsi sosial lingkungan hidupnya dan penyesuaian diri masyarakat Amungme dan Kamoro.
Yang menjadi responden penelitian ini adalah para Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM baik yang ada di lokasi lama maupun lokasi yang baru sebanyak 84 orang.
Data diperoleh melalui wawancara berstruktur, menggunakan kuesioner, wawancara mendalam melalui tokoh-tokoh: Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM yang ada di lokasi lama dan lokasi yang baru serta pengamatan di lapangan. Data sekunder di peroleh dari DSRID PTFI, dan berbagai lembaga Pemerintah di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua.
Sikap dan pola adaptasi masyarakat Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali dianalisis dengan membandingkan keteguhan melaksanakan upacara adat, pendidikan, usia (tua/muda), dan tingkat penghasilan di pemukiman lama dan baru.
Pola adaptasi masyarakat juga dianalisis ada-tidaknya kegiatan PTFI yang telah menimbulkan dampak lingkungan yang pada gilirannya mendorong masyarakat Amungme dan Kamoro untuk menyesuaikan diri kembali terhadap perubahan ke lima fungsi sosial lingkungan hidupnya.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan jawaban para responden terhadap dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah:
1. Yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap warga Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali di Desa Harapan Kwamki Lama dan Desa Nayaro, ialah:
a, keterikatan yang cukup kuat terhadap leluhur yang ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Para kepala keluarga yang kembali terbukti secara signifikan lebih terikat kepada leluhur.
b. pendidikan formal kepala keluarga terbukti ikut mempengaruhi sikap mereka terhadap pemukiman kembali; Artinya kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal (walau hanya sampai kelas III SD) cenderung menerima upaya pemukiman kembali dan menetap di lokasi baru.
2. Adaptasi warga Amungme dan Kamoro di Kwamki Lama dan Desa Nayaro lebih cepat terjadi pada aspek sosial ekonomi dari pada budaya kebersihan lingkungan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh:
a. perubahan pola pertanian dari pola subsistem ke tingkat produksi untuk pasar, perubahan pola pemanfaatan waktu luang dengan mencari penghasilan tambahan. Dengan demikian pendapatan rata-rata perkapita warga Amungme dan Kamoro di Desa Kwamki Lama dan di Desa Nayaro mengalami peningkatan hampir 75% di bandingkan dengan warga Amungme di lokasi lama.
b. perubahan makanan pokok sudah terjadi pada warga masyarakat Amungme dan Kamoro dengan menganggap nasi adalah makanan pokok ideal. Walau pun dalam kenyataan sebagian besar masih memakan umbi-umbian, karena keterbatasan keadaan ekonomi.
c. perubahan bentuk rumah, dapat dilihat dari rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen, artinya mereka sudah meninggalkan bentuk rumah bulat dan panggung (inokep) dari lokasi lama.
d. budaya kebersihan lingkungan di lokasi baru belum di terima. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan yang masih membudaya pada masyarakat Amungme dan Kamoro di lokasi baru yaitu membuang hajat tidak di MCK.
3. Pelaksanaan upacara-upacara ritual oleh warga Amungme dan Kamoro dapat di kelompokkan atas dua kategori yaitu:
a. upacara yang masih sering dilakukan yaitu upacara "Perang", "Perdamaian", "Pembayaran Kerugian Perang", "meminta kesuburan ", "kesejahteraan , "Kekayaan ", "Ibodewin ", dan "Hai". Kemudian "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Ti: Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Sikap terhadap pelaksanaan upacara tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia dan penghasilan.
Mereka yang berusia lanjut dan berpenghasilan lebih baik, memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara. Dalam hal ini terlihat bahwa upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial di samping fungsi sarana "penghubung" dengan leluhur, selain sebagai media pertemuan antar kerabat, baik yang ada di Waa maupun Kwamki Lama dan Nayaro.
b. upacara yang sudah mulai ditinggalkan yaitu upacara perang, pembayaran kerugian perang, ibodewin dan Hai pada masyarakat Amungme dan upacara kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro.
Upacara-upacara perang, perdamaian, pembayaran kerugian perang, ibode win dan hal pada masyarakat Amungme sudah mulai ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan pada masyarakat Kamoro lainnya seperti rumah bujang dilarang oleh Belanda dan sudah hilang secara total, dan Heni Tarapao, Qfo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao mulai hilang karena tambelo yang biasanya dipergunakan dalam upacara adat ini mulai punah akibat pencemaran air limbah oleh PTFI.
Di sisi lain upacara ini sudah mulai ditinggalkan karena sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sosial ekonomi, pendidikan formal, faktor usia, dan penghasilan warga Amungme dan Kamoro di lokasi yang baru. Artinya para kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal, berusia muda, dan penghasilan lebih baik mempunyai kecenderungan meninggalkan tradisi tersebut.
Sebagai pengakuan hak ulayatnya jumlah dana rekognisi yang di alokasikan adalah dana 1% untuk 7 suku dan dana perwalian sebesar 500 ribu dollar Amerika setiap tahun selama 25 tahun diberikan kepada suku Amungme (masyarakat di kawasan pegunungan). Sedangkan Suku Kamoro atas alih fungsi lahan 5000 hektar dusun sagu, tempat berburu, sungai sebagai tempat cari ikan, (kehilangan sungai, sampan, dan sagu) diberikan dana Rekognisi sebesar 25 Juta dollar Amerika selama 5 tahun yaitu mulai tahun 1998 - 2003 nanti. Walau pun mendapat pengakuan hak ulayat masyarakat adat namun masih dipermainkan oleh pihak ketiga. Sedangkan kerugian yang diderita tak ada bandingannya dengan nilai uang sebesar itu sehingga tak dapat menutupi segala kerugian yang dideritanya akibat pengelolaan PTFI. Kalau ada bandingan jika disediakan Dana Abadi bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung untuk sekian generasi yang akan datang.
Implikasi Penelitian
1. Di lokasi yang baru (Di Desa Harapan Kwamki Lama maupun di Desa Nayaro) warga Amungme dan Kamoro merasa diri "tidak aman" akibat pelayanan di segala sendi kehidupan yang mereka peroleh terutama perlakuan dari aparat keamanan di PTFI maupun operasi DOM dari TNI dan POLRI, dan Pemerintah. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghilangkan kesan ini demi suksesnya upaya pemukiman kembali oleh PTFI, Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua.
2. Membiarkan warga Amungme tetap di lokasi lama, mengingat mereka lebih memiliki falsafah kearifan lingkungan, dengan menganggap alam bagaikan seorang Ibu yang memberi makan, dan menyusui mereka setiap saat tanpa kenal lelah.
3. Untuk menghindari perusakan lingkungan, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang kebiasaan bertani secara menetap, berladang dengan Cara terrasering, memakai pupuk alam, bibit unggul, dan penghijauan kembali lahan-lahan yang pemah diolah.
4. PTFI telah memberikan program REKOGNISI untuk menjamin keberhasilan penduduk setempat memelihara, meningkatkan kesejahteraan, dan kemampuan penduduk untuk mengembangkan pola-pola adaptasi (Strategic Behavior). Perubahan pada fungsi lingkungan yang drastis menuntut pengembangan strategic behavior maupun adaptive behavior secara perorangan maupun kolektif dengan mengembangkan ketrampilan dan keahlian kerja di luar sektor tradisional.

Environmental Changes Within The PT. Freeport Indonesia Mining Area (Studi of Adaptation Amungme community resettlement to Harapan Kwamki Lama regency and Kamoro community resettlement to Nayaro regency, District Mimika, Papua Province)The expansion of wasteland environmental sosial issues changes and disturbance of the PTFI is how to Amungme community resettlement at Kwamki Lama villages and Kamoro community resettlement at Nayaro villages in the middleland probably antisipation changes impact from PTFI operation area. This is an important issue in environmental problem management.
Depsos, Depnakertrans, and Governor Papua Province joint with PTFI for Amungme and Kamoro community resettlement a new location in middleland Kwamki Lama and Nayaro. Purpose is antisipation to probably pra accident near the central economic development, and the lost of semi nomads community from the highlands to the middleland which changes their way of living as nomade communities into permanent settlers. It is hoped, that as middleland settlers they would changes their method of slash and burn of into modern agriculture, and central economic development. In reality, Mr. Tuarek Natkime, Kepala Suku Amungme and several community people to choose to the still live in Waa village, because their believed one place (Danau Wanagon) is holy place and middle place until lowland place is bad place, many of them went back to their, former settlement during the first phase of the government's resettlement program, because they could not adapt their way of life to the new environmental conditions at the New location. Differences in climate, conditions of farmsland and social environment make it hard for them to adapt their way in the new settlement.
Their considerat resettlement community from highland to middleland, theirs need adaptation in the new environment, because culture community people this place is bad condition area.
This research was held with several objectives:
1. Factors that influence the attitude of the resettled community to wards the settlements project.
2. The adaptation patterns in their new location 3, Factors that influence the adaptation patterns
Respondents were chosen numbering of 80 family heads, from the Amungme 40 family heads and 40 family heads from Kamoro. Primary data for this research were obtained by questionaires, next to depth interviews with the community leaders as Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Government, and LSM in both locations. Secondary data were obtained from the OSTRID, PTFI, LEMASA, LEMASKO, District Mimika, and Papua Provincial Government Publications.
Research hypothesis that were tested in this research, were:
1. The bond between the resettled population and their ancestors, the level of formal education, age, and income factor not influence on the adaptation pattern, social, economic, and culture to the Amungme and Kamoro community in to face in the changes environment.
2. The activity PTFI operations have not grown environmental impact to motivate community some time to adapt to the changes social environment function.
The member's attittude of both Amungme and Kamoro communities to wards the resettlement program were analyzed by comparing the upper Amungme and Kamoro community with the middle Amungme and Kamoro community in consistency of performing their traditional rites, level of educations and age. Analysis were made by The Sign Tests Statistics, with two independent samples.
Research findings
1. Positive influence as factor in attittude formation for decision to resettle at Kwamki Lama and Nayaro:
a) Strong bond between respondents and their ancestors was the primar influencing factor for the community member to return to their old settlement.
b) Family Head's formal education has a strong correlation with decision to resettle. There were tendencies, that the family's head who went to the primary school could receive the resettlement program and therefor moved to Kwamki Lama and Nayaro
2. Adaptation of the middle Amungme dan Kamoro community was faster in socio-economic aspects than in cultural aspects especially at the environmental hygiene.
These findings were concluded from:
a) The average per capita incomes were higher 75% for the middle Amungme and Kamoro community much than the average incomes for the upper Amungme and Kamoro community 50%. Income was raised by changing agricultural technology from subsistence practices to the market production approach. Their spare time was also used more effectively used by doing labour jobs at the local market outside the Waa and Kali Kopi villages.
b) Change also happened at their staple food composition. The middle Amungme and Kamoro community had chosen rice as their main staple food, instead of sweetpotatoes, cassava and taro. Only lack of money, forced members of the Amungme and Kamoro community to choose non-rice as their main staple food.
c) Changes also took place at their house's construction form. The middle Amungme and Kamoro community has expanded their rowhouses, rather than restored into their traditional houses.
d) The habit to make cleanliness as part of their way of life was still not accepted. The middle Amungme and Kamoro community still did not use the latrines.
3. Performance of traditional rites can be categorized into two classes:
a) Traditional rites are still performed as usual, such as: "war", "peace", "paying to loss war", "to request to propose richness", "successful", "riches", "Ibodewin", "Hai", from Amungme community and "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao from Kamoro community. Age and Income of family heads had stronger correlation with attitude in performing those rites than level of education.
b). Old age and better income in the Amungme and Kamoro Community were strong reasons for following those rites. These rites have social and spiritual meaning for them apart from fuel filling social functions of social; gathering meeting the upper Community relations.
c) Abandoned traditional rites, such as "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" from Amungme community and "kware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" from Kamoro community., because these rites were not compatible with the new way of life as a result of the resettlement program, and not relevant with the present. The missing mollusca Tambelo to begin exterminated the impact from PTFI operation.
Level of education, age and income have strong association with attittude in performing the "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" and "kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" rites. Young family's heads have stronger tendencies in abandoning the "ceremonys" rite.
Research Implications
1. The middleland Amungme and Kamoro Community at Kwamki Lama and Nayaro, felt that they belong into the category of "underprivileged", because of the less attention given to them, compared to other ethnic group of the same village. Thus, the village officials need to change their attittude in this respect, to ensure success of the resettlement program.
2. The allocated land to the original group, was not calculating the high birt rate after resettlement. In this case, a solution must be formed to solve the land problem to ensure economic progress of the resettlement program. It is also hoped, that the Upper Amungme community would become attracted to be resettled at Waa village.
3. Another option is to let care the Upper Amungme and Kamoro community live at Kwamki Lama and Nayaro into new function such as managers of the forest ecosystem. To ensure that the environment won't be harmed, the Government can educate them with proper knowledge in agricultural methods.
4. Recognitive have to supported from the Freeport Indonesia company but cannot be abble to succesfully community in increase their living such as calculate from Government, FTFI Company, NGO's, without develop strategic behavior from community. Because drastis changes to environmental function to demand individual although collective developing strategic behavior and adaptive behavior with developing skill, and training programme the another traditional sector.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Koesrijanti
"Masalah lingkungan hidup di masa depan semakin kompleks sehingga memerlukan upaya terpadu dan menyeluruh. Sedangkan pertumbuhan dan pembangunan masa depan, termasuk proses industrialisasi akan sangat bergantung kepada cadangan sumberdaya alam utama Indonesia (tanah, hutan, air, dan energi) dan keberlanjutan tatanan lingkungan yang kritis termasuk sumber air dan tanah di daerah perkotaan dan ekosistem pantai dan lautan di seluruh Indonesia.
Industrialisasi sebagai salah satu strategi dalam pembangunan, dilihat dari tatanan makro telah memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi nasional, sehingga sektor industri saat ini dipercaya sebagai sektor andalan motor pertumbuhan yang menjadi orientasi pembangunan saat ini.
Kendati demikian tak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan perkembangan industri sebagai salah satu strategi pembangunan membawa dampak tersendiri terhadap masyarakat baik secara sosial, ekonomis, maupun secara fisik terutama terhadap masyarakat sekitar di mana industri tekstil itu berada, yang dalam hal ini yaitu masyarakat di Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah mengkaji keberadaan masyarakat sekitar industri tekstil di Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat mengalami kondisi lingkungan sosial ekonomi yang buruk.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data, fakta dan informasi yang sahih dan dapat dipercaya (reliable) tentang hubungan antara pembangunan industri tekstil dan lokasi geografis dengan perkembangan lingkungan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.
Penelitian ini bersifat sebagai penelitian non eksperimental yakni metode penelitian ekspos fakto dengan pendekatan yang bersifat deskriptif analitis dibantu dengan metode survei melalui pengamatan.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Jumlah sampel sebanyak 120 responden berasal dari 25% jumlah desa di Kecamatan Cikeruh sebanyak 17 desa, dan muncul 4 desa yang dipilih secara random yaitu Desa Cisempur, Desa Cintamulya, Desa Cilayung, dan Desa Cikeruh. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari - Juni 2001.
Ada 2 variabel bebas yaitu pembangunan industri tekstil dan perkembangan lokasi geografis dibandingkan dengan 1 variabel terikat yaitu perkembangan lingkungan sosial ekonomi masyarakat. Instrumen penelitian di susun oleh peneliti berdasarkan deskripsi teori. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan uji khi-kuadrat (chi square test). Analisis deskriptif yaitu menyajikan data dalam bentuk tabel dan gambar sehingga data menjadi informasi yang mudah dipahami.
Uji khi-kuadrat digunakan untuk melihat hubungan antara keberadaan pabrik dengan berbagai variabel demografi, sosial ekonomi, kondisi kesehatan, pengadaan air minum dan kelembagaan. Uji khi-kuadrat digunakan karena peubah-peubah (variabel) yang diamati bersifat kategori.
Peubah kategori yaitu peubah yang nilai-nilainya hanya bersifat menggolongkan atau mengklaskan. Peubah kategori dapat dibedakan menjadi dua skala pengukuran yaitu nominal dan ordinal, contoh peubah yang berskala nominal yaitu jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) dan contoh peubah berskala ordinal yaitu tingkat pendapatan.
Hipotesis penelitian, berdasarkan deskripsi teori dapat disusun perumusan hipotesis, sebagai berikut: 1) Terdapat hubungan antara pembangunan industri tekstil dengan perkembangan lingkungan sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. 2) Terdapat hubungan antara lokasi geografis dengan perkembangan lingkungan sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. 3) Lokasi geografis bersama dengan pembangunan industri tekstil berhubungan erat dengan perkembangan lingkungan sosial ekonomi masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis temuan data dibuat kesimpulan penelitian. Secara umum pembangunan industri tekstil dan lokasi geografis mempengaruhi variabel terikat yaitu perkembangan lingkungan sosial ekonomi masyarakat.
Interaksi variabel pembangunan industri tekstil di suatu wilayah memberikan dampak yang nyata terhadap aspek sosial ekonomi, kesehatan masyarakat, ketersediaan air bersih, kelembagaan masyarakat, dan lokasi geografis.
Keberadaan pabrik berhubungan nyata dengan tiga indikator yang paling dominan yaitu kondisi kesehatan, kontribusi pabrik terhadap fasilitas kesehatan, dan jenis penyakit yang timbul dengan adanya pabrik.
Keberadaan pabrik berhubungan nyata dengan semua indikator pengadaan air bersih yaitu keberadaan sumber air bersih, sumber air untuk minum, sumber air untuk mandi, keadaan air minum, kontribusi pabrik terhadap fasilitas air bersih, dan bentuk kontribusi dari pabrik.
Di samping itu keberadaan pabrik berhubungan nyata dengan dua indikator dominan kelembagaan masyarakat yaitu kebersihan lingkungan dan keterlibatan dalam perkumpulan kemasyarakatan.
Sikap dan persepsi pekerja pabrik berhubungan nyata dengan hampir semua indikator sosial ekonomi yaitu manfaat keberadaan pabrik, jenis manfaat pabrik, pekerjaan pokok, dan pekerjaan ibu rumah tangga.
Jenis penyakit dan kontribusi pabrik terhadap fasilitas kesehatan berhubungan nyata dengan status pekerja atau bukan pekerja.
Keberadaan lokasi yang didukung dengan kondisi lingkungan alam berhubungan nyata dengan perkembangan industri tekstil.
Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian sebagai pengaruh bentang alam yang sangat menguntungkan, seperti lahan yang relatif datar dengan kemiringan lereng 0-15% dan adanya pendukung seperti ketersediaan sumber daya air, ketersediaan sarana dan prasarana sehingga pihak industri dapat menekan biaya operasional yang tidak kecil.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan analisis temuan data dapat ditarik kesimpulan hasil penelitian yaitu:
Keberadaan pabrik di suatu wilayah memberikan dampak yang nyata terhadap aspek sosial ekonomi, kesehatan masyarakat, ketersediaan air bersih, dan kelembagaan masyarakat, serta lokasi geografis.

The Development of Socio-Economic Community Environment (A Survay on the Relationship between Textile Industries Development and Geographical Location with the Environmental Development of Village Social Economic Community in Cikeruh Sub-District, District of Sumedang, West Java Province).Living environmental issue in future years will be more complex that needs an integrated and whole effort. While, regarding next development and growth, including industrialization, for example, will depend on major natural resources of Indonesia (lands, forests, waters, and energies), and critical environmental order continuity, including water and land resources in urban areas and coastal and marine ecosystems all over Indonesia.
From macro-order perspective, industrialization-as one of our development strategies-has made a great contribution to our national economy. Thus, the existing industry sector is believed to be a reliable growth-activating engine in our development orientation.
Nevertheless, there is not doubts to assume that as industry sector-considered one of our development strategies-grows, it will bring particular social, economical and physical effects into society, especially local population where such a textile industry located, that is Cikeruh Sub District, Sumedang Regency, West Java Province.
Formulations of research's problems development are community's textile industry in Sub-district Cikeruh, District of Sumedang, West Java Province to realize bad condition of social economic environmental.
The research is purposed, to gather reliable and valid data, fact and information on correlation between textile industry development and geographical location and socio economic environmental development in urban area of Cikeruh Sub District, Sumedang Regency, West Java Province.
The research is non-experimental in character, expost facto method, which using a descriptive-analytic approach added with an observational survey method.
This research was under-taken in Cikeruh Sub District, Sumedang Regency, West Java Province. Number of sample respondents is 120, which taken from 25% of all 17 villages in Cikeruh Sub District. Those four villages randomly selected in this research are Cisempur, Cintamulya, Cilayung, and Cikeruh. The research was performed in February - June 2001 period.
There are two dependent variables (textile industry development and geographic location development) compared to one independent variable (community's socio economic development). Researcher prepares instrument of the research based on theoretical description. Analysis method used here in the research is descriptive analysis and chi-square test. Descriptive analysis is made by preparing data in forms of tables and figures to be more understandable.
Chi-square test is intended to see correlation between plant existence and various variables such as demography, social, economy, health condition, water supply and institution. Chi-square test is utilized because observable substitutions (variables) are of categorical in nature. Category substitutions are the ones whose values serve to classify only. They may be grouped into two measuring scales, i.e., nominal and ordinal. Example for nominal-scaled substitution is gender (male and females), while for ordinal-scaled substitution is income level.
Research hypothesis, based on theory description, may formulate the following hypothesis: (1) There is a correlation between textile industry development and community's socio economic environmental development in Cikeruh Sub District, Sumedang Regency, West Java Province; (2) There is a correlation between geographic location and community's socio economic environmental development in Cikeruh Sub District, Sumedang Regency, West Java Province; and (3) Geographic location combined with textile industry development is closely correlated to community's socio economic environmental development.
Author draws conclusion based on research findings and data analyses. In general, textile industry development and geographic location influence dependent variable that is community socioeconomic environmental development.
Interaction between textile industry development variable in an area gives a concrete effect to social economy, public health, water supply, and societal institution, and local geography.
Plant existence is significantly correlated to the three most dominant factors: health condition, plant contribution to health facilities, and kinds of diseases resulted.
Plant existence is significantly correlated to all indicators in water supply, i.e., the availability of clean water sources for drinking and bathing, drinking water condition, contribution plant made to clean water facilities, and forms of contributions plant.
In addition, plant location is significantly correlated to two dominant public institution indicators: environmental sanitary and public involvement in societal association.
Plant worker's attitudes and perceptions are significantly correlated to almost all-socioeconomic indicators: plant existence benefits, kinds of plant benefits, primary works and housewives' jobs.
Kinds of diseases and contributions plant made to public health facilities are significantly correlated to status of workers or non-workers.
Location availability, which supported with natural environmental condition, is significantly correlated to textile industry development.
Changing farm area to non-agricultural has followed advantageous natural landscape, such as relatively flat land with 0 - 15% slope and another supporting frames such as water supply and infrastructures and facilities making industry saved substantial costs.
After testing hypothesis and analyzing data, author draws conclusion of the research: Plant existence in a certain area gives an actual effect to social economy, public health, water supply, and societal institution, and local geography.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T3562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Kuswanda
"Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) merupakan program pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara nasional dengan biaya yang cukup besar dan merupakan yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia, adalah alasan pentingnya diadakan penelitian.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka permasalahan penelitian adalah "apakah praktek pemberdayaan masyarakat melalui program IDT mendorong berkembangnya masyarakat mandiri?".
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahui atau memperoleh gambaran tentang pelaksanaan pemberdayaaan masyarakat oleh pendamping melalui program IDT.
Teori dan konsep yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian adalah teori dan konsep tentang pemberdayaan (empowerment), pengembangan masyarakat (community development), kemiskinan, dan program Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa : wawancara, studi kepustakaan, dan studi dokumentasi.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pengetahuan yang diberikan berupa pengetahuan tentang program atau proyek IDT, pemberian motivasi, dan pendekatan partisipatif dalam memberdayakan masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan secara umum bahwa praktek pemberdayaan masyarakat melalui program IDT belum mendorong ke arah berkembangnya masyarakat mandiri. Untuk itu maka saran yang diaiukan adalah perlunya menumbuhkan kesadaran masyarakat dan memperkuat daya atau potensi yang dimiliki."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Mulyadi
"Perubahan lingkungan yang sangat pesat, akan mempengaruhi industri kecil sehingga industri kecil dituntut untuk terus berkembang dalam menghadapi perubahan tersebut. Kondisi ini memberikan konsekuensi adanya tuntutan industri kecil terhadap pelayanan sehingga industri kecil membutuhkan pelayanan tidak hanya terbatas pada layanan teknis tetapi juga menuntut layanan lainnya yang bersifat non teknis. Kebutuhan pembinaan dan atau pelayanan industri kecil untuk setiap sentra tidak semuanya sama, dan untuk setiap strata pada setiap sentra juga kebutuhan pelayanan dapat tidak sama. Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji karakteristik melalui teori organisasi didukung oleh analisa Klaster dan Diskriminan. Untuk dapat melakukan pembinaan dan pelayanan terhadap industri kecil, Unit Pelayanan Teknis (UPT) perlu melakukan berbagai perubahan yang disesualkan dengan kebutuhan bagi industri kecil, sehingga mempelajari karakteristik sentra dan kebutuhan pelayanan bagi industri kecil sangat diperlukan untuk pembinaan industri kecil termasuk melalui UPT.
Hasil penelitian terhadap 5 (lima) sentra industi kecil temuan sebagai berikut :
1. Industri kecil di suatu sentra/lingkungan dapat dikelompokan ke dalam 3 (tiga) kelompok yang terbentuk yaitu, Industri Kecil Survival, Industri Kecil Stabil dan Industri Kecil Maju. Dari masing-rnasing kelompok yang terbentuk untuk setiap sentra menjadi obyek penelitian memiliki karakteristik yang berbeda ditinjau dari komponen konsumen, produk, tenaga kerja dan modal.
2. Dengan mernperhatikan hasil analisa diskriminan bahwa setiap sentra industri kecil memiliki variabel yang signifikan sebagai pembeda antar ketiga kelompok yang terbentuk dan variabelnya berbeda untuk setiap sentra industri kecil. Variabel pembeda tersebut dapat dijadikan indikator dalam meningkatkan strata industri kecil pada tingkat yang lebih maju dan juga dapat dijadikan sebagai kebutuhan bagi strata survival dan stabil untuk lebih maju.
3. Berdasarkan kesesuaian antara karakteristik sentra industri kecil dengan kondisi UPT pada sentra bersangkutan, maka dapat disimpulkan bahwa:
- Pelayanan Unit Pelayanan. Teknis (UPT) dapat digunakan secara efektif oleh industri kecil yang mesin dan peralatannya memerlukan investasi yang mahal seperti pada Industri Kecil Logam, Rotan dan Kulit.
- Pemanfaatan Unit Pelayanan Teknis (UPT) hingga bagi perusahaan Industri Kecil yang baru tumbuh, dan perusahaan yang belum memiliki mesin dan peralatan sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T4365
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>