Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sasono Wijanarko
"Penentuan respon detektor dilakukan dengan menggunakan detektor Unfors, detektor jenis Farmer dan detektor TK 30cc. Penelitian menggunakan pesawat sinar-X Y.TU 320-D03. Besar energi yang digunakan 50 sampai 100 kV pada kualitas RQA berdasarkan Technical Report Series no.457. Penelitian ini menghasilkan respon detektor jenis Farmer bernilai besar pada energi tinggi, sehingga menghasilkan faktor koreksi yang kecil. Dengan demikian eisiensi detektor Farmer pada kualitas RQA lebih baik pada energi tabung (kV) yang tinggi. Dan untuk detektor TK 30 cc menghasilkan nilai faktor koreksi yang cenderung datar.

Radiodiagnostic detector response determination using Unfors detector, Farmer detector and TK 30cc detector. The research using X-ray machine Y.TU 320-D03. The energy that used is 50 until 100 kV for RQA quality based on Technical Report Series no. 457. This research resulting that Farmer detector response have a greater value for high energy, so that resulting small value of correction factor. Thus, the efficiency Farmer detector much better for high energy of tube X-ray machine. And, for TK 3Occ detector resulting flat value of correction factor."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29385
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ainur Rahmi
"Sinar-x digunakan dalam bidang kedokteran pada metode diagnosis dan terapi penyakit. Kualitas radiasi sinar-x yang digunakan harus terstandarisasi karena dapat mengakibatkan efek stokastik pada pasien. Efek stokastik dikurangi melalui quality control pada mesin radiologi, dan akan berjalan baik jika dilakukan pengukuran dan kalibrasi yang tepat. Skripsi ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas berkas radiasi RQR pesawat sinar-x Y.TU 320-D03 berdasarkan protokol IAEA Technical Reports Series (TRS) no. 457 dan kemudian menentukan nilai faktor koreksi detektor radiodiagnostik terhadap kualitas radiasi RQR. Detektor yang digunakan adalah Farmer 2571, Unfors Xi, dan TLD 100 LiF. Hasil menunjukkan nilai faktor koreksi Farmer relatif konstan, sedangkan TLD memiliki nilai faktor koreksi pada rentang 0.944±0.045 s.d 1.000±0.053.

X rays used for diagnosis and therapy in medicine filed. X rays should be standardize to use, because it can make the stochastic effect to patient. It can be decrease by doing quality control to radiology machine, and it will work satisfactorily if correct calibration and measurement are made. This research has goal for evaluating the RQR radiation quality of Y.TU 329-D03 x rays machine based on IAEA Technical Reports Series (TRS) no. 457 and determining the correction factor of radiodiagnostic detector to RQR radiation quality. Detector which is used for this research are Farmer 2571, Unfors Xi, and TLD 100 LiF. The result are correction factor for Farmer is constant and correction factor for TLD 100 LiF is 0.944±0.045 to 1.000±0.053."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29388
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Suharlim
"Latar belakang: Pemeriksaan radiografi secara bedside sering dilakukan pada pasien non-transportable. Literatur dahulu menyatakan jarak 2 meter merupakan jarak yang aman, dimana radiasi sekunder teratenuasikan sesuai radiasi latar. Namun pada observasi dan studi didapatkan petugas medis cenderung meninggalkan ruangan, yang dapat mengganggu pelayanan pada pasien dan menyebabkan terhentinya prosedur yang sedang berjalan. Sejauh penelusuran data tidak ditemukan data yang mengukur dosis radiasi sekunder di ruang perawatan intensif, yang dilakukan pada jarak 2 meter di RSUPD Cipto Mangunkusumo maupun Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer berupa 42 radiografi toraks, dilakukan di ruang perawatan intensif (ICU) RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli 2019 hingga April 2021. Diperoleh juga data sekunder berupa jumlah pemeriksaan radiografi pada sistem Picture archiving and communication system (PACS) dengan lokasi di ruang perawatan intensif selama tahun 2017 hingga 2019.
Hasil: Rerata dosis radiasi sekunder untuk pemeriksaan radiografi toraks pada jarak 2 meter di ICU adalah 0,323 (± 0,192) μSv, dengan estimasi radiasi sekunder kumulatif selama 3 tahun dalam rentang 0,40 – 0,44 mSv per tahun. Status gizi, kVp, mAs, dan ketebalan tubuh memiliki hubungan bermakna pada uji bivariat terhadap dosis radiasi sekunder (p < 0,05), dengan variabel akhir setelah uji multivariat adalah mAs (p < 0,001).
Simpulan: Estimasi dosis radiasi sekunder kumulatif untuk petugas medis di ICU lebih kecil dibandingkan nilai batas dosis masyarakat umum. Faktor yang paling menentukan dosis radiasi sekunder pada jarak 2 meter adalah faktor eksposi yaitu mAs yang ditentukan oleh radiografer.

Background: Bedside radiography often done to non-transportable patients. Previous studies has shown that 2 meter is a safe distance, at which secondary radiation would be attenuated to background level. Yet from observation and studies, medical personel tend to leave the room, which could disrupt care to patients and cause disturb ongoing procedure. Data tracing done by the researcher has shown no other study which measure secondary dose radiation in intensive care unit, at a distance of 2 meters, in RSUPN Cipto Mangunkusumo or Indonesia.
Method: This study collected primary data of 42 chest radiograph, done in intensive care unit of RSUPN Cipto Mangunkusumo from July 2019 to April 2021. Secondary data was also collected in form of number or radiograph from Picture archiving and communication system with location of intensive care unit from year 2017 to 2019.
Result: Mean secondary radiation dose for chest radiograph at a distance of 2 meters is 0,323 (± 0,192) μSv, with cumulative secondary radiation dose estimation of 3 years in range of 0,40 – 0,44 mSv per annum. Nutritional status, kVp, mAs, and chest thickness have statistically significant correlation in bivariate analysis to secondary radiation dose (p < 0,05), with final variable after multivariate analysis of mAs (p < 0,001).
Conclusion: Cumulative secondary radiation dose for medical personel in ICU is less than dose limit for public exposure. The most significant variable to determine secondary radiation dose in 2 meters distance is exposure factor which is mAs that is determined by operator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wahyu Praptiwi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dimensi kualitas yang berhubungan dengan kepuasan dokter spesialis radiologi terhadap pemanfaatan teleradiologi di Provinsi DKI Jakarta tahun 2013. Desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teleradiologi dimanfaatkan oleh 58,7% dokter spesialis radiologi (n=155) dan kebutuhan merupakan faktor yang berhubungan paling kuat dengan pemanfaatan teleradiologi. Dokter spesialis radiologi yang puas terhadap teleradiologi sebanyak 78% (n=91) dan tangibility merupakan faktor yang berhubungan paling kuat dengan kepuasan dokter spesialis radiologi. Kelengkapan dan kerahasiaan data pasien serta evaluasi oleh pimpinan unit radiologi merupakan prioritas utama untuk meningkatkan kepuasan dokter spesialis radiologi.

This study aims to determine the quality dimension factors related to the radiologist satisfaction toward the use of teleradiology in Jakarta in 2013. The research design is a descriptive quantitative study with cross sectional approach. The results showed that teleradiology utilized by 58,7% of radiologists (n=155) and the need is the most strongly factor related to the use of teleradiology. Radiologists were satisfied with the teleradiology as much as 78% (n=91) and tangibility is the most strongly factor related to the radiologist satisfaction. Completeness and confidentiality of patient data and the evaluation of the radiology leader are priorities to improve radiologist satisfaction.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aida
"Telah dilakukan penelitian mengenai dosis ekuivalen pada staf intervensional yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dengan menggunakan TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip sebagai dosimeter personal. Hasil dari pengukuran dosis ekuivalen untuk prosedur PCI dengan menggunakan TLD-100 Rod lebih besar dosis yang diterima dibandingkan dengan menggunakan TLD-100 Chip. Perbedaan rata-rata antara hasil dari TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip adalah 34.2%. Dari hasil pembacaan TLD-100 Rod dosis yang paling besar pada perawat adalah di titik pengukuran bagian gonad di luar apron. Untuk dokter dosis yang paling besar juga didapat di titik pengukuran bagian gonad apabila tidak memakai apron. Di lain pihak, dari hasil pembacaan TLD-100 Chip dosis yang paling besar pada perawat adalah di titik pengukuran bagian tiroid dan pada dokter dosis yang paling besar di titik pengukuran bagian tangan. Dari penelitian ini juga melakukan pengukuran dosis output yang bertujuan untuk mengetahui laju dosis pada titik IRP. Hasil dari pengukuran laju kerma udara per mA adalah 0,061 mGy/mAs sampai 0.257 mGy/mAs. Hasil laju dosis pada titik IRP dibandingkan dengan laju dosis staf dan didapat hasil persentase yang sangat kecil. Nilai DAP tidak signifikan berkorelasi dengan tingkat radiasi hamburan. Dosis ekuivalen yang didapat staf kecil sedangkan nilai DAP yang didapat besar. Rata-rata hasil pengukuran intensitas apron dengan menggunakan TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip adalah 43.83% sampai 95.91% pada pengukuran staf perawat dan 37.38% sampai 95.91% pada pengukuran staf dokter. Sedangkan untuk tirai kaca Pb adalah 97.77 % sampai 98.95% dan untuk tirai Pb adalah 98.5% sampai 99.27%.

The equivalent dose for staffs doing interventional radiology have been done at National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital using TLD-100 chip and TLD-100 rod as personal detector. The results shows that the dose equivalent for PCI procedures using TLD-100 rod received larger doses than TLD-100 chip. The average dose difference between TLD-100 rod and TLD-100 chip is 34.2%. The greatest dose of TLD-100 rod was occurred at gonad point for nurses and medical doctors, whereas it was occurred at thyroid and hand point of measurement in TLD-100 chip for nurse and medical doctor respectively. In this study was performed the measurements dose rate at the point of IRP (Interventional Refferences Point). The results of measurements of air Kerma rate per mA was in the range of 0.061 mGy / mAs to 0.257 mGy / mAs and if it was comparison the IRP to dose rate staffs in very small percentage. The DAP value was not significantly in correlated with the level of radiation scattering. However, the dose equivalent obtained of staffs was very small while the DAP value is high. In addition, the average of the intensity measurement of the apron using TLD-100 rod and TLD-100 chips were in the range of 43.83% to 95.91% for nursing staff and in the range of 37.38% to 95.91% for medical staff. As for glass curtain Pb was 98.95% to 113.79% and for curtains was 98.5% Pb to 99.27%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S47213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Skila Mardotilah
"Parameter utama yang dapat menggambarkan kinerja sinar-X terhadap kualitas citra mamografi yaitu resolusi dan noise. Parameter ini dapat dievaluasi oleh parameter Fourier, yaitu MTF, NPS dan DQE. MTF (Modulation Transfer Function) berguna untuk menganalisis detail dan kontras secara bersamaan. NPS (Noise Power Spectrum) berguna untuk menganalisis komposisi frekuensi spasial noise pada gambar. DQE (Detective quantum efficiency) adalah ukuran efek gabungan dari sinyal (terkait dengan kontras gambar) dan kinerja noise dari sistem pencitraan. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dari data QC yang bertujuan untuk mempelajari dan mengevaluasi MTF, NPS dan DQE terhadap variasi kualitas berkas radiasi dan tipe detektor. Data yang digunakan merupakan citra DICOM dengan variasi kombinasi anode/filter, variasi tegangan dan variasi tipe detektor. Pengukuran MTF, NPS dan DQE dilakukan dengan menggunakan software Imagej dengan plugin COQ mengacu pada pedoman European Guidelines dan IEC-62220-1-2. Hasil penelitian menunjukan bahwa variasi kualitas berkas radiasi tidak menunjukan pengaruh signifikan pada parameter Fourier. Sementara tipe detektor dapat mempengaruhi parameter Fourier berdasarkan teknologi yang digunakan.

The main parameters that can describe the performance of X-rays on the quality of mammography images are resolution and noise. This parameter can be evaluated by Fourier parameters, namely MTF, NPS and DQE. MTF (Modulation Transfer Function) is useful for analyzing detail and contrast simultaneously. NPS (Noise Power Spectrum) is useful for analyzing the spatial frequency composition of noise in an image. DQE (Detective quantum efficiency) is a measure of the combined effect of the signal (related to image contrast) and noise performance of an imaging system. This research is a retrospective study of QC data which aims to study and evaluate MTF, NPS and DQE against variations in radiation beam quality and detector type. The data used are DICOM images with anode/filter variations, voltage variations, and detector type variations. MTF, NPS and DQE measurements were carried out using Imagej software with the COQ plugin referring to European Guidelines and IEC-62220-1-2. The results showed that the variation of the radiation beam quality did not show a significant effect on the Fourier parameter. While the type of detector can affect the Fourier parameters based on the technology used."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iovah, Brent Ryan
"Latar belakang: Kulit buah manggis diketahui memiliki banyak khasiat seperti antioksidan, antiinflamasi, antitumor, antivirus, antibakteri, antifungi, antihistamin, antimalaria dan lainnya. Dalam menjalankan perannya, banyak zat aktif yang ,menghambat penyembuhan fraktur sehingga diperlukan peran antioksidan.
Tujuan: Mengetahui efek ekstrak kulit buah manggis terhadap penyembuhan tulang.
Metode dan Bahan: Penelitian ini menggunakan model fraktur yaitu defek femur kiri-kanan pada 6 ekor mencit (12 femur). Kemudian diaplikasikan ekstrak kulit buah manggis dosis 20 mg/kg BB (3 femur kiri) dan 40 mg/kg BB (3 femur kiri) serta saline water sebagai kontrol (6 femur kanan) pada hari ke 2, 4 dan 6. Pada hari ke 7, semua mencit dikorbankan. Selanjutnya ukuran diameter defek dievaluasi dengan dental digital radiography.
Hasil: Terdapat penurunan ukuran diameter defek pada femur mencit yang diaplikasikan ekstrak kulit buah manggis dosis 40 mg/kg BB namun tidak berbeda bermakna bila dibandingkan dengan kontrol (saline water).
Kesimpulan: Aplikasi ekstrak kulit buah manggis dosis 40 mg/kg BB dapat menurunkan ukuran diameter defek pada tulang.

Background: Peel of mangosteen has many benefits such as antioxidant, anti-inflammatory, antitumor, antiviral, antibacterial, antifungal, antihistamine, antimalarial and others. It has a lot of active substances contained therein as xanthones, anthocyanins, phenols, tannins and others. In bone fractures, an increase of free radicals that are supposed to inhibit the bone fractures healing that required the antioxidants.
Objective: To examine the effect of mangosteen peel extract on bone healing.
Methods and Materials: This study uses fracture model that defects on left-right femur in 6 mice (12 femur). Then applied mangosteen peel extract doseges of 20 mg/kg (3 left femur), 40 mg/kg (3 left femur) and saline water as a control (6 right femur) on days 2, 4 and 6. On day 7, all mice were sacrificed. Furthermore, the diameter size of the defect was evaluated with dental digital radiography.
Results: There was a decrease in the diameter of the femoral defect in mice that are applied mangosteen peel extract dose of 40 mg/kg, but not significantly different when compared with saline water.
Conclusion: The application of mangosteen peel extract 40 mg/kg BW dosage can reduce the diameter size of the bone defect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S44141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Auriani
"Radiografi dental panoramik merupakan teknik untuk mendapatkan gambaran daerah mandibula dan seluruh gigi. Saat ini yang menjadi referensi pengukuran dosis pasien adalah penggunaan TLD chip, namun cara pengukuran yang memberikan indikasi langsung dari dosis pasien lebih sulit ditentukan. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran dengan metode CTDI dan pengukuran dengan TLD chip.
Penelitian ini menggunakan jenis fantom silinder PMMA berdiameter 16 cm dengan 5 titik pengukuran yaitu pada periperal dan pusat fantom. TLD diletakkan pada sekeliling permukaan fantom, sedangkan pencil chamber diletakkan ke dalam celah fantom dengan lebar berkas radiasi 5 cm. Selain itu, percobaan ini menggunakan waktu penyinaran 12 detik dengan masing-masing faktor eksposi anak 65 kV dan dewasa 70 kV. Nilai CTDI dihitung dari hasil bacaan pencil chamber, sedangkan TLD dihitung dari hasil pembacaan data TLD chip. Selanjutnya, Dose Area Product (DAP) didapatkan dari mengalikan CT-Dose Index dengan celah sekunder dari reseptor.
Hasil penelitian menunjukkan Dose-Length Product (DLP) dan DAP untuk kondisi anak adalah 18,23 mGy.mm dan 270 mGy.mm2, sedangkan DLP dan DAP untuk kondisi dewasa adalah 23,45 mGy.mm dan 330 mGy.mm2 . Sebaliknya, hasil pengukuran dosis menggunakan TLD pada dental panoramik yaitu 0,0875 ± 0,001 mGy untuk kondisi anak dan 0,0731 ± 0,001 mGy untuk kondisi dewasa.

Dental panoramic radiography is a technique to get an image of mandible and teeths. Commonly the patient dose estimation is TLD measurement, but the measurement of actual patient dose is more difficult to determine. In this study, we did the patient dose assesment of the dental panoramic procedure using CTDI method and compared with TLD measurement.
The experiment was done using 16 cm diameter cylindrical CTDI phantom with 5 points measurement at periapical and center of the phantom. TLDs were distributed circularly at phantom surface, whereas the pencil chamber with 5 cm wide X-ray beam was inserted into the chamber’s holder of the phantom. Moreover, the experiments were performed using 12 seconds time exposure and 65 kV and 70 kV for children and adult respectively. The CTDI was calculated based on the reading of chamber whereas the TLD was calculated based on the TLD reading data. Subsequently, the dose area product was calculated with multiplying the CTDI with the secondary slit are of receptor.
The results show the DLP and DAP for children are 18,23 mGy.mm and 270 mGy.mm2, whereas DLP and DAP for adult are 23,45 mGy.mm and 330 mGy.mm2. On the other hand, the TLD measurement shows that the dose estimation during the dental panoramic procedure are 0,0875 ± 0,001 mGy for children and 0,0731 ± 0,001 mGy for adult.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S45594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Santoso Sugandi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat.
Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%.
Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.

ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment.
Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity.
Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively
Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>