Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61735 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Sengketa perebutan Kepulauan Spratly merupakan
sengketa multilateral antara Cina, Vietnam, Taiwan,
Filipina, Malaysia, dan Brunei. Keenam negara tersebut
memperebutkan kepemilikan terhadap Kepulauan Spratly yang
terletak di Laut Cina Selatan, baik untuk seluruhnya maupun
sebagian saja. Salah satu cara untuk melakukan pembicaraan
terhadap masalah-masalah dan klaim-klaim yang terkait
dengan sengketa Kepulauan Spratly adalah melalui Workshop
On Managing Potential Conflicts In The South China Sea yang
diselenggarakan atas inisiatif Indonesia. Dalam hal ini
workshop yang dibahas adalah workshop periode tahun 1990-
2005. Workshop tersebut tidak hanya dihadiri oleh para
partisipan dari negara-negara yang bersengketa, tetapi juga
negara-negara lainnya dalam lingkup regional Asia Tenggara.
Tujuan dari dilaksanakannya workhop ini adalah mengubah
potensi konflik yang terjadi di Kawasan Laut Cina Selatan
menjadi bentuk-bentuk kerjasama di antara pihak-pihak yang
bersengketa untuk meningkatkan rasa saling percaya
khususnya diantara para pihak yang bersengketa. Sehingga
dengan workshop ini konflik yang ada diantara para pihak
yang bersengketa dapat dikelola menjadi kerjasama-kerjasama
yang menguntungkan di wilayah Laut Cina Selatan. Kerjasamakerjasama
yang sudah disepakati meliputi bidang-bidang
seperti berikut: Marine Scientific Research; Marine
Environmental Protection; Safety of Navigation Shipping And
Communication; Resource Assessment and Ways of Development.
Sedangkan terhadap masalah teritorial dan yurisdiksional
diharapkan dari kerjasama-kerjasama yang sudah dilaksanakan
pada akhirnya dapat diperoleh suatu penyelesaian sengketa
yang disetujui oleh masing-masing pihak."
[Universitas Indonesia, ], 2007
S26126
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Department of Foreign Affairs, 2001
327.7 IND e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Ministry of Foreign Affairs of The Republic of Indonesia, 2017
327 IND t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Auditya Firza Saputra
"Kehadiran klaim nine-dash-line Republik Rakyat China membuat suasana politik di wilayah Laut Cina Selatan memanas akibat sengketa wilayah yang tak kunjung terselesaikan sejak dekade 1970 hingga saat ini. Masalah ini berkembang seiring ditemukannya potensi kekayaan alam di wilayah perairan Kepulauan Paracel. Kondisi ekonomi Vietnam yang sedang dilanda krisis global pasca perang saudara dan unifikasi menjadikan kepentingan potensi ekonomis yang terkandung di Paracel sebagai jalan keluar dari krisis ekonomi. Di sisi lain, Hukum Internasional mengakui status kepemilikan suatu Pulau kepada negara tertentu melalui praktik pemenuhan asas okupasi efektif. Asas ini merupakan suatu preseden yang berkembang dari waktu ke waktu sejak kasus Putusan Arbitrase Las Palmas hingga kasus Putusan Sipadan dan Ligitan. Lewat metode okupasi yang efektif suatu kedaulatan negara dimanifestasikan lewat tindakan-tindakan damai yang secara terus menerus dalam periode penguasaan negara atas wilayah sengketa.

The presence of nine dash line claim by People?s Republic of China driven tensions to heat up the South China Sea as result of the unsettle territorial dispute since the 1970?s decades to present. The situations have developed since the discovery of oil potentials and other natural resources contained in the Paracels seas by States. Vietnam?s conditions is currently falling under the global economic crisis as a result of the Vietnam war and unification of the South and North Vietnam that produce the interests for such natural exploration of the Paracels waters. In the other side, International Law approves the right of territory of an island belong to the State that has exercised the practices of effective occupations principle. The principle is valid as a precedent that developed from time to time since the Las Palmas arbitration case until the Sipadan and Ligitan islands disput ruled out by the International Court of Justice. Through exercising the method of such effectivites, a sovereign state is recognsed its will to manifest the acts of peaceful display in a continual control over the dispute islands.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64511
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rabi Reski
"Tesis ini membahas tentang pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik dengan menggunakan konsep dan teori politik luar negeri terhadap penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan pada periode kepemimpinan Presiden Barack Obama 2009-2016 . Penelitian memanfaatkan metode kualitatif secara deskriptif analitik untuk memberikan gambaran terkait judul tesis ini. Proses pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menemukan bahwa Amerika Serikat mendorong penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan secara damai melalui proses menjaga keseimbangan di kawasan Asia Pasifik; tujuannya adalah menggalang persatuan dan dukungan negara-negara yang terlibat dalam konflik, serta resolusi perdamaian dan menghargai prinsip-prinsip internasional.Proses tersebut dapat diidentifikasi dari kebijakan luar negeri pada era pemerintahan Presiden Barack Obama yang mengalihkan fokus strategi dari Timur Tengah ke Asia serta memasukkan stabilitas Laut Cina Selatan sebagai kepentingan nasional dengan mengimplikasikan smart power international order yang diplomatis untuk membangun kerjasama baik yang bersifat bilateral maupun multilateral dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

This thesis examines an approach of the United States in the Asia Pacific region by using theory and concept of foreign policy of the Obama rsquo s administration 2009 2016 in settling the South China Sea disputes between nations of ASEAN and China. It uses qualitative research by using descriptive analytics design to provide an overview of the topic studied. The process of data collection was done through literature study. The results of the study discovered that the United States encouraged ASEAN member countries which are confronting disputes with China over South China Sea. To settle those disputes the United States in one way, supports the countries involved in the conflict, and in other way, encourages to call for peace resolution and respect the principles and spirit of international law. The approach taken by the United States was drawn from the switch of the United State foreign policies under the Obama rsquo s administration from the Middle East to Asia known as Pivot to Asia and to include maintaining stability as integral part of the United States national interests in the Asia Pacific. Finally, the United States is displaying a sort of diplomacy, the smart power international orderto establish cooperation with countries in the Asia Pacific region both bilaterally or multilaterally."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Pangestu
"Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai mengapa China bertindak asertif terhadap Vietnam di dalam kasus sengketa di Laut China Selatan. Tindakan China terhadap Vietnam di kasus Laut China Selatan merupakan sebuah anomali. Ketika berhadapan dengan negara Asia Tenggara lainnya, China tidak bertindak asertif dibandingan ketika China berhadapan dengan Vietnam. China masih mengedepankan negosiasi dalam berhadapan dengan negara lain. Tetapi jika berhadapan dengan Vietnam, China lebih mengedepankan sikap asertifnya. Untuk mencoba menganalisis sikap China terhadap Vietnam tersebut, penulis menggunakna konsep offense-defense balance milik Jervis. Konsep tersebut menyatakan bahwa ketika suatu negara meningkatkan keamanannya maka keamanan negara lain akan berkurang. Namun efek tersebut dapat dikurangi oleh 2 indikator yaitu keuntungan ofensif dan defensif serta pembedaan senjata ofensif atau defensif. Keuntungan ofensif terjadi ketika teknologi alutsista dapat menetralisir keuntungan geografis yang ada. Keuntungan defensif terjadi ketika teknologi alutsista tidak bisa menetralisir keuntungan geografis. Sedangkan pembedaan senjata ofensif dan defensif dapat dilihat dari 3 variabel yaitu mobilitas, daya tembak dan kemampuan menyerang tiba-tiba. Dari hasil analisis, tindakan China untuk bertindak lebih asertif kepada Vietnam disebabkan karena China dan Vietnam sama-sama memiliki keuntungan ofensif dan alutsista yang mereka miliki dapat dibedakan antara yang memiliki kemampuan ofensif dan kemampuan defensif. Oleh sebab itu dalam hubungan China dan Vietnam terjadi hubungan yang memungkinkan terjadinya aksi asertif oleh salah satu negara.

This study tries to explain why China acts assertively towards Vietnam in the case of disputes in the South China Sea. China's action against Vietnam in the South China Sea case is an anomaly. When dealing with other Southeast Asian countries, China is not as assertive as when China is dealing with Vietnam. China is still prioritizing negotiations in dealing with other countries. But when it comes to Vietnam, China puts forward its assertiveness. To try to analyze China's attitude towards Vietnam, the author uses Jervis' offense-defense balance concept. The concept states that when a country increases its security, the security of other countries will decrease. However, this effect can be reduced by 2 indicators, namely offensive and defensive advantages and the differentiation of offensive or defensive weapons. Offensive advantage occurs when defense equipment technology can neutralize the existing geographic advantage. Defensive advantage occurs when defense equipment technology cannot neutralize geographical advantages. While the distinction between offensive and defensive weapons can be seen from 3 variables, namely mobility, firepower and the ability to attack suddenly. From the results of the analysis, China's action to act more assertively towards Vietnam is because China and Vietnam both have offensive advantages and their defense equipment can be distinguished between those with offensive capabilities and defensive capabilities. Therefore, in the relationship between China and Vietnam, there is a relationship that allows assertive action by one of the countries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yang Yani
"Penelitian ini memberikan studi mendalam tentang penyesuaian strategis Indonesia di Laut China Selatan dan dampaknya terhadap hubungan Indonesia-China serta stabilitas regional di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat. Penelitian ini mengeksplorasi transisi Indonesia ke kebijakan maritim yang lebih tegas melalui penyebaran informasi, peningkatan militer, dan aliansi diplomatik untuk melawan pengaruh China. Menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada model perubahan kebijakan luar negeri Charles F. Hermann, teori geopolitik, dan pandangan konstruktivis, penelitian ini menyelidiki faktor-faktor internal dan eksternal yang mendorong perubahan ini, termasuk persaingan AS-China dan identitas maritim Indonesia yang sedang berkembang.
Meskipun ada potensi konflik, Indonesia dan China tetap fokus pada solusi diplomatik dan kerjasama ekonomi karena saling ketergantungan ekonomi dan kepentingan mereka dalam stabilitas regional. Disertasi ini menekankan peran penting dialog dan kerjasama yang meningkat antara Indonesia dan China dalam menangani isu-isu keamanan di Laut China Selatan, dengan menyarankan peningkatan keamanan maritim bilateral dan kerjasama ekonomi. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang diplomasi maritim dan penyesuaian strategis, serta menyoroti pentingnya identitas nasional, strategi geopolitik, dan diplomasi internasional dalam menghadapi tantangan sengketa maritim global dan mendorong perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik.

This research provides a detailed study of Indonesia's strategic adjustment in the South China Sea and its effects on Indonesia-China relations and regional stability amidst growing geopolitical tensions. It explores Indonesia's transition to a more assertive maritime policy through information dissemination, military enhancement, and diplomatic alliances to counter China's influence. Utilizing a qualitative approach grounded in Charles F. Hermann's foreign policy change model, geopolitical theory, and constructivist views, it investigates the internal and external factors driving this shift, including US-China rivalry and Indonesia's emerging maritime identity.
Despite potential conflicts, Indonesia and China have maintained a focus on diplomatic solutions and economic cooperation due to their mutual economic dependencies and interest in regional stability. The dissertation emphasizes the critical role of increased Indonesia-China dialogue and cooperation in addressing South China Sea security issues, suggesting improved bilateral maritime security and economic collaboration. It contributes to the understanding of maritime diplomacy and strategic adjustments, highlighting the importance of national identity, geopolitical strategy, and international diplomacy in navigating the challenges of global maritime disputes and advocating for peace and stability in the Asia-Pacific region.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Cadhu Wibawa
"Permasalahan Laut Cina Selatan merupakan permasalahan yang belum mencapai titik terang sampai dengan saat ini. Ketegangan kembali menguat setelah munculnya China Threat Teory serta gencarnya kebijakan Belt and Road Initiative oleh pemerintah China yang mencangkup Silk Road Economic dan Maritime Silk Road. Klaim Cina terhadap Kawasan Laut Cina Selatan dengan Nine Dash Line menimbulkan keresahan di negara kawasan ASEAN yang sebagian besar memiliki klaim yang tumpang tindih. Indonesia tidak termasuk sebagai negera penuntut dalam kasus sengketa di Laut Cina Selatan, namun demikian Indonesia turut terkena imbasnya dengan klaim perairan Natuna utara yang diakui Cina sebagai Traditional Fishing Ground. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran tingkat ancaman Cina terhadap Indonesia dengna menggunakan metode penilaian ancaman Prunckun untuk menilai persepsi tingkat ancaman dari pihak Indonesia. Peneliti menggunakan metodekualitatif, dengan menganalisis hasil wawancara dengan narasumber secara mendalam tentang respon yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pergerakan yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan. Dalam penelitian ini peneliti berfokus dengan mengkaji respon pemerintah khususnya dari dua sisi komponen strategis yakni aspek kekuatan bersenjata dan aspek ekonomi. Dari dua aspek tersebut dilakukan perbandingan respon untuk melihat konsistensi pemerintah dalam menghadapi ancaman Cina. Dalam penelitian ini didapat bahwa langkah pemerintah dari dua aspek tersebut menunjukkan tidak sejalan. Kemudian Peneliti menggunakan K3N sebagai alat untuk memberikan produk Intelijen sebagai bentuk fungsi intelijen yakni Warning, Forecasting dan Problem Solving.

The South China Sea problem is a problem that has not yet reached the bright spot until now. Tensions have strengthened again after the emergence of China Threat Theory and the incessant Belt and Road Initiative policy by the Chinese government which includes the Silk Road Economic and Maritime Silk Road. China's claim to the South China Sea Area with the Nine Dash Line has caused unrest in ASEAN countries, most of which have overlapping claims. Indonesia is not included as a claimant country in cases of disputes in the South China Sea, however, Indonesia is also affected by the claim that the North Natuna waters are recognized by China as the Traditional Fishing Ground. In this study, the measurement of China's threat level to Indonesia was carried out using the Prunckun threat assessment method to assess the perceived threat level from the Indonesian side. The researcher used a qualitative method, by analyzing the results of interviews with sources in depth about the response made by the Indonesian government to the movements carried out by China in the South China Sea. In this study, researchers focused on examining the government's response, especially from the two sides of the strategic component, namely the aspect of armed power and the economic aspect. From these two aspects, a response was compared to see the consistency of the government in facing the Chinese threat. In this study, it was found that the government's steps from these two aspects showed that they were not in line. Then the researcher used K3N as a tool to provide intelligence products as a form of intelligence function, namely Warning, Forecasting and Problem Solving.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardina Yunita Kartikasari
"Kajian ini membahas mengenai citra Indonesia di mata Tiongkok dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS). Dalam sengketa di LCS, Indonesia bukan negara penggugat atau non-claimant state. Namun klaim Tiongkok atas sembilan garis putus atau Nine-dashed Line di LCS beririsan dengan sebagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kepulauan Natuna. Dalam periode 2010-2016, sejumlah insiden sempat terjadi dan menimbulkan ketegangan. Meski bersikeras bahwa kedua negara memiliki tumpang tindih kepentingan di perairan Natuna, Tiongkok tetap memiliki citra positif tentang Indonesia dan Tiongkok cenderung berhati-hati dalam merespon Indonesia dalam isu tersebut. Terkait hal ini, meski sudah banyak penelitian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap Indonesia, namun hanya sedikit kajian yang menulis secara spesifik mengenai persepsi Tiongkok mengenai Indonesia dalam sengketa LCS. Melalui kerangka analisis teori citra atau image theory dan metode penelitian causal process tracing, kajian ini menunjukkan bahwa citra Indonesia di mata Tiongkok adalah ally image. Dalam ally image, Indonesia dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan, kapabilitas dan dimensi kultural yang relatif sepadan. Hal ini mempengaruhi pilihan strategi yang diambil Tiongkok terhadap Indonesia terkait insiden-insiden yang terjadi di perairan Natuna, di mana Tiongkok lebih mengedepankan hubungan baik dan kemitraan kedua negara. Dalam kaitannya dengan isu sengketa LCS secara umum, Tiongkok memandang Indonesia sebagai teman yang mampu bersikap adil terhadap pihak-pihak yang bersengketa.

This study analyses Indonesia's image from China's perspective on the South China Sea (SCS) dispute. Indonesia is a non-claimant state in SCS dispute. China's claim on Nine-dashed Line, however, overlaps with Indonesia's EEZ in Natuna islands. Tensions following some incidents occured in Natuna waters within 2010-2016. China insisted two countries have overlaping interest claim in those area, while Indonesia persisted on its position as non-claimant state. Nevertheles, China still perceives Indonesia in positive image and tend to be cautious when dealing with Indonesia on this issue. Although there are many studies on the SCS dispute and China's policy towards Indonesia, few if any of them discuss specificaly on China's perception towards Indonesia in this regard. Adopting image theory as an analytical framework and causal-process tracing on research method, this study figures that China captures Indonesia's image as an ally. In ally image, Indonesia is perceived as an actor who has positive goal compatibility with similar capability and cultural dimension as well. This perception affects the strategic options taken by China against Indonesia regarding the Natuna incidents in which China prioritize good relation and partnership between both countries. While on the SCS issue, China perceives Indonesia as a good friend capable of being fair to the parties in the dispute."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>