Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116306 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrey Sujatmoko
Jakarta: Grasindo, 2005
341.481 AND t (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arin Karniasari
"Saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, penting untuk dilindungi, terutama bagi saksi dalam perkara pelanggaran HAM yang berat, oleh karena saksi tersebut akan berhadapan dengan para pelaku yang pada umumnya memiliki kekuasaan. Perlindungan atas keselamatan fisik dan mental saksi mutlak diperlukan, agar saksi dapat memberikan keterangan tentang tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan benar tanpa ada rasa takut, dengan demikian diharapkan kebenaran materiil dapat tercapai. Sebenarnya perlindungan saksi dalam perkara pelanggaran HAM yang berat sudah diatur dalam PP No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, namun dipandang tidak memenuhi standar internasional baik dari segi yuridis maupun praktis, apabila dibandingkan dengan aturan yang terdapat dalam Rome Statute of the International Criminal Court beserta intrumen pendukungnya, yang dijadikan sebagai standar internasional dalam penelitian ini. Untuk memberikan gambaran secara holistik maka penulis selain meneliti PP No. 2 Tahun 2002 dan Rome Statute of the International Criminal Court beserta instrumen pendukungnya, penulis juga menjabarkan pengaturan perlindungan saksi yang terdapat dalam HIR dan KUHAP agar dapat diketahui perkembangan kemajuan perlindungan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia sejak berlakunya HIR, sampai berlakunya KUHAP saat ini. Disamping membahas mengenai pemenuhan standar internasional dalam perlindungan saksi dalam perkara pelanggaran HAM yang berat, penelitian ini juga membahas mengenai keberadaan saksi mahkota sebagai pihak yang juga dilindungi dengan perangkat perlindungan saksi, yang mana keberadaan saksi mahkota tersebut secara sosiologis dalam hukum acara pidana di Indonesia masih diperdebatkan. Penelitian ini memberikan solusi untuk perbaikan peng"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Diah Karina Puspitawati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S22062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agustiyanto
"Serious Human Rights violation in East Timor alleged by HAM Adhoc Jakarta court Attorney where conducted by Police Member (as Defendant) insufficient of evidence, so that the Judge ceremony break free. Serious HAM Collision case that happened before this code of law is invited, formed a HAM Ad hoc Justice after proposed by DPR through President Decision. Crystal clear, Timor Timur case is wight to political aspect compared to legal aspect and competent in consequence terminated.
To terminate various case East Timor, Indonesia Government offer a solution through choice for two options, refuse or accept the autonomy. At May 5'h 1999 in New York, this option is written into an agreement between Indonesia" and Portugal under wings of UN Secretary General. In this agreement, agreed that Indonesia Government hold responsible to keep peace and security in East Timor, to ascertain enforceable opinion determination by fair and peaceful, which free from intimidation, hardness or interference from various parties.
But the effect of determination of this opinion emerging riot as a result of dissatisfy group of pro-autonomy which fail in determination of this opinion. Effect of the riots and incidence, hence Police as law enforcer and protector of society which that moment undertake in East Timor, is blamed and assumed to conduct serious Human Rights violation. To prove that Police have conducted matter alleged, this thesis tried to prove that police have run its duty by answering three following question:
1. What will be Police role in handling riot after polling opinion at the date of 4'h of September 1999 causing killing of a number of people?
2. Operation and security action like what conducted by Police?
3. What is the negative impacts that emerge as effect of action of the operation and security that included in serious Human Rights violation?
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rivana Mezaya
"Bertentangan dengan tujuannya untuk memelihara perdamanan dan keamanan internasional serta melindungi hak asasi manusia, Pasukan Perdamaian mejadi sorotan karena serangkaian pelanggaran hukum yang dilakukan anggotanya. Kasus terbesar adalah eksploitasi seksual anak-anak dan wanita di daerah misi.Tanggung jawab atas pelanggaran hukum tersebut cukup sulit mengingat kompleksitas suatu Operasi Perdamaian, terutama struktur keanggotaan dan kotrolnya yang terbagi antara PBB dan Negara Pengirim. Selain tanggung jawab yang dikenakan pada individu, Negara dan Organisasi Internasional juga dapat dikenakan tanggung jawab jika tindakan individu tersebut dapat diatribusikan. Dalam menjawab permasalahan tanggung jawab perihal eksploitasi seksual, ketentuan dalam SOFA dan Participation Agreement serta teori-teori atribusi perlu ditelaah untuk menentukan pihak mana sajakah yang memikul tanggung jawab.

Contrary to its purpose in maintaining international peace and security and protecting human rights, Peacekeeping Forces have been noted for violations conducted by their members. The biggest case is the case of sexual exploitation of local women and children. Responsibility for such violation is a complicated matter remembering the compexity of a Peacekeeping Operation, particularly its structure and control which is divided by the UN and The Troop Contributing Country. Aside from individual reponsibility, State and International Organization can also be held responsible if the violatin is attribuble to them. Thus, in answering the question of responsibility for sexual exploitation, we must apply the provisions in SOFA and Participation Agreement as well as attribution theories available under international law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26243
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>