Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147015 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggraini Puspita Dewi
"Mekanisme lisensi wajib dalam Pasal 31 Persetujuan TRIPs memungkinkan negara yang mengalami epidemi HIV/AIDS untuk dapat memberikan izin pada pihak ketiga untuk mengeksploitasi paten atas obat tanpa izin dari pemegang paten sehingga akses terhadap obat tetap terjamin. Namun, permasalahan yang muncul dari pelaksanaan lisensi wajib ini salah satunya justru berasal dari ambiguitas Pasal 31 Persetujuan TRIPs sendiri, khususnya Pasal 31 (b) dan Pasal 31 (f) Persetujuan TRIPs, yang kemudian menjadi konflik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Di satu sisi, negara maju berpendapat bahwa dasar/alasan lisensi wajib dalam Pasal 31 (b) Persetujuan TRIPs, yaitu ?national emergency or other circumstances of extreme urgency?, tidak dapat dilakukan di bidang farmasi dalam hal terjadinya epidemi, sedangkan negara berkembang berpendapat sebaliknya. Pada dasarnya, permasalahan ini disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi Pasal 31 Persetujuan TRIPs. Oleh karena itu, dalam pembahasan skripsi ini permasalahan tersebut akan dianalisa dengan metode interpretasi dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Berdasarkan metode tersebut, terbukti bahwa lisensi wajib dapat dilakukan di bidang farmasi dalam hal terjadinya epidemi, khususnya HIV/AIDS. Permasalahan Pasal 31 (f) Persetujuan TRIPs terselesaikan dengan disepakatinya mekanisme ekspor impor obat dibawah lisensi wajib pada tahun 2003, yang kemudian diadopsi menjadi protokol amandemen Persetujuan TRIPs pada tahun 2005."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S25432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alden Martin
"Compulsory licensing diatur dalam Pasal 31 Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. Di dalam pasal tersebut ada pengecualian compulsory licensing yakni dalam hal terjadinya suatu national emergency or extreme urgency atau untuk public non-commercial use. Tetapi perjanjian internasional tersebut tidak mengatur definisi pengecualian penerapan compulsory licensing. Penelitian ini meninjau penafsiran terkait penerapan compulsory licensing atas paten farmasi, dalam hal terjadinya epidemi HIV/AIDS di Afrika Selatan, Brasil dan Thailand. Dalam penerapannya, masih terdapat perbedaan tafsiran antara negara-negara tersebut dan Amerika Serikat. Perbedaan tafsiran ini menimbulkan konflik yang akhirnya diselesaikan secara bilateral.

Compulsory licensing is one of patent?s flexibilities, that is governed on Art. 31 of Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. There are several exceptions in implementing compulsory licensing such as in case of ?national emergency or extreme urgency? or for ?public non-commercial use?. However, the international law instrument does not give exact definition of such exceptions. Furthermore, it reviews the implementation of compulsory licensing over pharmaceutical patent in regards of HIV/AIDS epidemic in South Africa, Brazil and Thailand. In practice, there are differences in interpretation between these countries with United States. The differences in interpretation raise conflict that eventually settled bilaterally."
2016
S62593
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Evany Onnara
"Merek merupakan identifikasi suatu produk perusahaan sehingga perlu dilindungi. Perlindungan terhadap merek dilakukan dalam kerangka hukum nasional dan internasional. Salah satu prinsip dalam konvensi-konvensi internasional yang mengatur mengenai perlindungan merek adalah prinsip perlakuan nasional. Sejak keberlakuan undang-undang tentang merek pertama tahun 1961 hingga yang terbaru tahun 2016, belum ada yang mengatur mengenai prinsip perlakuan nasional. Penulis akan membahas mengenai penerapan prinsip perlakuan nasional dalam gugatan permohonan pembatalan pendaftaran merek Cap Kaki Tiga oleh Russel Vince, seorang warga negara Inggris di Pengadilan Niaga sampai tahap peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Pembahasan kasus dilakukan dari perspektif Hukum Perdata Internasional.

Trademark is the identification of a company 39 s product, therefore it needs to be protected. The trademark protection is regulated within the framework of national and international law. One of the principles in international conventions governing trademark protection is national treatment principle. Since the enforcement of the first trademark law in 1961 to the latest trademark law in 2016, there has been no regulation about national treatment principle. Researcher will discuss about the implementation of national treatment principle in the lawsuit for the cancellation of the registered Trademark, Cap Kaki Tiga, by Russell Vince, a British citizen in the Commercial Court until the review stage of the Supreme Court. The case discussions are conducted from the Private International Law perspective."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68503
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Helena Primandianti
"HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang menjadi permasalahan adalah Apa makna Prinsip Perlakukan Nasional (National Treatment) yang terkandung dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dan relevansinya dengan upaya perlindungan paten milik orang asing di Indonesia, Bagaimana sinkronisasi Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment) yang terkandung dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dengan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum terhadap paten milik orang asing di Indonesia. Makna Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment0 yaitu suatu prinsip mengharuskan negara-begara anggota memberikan perlindungan HKI yang sama dalam hal perlakuan antar warga negara dari negara-negara anggota WTO lainnya. Relevansi Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment) yang terkandung dalam Trade Related Aspects Od Intellectual Property Rights (TRIPs) ini dengan upaya perlindungan paten milik orang asing di Indonesia yaitu sebagai dasar dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemilik paten asing yang telah didaftarkannya di Indonesia. "
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 9 (1) 2011
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Nicholas Putra
"Komitmen-komitmen WTO, khususnya terkait hak atas kekayaan intelektual dalam Perjanjian TRIPS, berpotensi menghambat peningkatan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dalam situasi pandemi Covid-19. Dalam keadaan darurat, komitmen-komitmen tersebut dapat dikesampingkan menggunakan klausul security exceptions WTO. Penelitian ini menjelaskan (i) bagaimana pengaturan security exceptions WTO dibandingkan dengan general exceptions di Pasal XX GATT 1994 dan non-precluded measures di BIT Argentina-AS, BIT India-Jerman, dan BIT India-Mauritius; serta (ii) apakah pandemi Covid-19 merupakan alasan yang sah untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS menggunakan klausul security exceptions. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, klausul security exceptions WTO memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan general exceptions dan non-precluded measures; klausul security exceptions WTO memberi ruang gerak yang lebih luas bagi negara dalam mengambil tindakan keamanan yang berpotensi melanggar kewajiban WTO asal dilakukan untuk meresponi sebuah “emergency in international relations”. Kedua, pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS, sebab pandemi ini telah mengakibatkan sebuah “emergency in international relations” dan pengesampingan kewajiban-kewajiban dalam Perjanjian TRIPS bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat memenuhi syarat sebagai “essential security interests”.

WTO commitments, particularly related to intellectual property rights in the TRIPS Agreement, could potentially hinder efforts to increase access to medicines and vaccines during the Covid-19 pandemic. In time of emergency, these commitments can be overridden using the WTO security exceptions clause. This study explains (i) how the WTO security exceptions are compared to general exceptions in Article XX of the GATT 1994 and non-precluded measures in the Argentina-US BIT, India-Germany BIT, and India-Mauritius BIT; and (ii) whether the Covid-19 pandemic is a valid reason to waive the obligations under the TRIPS Agreement using the security exceptions clause. Through research using normative juridical methods and qualitative approach, it can be concluded that: First, the WTO security exceptions clause has several similarities and differences with general exceptions and non-precluded measures clauses; the WTO's security exceptions clause provides wider latitude for countries to take security actions that otherwise would have violated WTO obligations as long as they are carried out in response to an “emergency in international relations”. Second, the Covid-19 pandemic can be used as an excuse to waive obligations under the TRIPS Agreement, because this pandemic has resulted in an “emergency in international relations” and the waiver of obligations in the TRIPS Agreement for public health and safety qualify as “essential security interests”."
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diani Putri Pracasya
"Penulisan Hukum ini membahas mengenai ketentuan unsur kebaruan dalam hak kekayaan intelektual atas desain industri baik yang diberlakukan di Indonesia, Inggris, dan juga Jepang, dimana pembahasan lebih terfokuskan pada pembahasan pengungkapan yang dikaitkan dengan tindakan uji pasar atas suatu desain industri yang dilakukan oleh pendesain yang bersangkutan. Tindakan uji pasar acapkali dilakukan oleh pendesain yang bersangkutan atas desain industri yang telah dihasilkan, maka Penulis mengkaji dan menganalisa pengaturan hukum atas tindakan uji pasar atas suatu desain industri yang dilakukan oleh pendesain yang bersangkutan dengan mengacu dan membandingkan ketentuan unsur kebaruan desain industri di Indonesia, Inggris, dan Jepang. Penulisan Hukum ini bersifat yuridis normatif, dimana Penulis melakukan penelitian kepustakaan, yaitu penilitian terhadap data sekunder, dimana data sekunder tersebut memiliki relevansi dengan permasalahan dan pembahasan pokok dalam Penulisan Hukum ini agar Penulis mampu membuat suatu kajian dengan menganalisis data sekunder tersebut. Penelitian yuridis normatif dalam Penulisan Hukum ini merupakan penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah dan/atau norma-norma dalam hukum positif.

This Legal Research discusses about the novelty provisions of intellectual property rights for industrial designs which enforced in Indonesia, the United Kingdom, and also Japan, the discussion is focused on the disclosures which carried out by market tests of industrial designs conducted by the designer itself. Market test actions are usually conducted by the designer on industrial designs which have been produced, thus the Author the discuss and analyzes the legal provisions of market test actions on an industrial design which conducted by the designer by referring and comparing the provisions of the novelty of industrial design in Indonesia, the United Kingdom, and Japan. This Legal Research is normative juridical, where the Author conducts library research, namely research on secondary data, the secondary data has relevance to the main issues and discussion while compiling this Legal Research, thus the Author is able to make a document by analyzing the secondary data. Normative juridical research is focused on examining the practices of the rules and/or norms of the positive law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siew-Kuan Ng, Elizabeth
"The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) is actively seeking ways for member countries to enhance their individual economic development within the context of overall regional advancement. Central to this is the creation of a regional intellectual property framework. This book examines the efforts to move beyond sovereign protections of intellectual property rights and establish meaningful inter-state cooperation on intellectual property issues. Rather than aim for IP harmonization, ASEAN recognizes its internal diversity and pursues an agenda of 'IP Interoperability'. The essays in this collection examine the unique dynamics of 'interoperability', analyzing the administration of intellectual property in a part of the world that is of increasing importance. The book enables the reader to compare and contrast the ASEAN model to other approaches in regional cooperation, such as Europe and Latin America, and also explores private international law as a potential vehicle for interoperability."
United Kingdom: Cambridge University Press, 2017
e20528130
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Safitri
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S25889
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>