Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153145 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2003
S23998
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sutiyoso
Yogyakarta: UII Press, 2005
347.01 Sut a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Taufiq Hamami, 1955-
"Islamic religious courts in judicial power reform in Indonesia."
Jakarta: Tatanusa, 2013
347.01 TAU p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Buaton, Tiarsen
"Sistem peradilan militer yang berlaku di dunia berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada tiga sistem hukum yang berlaku di dunia ini, yaitu common law sysrem, roman law system dan socialist law sysrem. Namun beberapa ahli yang lain menggolongkan sistem peradilan militer berdasarkan kewenangan mengadili atau jurisdisksi dari pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1) peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan miiiter dan (4) peradilan militer mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Kebanyakan peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang berwenang mengadili kejahatan secara umum Rencana DPR untuk mengubah system peradilan militer dengan membatasi yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas mengadili kejahatan militer menimbulkan pro dan kontra, dimana masing masing mempunyai alasan yang berbeda.
Penelitian ini menjadi penting untuk memberikan pertimbangan dan masukan kepada DPR dan Pemerintah dalam rangka menyusun Rancangan Undang Undang Peradilan Militer yang baru dan sekaligus memberijawaban atas beberapa pertanyaan berikut lni. Pertama, bagaimana kedudukan dan yurisdiksi peradilan militer di Indonesia setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, bagaimanakah kedudukan asas-asas militer yang? merupakan bagian dari asas-asas peradilan militer seperti asas kesatuan komando, komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer, apabila prajurit yang melanggar tindak pidana umum diadili pada peradilan umum. Ketiga, sistem Peradilan Militer yang bagaimanakah yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bahwa setelah ditétapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, telah membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, sehingga tidak perlu lagi mengubah sistem peradilan militer yang ada saat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum tidak tepat untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit. Pengadilan militer tetap dibutuhkan untuk menegakkan standard disiplin militer karena militer dianggap sebagai komuniti khusus, yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan kedaulatan Negara. Kedua, bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggungiawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang trdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi. Demikian juga fungsi pembinaan yang dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang sehingga ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan efektifitas pasukan akan sulit dicapai; Ketiga, bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum.

There is no the same military court system in the world. Every state has its own military system. Some experts make the classification of the military justice system on the three main existing system of law, that is, common law system, roman law. system and socialist law system. However the other experts suggested a classitication based on the jurisdictional powers of military courts. They distinguished four different system as follows: (1) one in which military courts have general jurisdiction; (2) one in which they have general jurisdiction on a temporary basis; (3) one in which jurisdiction is limited to military offences; and (4) one in which they have jurisdiction solely in time of war or military operation. Beside these two classification, there are another types of military jurisdiction: firstly, the traditional kind, based on the principle of ?he who gives the orders sits injudgement? made up of members of military and endowed with broad jurisdictional powers; secondly, one in which military justice is incorporated into ordinary jurisdiction as a specialized branch of the latter; and, thirdly, one in which military justice is abolished in peacetime. According to the Act Number 31/ 1997 conceming Military Court, the military justice System in Indonesia has general jurisdiction and is incorporated into ordinary jurisdiction. It means that Indonesian Military court has general jurisdiction to try civil offences and military offences. The plan of the Council of Indonesian Representative to limit the military court jurisdiction just to try military offmrces has caused diierent opinion between the government and the Council.
This dissertation is conducted in order to give the answer of the three questions, that is: first, how is the occupation and the jurisdiction of Indonesian Military Court alter the Act Number 4/ 2004 conceming The Judicial Authority; Secondly, how is the military principles as the pan of the principles of military court such as the principle of unity cfeomrnand, the principle of every commanueer be responsible for this subordinate, and the principle of military necessity; and, thirdly, which court system is suitable to be implemented in Indonesia. The research has been done by using the methodology of normative to analyze the development oflndonesian Military Court jurisdiction after Indonesian Independence until 2008.
After conducting research and making descriptive and prescriptive this dissertation has make some conclusion. First, after concluding the Act Number 4/2004 conceming the Judicial Power, in which the position of military court is undertlre Supreme Court has madethe military court become more independent and impartial, 'dee from 'command intervention. So, no need to change the jurisdiction of Military court. It can be mentioned that the involvernenteof civilian court to fry the military would be detrimental to morale and discipline of military as a special community and would thus pose grave danger to national security. Secondly, all the principles of military court that is, the principle of unity of command, the principle of every commandeer be responsible for his subordinate, and the principle of military necessity should exist in military judicial system beside the general principle of civil court. If those principles are not available, the role of the commandeer as the senior oiiicer that has authority to condemn his subordinate does not function. if it happens, the efiicient, the readiness and the effectiveness of military unit will be ditiicult to be achieve.. Third, the military judicial system implied in Indonesia should be in accordance with the military culture in which the military court still has the jurisdiction to try the member of military who conducts either military offences or civil offences.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1137
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Nurdianto
"Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya yakni tanggal 12 April 2002. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hingga sekarang, kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak belum dialihkan kepada Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan polemik tersendiri dalam lingkungan Peradilan di Indonesia, khususnya untuk Pengadilan Pajak. Dalam yudisial review terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak di Mahkamah Konstitusi, yaitu putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 dan putusan Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, bahwa adanya ketentuan yang menyatakan pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan bahwa dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa sebagai lembaga peradilan, Pengadilan Pajak mempunyai kekhususan tersendiri, dalam hal ini termasuk dalam pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa, Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan, hal tersebut telah mencerminkan adanya pemisahan kekuasaan. Di sini jelas terlihat adanya pemisahan kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif berada di bawah Departemen Keuangan, yang saat ini adalah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan kekuasaan yudikatif berada dibawah Mahkamah Agung. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan pajak yang saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dilaksanakan Departemen Keuangan hendaknya diserahkan ke Mahkamah Agung. Menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif, dalam hal ini departemen, meskipun yang ditempatkan dibawahnya hanya organisatoris, administratif dan financial, sistem seperti ini baik langsung maupun tidak langsung merupakan simbol pengakuan yuridis bahwa badan peradilan di bawah departemen yang bersangkutan. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya pemisahan yang tegas antara kekuasaan-kekuasaan negara.

[Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease which go into operation commencing from the date of its it[him] namely the 12 April 2002. Delivering birth of [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease (it) is true impress to peep out dualisme that impressing Justice of Iease, which only dimiciling [in] Jakarta, that beyond judicial power which [is] arranged in [Code/Law] Number 48 Year 2009 about Judicial Power. Until now, kewenangan construction of organization, finance and administration Justice of Iease not yet been transferred to Appellate Court. This Matter generate separate polemic in Jurisdiction environment in Indonesia, specially for the Justice of Iease. In review yudisial to [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease [in] Lawcourt Constitution, that is Number verdict 004/PUU-II/2004 and Number verdict 011/PUU-IV/2006, Lawcourt Constitution have a notion that Justice of Iease of[is included in jurisdiction environment which under Appellate Court as expressed by Section 24 sentence ( 2) Constitution 1945. The decision taken pursuant to consideration that the lawsuit can raise Sighting Return of Decision Justice of Iease to Appellate Court, that there is rule him expressing technical construction [of] jurisdiction to Justice of Iease [done/conducted] by Appellate Court, and that Civil service arbitration tribunal environment can be performed [a] [by] peculiarity which regulate, in this case [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease. In the balance [of] Lawcourt Constitution also have a notion that as jurisdiction institute, Justice of Iease have separate specialty, in this case the included in construction of organization, administration, and finance [done/conducted] by Treasury Department. Rule Section 5 sentence ( 1) and sentence ( 2) [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease expressing that, Technical construction [of] jurisdiction to Justice of Iease [done/conducted] by Appellate Court; and Construction of organization, administration, and finance to Justice of Iease [done/conducted] by Treasury Department, [the] mentioned have expressed the existence of dissociation of power. Clear here seen the existence of dissociation of power, that is power of executive under Treasury Department, what in this time [is] Ministry Of Finance Republic Of Indonesia and power of yudikatif reside in below/under Appellate Court. Construction of organization, administration, and finance justice of Iease which in this time pursuant to [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease executed [by] Treasury Department shall be delivered to Appellate Court. Placing jurisdiction body below/under executive, in this case department, though which [is] placed under him only organisatoris, administrative and financial, system like this indirect and also direct goodness represent symbol confession of yuridis that jurisdiction body below/under pertinent department. One of [the] characteristic of body politic [is] the existence of coherent dissociation [among/between] powers of state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perkernbangan kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak terlalu banyak likalikunya, tetapi setiap perubahan memiliki pengaruh yang cukup besar. Hal tersebut dapat ditemukan dalam sejarah Kekuasaan Kehakiman sejak kemerdekaan Indonesia sampai masa perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Sejarah kekuasaan kehakiman tersebut tercermin dari aturan-aturan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Secara umum sebagai Negara Hukum, Indonesia mengakui adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka sejak kemerdekaan, tetapi pelaksanaannya sempat mengalami penyimpangan pada masa diberlakukannya Undang-Undang No 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memuat adanya ,intervensi dari pihak kekuasaan eksekutif. Dalam paparan singkat ini hanya akan diuraikan secara umum perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, serta perkembangan pelaksanaan kekuasaan kehakiman tersebut secara umum pula.
"
340 JHPJ 24:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Judicature as a point spear of law enforcement and justice must be independent. The indendency has to be guaranteed by Constitution. However the rules which stipulate on the constitution has to be formulated clearly in order to achieve certanty. Besides that, independency has to be supported by institutions. The raise of Judicial Comission wil triggers the independency of judicature institutions. Furthermore, when in society it raised judicatire institutions outside the conventional judicature, it needs a restruction of the institutions in oreder to structure of the institution which has the highes institution on the Supreme Court."
JHUII 14:1 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harman Benediktus
"Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan pemberlakuan kembali UUD 1945. Sejauh menyangkut kekuasaan kehakiman, UUD 1945 mengaturnya dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. Baik dalam kedua Pasal tersebut maupun dalam penjelasannya dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, ia merupakan kekuasaan negara yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan negara lainnya. Untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, UUD mensyaratkan pula agar UU menjamin kedudukan hakim-hakim. Tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim, UUD juga meminta kedua masalah itu diatur dalam UU disertai larangan kepada pembuat UU untuk mereduksi atau mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat agar ia leluasa dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu menerapkan Cita Hukum (Rechtsidee) dalam perkara-perkara kongkret. Artinya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya harus menjadikan .Cita Hukum sebagai patokan dasar mengenai adil dan tidak adil dan karenanya dapat mengesampingkan segala peraturan produk kekuasaan negara lainnya jika diyakininya bertentangan dengan Cita Hukum.
Pada tingkat pelaksanaan, karakter kekuasaan kehakiman sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang diterapkan. Jika konfigurasi politiknya demokratis maka kekuasaan kehakiman akan tampil otonom, terpisah dari kekuasaan pemerintahan negara dan dalam menjalankan fungsinya tidak dipengaruhi dan dikendalikan kehendak-kepentingan kekuasaan negara lainnya. Sebaliknya jika konfigurasi politik yang diterapkan tidak demokratis atau otoriter maka kekuasaan kehakiman tampil tidak otonom, menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, dan karena itu hanya menjalankan fungsi sebagai instrumen untuk melaksanakan dan mengamankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari konfigurasi politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak Dekrit 5 Juli 1959 itu, terdapat dua model sistem politik yang berlaku di Indonesia yaitu sistem politik Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan sistem politik Demokrasi Pancasila (1965-1996/1997). Pada era sistem politik Demokrasi Terpimpin kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 19 tahun 1964 dan UU No 13 tahun 1965. Sedangkan pada periode sistem politik Demokrasi Pancasila, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 14 tahun 1970 sebagai UU pokok dan beberapa peraturan perundangan lainnya. Dari penelitian ini terlihat bahwa konfigurasi politik yang executive heavy sangat mewarnai proses pembentukan UU yang mengatur kekuasaan kehakiman. Kedudukan kekuasaan kehakiman menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara dan fungsi utamanya ialah menjalankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T991
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Haryo Karbyanto
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S25280
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>