Ditemukan 174393 dokumen yang sesuai dengan query
Muhammad Reza
"Di zaman keterbukaan dan globalisasi dunia ini, suatu hal yang lumrah bila terjadi pergaulan antar warga negara yang berbeda domisili status kewarganegaraannya, dan dampak dari hal tersebut selain menimbulkan dampak positif, tetapi juga menimbulkan dampak yang negatif, salah satunya, kurangnya perlindungan akan hak-hak perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing, penyebabnya bermula dengan adanya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 yang didalamnya tidak mengandung filosofi kesetaraan gender antara pria dan perempuan. Dengan adanya asas ius sanguinis, yaitu anak yang lahir dengan hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, hal tersebut sangat jelas akan merugikan bagi perempuan Indonesia yang memiliki hubungan biologis atau hubungan psikologis dengan anaknya. Hal yang lain adalah, perempuan Indonesia yang menikah dengan suami laki-laki yang berkewarganegaraan asing akan kehilangan status kewarganegaraannya jika tidak menyatakan keterangan (melapor kepada dinas terkait) tersebut dalam kurun waktu 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung.
In the era of globalization and the world, a matter that occurred when the ordinary citizens of the association between different residency status of nationality, and the impact of this addition to the positive impact, but also cause a negative impact, one of them, lack of protection of the rights Indonesian women who married to foreign men, it begins with the Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 on the philosophy does not contain gender equality between men and women. With the principle of ius sanguinis, the children are born with only have a legal relationship with his father's family, it would clearly be very detrimental for the Indonesian women who have relationships biological or psychological relationship with their children. This is the other, the Indonesian women married to husbands men foreign nationality will lose their status if they do not declare information (related to report to the office) in the period of 1 year after marriage progress."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S24819
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Andriani Junarwati
"
ABSTRAKBerdasarkan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan,perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 mengakibatkan kedudukan wanita dalam menentukan kewarganegaraannya dan kewarganegaraan anak dibatasi. Anak mengikuti kewarganegaraan ayahnya dan perempuan sebagai isteri mengikuti kewarganegaraan suami demi mencapai kesatuan hukum dalam keluarga. Indonesia tidak menghendaki adanya dwi kewarganegaraan. Implementasi dari Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 berakibat adanya perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 kemudian dirubah karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan pada saat ini. Atas desakan dari para keluarga dari perkawinan campuran maka pemerintah mengganti Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 dengan Undang-undang Kewarganegaraan nomor 12 Tahun 2006. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 menyatakan anak-anak mempunyai dwi kewarganegaraan terbatas sampai mereka berusia 18 tahun dan setelah usia 18 tahun mereka dapat memilih kewarganegaraannya. Undang-undang ini telah membawa perubahan dibidang kewarganegaraan terhadap status anak akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kedudukan perempuan dalam perkawinan campuran. Tradisi Patriarki yang masih mempengaruhi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 yaitu Pasal 26 ayat 1 yang menyatakan isteri WNI mengikuti kewarganegaraan suami WNA apabila hukum dari negara suami menentukan demikian. Begitu juga sebaliknya isteri seharusnya tidak kehilangan kewarganegaraan WNInya karena menikahi WNA dan status hukum isteri seharusnya tidak diikutkan dengan status hukum suami. Hak Asasi perempuan untuk memperoleh status kewarganegaraan beserta segala hak yang melekat pada status tersebut."
2007
T17050
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Miggi Sahabati
"Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang yang kemudian diwujudkan dalam sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sering timbul konflik di antara suami istri. Perjanjian perkawinan muncul sebagai alternatif untuk memberikan keseimbangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban bagi suami istri dalam perkawinan. Namun, perlu diteliti lebih lanjut mengenai pola pengaturan dan materi apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata dan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berkaitan dengan hak-hak istri dalam lembaga perkawinan, serta bagaimana pelaksanaannya selama ini di dalam praktek. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini diberi judul "Perjanjian Perkawinan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan."
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan metode lapangan yang didukung dengan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam pengolahan data.
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pola pengaturan perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur sesudah bab mengenai harta kekayaan perkawinan, sedangkan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengaturnya sebelum hak dan kewajiban suami istri serta harta kekayaan perkawinan. Materi dalam perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata lebih kepada persoalan harta kekayaan, sedangkan menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat diperjanjikan hal-hal lain di luar persoalan harta kekayaan. Perjanjian perkawinan di dalam prakteknya masih mengatur seputar persoalan harta kekayaan suami istri.
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah agar dibuat suatu Peraturan Pelaksanaan mengenai ketentuan dalam Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan dan agar diadakan suatu program penyuluhan dari pemerintah kepada masyarakat mengenai pentingnya dibuat suatu perjanjian perkawinan antara calon suami istri sebelum perkawinan berlangsung."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21333
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Amita Maharani
"Wanita sebagaimana juga pria, meskipun telah terikat dalam suatu perkawinan adalah tetap merupakan manusia yang dilahirkan merdeka dan bermartabat. Namun akibat belenggu sistem pariarki yang terdapat di masyarakat, seringkali diskriminasi terhadap wanita masih terjadi secara meluas. Berangkat dari keprihatinan ini, PBB menyusun Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW/Konvensi Wanita), yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang No. 7/1984. Dalam kerangka inilah penelitian di lakukan, yaitu untuk mengetahui bagaimanakan Undang-undang No. 1/1974 mengatur tentang kedudukan wanita dalam perkawinan, apakah telah selaras dengan tujuan konvensi Wanita, yaitu menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dan usaha-usaha apakah yang dapat diupayakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dalam suatu perkawinan. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode kepustakaan dengan data sekunder dan di analisa melalui pendekatan kualitatif. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, maka didapati bahwa Undang-undang No. 1/1974 masih mengandung beberapa unsur budaya patriarki yang bersifat diskriminatif, yaitu dalam pasal-pasal mengenai poligami, syaratsyarat perkawinan, hak dan kewajiban suami istri dan kedudukan anak. Sejalan dengan tuntutan akan kesetaraan jender dan konsekuensi diratifikasinya Konvensi Wanita, maka keberadaan Undang-undang No. 1/1974 semakin dirasa perlu untuk diperbaharui, selain juga dilakukan usaha-usaha strategis lainnya. Studi kasus mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami oleh Nyonya Neneng juga menggambarkan akibat dari adanya superioritas suami terhadap istri sebagai pengaruh dari budaya patriarki, yang dalam banyak kasus menjadikan suami merasa memiliki hak istimewa untuk mengendalikan istrinya dengan cara apapun."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S21148
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nasution, Ricar Soroinda
"Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu hak dan kewajiban oleh karena itu Pemerintah bersama-sama dengan DPR RI mensahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang bertujuan mengadakan unifikasi di bidang hukum Perkawinan dan menjamin adanya suatu kepastian hukum dengan menggantikan ketentuan-ketentuan hukum sebelumnya yang beraneka ragam. Namun, ternyata keaneka ragaman tersebut masih terlihat sebaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu disebutkan bahwa sahnya suatu perkawinan didasarkan kepada hukum menurut agama dan kepercayaannya itu bagi masing-masing pemeluknya. Kebebasan memeluk suatu agama dan kepercayaan di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 hal tersebut lebih tegas lagi dengan diakuinya keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Buddha. Akibat adanya kebebasan beragama tersebut tidak mustahil terjadi perkawinan di antara pemeluk agama yang berbeda dan mereka tetap bertahan pada agamanya masing-masing dalam menempuh bahtera rumah tangga. Dengan nenganut Pendapat bahwa perkawinan merupakan hak asasi seseorang maka timbul pertanyaan : 1. bagaimana keberadaan (eksistensi) lembaga perkawinan antar agama sekarang di Indonesia ? 2. dalam menghadapi perkawinan antar agama sebagai suatu kenyataan bagaimana pandangan Hakim ? 3. adakah landasan yuridis perkawinan antar agama ? Terhadap hal-hal tersebut penulis berkesimpulan bahwa dilihat secara materil perkawinan antar agama diakui dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan walaupun secara terbatas yaitu sepanjang ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing calon suami isteri membolehkan sehingga secara materil ketentuan Peraturan. Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 (Regaling op de Gemengde Huwelijken/GHR) sudah tidak berlaku lagi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Titi Kartika Sari
"Masyarakat hukum adat Baduy Dalam terdiri dari tiga kapuunan, yaitu Kapuunan Cikeusik, Kapuunan Cibeo dan Kapuunan Cikartawana. Mereka hidup mengasingkan diri selama beratus-ratus tahun dengan berpegang teguh pada pikukuh (ketentuan hukum adat) yang pelaksanaan dan pengawasannya dilakukan oleh Puun. Kepatuhan mereka terhadap sosok Puun dan ketaatan mereka pada konsep buyut (tabu) mampu mempertahankan keberlakuan hukum adat mereka sampai sekarang, termasuk hukum perkawinan adatnya. Hukum perkawinan adat Baduy Dalam dila kukan sesuai dengan hukum adat Baduy Dalam dan kepercayaan Sunda Wiwitan, di sahkan oleh Puun, mereka menyebut perkawinannya sebagai kawin batin, tidak ada akta perkawiman. Ada perbedaan tata cara perkawinan antara Kapuunan Cikeusik dengan Kapuunan Cibeo dan Cikartawana. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan adat tidak banyak terjadi, sanksi yang dijatuhkan biasanya berupa pengasingan ke kawasan Baduy Luar atau melakukan tebus hampura. Sulit untuk menerapkan hukum perkawinan nasional kepada masyarakat Baduy Dalam ini, mereka sangat memegang teguh hukum adatnya. Karena mereka menyakini bahwa hukum adatnya itu merupakan amanat leluhurnya yang harus dijaga dan dilaksanakan, mereka takut durhaka apabila melanggarnya. Pasal 66 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tidak menyebutkan dengan jelas mengenai kedudukan hukum perkawinan adat, mengenai hal ini, Prof. Hazairin berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam hukum adat sepanjang mengenai hal yang belum diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 masih tetap berlaku. Berdasarkan pendapat Prof. Hazairin, maka hukum perkawinan adat Baduy Dalam masih berlaku mengenai hal-hal yang belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21012
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 2007
S21323
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Suryati Ananda
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sri Maulani
"Semakin majemuknya masyarakat Indonesia, terutama menjelang era globalisasi, membuka kemungkinan terjadinya suatu perkawinan campuran. Perkawinan campuran menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah perkawinan antara seorang warganegara Indonesia dengan seorang warganegara Asing. Dalam setiap perkawinan, ada saja kemungkinan timbul suatu kesalahpahaman ataupun penyimpangan dari apa yang sudah direncanakan oleh setiap pasangan yang mengakibatkan putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena perceraian, dimungkinkan dengan alasan-alasan yang disebut secara limitatif oleh Undang-undang, diantaranya karena perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri yang terjadi secara terus-menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Untuk terjadinya perceraian pada perkawinan campuran pada pasangan yang berbeda warganegara terjadi suatu masalah mengenai hukum apa yang akan diberlakukan dalam menyelesaikannya, hukum Indonesia ataukah hukum asing. Perceraian pada perkawinan campuran yang dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 mengikuti ketentuan yang diatur dalam pasal 20-36 dan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975. Akibat perceraian pada perkawinan campuran ini, selain menyangkut masalah nafkah isteri, perwalian dan pemeliharaan atas anak, serta harta bersama, juga mempengaruhi status personil yang berhubungan dengan hal kewarganegaraan yang penyelesaiannya diatur oleh Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia nomor. 62 tahun 1958."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20764
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Enita Safitri
"Melalui penelitian kepustakaan dan metode perbandingan serta atas analisa Perundangan. Penulis hendak membahas kedudukan saksi dalam Perkawinan yang ditinjau dari segi Hukum Islam dan UU. NO. 1 Th. 1974 JO.PP. 9/1975. Menurut Hukum Islam setiap Perkawinan harus dihadiri oleh dua orang saksi yang telah memenuhi syarat, sebagai salah satu rukun Perkawinan. Suatu Perkawinan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi maka nikahnya dianggap tidak sah. Sedangkan menurut UU. NO. 1 Th. 1974 Perkawinan di-lakukan menurut masing-masing Agama dan Kepercayaan,tetapi-harus dilengkapi dengan dua orang saksi dan pegawai penca-tat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 (1) UU NO.1 Th. 1974 JO.PP. 9/1975. Oleh karena itu jika terjadi Perkawinan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh Pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam & yang beragama lain. (bukan beragama Islam) ke Pengadilan Negeri. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library