Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162354 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Silvany Tjoetiar
"Dalam penulisan skripsi ini, Penulis melakukan analisis yuridis terhadap beberapa aspek dari putusan pailit Adam Air, antara lain: pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam memutus pailit Adam Air, sejauh mana direksi dan komisaris dari PT. Adam Skyconnection Airlines ("Perseroan") dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam hal kepailitan, dan peristiwa apa yang dapat dianggap sebagai peristiwa "ultra vires", terutama dalam kaitannya dengan hubungan utang piutang antara Pemohon dengan Termohon. Dalam mengomentari aspek-aspek tersebut diatas, Penulis berusaha melihat setiap poin pembicaraan tersebut dari sisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terutama terkait dengan syarat-syarat permohonan pernyataan pailit, dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas terutama terkait dengan ruang lingkup pertanggungjawaban direksi dan komisaris dalam hal kepailitan, dan apa yang merupakan "ultra vires".
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan metode penelitian deskripsi analisis. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan pailit Adam Air telah sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan Indonesia. Setiap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh direksi dan/ atau komisaris Perseroan, dapat dibuktikan lebih lanjut didepan persidangan perdata. Meskipuni definisi "ultra vires" yang dilakukan oleh pihak selain direksi perseroan, tidak diatur secara tertulis dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang berlaku, prinsip yang sama sepatutnya berlaku. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 masih memiliki berbagai kelemahan dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum kepailitan yang diterima secara universal, dan membutuhkan perbaikan lebih lanjut.

In this study, the Writer tries to juridically analyze several aspects of Adam Air bankruptcy verdict, among others, the considerations of the Panel of Judges in deciding the bankruptcy petition, to what extent the board of directors and commissioners of PT. Adam Skyconnection Airline (the "Company") can be held liable in case of bankruptcy, and what events can be deemed as an "ultra vires" event, especially in connection with the creation of debt relationship between The Plaintiff and The Defendant. In commenting any of the above aspects, the Writer tries to view each discussion point from the prevailing Law Number 37 Year 2004 on Bankrupty and Suspension of Payment, particulary in respect to the terms of such bankruptcy petition, and the Law Number 40 Year 2007 on Limited liability Campany, particularly in relation to the scope of liabilities of the board of directors and commissioners in a bankruptcy case, and what would constitute an "ultra vires".
In this study, the Writer uses analysis description method. The result of this study shows that Adam Air's bankruptcy verdict has been in compliance with the said Indonesian bankruptcy law. Any wrongdoing or negligence of the board of directors of the Company, that result in, or contributed into the Company's bankruptcy, should be further proven before a civil court proceeding. Whilst the definition of "ultra vires" by non-members of the Board of Directors and commissioners, is not literally stipulated in the prevailing Company Law, same principle should apply. Law Number 37 Year 2004 still has some weaknesses and not in compliance with globally accepted principles of a bankrupty case, and needs further improvements."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S24960
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fredy Hartanto
"Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Dari definisi penanggungan utang dapat dilihat terdapat tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur di sini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau orang berpiutang sedangkan debitur adalah orang yang mendapat pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur ketika debitur tidak memenuhi prestasinya. Pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung merupakan hal yang cukup lumrah, khususnya apabila penanggung adalah penanggung perusahaan. Namun, tidak demikian halnya dengan permohonan pailit yang diajukan terhadap penanggung pribadi. Ternyata hanya sedikit sekali permohonan pailit yang diajukan terhadap penanggung pribadi, secara umum ada kecenderungan bahwa kreditur enggan berurusan dengan debitur pribadi untuk alasan praktis.
Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accessoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dengan kreditur. Pada asasnya dengan hapusnya perjanjian pokoknya maka semua perjanjian accessoir-nya juga turut hapus. Perjanjian penanggungan bersifat mengabdi kepada suatu perjanjian pokok sehingga tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu.
Penanggungan hutang tidak dipersangkakan tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas. Hal ini berarti adanya suatu penanggungan, harus dinyatakan secara tegas baik secara akta notarial, ataupun di bawah tangan. Suatu Penanggungan dapat dilakukan secara lisan tetapi Kreditur akan lebih sulit untuk membuktikan sampai sejauh manakah kesanggupan Penanggung untuk menjamin hutang Debitur. Sebagai suatu perjanjian maka perjanjian penanggungan juga harus memenuhi asas-asas yang berlaku umum dalam hukum perjanjian. Para penanggung pribadi mempunyai hak istimewa, yaitu hak untuk menuntut supaya benda-benda dari debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya, hak ini dapat dilepas oleh penanggung yang membuat penanggung tidak bisa menuntut agar benda-benda dari debitur lebih dahulu disita dan dijual."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Santianna
"Salah satu syarat dalam permohonan kepailitan adalah adanya jumlah minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dalam praktik perjanjian perbankan, telah lazim dikenal adanya klausul events of defaults yang menyatakan bahwa apabila debitor cidera janji maka saat itu pula seluruh utangnya menjadi jatuh waktu, dan dapat ditagih. Utang yang disebabkan oleh percepatan jatuh waktu utang atau accelerated maturity inilah yang kemudian menjadi masalah dalam praktek pengabulan permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga. Ada perbedaan di kalangan hakim mengenai konsep percepatan akselerasi jatuh waktu utang ini, sebagian ada yang mengakui,sebagian lagi tidak. Permasalahannya adalah apabila klausul accelerated maturity ini dikaitkan dengan syarat minimal satu utang yang telah jatuh waktu. Akibat terjadinya default, maka menimbulkan terjadinya percepatan jatuh waktu utang. Utang yang telah dipercepat jangka waktunya ini dapat digunakan sebagai dasar bagi kreditor untuk memohonkan pernyataan pailit terhadap debitornya. Dalam prakteknya, pengabulan permohonan pailit atas klausul accelerated maturity didasarkan atas pertimbangan bahwa telah ada perjanjian yang telah dibuat antara debitor dan kreditor yang mengatur tentang jatuh waktu dan percepatan jatuh waktu. Padahal, dalam Pasal 1271 KUHPerdata, salah satu syarat terjadinya percepatan jatuh waktu utang adalah apabila jaminan yang diberikan debitor telah merosot nilainya karena kesalahan debitor. Hal ini tentu tidak adil bagi debitor apalagi ternyata debitor telah memberikan jaminan yang cukup, debitor masih memiliki prospek atas kelangsungan usahanya terlebih lagi jika jumlah aset debitor tersebut lebih banyak daripada jumlah utangnya. Sebagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagi kepentingan kreditor dan debitor, dalam pengabulan permohonan pailit dengan klausul percepatan jatuh waktu utang, selain mempertimbangkan adanya perjanjian antara kreditor dan debitor, hakim perlu mempertimbangkan adanya jaminan serta jumlah aset debitor yang dimohonkan pailit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S23873
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vindy Olyvia
"BUMN adalah sebuah badan usaha yang berbentuk badan hukum serta modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagai badan usaha, BUMN memiliki kekayaannya sendiri yang terpisah dari keuangan negara. Kekayaan tersebut diatur menurut hukum perdata, termasuk hukum kepailitan. Karenanya BUMN memiliki kedudukan yang sama dengan badan hukum privat lain dalam kepailitan. Untuk dapat dipailitkan, BUMN harus memenuhi syarat memiliki dua orang kreditor atau lebih dan tidak membayar salah satu utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Permohonan diajukan oleh BUMN sebagai debitor, para kreditornya atau pihak kejaksaan dalam hal demi kepentingan umum. Namun dalam UUKPKPU, diadakan pengecualian untuk BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik (seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham), permohonan kepailitannya hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan saja. Perum memenuhi kriteria sebagai BUMN jenis tersebut, sedangkan Persero tidak karena modalnya yang terbagi atas saham. BUMN setelah dipailitkan juga teta dapat menjalankan usahanya demi keuntungan dan/atau menghindari kerugian pada harta pailit. PT. DI sebagai BUMN berbentuk Persero diajukan kepailitannya oleh para mantan karyawannya sejumlah 6.561 orang sebagai kreditor yang memiliki piutang kompensasi pensiun atas PT. DI. Karena memenuhi semua syarat kepailitan, Pengadilan Niaga menyatakan PT. DI pailit. Sementara Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut karena dipandang PT. DI adalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik walau terbagi atas saham (fakta ini hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan UU PT). Sebenarnya PT. DI memang dapat dipailitkan bila hanya melihat apa yang tertulis di peraturan perundang-undangan. Namun ada baiknya dilihat apakah BUMN ini masih solvent atau tidak, berkenaan dengan statusnya yang memang merupakan objek vital industri, yang bila dipailitkan secara mudah dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian yang lebih besar."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talita Tamara Sompie
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S24920
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ernita Meilani
"Krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional dan menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam hal penyelesaian utang piutang serta untuk meneruskan kegiatan usahanya. Peraturan Kepailitan Stb 1905 No. 217 jo . Stb 1906 No. 348 dipandang sudah tidak memadai lagi untuk menyelesaikan utang-piutang dalam dunia usaha baik dari segi kepastian hukum, keterbukaan maupun efektifitasnya serta pula dari segi lamanya proses kepailitan yang harus ditempuh. Untuk menciptakan kepastian hukum bagi dunia usaha dalam mengatasi persoalan yang mendesak, yaitu penyelesaian utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif, pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkanlah Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi Undang Undang No . 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang Undang. Semasa berlakunya Peraturan Kepailitan, pengertian utang tidak diatur secara khusus dalam pasal-pasal Peraturan Kepailitan itu, sehingga "utang" itu diartikan sebagai kewajiban untuk membayar sejumlah uang akibat adanya perikatan yang timbul baik dari perjanjian maupun undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1233 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan disebutkan "Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Menurut penjelasan atas Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang dimaksud dengan utang yang tidak dibayar oleh debitur adalah utang pokok beserta bunganya. Tiadanya pengertian yang spesifik akan arti utang menurut Undang Undang Kepailitan telah menimbulkan ketidakpastian hukum tentang kapankan seseorang atau sebuah perusahaan dapat dimohonkan pailit."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S20999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>