Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75147 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Fabian Ricardo P.
"Perlahan tapi pasti, produksi film mulai bergerak ke arah positif. Pengaturan perfilman oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 1982 bukan saja dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas produksi film Indonesia dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga mengukuhkan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan. Film menyangkut aneka hak cipta dan dapat memberikan keuntungan finansial yang besar kepada penciptanya. Banyak ciptaan film yang telah dilanggar hak ciptanya. Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang hak cipta (Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002) adalah perlindungan terhadap perwujudan ide, kreasi dan kekhasan para insan pembuat film. Suatu pengalihwujudan ciptaan harus melalui proses pengalihan hak atau dengan suatu lisensi sehingga ciptaan tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, Undang-Undang Hak Cipta setidaknya juga dapat memberikan perlindungan terhadap mekanisme pengalihwujudan film layar lebar ke bentuk sinetron TV dalam hubungannya dengan hak-hak terkait. Tentang hak siar diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Film yang laris di pasaran menimbulkan hak-hak ekonomi bagi para pencipta, baik perorangan maupun sebagai suatu badan hukum, dengan produser sebagai penggerak awal produksi. Pelanjutan dan pengembangan cerita sebagai suatu bentuk produksi ulang melalui media televisi terjadi karena film selalu berusaha mencari bentuknya dalam hal komunikasi kepada publik. Salah satu film yang penulis jadikan obyek penelitian adalah film "Ada Apa dengan Cinta?". Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hubungan hukum para pihak didasarkan pada perjanjian sesuai dengan ketentuan pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S24348
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damanik, Alfared
"Tesis ini membahas perlindungan hukum hak cipta atas karya sinematografi dengan tinjauan khusus hak penyewaan karya sinematografi dalam bentuk VCD. Dengan pendekatan sosiolegal, dilihat bagaimana bekerjanya hukum di tengah masyarakat serta berinteraksi dengan lingkungan di mana hukum itu diberlakukan. Memakai analisa deskriptif kualitatif yaitu memaparkan dan menggambarkan realita atas permasalahan yang ada di lapangan untuk menunjang hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan penegakan hukum hak cipta atas hak penyewaan karya sinematografi dalam bentuk VCD belum dapat berjalan, disebabkan: perbedaan konsep kepemilikan pelaku usaha penyewaan dengan konsep rezim hak cipta, kurangnya pemahaman masyarakat dan penegak hukum terhadap hak penyewaan, penegak hukum belum serius, dan belum ada peraturan pelaksana dari ketentuan hak penyewaan. Juga bahwa pemegang hak cipta lebih fokus kepada pemberantasan pembajakan VCD.

This thesis to study about legal protection of copy right on cinematografi work with special review on rental right of cinematography in the form of VCD. Using the socio-legal approach, to see how the law works among society and how it interacts on the environment where it prevail. Qualitative descriptive analysis is used to describe and explain the reality of legal problems that has existed to support the result of field research.
The research result show that the copyright law enforcement on rental right of cinematography in the form of VCD hasn?t been being realized yet, caused by: difference of the ownership concept between rental entrepreneurs and the copyright concept, the people's and the law enforcement apparatus?s knowledge about rental right are still weak, the apparatus have not worked seriously to enforce the copyright provision, and the rental right regulation has not been complemented by implementation regulations. Also found that the copyright holders are more focus to eliminate the copyright pirating of VCD.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27792
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Maryani
"Pembuatan suatu sinetron tidak terlepas dari terselenggaranya kerjasama yang baik antara artis pemain sinetron dan produser rumah produksi. Perjanjian kerjasama ini formatnya dirancang seluruhnya oleh produser rumah produksi. Perjanjian baku ini memuat klausul-klausul baku yang harus dipenuhi oleh artis pemain sinetron. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum yang dimiliki oleh pihak artis pemain sinetron dan produser rumah produksi, terutama klausul baku mengenai peralihan performer's rights dari artis pemain sinetron kepada produser rumah produksi. Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil simpulan bahwa peralihan atas performer's rights sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, namun artis pemain sinetron tidak mempunyai posisi menawar (bargaining position) pada saat ketentuan tersebut tidak memberikan kompensasi selain honorarium yang telah diperjanjikan sebelumnya. Peralihan hak ini tidak memenuhi unsur keadilan. Peralihan hak harus disertai dengan kompensasi yang sesuai yang disebut sebagai remuneration rights. Hasil penelitian menyarankan agar remuneratin rights ini juga diatur dalam undang-undang hak cipta agar perlindungan performer's rights artis pemain sinetron menjadi lebih baik.

The most important thing in the making of sinetron is the agreement between the artists and the producers of production house. The agreement itself is made by the producers of production house, and the artists have to obey it when they decide to sign the agreement. The purpose of this study is to understand the law protection of the artists and the producers of production house. This research is yuridis normative.
The conclusion of this research is the artists have no better bargaining position to the agreement consist of the transfer of performer's rights. According to the agreement, the artists will transfer the performer's rights to the producers of production house without any compensation. Although this agreement is approriate with the national Literary and Copyright Works, but that is not fullfill justice requirements. The artists deserve to have compensation of this transfer. This rights of compensation is remuneration rights. The researcher suggest that the remuneration rights should be regulated by the national regulation of the national Literary and Artistic Works to protect the performer's rights of the artists."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27862
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
R. Nurhayati
"Salah satu sisi HKI yang tidak dapat dielakkan terutama dewasa ini adalah semakin erat pengaruh HKI dalam perdagangan internasional. HKI menjadi semakin penting mengingat perannya yang begitu besar bagi kehidupan industri dan perdagangan intemasional. Dalam kebijakan HKI nasional, Indonesia telah turut serta dalam komunitas global, dengan telah meratifikasi Persetujuan WTO (Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994, dengan demildan Indonesia terikat dengan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh WTO, termasuk kesepakatan TRIPS (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights). Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur pula mengenai ciptaan yang diberikan perlindungan sebagai hak cipta yaitu karya sinematografi.
Karya sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images). Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan. Perlindungan selain terhadap sinematografi dan karya cipta yang dilindungi sebagaimana diatur dalam undang-undang, perlindungan juga dapat diberikan terhadap semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Sehingga tanpa kita sadari karya cipta yang dihasilkan oleh seseorang dengan intelektualnya menciptakan sesuatu, secara cepat telah terjadi peniruan atas karya ciptanya.
Permasalahan yang menjadi pembahasan sejauhmana Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur perlindungan hak cipta atas karya film sinematografi dan upaya-upaya apa yang dapat ditempuh oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran, dalam melindungi karya sinematografi dan hambatan-hambatan apakah yang di had api oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran dalam melindungi karya sinematografi.
Karya cipta atas sinematografi merupakan salah satu obyek perlindungan hak cipta, dan rekaman atas filmnya dilindungi oleh hak yang berkaitan hak eksklusif. Langkah yang ditempuh oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran berupa preemtif, preventif dan represif. Hambatan-hambatan yang dihadapi berupa Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya perlindungan hak cipta, kurangnya koordinasi nasional dari para penegak hukum, kurangnya tenaga dan keahlian teknis di lapangan, serta kurangnya sarana pendukung operasional di kalangan penegak hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Hariani
"Penegakan hukum Hak atas Kekayaan Intelektual ("HKI")di negara-negara berkembang, bukan hanya mengalami ketertinggalan dari sudut peraturan perundang-undangan. Ketertinggalan yang lebih jauh adalah pemahaman terhadap prinsip perlindungan HKI. Ketertinggalan dimaksud terjadi karena terdapat permasalahan utama bahwa di negara-negara berkembang asumsi yang mengatasnamakan kepentingan publik di semua bidang masih amatlah kental. Ini mengakibatkan bahwa ketentuan-ketentuan HKI yang ada dalam peraturan perundang-undangan menjadi berbenturan dengan pemahaman seperti itu yang masih melekat dalam peraturan perundangundangan lain.
Hal demikianlah yang terjadi pada karya cipta sinematografi yang dilindungi oleh Hak Cipta. Perlindungan hak cipta yang terdiri dani hak ekonomi dan hak moral bagi pencipta yang menciptakan karya Sinematografi adalah terlahir dengan sendirinya. Namun ternyata perlindungan tersebut secara riil tidak dapat diberikan karena berbenturan dengan peraturan perundangundangan di bidang perfilman khususnya yang mewajibkan setiap karya film harus disensor dengan mengatasnamakan kepentingan kebudayaan.
Dasar-dasar perlindungan Hak Cipta telah dikesampingkan dalam hal sensor film terhadap sebuah karya cipta sinematografi. Henturan ketentuan sensor film dengan prinsip perlindungan hak cipta yang utama merupakan benturan dengan hak moral yang melarang adanya perubahan dalam bentuk apapun terhadap ciptaan; sedangkan penolakan secara utuh sebuah karya sinematografi oleh Lembaga Sensor film telah mengakibatkan matinya hak-hak ekonomi pencipta."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R Nurhayati
"ABSTRAK
Salah satu sisi HKI yang tidak dapat dielakkan terutama dewasa ini adalah
semakin erat pengaruh HKI dalam perdagangan internasional. HKI menjadi
semakin penting mengingat perannya yang begitu besar bagi kehidupan industri
dan perdagangan internasional. Dalam kebijakan HKI nasional, Indonesia telah
turut serta dalam komunitas global, dengan telah meratifikasi Persetujuan WTO
(Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui Undang-Undang
No.7 Tahun 1994, dengan demikian Indonesia terikat dengan aturan-aturan yang
dikeluarkan oleh WTO, termasuk kesepakatan TRIPs (Trade Related Aspect o f
Intellectual Property Rights). Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta mengatur pula mengenai ciptaan yang diberikan perlindungan sebagai
hak cipta yaitu karya sinematografi. Karya sinematografi merupakan media
komunikasi massa gambar gerak (moving images). Karya serupa itu dibuat oleh
perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan. Perlindungan selain
terhadap sinematografi dan karya cipta yang dilindungi sebagaimana diatur dalam
undang-undang, perlindungan juga dapat diberikan terhadap semua ciptaan yang
tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang
nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Sehingga tanpa kita
sadari karya cipta yang dihasilkan oleh seseorang dengan intelektualnya
menciptakan sesuatu, secara cepat telah terjadi peniruan atas karya ciptanya.
Permasalahan yang menjadi pembahasan sejauhmana Undang-undang
No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur perlindungan hak cipta atas karya
film sinematografi dan upaya-upaya apa yang dapat ditempuh oleh pencipta atau
pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran, dalam melindungi karya
sinematografi dan hambatan-hambatan apakah yang di hadapi oleh pencipta atau
pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran dalam melindungi karya
sinematografi.
Karya cipta atas sinematografi merupakan salah satu obyek perlindungan
hak cipta, dan rekaman atas filmnya dilindungi oleh hak yang berkaitan hak
eksklusif. Langkah yang ditempuh oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan
lembaga penyiaran berupa preemtif, preventif dan represif. Hambatan-hambatan
yang dihadapi berupa Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
arti pentingnya perlindungan hak cipta, kurangnya koordinasi nasional dari para
penegak hukum, kurangnya tenaga dan keahlian teknis di lapangan, serta
kurangnya sarana pendukung operasional di kalangan penegak hukum."
2005
T36655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Lintang Jantera
"PPFN mengaku sebagai pencipta dan pemegang hak cipta atas film G30S/PKI. PPFN mengatakan bahwa pemutaran kepada publik yang dilakukan oleh pemerintah belum mendapatkan izin dari PPFN. Berdasarkan sejarah, dihetahui bahwa PPFN membuat film ini atas perintah dari Presiden Suharto pada tahun 1984. dalam hal ini, penulis mempertanyakan apakah PPFN adalah pencipta dan pemegang hak cipta yang sah atas film G30S/PKI movie, apakah film G30S/PKI masih dilindungi hak ciptanya, dan apakah PPFN dapat melarang tindakan pemutaran yang dilakukan oleh pemerintah. Penelitian ini menggunakan metode Normatif Yuridis. Penulis mengkaji permasalahan yang terjadi dan menghubungkannya dengan teori-teori terkait dan peraturan yang berlaku. Berdasarkan penelitian, penulis menemukan bahwa PPFN adalah pencipta dan pemegang hak cipta yang sah atas film G30S/PKI. Perlindungan atas film G30S/PKI masih berlaku sampai tahun 2034 berdasarkan UU Hak Cipta 28 tahun 2014. Dalam kaitannya dengan pemutarannya di publik dengan atas perintah dari Pemerintah, undang-undang hak cipta melindungi tindakan pemerintah tersebut dan mengizinkan pemerintah untuk melakukan hal tersebut tanpa harus memperoleh izin terlebih dahulu kepada PPFN, dengan syarat harus membayarkan royalti kepada PPFN selaku pemegang hak cipta film G30S/PKI.

PPFN stating that they are the creator and copyright holder of the G30S/PKI movie. PPFN stated that the public showing of G30S/PKI movie which conduct by the government action has not grant permission from PPFN. Based on history, PPFN has made this movie by command of President Suharto in the year of 1984. It is questioned whether PPFN is the legitimate creator and copyright holder of the G30S/PKI movie, and whether PPFN may prohibit the government action to make public showing of this movie. This research is using the normative juridical method. Based on the research conducted by author, author found that PPFN is the legitimate creator and copyright holder of G30S/PKI movie. G30S/PKI movie is still be protected under the Indonesian Copyright Law number 28 Year 2014 until 2034. In relation to the public showing conduct by the government, the copyright law has protecting the government action and allow the government to conduct such action without asking permission from PPFN, and has to give reward or royalty to PPFN as the copyright holder. 
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merdithia Mahadirja
"Kajian ini membahas tentang pengaturan dan penerapan hak moral, terutama di film. Hak moral adalah doktrin yang diakui dalam undang-undang tentang hak cipta di mana seorang penulis memiliki hak yang di luar hak ekonominya. Tapi karena tidak adanya standar minimal yang harus diterapkan oleh negara-negara anggota Dunia Organisasi Perdagangan, dalam penerapannya doktrin ini menimbulkan masalah terutama untuk karya turunan seperti film yang tidak bisa disamakan dengan sastra atau karya seni pada umumnya. Di Penelitian ini membahas tentang bagaimana mengidentifikasi hak moral dalam produksi film yang baik untuk film itu sendiri dan untuk karya lain yang merupakan bagian dari film. Selanjutnya dibahas pula tentang hak-hak moral yang dimiliki oleh produsen, sutradara, aktor/aktris, penulis naskah, sutradara musik dan kru film. Diskusi Hal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual dan a komparatif karena perbedaan konsep hak moral yang ada di negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk mengidentifikasi hak moral dari film itu sendiri dan bagian-bagiannya harus diketahui terlebih dahulu, apakah sudah diakui atau belum sebagai penciptaan. Selain itu, juga dapat dilihat bahwa pihak-pihak dalam produksi film dapat hak moral mereka dilindungi jika pekerjaan mereka adalah bagian dari film telah diterbitkan sebelumnya.

This study discusses the regulation and application of moral rights, especially in films. Moral rights are doctrines recognized in copyright laws in which an author has rights that are beyond his economic rights. However, because there is no minimum standard that must be applied by member countries of the World Trade Organization, in its application this doctrine creates problems, especially for derivative works such as films that cannot be equated with literature or works of art in general. This study discusses how to identify moral rights in good film production for the film itself and for other works that are part of the film. Furthermore, it is also discussed about the moral rights of producers, directors, actors/actresses, scriptwriters, music directors and film crews. Discussion This is done using a conceptual and a comparative approach because of the different concepts of moral rights that exist in the member countries of the World Trade Organization. In the analysis of this research, it can be seen that in order to identify the moral rights of the film itself and its parts, it must be known first, whether it has been recognized or not. creation. In addition, it can also be seen that the parties in film production can have their moral rights protected if their work is part of the film previously published.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Farhan
"Media televisi saat ini sedang berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan ini juga mengakibatkan industri pertelevisian yang memproduksi program acara televisi menjamur dimana-mana. Program acara televisi merupakan suatu hasil karya intelektual yang dilindungi oleh hak cipta. Suatu hak cipta memiliki dua unsure hak yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak mutlak yang dimiliki oleh pencipta dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain, sementara hak ekonomi adalah hak untuk memanfaatkan karya cipta tersebut sehingga mendapatkan keuntungan. Hak ekonomi inidapat dialihkan kepada pihak lain. Hak ekonomi dalam program acara televisi adalah berupa Hak Siar. Hal ini diatur dalam SK MENPEN No. 111/1990, pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap mata acara televisi sebelum disiarkan harus memiliki hak siar. Untuk memperoleh hak siar tersebut pada umumnya antara Lembaga Penyiaran dengan PH menggunakan perjanjian jual putus. Dengan adanya perjanjian jual putus maka hak siar yang dibeli oleh Lembaga Penyiaran dari PH dapat dimiliki secara penuh dan tanpa batas waktu. Namun rupanya jual putus ini belum mendapatkan pengaturan lebih lanjut oleh undang-undang hak cipta. Untuk itu dalam melakukan perjanjian jual putus perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai hukum perjanjian jual beli dalam hukum perdata Indonesia. Di dalam praktek, jual putus hak siaran ini menimbulkan beberapa masalah hukum yang berhubungan dengan segi Hak Cipta berarti dalam hal pemutaran ulang program acara televisi tersebut, dan kaitannya terhadap pemegang hak terkait."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S23935
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad M. Ramli
Bogor: Ghalia Indonesia , 2005
346.048 2 AHM f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>