Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125158 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Utang piutang merupakan hal yang biasa dalam praktek
perekonomian terutama dalam menunjang pertumbuhan ekonomi
negara. Kreditor yang memberikan pinjaman pasti menuntut
kepastian bahwa debitor akan mengembalikan uangnya dan salah
satu kepastian yang diberikan hukum adalah dengan memberikan
hak atas kebendaan tertentu milik debitor untuk menjadi jaminan
pelunasan utangnya. Kreditor jenis ini disebut kreditor
pemegang hak jaminan atau kreditor separatis. Mereka mempunyai
kedudukan yang cukup aman dalam memperoleh pelunasan piutangnya
secara utuh karena mempunyai benda tertentu yang setiap saat
dapat dieksekusi sendiri bila debitor wanprestasi dan mempunyai
kedudukan yang didahulukan. Dalam praktek jaminan seperti ini
sangat disukai. Kepailitan merupakan salah satu proses
pembagian harta debitor pada para kreditor termasuk kreditor
separatis. Dalam undang-undang kepailitan (UUK) pasal 56A
diatur mengenai penangguhan dimana selama jangka waktu 90 hari
kreditor separatis tidak boleh mengeksekusi benda jaminannya.
Selain itu UUK juga memberikan kewenangan pada curator untuk
mengunakan benda jaminan kreditor separatis dan bahkan
menjualnya, karena itu dalam penelitian ini akan dikaji
bagaimana UUK mengatur kedudukan kreditor separatis dalam
memperoleh pelunasan atas piutangnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S21158
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subarjono
"ABSTRAK
Penjual yang telah menjual barangnya secara kredit
biasanya tidak memiliki jaminan atas piutangnya.
Kedudukan penjual merupakan kreditor konkuren karena
tidak memiliki jaminan dan juga tidak didahulukan oleh
undang-undang sehingga tidak termasuk katagori kreditor
separatis dan kreditor preferen.Permasalahan yang akan
timbul adalah bagaimanakah kedududukan hukum kreditor
konkuren dalam penyelesaian utang debitur yang dinyatakan
pailit dan apakah kreditor konkuren akan memperoleh hak
pembayaran atas utang debitur yang dinyatakan pailit.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kepustakaan bersifat yuridis formal.Kepailitan merupakan
sitaan umum terhadap harta debitur untuk dibagi secara
merata di antara para kreditor. Pembagian secara merata
tersebut tidak dilakukan jika di antara para kreditor
terdapat kreditor separatis di samping kreditor konkuren.
Dalam pembagian harta debitur pailit akan diprioritaskan
kepada kreditor preferen, kreditor separatis (kreditor
pemegang hak atas jaminan), dan sisanya, apabila masih
ada dibagikan proporsional kepada seluruh kreditor
konkuren. Kreditor konkuren dimungkinkan akan menderita
kerugian karena tidak memperoleh pembayaran atas
piutangnya kepada debitur pailit. Kedudukan kreditor
konkuren dalam pembagian harta debitur pailit berada
setelah kreditor separatis dan preferen. Pasal 1131 dan
Pasal 1132 KUHPerdata menjadi landasan hukum untuk
memperkuat posisi kreditor konkuren dalam memperoleh hak
penagihan piutangya dari debitur pailit.Kreditor
separatis mendapat pembagian harta debitor pailit
terlebih dahulu bahkan juga dapat menjadi kreditor
konkuren pada saat harta debitur pailit tidak mencukupi
pembayaran piutangnya, sebaliknya kreditor konkuren tidak
dapat menjadi kreditor separatis. Dengan demikian
kedudukan hukum kreditor konkuren dalam penyelesaian
utang debitur kurang terlindungi, namun kreditor konkuren
masih tetap dimungkinkan memperoleh hak pembayaran atas
utang debitur pailit, dengan kemungkinan semakin kecil
karena bersaing dengan kreditor separatis dan juga dengan
sesama kreditor konkuren"
2005
T37743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aulia Gislir
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T36821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Windry Yohanna Shinta Uli
"Penelitian ini akan membahas mengenai kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan eksekusi yang diatur di dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia. Selanjutnya, dalam skripsi ini akan dibahas kedudukan Bank BTN sebagai kreditor separatis dan pelaksanaan eksekusi, upaya hukum yang dapat dilakukan, dan membahas apakah putusan Hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, sedangkan analisa datanya adalah metode kualitatif.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan Bank BTN kedudukannya sebagai kreditor separatis karena ada jaminan hak tanggungan, Pelaksanaan hak eksekusi harta jaminan debitor sebagai kreditur separatis dapat mengeksekusi harta pailit seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Upaya hukum yang dapat diajukan bank BTN dari awal pemberian kredit yaitu mengevaluasi calon nasabah dengan prinsip 5C, monitoring jaminan, berperan aktif dalam meminta surat pemberitahuan insolvensi untuk eksekusi yang ada persetujuan hakim pengawas, ketika mengetahui ada pihak ketiga dalam jaminan harta pailit adalah mengajukan permohonan kepada hakim pengawas untuk mengubah syarat penangguhan, melakukan Peninjauan Kembali. Serta dapat diketahu bahwa putusan hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi kurang tepat.

This research will discuss the position of creditors separatist and execution are set out in the Insolvency Act Indonesia. Furthermore, in this paper will discuss the position of Bank BTN secure creditor and execution, legal remedies that can be done, and discuss whether the decision of the Supreme Court Justices are in accordance with the Insolvency Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. This study uses normative juridical research, while data analysis is qualitative methods.
From these results it can be concluded that the Bank BTN secure creditor position because it has a guarantee security rights, implementation of property rights guarantees execution debtor as secure creditor can execute the bankruptcy estate as if nothing happened bankruptcy. Remedy which may be filed BTN from the beginning of the loan is to evaluate the prospective customer with the principle 5C, assurance monitoring, active in requesting notification of the execution of the existing insolvency judge supervisory approval, when knowing there is a third party in the bankruptcy estate collateral is to apply to the supervisory judge to change the terms of the suspension, do Reconsideration. As well been known that the Supreme Court judge's decision on appeal is not quite right.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58624
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ujang Inan Iswara
"Ketentuan perpajakan menempatkan negara sebagai pemegang hak mendahulu atas tagihan pajak.Hak mendahulu ini memberi kesempatan kepada Negara untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di muka umum guna menutupi atau melunasi utang pajaknya.
Pengaturan tentang hak mendahulu berkaitan dengan utang pajak dalam kenyataannya tidak diterapkan secara benar. Direktorat Jenderal Pajak justru mengalami kerugian akibat adanya permohonan pailit. Salah satu kemungkinan rekayasa adalah dengan teknik homologatie sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan. Berdasarkan teknik tersebut kemudian wajib pajak mengajukan masalahnya ke Pengadilan Niaga.
Kedudukan Direktorat Jenderal Pajak sangat kuat sebagai pemegang utang pajak termasuk dalam hal kepailitan. Keputusan pengadilan niaga yang mengabaikan kedudukan pemerintah atau negara terhadap utang pajak tidak menghalangi pemerintah atau negara untuk tetap melakukan pemungutan. Apalagi mengingat bahwa jika putusan pengadilan dijatuhkan oleh pengadilan umum bukanlah penyelesaian masalah perpajakan yang semestinya karena berdasarkan peraturan perundang - undangan telah diatur kompetensi absolut dari Peradilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nieke Dewi Sulistiyani
"Pada asasnya Kepailitan merupakan suatu bentuk sita umum yang mencakup seluruh harta kekayaan si debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Melalui sita umum ini, akan dapat dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi yang dilakukan oleh para kreditur secara sendiri-sendiri, kecuali apabila diberikan pengecualian oleh Undang-Undang seperti kreditur Pemegang Hak Tanggungan yang haknya didahulukan. Hak Tanggungan itu ialah suatu hak jaminan istimewa yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi para pemegang Hak Tanggungan tersebut. Jika debitur cidera janji, para kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk mengeksekusi obyek Hak Tanggunggannya berdasarkan kekuatan eksekutorial yang disebut dengan "parate executie" atau menjualdengan kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 21 UUHT dan Pasal 55 ayat (1) Undang¬undang No.37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kepailitan, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Disini, kreditur pemegang Hak Tanggungan, kedudukannya ialah sebagai kreditur seperatis, yaitu kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan sehingga tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya dinyatakan pailit.
Dengan demikian, maka obyek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Meskipun secara prinsip, kepailitan tidak menghalangi dilaksanakannya eksekusi atas jaminan preferent, akan tetapi demi kepentingan boedel pailit dan selama kurator dapat memberikan jaminan perlindungan yang wajar bagi kreditur, berdasarkan pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004, hak eksekusi kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Keberadaan pasal 56 Undang-Undang No.37 tahun 2004 ini merupakan salah satu pilihan hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, maka keberadaan pasal 56 ini tidak serta merta mengikat para kreditur pemegang Hak Tanggungan. Sebab selaku pemegang Hak Tanggungan, mereka tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya, meskipun debiturnya dinyatakan pailit, sebagaimana diatur dalam pasal 21 UUHT jo pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Jika dilihat dari pihak kreditur pemegang Hak Tanggungan, pilihan untuk memailitkan debitur pemberi Hak Tanggungan adalah tidak menguntungkan. Sebab mereka tidak dapat melakukan eksekusi atas tanah agunannya, dikarenakan hak eksekusi mereka ditangguhkan selama 90 hari, sehingga mereka tidak segera memperoleh pengembalian piutangnya dan selain itu sangat beresiko pula pada berkurangnya hasil likuidasi barang jaminan untuk memenuhi klaim dari kreditor lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Ersan
"Kredit Sindikasi merupakan suatu jenis kredit dimana terdapat lebih dari satu kreditor dan terdapat sebuah agent yang telah ditunjuk oleh para kreditor untuk mewakili kepentingan mereka. Permasalahan yang seringkali terjadi dalam kasus kredit sindikasi adalah tidak adanya kepastian hukum tentang kewenangan kreditor peserta kredit sindikasi dalam mengajukan permohonan pailit tanpa melalui agent bank. Hal ini mengakibatkan banyak pihak selaku kreditor peserta kredit sindikasi merasa ketidakadilan penerapan hukum yang dijatuhkan oleh hakim.
Dalam kasus ini yang menjadi pihak pemohon pailit adalah salah satu kreditor peserta sindikasi yaitu PT. Bank IFI, sedangkan pihak termohon pailit (debitor/nasabah) yaitu PT. SUBUR AGROSINDO SEILZRAS, dan pihak agent adalah bank yang ditunjuk oleh bank-bank lain selaku kreditor peserta sindikasi yaitu PT. Bank Niaga. Permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Bank IFI ditolak karena majelis hakim berpendapat bahwa PT. Bank IFI tidak berwenang dalam mengajukan permohonan pailit, seharusnya yang dapat mengajukan pailit hanya Bank Niaga selaku agent bank selaku pihak yang diberi kuasa mutlak oleh para kreditor untuk mewakili kepentingan kreditor serta bertindak untuk dan atas nama kreditor. Setelah permohonan pailitnya ditolak, PT. Bank IFI mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan kasasinya kembali ditolak oleh Hakim Agung dengan alasan yang serupa. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak memberikan definisi yang jelas mengenai hal tersebut, akan tetapi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah mernberikan jawaban yang pasti mengenai hal tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Andika Yoedistira
"Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tenlang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan rumusan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. Dalam Undang-undang Kepailitan terkandung pasal-pasal yang merupakan hukum materiil kepailitan dan pasal-pasal yang merupakan hukum formil kepailitan. Sebagai hukum formil, Undang-Undang Kepailitan harus dapat menjamin adanya kepastian hukum dan terciptanya keseimbangan antara kepentingan debitor di satu sisi dengan kepentingan kreditor di sisi lainnya dalam proses kepailitan. Demikian juga halnya dengan sistem pembuktian dalam kepailitan, dalam fungsinya sebagai sarana untuk menentukan telah terjadinya suatu kepailitan, maka sistem pembuktian dalam kepailitan haruslah mengakomodir kepentingan kreditor sebagai pihak yang berpiutang maupun debitor sebagai pihak yang berutang untuk menjamin keseimbangan dalam proses acara dan pembuktiannya. Dalam konteks ini Hukum Acara dan sistem pembuktian yang terdapat dalam Undang-undang Kepailitan- PKPU khususnya pada acara permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor ( voluntary petidon) belumlah mencerminkan adanya keseimbangan pengaturan dan perlindungan bagi kreditor. Tidak adanya kewajiban pemanggilan bagi kreditor dalam voluntaty petition yang dikombinasikan dengan acara singkat dan sistem pembuktian secara sederhana dalam kepailitan cenderung melemahkan posisi kreditor sebagai pihak yang berpiutang dalam proses kepailitan dalam menghadapi posisi debitor sebagai pihak yang berhutang.

Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and the Suspension o f the Payment of debts provides a definition that Bankruptcy is a general confiscation on all the assets o f the Bankrupt Debtor. These assets are taken care o f and handled by the Curator under the supervision of the Supervising Judge as governed by this Law. The Law of Bankruptcy contains articles that are material law of bankruptcy as well as articles that are procedural. As a procedural law, the Law o f Bankruptcy must secure the legal certainty and the balance between the interest o f the debtor on one hand and the interest of the creditor on the other hand in the process of bankruptcy. The same approach applies as well in the Evindentiary System. In conjunction with its function as tool to determine the occurence of bankruptcy, the evidentiary system must accomodate the interest of the creditor as well as the interest of the debtor in order to uphold the equality of principle in the trial process and its evidentiary process. Within this context, the procedural law and the evidentiary system stipulated under the Law Number 37 Year 2004, especially on the phase of filing of a bankruptcy declaration request (voluntary petition), has not yet reflected the equality of governance and protection for the creditor. The lack of obligation by the creditor in a voluntary petition that is followed by a short trial process and a simple evidentiary system has relatively weakened the position of the creditor in the bankruptcy process in facing the position of the debtor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37374
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Octavia
"Kepailitan berakibat pada pemenuhan piutang para kreditor. Pemenuhan piutang para kreditor tergantung dari preferensi kreditor itu sendiri, serta pelaksana eksekusi dalam proses kepailitan. Kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor separatis merupakan kreditor yang memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri dalam proses kepailitan. Namun demikian tidak semua kreditor separatis menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi sendiri. Dengan demikian kurator lah yang melakukan eksekusi serta pembagian boedel pailit.
Eksekusi yang dilakukan sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor separatis, dan eksekusi yang dilakukan oleh kurator membawa akibat hukum yang berbeda bagi pemegang Hak Tanggungan. Meskipun telah diatur di dalam Undang-Undang namun masih terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Permasalahan yang muncul adalah terkait dengan besarnya pelunasan piutang, serta kedudukan kreditor separatis jika pelunasan piutangnya tidak terpenuhi.
Dalam tulisan ini, permasalahan tersebut diteliti dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji serta menganalisis putusan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepailitan dan Hak Tanggungan. Dengan menggunakan metode tersebut didapat kesimpulan bahwa, pemenuhan piutang kreditor pemegang Hak Tanggungan tergantung pada pelaksana eksekusi dalam proses kepailitan. Pelaksanaan eksekusi oleh kurator menyebabkan berkurangnya pelunasan piutang kreditor separatis pemegang Hak Tanggungan oleh biaya kepailitan, imbalan jasa kurator, dan beban pajak. Selain itu dengan dilaksanakannya eksekusi oleh kurator, jika pelunasan piutang kreditor separatis tidak terpenuhi maka dengan sendirinya kreditor separatis akan berkedudukan sebagai kreditor konkuren.

Bankruptcy has an effect on creditors? receivables fulfillment. The fulfillment of creditors receivables is depends on the preferences of the creditor, and the executor in bankruptcy process. The secured creditor of Security Rights as separate creditor is a creditor who has rights to perform the execution on their own in bankruptcy process. However not all separate creditor using their rights to perform its own execution. Therefore the execution and the split of bankruptcy assets performed by the curator.
The execution that performed by the secured creditor of Security Rights as separate creditor, and the execution that performed by the curator is bringing a different legal consequences. Although it has been set out in the law and regulation, it still causes an issue in implementation. The issue is related to the amount of the fulfillment of receivables, and the position of separate creditor if the receivables are not fulfilled.
In this thesis, the said issue will be examined by literature study, by analyze the court decision based on law and regulation which related to the bankruptcy and the Security Rights. Using the literature study method, concluded that the receivable fulfillment of Security Rights is depends on the executor in bankruptcy process. Execution by the curator leads to reduce the receivable fulfillment of separate creditor by bankruptcy fee, curator fee, and taxes. If the receivables of separate creditor are not fulfilled, for the deficiency of its receivables, the separate creditor is become a concurrent creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>