Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113202 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ine Puspitawati
"ABSTRAK
Dalam pemberian kredit sindikasi adalah hal yang lazim
apabila lembaga bank selaku kreditur sindikasi meminta
pihak ketiga menanggung debiturnya untuk menjamin
diperolehnya pelunasan utang. Keberadaan penanggung
dalam hubungan hukum yang terjadi antara kreditur
sindikasi dan debitur ini memberikan perlindungan hukum
bagi kreditur sindikasi akan kepastian pelunasan utang
debitur apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.
Penganggung dapat diminta pertanggungjawabannya untuk
memenuhi utang debitur apabila ia telah melepaskan hak
istimewa yang telah diberikan oleh Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) sehingga lazim dilakukan
oleh kreditur sindikasi untuk meminta penanggung
melepaskan hak-hak istimewa tersebut demi
kepentingannya. Akan tetapi, kendati penanggung telah
melepaskan hak-hak istimewa tersebut, yang berarti ia
bersedia untuk melunasi utang debitur yang ditanggungnya,
seringkali penanggung tidak mau memenuhi kewajibannya
untuk melunasi utang debitur kepada kreditur sindikasi
ketika ternyata debitur cidera janji atau wanprestasi. Untuk
mengatasinya, pengajuan permohonan pernyataan pailit
menjadi alternatif penyelesaian kredit bermasalah tersebut. Dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
penanggung, kreditur sindikasi harus memenuhi syaratsyarat
yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No. 4 tahnu 1998 tentang Kepailitan, yang menyebutkan
keharusan debitur memiliki sedikitnya dua orang kreditur
dan memiliki satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih. Dalam skripsi ini akan dianalisa mengenai syarat
yang harus dipenuhi oleh kreditur sindikasi dalam
pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap
penganggung dalam rangka penyelesaian pailit terhadap
penanggung dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah."
2004
S23130
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Ersan
"Kredit Sindikasi merupakan suatu jenis kredit dimana terdapat lebih dari satu kreditor dan terdapat sebuah agent yang telah ditunjuk oleh para kreditor untuk mewakili kepentingan mereka. Permasalahan yang seringkali terjadi dalam kasus kredit sindikasi adalah tidak adanya kepastian hukum tentang kewenangan kreditor peserta kredit sindikasi dalam mengajukan permohonan pailit tanpa melalui agent bank. Hal ini mengakibatkan banyak pihak selaku kreditor peserta kredit sindikasi merasa ketidakadilan penerapan hukum yang dijatuhkan oleh hakim.
Dalam kasus ini yang menjadi pihak pemohon pailit adalah salah satu kreditor peserta sindikasi yaitu PT. Bank IFI, sedangkan pihak termohon pailit (debitor/nasabah) yaitu PT. SUBUR AGROSINDO SEILZRAS, dan pihak agent adalah bank yang ditunjuk oleh bank-bank lain selaku kreditor peserta sindikasi yaitu PT. Bank Niaga. Permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Bank IFI ditolak karena majelis hakim berpendapat bahwa PT. Bank IFI tidak berwenang dalam mengajukan permohonan pailit, seharusnya yang dapat mengajukan pailit hanya Bank Niaga selaku agent bank selaku pihak yang diberi kuasa mutlak oleh para kreditor untuk mewakili kepentingan kreditor serta bertindak untuk dan atas nama kreditor. Setelah permohonan pailitnya ditolak, PT. Bank IFI mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan kasasinya kembali ditolak oleh Hakim Agung dengan alasan yang serupa. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak memberikan definisi yang jelas mengenai hal tersebut, akan tetapi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah mernberikan jawaban yang pasti mengenai hal tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arissa Anggraini
"Kredit Sindikasi adalah merupakan kredit yang diberikan beberapa bank kepada seorang debitur dimana diantara bank-bank peserta sindikasi terdapat hubungan lintas kreditur yang dikoordinasikan secara erat dan kokoh oleh satu bank sebagai koordinator yang disebut lead creditur atau lead manager, dan subyek yang ada dalam kredit sindikasi yakni : pihak debitur, pihak kreditur, pihak lead manager, pihak agen bank. Sedangkan kepailitan terjadi dikarenakan debitur dalam keadaan tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditur pada saat jatuh tempo, dan bila kepailitan tersebut terjadi terhadap debitur yang terikat dalam suatu perjanjian kredit sindikasi dengan kreditur hal ini merupakan suatu keadaan dilematis bagi anggota peserta kreditur sindikasi yang hendak mengajukan permohonan pailit, mengingat ketentuan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menjelaskan secara terang dan tegas tidak mengharuskan permohonan pailit diajukan oleh semua kreditur, berdasarkan pasal 1 ayat (1) tersebut dapat diartikan hanya dengan satu kreditur saja dapat diajukan permohonan kepailitan, dalam kredit sindikasi tersebut pihak agen bank mempunyai peran yang sangat besar yaitu mewakili dan bertindak untuk kepentingan kreditur sindikasi serta untuk dan atas nama para kreditur, pihak agen bank diangkat dan ditunjuk oleh kreditur, dalam kredit sindikasi hubungan kreditur dengan kreditur dilakukan melalui agen, dan masing-masing peserta sindikasi tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan debitur,segala perbuatan hukum diurus oleh agen, permasalahan terjadi dalam hal kewenangan selaku pemohon dalam hal permohonan pernyataan pailit apabila pihak debitur terikat perjanjian kredit sindikasi pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap salah satu kreditur sindikasi, oleh karena dalam undangundang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang belum mengaturnya secara khusus hanya berupa penjelasan saja, maka harus dilihat isi dalam perjanjian kredit sindikasi tersebut. Hal ini berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata tentang kebebasan berkontrak para pihak sepanjang tidak melanggar undang-undang yang maka segala perjanjian yang telah disepakati menjadi undang-undang bagi yang membuatnya. Apabila dalam perjanjian tersebut tidak menyebutkan secara jelas siapa yang berwenang mengajukan permohonan pailit, maka pendekatan yang dilakukan adalah kasuistis serta mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang ada mengenai siapa yang berwenang mengajukan permohonan pailit.
Syndicated credit is a credit given some banks to a debtor where among the participants of the syndicated banks there are cross-linkages that are coordinated in tandem the lender and sturdy by a bank as the lead coordinator is called creditur or lead manager, and the subject is in syndicated credits: the debtor, the creditors, the lead manager, the bank's agents. While the bankruptcy occurred because the debtor in a State is unable to pay its debt to the lender at maturity, and if bankruptcy occurs against the debtor is bound in a syndicated loan agreement with the creditors it represents a State of dilematis for member participants creditors who want to apply for syndication in bankruptcy, bearing in mind the provisions of article 2 paragraph Description (1) Act No. 37 of 2004 about bankruptcy and debt repayment Obligations do not Delay explains in clear and unequivocal application does not require that all creditors in bankruptcy filed byunder article 1, paragraph (1) can be defined only by one lender's bankruptcy petition may be submitted, in the syndicated credit bank has the role of the agent that is huge i.e. represent and act for the benefit of the creditors syndicate as well as for and on behalf of the lender, the bank appointed agents and appointed by the creditors, in the syndication credit lender relationships with creditors conducted by an agent, and each of the participants of the syndicate has no direct relationship with the debtor, any act of law administered by an agent, the problem occurs in the case of the authority as the representative of the applicant in terms of the petition in bankruptcy if the debtor statements bound syndicated credit agreement at maturity are unable to meet its obligations towards one of the creditors syndicate, due to the bankruptcy law and debt repayment obligations yet delay set it specifically just a description of the course, then it should be viewed in the content syndication credit agreement. It is based on article 1338 KUHPerdata of freedom of contract the parties along does not violate the Act then all agreements agreed to act for the subject. If the Treaty does not mention explicitly who is authorized to apply in bankruptcy, then approach does is kasuistis as well as taking into account existing legislation as to who is authorized to apply for bankruptcy.<.i>"
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S42430
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arika Widi Asmara
"Pada dasarnya kredit bermasalah merupakan hal yang wajar terjadi di industri perbankan karena faktor penyebabnya yang begitu beragam. Akan tetapi, meskipun terdapat kewajaran atas terjadinya kredit bermasalah pada suatu bank, berdasarkan data statistik Bank Indonesia bulan Desember 2005 bahwa kredit bermasalah pada bank BUMN dengan bank swasta nasional, dengan nilai perbandingan persentase NPL 14,75% : 3,22%. Maka dari itu perlu dikaji apa yang menjadi penyebab besarnya kredit macet dan bagaimana mekanisme penanganan kredit bermasalah yang dilakukan oleh bank di dalam praktek. Untuk mengkajinya digunakan metode studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, Namun, didukung dengan alat pengumpulan data yaitu studi draf perjanjian kredit dari Bank X. Dari hasil kajian perangkat hukum perdata dan hukum ternyata perbankan telah diberikan perlindungan memadai dalam menangani persoalan kredit macet. Oleh hukum, bank telah diberi beberapa jalan untuk menanganinya. Secara preventif, bank dilarang mengobral dana atau bersikap ”murah hati” kepada nasabah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dengan sungguh-sungguh. Penyaluran kredit harus disertai jaminan (agunan) lengkap dengan perjanjian untuk menjual barang agunan atas kekuasaan kreditur (beding van eigen matige verkoop). Dengan janji tersebut bank selaku kreditur dapat langsung menjual barang jaminan (parate executie) dengan bantuan Kantor Lelang Negara (KLN) tanpa harus meminta izin (fiat) pengadilan negeri (PN). Apabila tidak diperjanjikan hak demikian, bank (swasta) dapat meminta PN melakukan sita eksekusi atas barang jaminan dan menjual lelang melalui KLN berdasarkan Pasal 224 HIR. Sedang bank pemerintah dapat meminta PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) untuk menyelesaikan kredit yang berada di tangan debitur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S24679
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Sutopo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S24617
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Selamat
"Kepailitan sebagai suatu sarana hukum penagihan dan penyelesaian hutang piutang antara kreditur dengan debitur, memberikan keseimbangan hak dan kewajiban serta kedudukan antara debitur dengan kreditur. Kedudukan bank dalam kepailitan dapat bertindak selaku kreditur tidak seimbang dengan kedudukannya selaku debitur. Bank selaku kreditur dapat bertindak sebagai pemohon pailit, sebagai kreditur lain, sebagai Pihak Pemohon Kasasi meskipun tidak merupakan pihak pada tingkat pengadilan niaga. Sedangkan bank dalam kedudukannya selaku debitur tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya, undang-undang Kepailitan memberikan hak untuk itu, hanya kepada Bank Indonesia. Walaupun undang-undang Kepailitan dan Undang-undang Perbankan sama-sama mengakui bahwa bank dapat dimohonkan oleh krediturnya dan dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang, akan tetapi Bank Indonesia, tidak pernah menggunakan upaya kepailitan terhadap bank dalam penyelesaian kewajiban hutang-piutangnya, melainkan cenderung menerapkan pencabutan izin operasional dan likuidasi bank yang bersangkutan.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif, yaitu putusan-putusan pengadilan mengenai Kepailitan terhadap bank tersebut dianalisis secara mendalam atas peristiwa, fakta-fakta, pertimbangan hukum dan amar putusannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa debitur yang menjalankan usaha bank dapat dimohonkan pailit oleh pemohonnya dan pengadilan dapat menyatakan bank pailit. Benerapan kepailitan terhadap bank lebih efektif bila dibandingkan dengan penerapan pencabutan izin dan likuidasi bank. Yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang menjalankan usaha bank ke pengadilan, bukan hanya Bank Indonesia raja, melainkan Krediturnya dan Kejaksaan demi kepentingan umum. Dan debitur yang menjalankan usaha bank tidak dapat mengajukan dan memohonkan pailit atas dan terhadap dirinya sendiri. Apabila Bank Indonesia menolak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Bank dalam penyelesaian kewajiban hutang-piutangnya, maka krediturnya dapat mengajukan permohonanya tersebut secara langsung ke pengadilan yang berwenang atau kreditur mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara terhadap Bank Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Andika Yoedistira
"Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tenlang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan rumusan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. Dalam Undang-undang Kepailitan terkandung pasal-pasal yang merupakan hukum materiil kepailitan dan pasal-pasal yang merupakan hukum formil kepailitan. Sebagai hukum formil, Undang-Undang Kepailitan harus dapat menjamin adanya kepastian hukum dan terciptanya keseimbangan antara kepentingan debitor di satu sisi dengan kepentingan kreditor di sisi lainnya dalam proses kepailitan. Demikian juga halnya dengan sistem pembuktian dalam kepailitan, dalam fungsinya sebagai sarana untuk menentukan telah terjadinya suatu kepailitan, maka sistem pembuktian dalam kepailitan haruslah mengakomodir kepentingan kreditor sebagai pihak yang berpiutang maupun debitor sebagai pihak yang berutang untuk menjamin keseimbangan dalam proses acara dan pembuktiannya. Dalam konteks ini Hukum Acara dan sistem pembuktian yang terdapat dalam Undang-undang Kepailitan- PKPU khususnya pada acara permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor ( voluntary petidon) belumlah mencerminkan adanya keseimbangan pengaturan dan perlindungan bagi kreditor. Tidak adanya kewajiban pemanggilan bagi kreditor dalam voluntaty petition yang dikombinasikan dengan acara singkat dan sistem pembuktian secara sederhana dalam kepailitan cenderung melemahkan posisi kreditor sebagai pihak yang berpiutang dalam proses kepailitan dalam menghadapi posisi debitor sebagai pihak yang berhutang.

Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and the Suspension o f the Payment of debts provides a definition that Bankruptcy is a general confiscation on all the assets o f the Bankrupt Debtor. These assets are taken care o f and handled by the Curator under the supervision of the Supervising Judge as governed by this Law. The Law of Bankruptcy contains articles that are material law of bankruptcy as well as articles that are procedural. As a procedural law, the Law o f Bankruptcy must secure the legal certainty and the balance between the interest o f the debtor on one hand and the interest of the creditor on the other hand in the process of bankruptcy. The same approach applies as well in the Evindentiary System. In conjunction with its function as tool to determine the occurence of bankruptcy, the evidentiary system must accomodate the interest of the creditor as well as the interest of the debtor in order to uphold the equality of principle in the trial process and its evidentiary process. Within this context, the procedural law and the evidentiary system stipulated under the Law Number 37 Year 2004, especially on the phase of filing of a bankruptcy declaration request (voluntary petition), has not yet reflected the equality of governance and protection for the creditor. The lack of obligation by the creditor in a voluntary petition that is followed by a short trial process and a simple evidentiary system has relatively weakened the position of the creditor in the bankruptcy process in facing the position of the debtor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37374
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Disriani Latifah S.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22330
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Hidayatulloh
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S24505
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Riyani
"Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1998 mengakibatkan keadaan ekonomi Indonesia berada dalam keterpurukan. Hal ini mengharuskan pemerintah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan kembali keadaan ekonomi nasional. Perbankan sebagai salah satu faktor penting pendukung sektor perekonomian juga sedang, berusaha untuk mengembalikan kembali performa mereka yang sempat menurun. Untuk melaksanakan misi ini maka pemerintah yang diwakili oleh Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (PPN). Lembaga ini bertugas melakukan upaya restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk menyehatkan perankan secara keseluruhan. Salah satu permasalahan yang mendapat sorotan dalam menyehatkan perbahkan nasional adalah menyelesaian kredit bermasalah tingkat kredit bermasalah yang terus meningkat dan tidak terselesaikan akan menyulitkan perbankan memulihkan kondisinya. Untuk memberikan kemudahan dalam menyelesaikan kredit bermasalah maka Undang-Undang. Perbankan memberikan alternatif kepada bank sebagai. kreditur untuk mengambil pelunasan utangnya atas kredit yang telah dinyatakan macet dengan melakukan pembelian atas jaminan kredit yang diagunkan oleh nasabah. Ketentuan ini juga mewajibkan bank untuk menjual kembali jaminan kredit yang telah dibelinya tersebut dalam jangka waktu satu tahun. Kaitan yang timbul antara kemudahan yang di berikan oleh Undang-Undang Perbankan ini dengan ketentuan hukum jaminan kebendaan terutama mengenai peralihan hak atas transaksi pembelian dan penjualan kembali jaminan. kredit atas kredit yang telah macet akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S21135
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>