Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143903 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Salah satu rukun perkawinan menurut hukum Islam adalah adanya wali untuk calon pengantin perempuan. ketidakadaan wali bapak kandung bagi anak perempuan yang ingin melangsungkan pernikahan dapat mengakibatkan pernikahan tersebut menjadi tidak dapat dilaksanakan baik menurut hukum Islam maupun Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Agar pernikahan tersebut dapat dilaksanakan perlu adanya penujukan melalui penetapan Pengadilan Agama sebagai pengganti wali bapak kandung. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah (1) alasan apa yang dapat digunakan bapak kandung untuk menolak menjadi wali dalam pernikahan anak kandungnya (2) Bagaimanakah prosedur dan syarat-syarat penunjukan wali hakim,serta kendala atau hambatan dalam penunjukan wali hakim tersebut (3)Apakah bapak dari anak perempuan tersebut, dapat mengajukan pembatalan terhadap pernikahan anak perempuannya yang dilakukan dengan wali hakim, dan bagaimana prosedur permohonannya. Sedangkan penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum Perkawinan Islam mengenai Keberadaan wali Hakim sebagai pengganti wali orang tua yang adhol (enggan) dalam proses permohonan ijin nikah di Pengadilan Agama Depok dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mencari data sekunder dengan melakukan studi dokumen. Secara yuridis penetapan Pengadilan Agama Depok tertanggal 4 Agustus 2003 nomor 01/Pdt.P/2003/PA.Dpk, yang telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung nomor: 13 K/AG/2004 telah memiliki putusan hukum tetap atas penetapan wali hakim sebagai pengganti wali bapak kandung yang adhol. Sebagai kesimpulan yaitu (1) orang tua atau bapak kandung berhak menolak menjadi wali apabila anak tersebut telah pindah agama atau calon menantu tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 atau Kompilasi Hukum Islam. Prosedur permohonan wali Hakim di Pengadilan Agama dapat dibagi atas dua tahap, yaitu tahap pendaftaran atau tahap sebelum persidangan dan tahap persidangan, dan orang tua atau wali nasab dari anak perempuan tersebut, dapat mengajukan pembatalan penetapan wali hakim untuk menggantikan wali nasab dengan mengajukan permohonan pembatalan penetapan pengadilan agama."
[Universitas Indonesia, ], 2008
S22131
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qathrun Nada
"Perempuan ibu kandung kepala keluarga tidak pernah diperhitungkan sebagai wali nikah dalam fikih mainstream dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Perwalian yang termaktub dalam bingkai hukum Islam di Indonesia hanya memberikan otoritas penuh pada ayah atau kerabat dari garis ayah. Permasalahannya adalah pada kasus ibu tunggal yang menghidupi anaknya seorang diri, ia harus tereliminasi daripada perwalian anaknya. Berdasarkan hal ini tentu perlu adanya peninjauan ulang, dengan melihat kembali pengalaman ibu kepala keluarga yang selama ini sosoknya tereliminasi dari peran perwalian. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode studi kasus dengan perspektif feminis. Penelitian ini menggunakan kajian kepustakaan, wawancara mendalam serta observasi partisipatif untuk menelusuri tiga subjek utama wawancara yang memiliki pengalaman ibu kepala keluarga pada kasus perwalian pernikahan anak perempuan. Penelitian ini menghasilkan tiga hal, pertama, pelaksanaan atas illat (alasan hukum) perwalian memposisikan ketidaksetaraan terhadap perempuan khususnya ibu kepala keluarga, kedua, melalui penelusuran penghayatan pengalaman ibu kepala keluarga proses pengalaman perwalian pernikahan berdampak terjadinya berbagai tindak kekerasan dan kerentanan pada ibu serta anak perempuan, ketiga, pengalaman penghidupan perempuan ibu kepala keluarga sangat ideal untuk direfleksikan menjadi illat hukum fikih alternatif.

The biological mother of the head of the family is never considered as a marriage guardian in mainstream jurisprudence and the Compilation of Islamic Law in Indonesia. Guardianship as stipulated in the framework of Islamic law in Indonesia only gives full authority to the father or relatives from the father's line. The problem is that in the case of a single mother who supports her daughter alone, she must be eliminated from the guardianship of her daughter. Based on this, of course, there needs to be a review, by looking back at the experience of the head of the family whose figure has so far been eliminated from the role of guardianship. This qualitative research uses a case study method with a feminist perspective. This research uses a literature review, in-depth interviews, and participant observation to explore the three main interview subjects who have experiences of mothers as heads of families in cases of guardianship over daughters' marriages. This research produces three things, first, the implementation of illat (legal reasons) for guardianship positions inequality towards women, especially mothers who are heads of families, second, through tracing the appreciation of the experiences of mothers who are heads of families, the process of marital guardianship experiences results in various acts of violence and vulnerability for mothers and daughters. , thirdly, the livelihood experiences of women heads of families are ideal to be reflected into alternative legal jurisprudence."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irianita Kirana
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amalia
"Pencatatan sangat penting untuk keabsahan suatu perkawinan karena demi kepastian hukum dan ketertiban hukum bagi subyek hukum. Karena Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah, untuk melaksanakannya harus memenuhi rukun dan syarat menurut hukum perkawinan Islam dan tidak boleh melanggar rukun dan syarat tersebut. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum. Untuk membuktikan adanya perkawinan tidak cukup hanya dibuktikan dengan adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berupa Akta nikah yang merupakan alat bukti sempurna. Menurut Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, untuk perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka yang beragama Islam untuk melakukan itsbat nikah. Untuk dapat melakukan itsbat nikah terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemoho Itsbat nikah. Dalam tesis ini penulis mengangkat permasalahan mengenai itsbat nikah yang dilaksanakan sebelum dan setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan melakukan penelitian pada pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Kota Depok. Untuk mendapatkan bahan hukum primer, penulis melakukan wawancara dan menggunakan peraturan perundang-undangan. Untuk memperoleh bahan hukum sekunder menggunakan literatur-literatur. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa Hakim dalam mengabulkan itsbat nikah harus berpedoman pada pedoman perilaku Hakim Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29831
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Nurul Afiah
"UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya perkawinan menganut asas monogami terbuka, dengan maksud masih diperbolehkan adanya perkawinan poligami apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Menurut agama Islam diperbolehkan berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Walaupun sudah ada peraturan yang mengatur poligami namun masih saja terdapat poligami yang tidak memenuhi syarat, salah satunya karena tidak adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri terdahulu. Terlihat dengan adanya putusan Pengadilan Agama Depok No.324/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang Pembatalan Perkawinan Poligami. Permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah bagaimana pengaturan, akibat dan upaya yang dilakukan dari pembatalan perkawinan poligami ditinjau dari Hukum Islam, UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, serta analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Depok No.324/Pdt.G/PA.Dpk.
Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan didukung dengan wawancara kepada narasumber dan tipologi penelitiannya deskriptif analitis. Dari penelitian penulis didapatkan bahwa pengaturan mengenai pembatalan perkawinan poligami ditinjau dari Hukum Islam diatur dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 22,23,24, sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 22, dan Pasal 24. Menurut KHI diatur dalam Pasal 71 huruf a. Adanya keputusan pembatalan perkawinan dari pengadilan menimbulkan akibat hukum terhadap status/kedudukan suami isteri, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, harta bersama, dan terhadap pihak ketiga. Kemudian upaya hukum yang dapat dilakukan oleh isteri/isteri-isteri mengajukan pembatalan perkawinan ke pengadilan. Putusan Pengadilan Agama Depok No.324/Pdt.G/2006/PA.Dpk telah sesuai dengan Hukum Islam, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI.

Regulation No. 1 of 1974 on Marriage essentially adheres to the principle of open monogamy marriages, with the intention of the allowance of polygamy marriages if desired by the individual in question because the law and religion from those individuals allow it. According to the Islamic religion, polygamy is allowed if the necessary terms are fulfilled. Even though there isa regulation that governs polygamy, but there are still polygamous marriages that do not meet the requirement, one of the reasons being is that there are absent of consent from the current legal wife. With the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk on Aborted Nuptials, problems arising from this writing are how are the cancelation polygamous marriages regulated, affected and affronted from the perspective of Islamic Law, Regulation No. 1 of Islamic laws and then analysis of the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
The writer uses the method of normative judicial research along with interviews from sources and the typology of writing being analytical descriptive. From this research, the writer concludes that the law regarding cancelation of polygamous marriages from the perspective of Islamic law within the al-Qur’an An-Nisa Letter verse 22,23,24, while on Regulation No. 1 of 1974 is regulated in Article 1 verse 2, Article 2, Article 5, Article 22 and Article 24. According to Compilation of Islamic Law in Article 71 (a), there are decisions on cancellation by courts that gives legal affect towards the status of the bride and groom in question, their sons and/or daughters from the marriage, their shared wealth, and towards the third party. Consequently, the remedy that can be obtained by the wife/wives is to cancel the marriage in front of the court. The Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk is within the scope of Islamic Law, Regulation No. 1 of 1974 and Compilation of Islamic Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54147
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RR. Silvy Hapsari
"QS.An-Nisaa' (4) : 35 mengatur penyelesaian jika terjadi perselisihan diantara suami isteri, yaitu dengan cara menunjuk seorang hakam dari keluarga masing-masing pihak untuk mengusahakan perdamaian diantara mereka. Sulitnya menemukan orang yang mampu bertindak sebagai hakam membuat tugas. itu menjadi tanggung jawab pemerintah, yang dalam hal ini di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga BP4."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20454
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Utek Elfianna
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusmiati
"Penelitian ini mengkaji kedudukan itsbat nikah dalam perkawinan sirri setelah perceraian perkawinan pertama. Perkawinan sirri yang apabila telah memenuhi rukun dan syarat menurut agama dan kepercayaanya, maka terhadap perkawinan tersebut adalah telah sah menurut hukum agama. Namun demikian perkawinan sirri belum memiliki kekuatan hukum menurut hukum Negara. Untuk memperoleh pengakuan dari Negara, harus memenuhi persyaratan lanjutan yaitu berupa pencatatan perkawinan oleh Pejabat Pencatat Nikah. Terhadap perkawinan sirri tersebut dapat terlebih dahulu mengajukan itsbat nikah melalui Pengadilan Agama. Pertimbangan hukum bahwa saat pengajuan istbat nikah di Pengadilan Agama, para pemohon itsbat nikah tidak memperoleh izin poligami dari Pengadilan Agama, hakim dengan suara terbanyak kemudian menolak itsbat nikah para pemohon. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai akibat hukum atas penolakan itsbat nikah atas perkawinan sirri setelah perceraian perkawinan pertama; dan upaya hukum perkawinan sirri tersebut agar dapat dicatatkan. Untuk menjawab permasalahan tersebut menggunakan metode penelitian berbentuk yuridis normatif yakni melakukan pengkajian berdasarkan norma dan kaidan hukum positif di Indonesia. Analisa data dilakukan secara preskriptif yang bertujuan mendapatkan jalan keluar atas permasalahan itsbat nikah yang ditolak oleh Pengadilan Agama dan upaya hukum yang dapat dilakukan agar perkawinan sirri tersebut dapat dicatatkan. Hasil analisis akibat hukum dari penolakan itsbat nikah setelah perceraian perkawinan pertama berdampak pada status perkawinan, anak dan harta perkawinan. Status perkawinan tetap sebagai perkawinan sirri yaitu tidak adanya pengaturan secara tegas mengenai pemberian nafkah dan antara suami istri tidak dapat saling mewaris; terhadap status anak walaupun dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan ayahnya namun tetap dianggap sebagai anak luar kawin; dan tidak dapat dibentuknya harta bersama selama perkawinan sirri berlangsung. Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku perkawinan sirri setelah penolakan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat berupa upaya Peninjauan Kembali agar perkawinannya dapat diitsbatkan atau kawin ulang di Kantor Urusan Agama atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

This study examines the position of itsbat nikah in sirri marriages after the divorce of the first marriage. Sirri marriage, which if it has fulfilled the pillars and conditions according to religion and belief, then the marriage is legal according to religious law. However, according to state law, sirri unions do not yet have legal force. To obtain recognition from the State, it must meet further requirements, namely marriage registration by the Marriage Registrar. Against sirri marriages, they can first apply for a marriage itsbat through the Religious Courts. Legal considerations are that when submitting a marriage certificate at the Religious Courts, the applicants for itsbat marriage did not obtain a polygamy permit from the Religious Court. The judge with the most votes then rejected the applicants' marriage certificate. The problems raised in this study are the legal consequences of refusing itsbat marriage for sirri marriages after the divorce of the first marriage; and legal efforts for the sirri marriage to be registered. To answer these problems, a research method is used in a normative juridical, namely, conducting an assessment based on the norms and rules of positive law in Indonesia. Data analysis was carried out prescriptively to find a solution to the problem of itsbat marriage, which was rejected by the Religious Courts and legal remedies that could be taken so that the sirri marriage could be registered. The results of the analysis of the legal consequences of refusing itsbat marriage after the first marriage divorce impact marital status, children and marital property. The marriage status remains as a sirri marriage, i.e. there is no explicit regulation regarding the provision of a living and between husband and wife cannot inherit each other; on the status of the child even though he may have a civil relationship with his mother and father but is still considered a child out of wedlock, and joint property cannot be formed during a sirri marriage. Legal remedies that can be taken against the perpetrators of unregistered marriages after the refusal of the marriage certificate by the Religious Courts based on a decision that has permanent legal force can be in the form of a judicial review so that the marriage can be legalized or remarried at the Office of Religious Affairs or in the presence of a Marriage Registrar."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karna A. Kusnadi
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S20364
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.R. Sari Hardiani
Depok: Universitas Indonesia, 1996
S21911
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>