Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96074 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2001
S23490
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan belum sepenuhnya berdasarkan asas pemberian perlindungan yang seimbang bagi para pihak yang terkait dan berkepentingan dalam kepailitan sebagaimana diatur dalam pasal 1 undang-undang tersebut...."
JHB 17 (2002)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lumban Gaol, Selamat
"Kepailitan sebagai suatu sarana hukum penagihan dan penyelesaian hutang piutang antara kreditur dengan debitur, memberikan keseimbangan hak dan kewajiban serta kedudukan antara debitur dengan kreditur. Kedudukan bank dalam kepailitan dapat bertindak selaku kreditur tidak seimbang dengan kedudukannya selaku debitur. Bank selaku kreditur dapat bertindak sebagai pemohon pailit, sebagai kreditur lain, sebagai Pihak Pemohon Kasasi meskipun tidak merupakan pihak pada tingkat pengadilan niaga. Sedangkan bank dalam kedudukannya selaku debitur tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya, undang-undang Kepailitan memberikan hak untuk itu, hanya kepada Bank Indonesia. Walaupun undang-undang Kepailitan dan Undang-undang Perbankan sama-sama mengakui bahwa bank dapat dimohonkan oleh krediturnya dan dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang, akan tetapi Bank Indonesia, tidak pernah menggunakan upaya kepailitan terhadap bank dalam penyelesaian kewajiban hutang-piutangnya, melainkan cenderung menerapkan pencabutan izin operasional dan likuidasi bank yang bersangkutan.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif, yaitu putusan-putusan pengadilan mengenai Kepailitan terhadap bank tersebut dianalisis secara mendalam atas peristiwa, fakta-fakta, pertimbangan hukum dan amar putusannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa debitur yang menjalankan usaha bank dapat dimohonkan pailit oleh pemohonnya dan pengadilan dapat menyatakan bank pailit. Benerapan kepailitan terhadap bank lebih efektif bila dibandingkan dengan penerapan pencabutan izin dan likuidasi bank. Yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang menjalankan usaha bank ke pengadilan, bukan hanya Bank Indonesia raja, melainkan Krediturnya dan Kejaksaan demi kepentingan umum. Dan debitur yang menjalankan usaha bank tidak dapat mengajukan dan memohonkan pailit atas dan terhadap dirinya sendiri. Apabila Bank Indonesia menolak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Bank dalam penyelesaian kewajiban hutang-piutangnya, maka krediturnya dapat mengajukan permohonanya tersebut secara langsung ke pengadilan yang berwenang atau kreditur mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara terhadap Bank Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E. Wulandari S.
"Undang-undang Kepailitan yang berlaku saat ini adalah Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan yang selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan. Undang-undang ini hanya mengubah Undang-undang Kepailitan yang lama, yaitu Faillissementsverordening. Berarti Faillissements-verordening tetap dinyatakan berlaku selama tidak diubah dengan Undang-undang. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan menyebutkan syarat-syarat seseorang dapat dipailitkan, yaitu sedikitnya memiliki dua orang kreditur dan sedikitnya memiliki satu utang yang telah jatuh waktu (jatuh tempo) da dapat ditagih. Perkara pailit harus dibuktikan secara sederhana atau sumir. Artinya Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi (pasal 6 ayat (3) Undang-undang Kepailitan). Setelah debitur dinyatakan pailit, maka debitur kehilangan hak untuk menguruh hartanya yang termasuk dalam harta pailit. Hak tersebut beralih kepada kurator sejak pernyataan pailit dijatuhkan. Menurut pasal 12 Undang-undang Kepailitan, jika nantinya ternyata putusan pernyataan pailit tersebut dibatalkan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali, maka segala tindakan kurator tetap sah dan mengikat. Pada Pengadilan Niaga permohonan pailit terhadap PT Hutama Karya ditolak, PT Hutama Karya dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Namun, Putusan Pernyataan Pailit terhadap PT Hutama Karya tersebut dibatalkan pada tingkat Peninjauan Kembali."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S24066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nasution, Disriani Latifah S.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22330
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Ersan
"Kredit Sindikasi merupakan suatu jenis kredit dimana terdapat lebih dari satu kreditor dan terdapat sebuah agent yang telah ditunjuk oleh para kreditor untuk mewakili kepentingan mereka. Permasalahan yang seringkali terjadi dalam kasus kredit sindikasi adalah tidak adanya kepastian hukum tentang kewenangan kreditor peserta kredit sindikasi dalam mengajukan permohonan pailit tanpa melalui agent bank. Hal ini mengakibatkan banyak pihak selaku kreditor peserta kredit sindikasi merasa ketidakadilan penerapan hukum yang dijatuhkan oleh hakim.
Dalam kasus ini yang menjadi pihak pemohon pailit adalah salah satu kreditor peserta sindikasi yaitu PT. Bank IFI, sedangkan pihak termohon pailit (debitor/nasabah) yaitu PT. SUBUR AGROSINDO SEILZRAS, dan pihak agent adalah bank yang ditunjuk oleh bank-bank lain selaku kreditor peserta sindikasi yaitu PT. Bank Niaga. Permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Bank IFI ditolak karena majelis hakim berpendapat bahwa PT. Bank IFI tidak berwenang dalam mengajukan permohonan pailit, seharusnya yang dapat mengajukan pailit hanya Bank Niaga selaku agent bank selaku pihak yang diberi kuasa mutlak oleh para kreditor untuk mewakili kepentingan kreditor serta bertindak untuk dan atas nama kreditor. Setelah permohonan pailitnya ditolak, PT. Bank IFI mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan kasasinya kembali ditolak oleh Hakim Agung dengan alasan yang serupa. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak memberikan definisi yang jelas mengenai hal tersebut, akan tetapi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah mernberikan jawaban yang pasti mengenai hal tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candy Nurul Khasanah
"Skripsi ini membahas mengenai kepailitan yang permohonannya diajukan oleh debitor sendiri (voluntary petition) berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU serta UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penulis melakukan tinjauan yuridis terhadap kasus kepailitan PT. Mandala Airlines yang permohonannya diajukan oleh perseroan itu sendiri sebagai debitor pailit. Untuk mengetahui bagaimana pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor sendiri, maka dibahas juga mengenai perbandingan voluntary petition di Indonesia dengan negara Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif untuk menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah apakah penerapan kepailitan yang diajukan debitor sendiri telah sesuai pelaksanaannya berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 dan apakah telah menerapkan prinsip commercial exit from financial distress bagi debitor yang berupa perseroan. Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai aspek hukum terhadap pengajuan pailit oleh debitor sendiri (voluntary petition) berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004.

This thesis discusses about bankruptcy which is filed by the debtor (voluntary petition) based on Bankruptcy and Suspension of Payment Law No. 37 Year 2004 and Company Law No. 40 Year 2007. The author also did a juridical analysis towards the bankruptcy case of PT. Mandala Airlines, whereas the request for bankruptcy was initiated by the company as a debtor. Commenting on the above aspects, will be discusses about the comparison of voluntary petition between Indonesia and other countries that is United States, Japan, and Australia. The method of this research is qualitative normative interpretive to generate a descriptive analytical data. The primary issue for this thesis is the implementation of voluntary petition from the case study whether it was in accordance based on Bankruptcy and Suspension of Payment Law No. 37 Year 2004. And then the applicability of the bankruptcy principle "commercial exit from financial distress" especially for the corporate debtor. Therefore, with the research can solve this problem about voluntary petition based on Bankruptcy and Suspension of Payment Law No. 37 Year No. 2004.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Andika Yoedistira
"Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tenlang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan rumusan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. Dalam Undang-undang Kepailitan terkandung pasal-pasal yang merupakan hukum materiil kepailitan dan pasal-pasal yang merupakan hukum formil kepailitan. Sebagai hukum formil, Undang-Undang Kepailitan harus dapat menjamin adanya kepastian hukum dan terciptanya keseimbangan antara kepentingan debitor di satu sisi dengan kepentingan kreditor di sisi lainnya dalam proses kepailitan. Demikian juga halnya dengan sistem pembuktian dalam kepailitan, dalam fungsinya sebagai sarana untuk menentukan telah terjadinya suatu kepailitan, maka sistem pembuktian dalam kepailitan haruslah mengakomodir kepentingan kreditor sebagai pihak yang berpiutang maupun debitor sebagai pihak yang berutang untuk menjamin keseimbangan dalam proses acara dan pembuktiannya. Dalam konteks ini Hukum Acara dan sistem pembuktian yang terdapat dalam Undang-undang Kepailitan- PKPU khususnya pada acara permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor ( voluntary petidon) belumlah mencerminkan adanya keseimbangan pengaturan dan perlindungan bagi kreditor. Tidak adanya kewajiban pemanggilan bagi kreditor dalam voluntaty petition yang dikombinasikan dengan acara singkat dan sistem pembuktian secara sederhana dalam kepailitan cenderung melemahkan posisi kreditor sebagai pihak yang berpiutang dalam proses kepailitan dalam menghadapi posisi debitor sebagai pihak yang berhutang.

Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and the Suspension o f the Payment of debts provides a definition that Bankruptcy is a general confiscation on all the assets o f the Bankrupt Debtor. These assets are taken care o f and handled by the Curator under the supervision of the Supervising Judge as governed by this Law. The Law of Bankruptcy contains articles that are material law of bankruptcy as well as articles that are procedural. As a procedural law, the Law o f Bankruptcy must secure the legal certainty and the balance between the interest o f the debtor on one hand and the interest of the creditor on the other hand in the process of bankruptcy. The same approach applies as well in the Evindentiary System. In conjunction with its function as tool to determine the occurence of bankruptcy, the evidentiary system must accomodate the interest of the creditor as well as the interest of the debtor in order to uphold the equality of principle in the trial process and its evidentiary process. Within this context, the procedural law and the evidentiary system stipulated under the Law Number 37 Year 2004, especially on the phase of filing of a bankruptcy declaration request (voluntary petition), has not yet reflected the equality of governance and protection for the creditor. The lack of obligation by the creditor in a voluntary petition that is followed by a short trial process and a simple evidentiary system has relatively weakened the position of the creditor in the bankruptcy process in facing the position of the debtor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37374
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>