Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226136 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Dalam penetapan Bea Masuk terdapat enam metode (pasal 15 UU
No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan), namun tidak jarang
Direktorat Jendral Pajak c.q. Kantor Pelayanan Bea dan Cukai
menetapkan tidak berdasarkan hieraki yang ditetapkan oleh
undang-undang. Kantor Pelayanan dalam menetapkan nilai pabean
selalu menggunakan plafond harga apabila mereka tidak mengerti
terhadap barang yang diimpor. Perlakuan tersebut sangat
merugikan importir karena selalu penetapan KPBC lebih tinggi
daripada nilai yang dilaporkan dalam PIB oleh importir.Sarana
yang digunakan oleh KPBC untuk mengoreksi nilai pabean adalah
Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk (SPKPBM)
atau yang umumnya disebut Nota Pembetulan. Dengan terbitnya
SPKPBM upaya hukum yang ditempuh oleh wajib pajak secara
hierarki adalah upaya keberatan kepada Direktorat Jendral Bea
dan Cukai dan banding Ke Pengadilan Pajak. Pada tahap keberatan
pada umumnya wajib pajak dalam posisi yang lemah, sehingga
upaya banding WP sering tidak diterima kecuali diadakan audit.
Akan tetapi dalam upaya Banding tidak jarang WP yang
dimenangkan. Namun keberhasilan WP di tingkat banding tidak
disertai kemenangan didalam prakteknya. WP dipersulit untuk
mengambil Customs Bond serta restitusi. Fiskus menolak untuk
memberikan imbalan bunga kepada WP. Upaya hukum yang dapat
ditempuh WP adalah gugatan baik lewat Perdata maupun PTUN.
Tindakan fiskus tidak memenuhi kewajiban membayar imbalan bunga
dapat digugat lewat jalur perdata, sedangkan tindakan
mempersulit dapat ditempuh lewat jalur Peradilan TUN. Custom
Bond dalam yang digunakan dalam bidang kepabeanan secara
yuridis menggunakan konstruksi hukum Penanggungan (Borghtoch)
seperti yang diatur dalam pasal 1820 KUH Perdata."
[Universitas Indonesia, ], 2004
S23791
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kim Min Soo
"Lemahnya posisi tawar lessee seringkali dimanfaatkan oleh
lessor yang berpotensi merugikan pihak lessee. Lessor
selalu memanfaatkan keunggulan ekonomis dalam melakukan
perjanjian dengan lessee.Perjanjian leasing seringkali
mengandung klausula standar atau klausula eksonerasi yang
merugikan pihak lessee. Pihak lessee tidak mempunyai
pilihan lain kecuali menerima perjanjian yang dibuat pihak
lessor (take it or leave it). Permasalahan skripsi ini
membahas mengenai kekuatan hukum suatu perjanjian yang
lahir dari adanya penyalahgunaan keadaan (undue influence)
ditinjau dari Hukum Perjanjian Indonesia. Kedua pembahasan
mengenai upaya hukum apa yang dapat ditempuh pihak lesse
yang kepentingannya dirugikan oleh lessor. Bahwa kebebasan
berkontrak sebagaimana diatur dalam KUH-Perdata
keberlakuannya tidaklah absolut. Salah satu yang
membatasinya adalah berupa syarat objektif yaitu kausa
yang halal. Bahwa berdasarkan kausa yang halal perjanjian
yang dibuat tidak boleh memanfaatkan keunggulan ekonmis
berupa penyalahgunaan keadaan yang merugikan pihak lessee.
Dengan demikian perjanjian yang menyalahgunakan keadaan
(penyalahgunaan keunggulan ekonomis) berakibat batal demi
hukum, karena selain tidak memenuhi syarat objektif sahnya
perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1320 (4)
KUH-Perdata juga mengandung kesepakatan semu. Pihak lesse
yang merasa dirugikan secara materil dapat menempuh upaya
hukum berupa pembatalan melalui peradilan perdata dengan
gugatan perbuatan melawan hukum (vide Pasal 1365 KUH
Perdata). Hakim dapat membatalkan sebagian perjanjian
klausula yang dipandang merugikan (tidak adil) atau bahkan
membatalkan seluruh isi perjanjian (void ab initio)."
Depok: [Universitas Indonesia;;, ], 2005
S21139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helsi Yasin
"Dalam suatu perjanjian pemborongan (pelaksanaan pekerjaan), pihak pemberi pekerjaan (obligee) biasanya mewajibkan kontraktor (principal) menyediakan suatu surat jaminan. Kewajiban principal ini biasanya dituangkan dalam suatu kontrak kerja antara obligee dan principal. Tanpa adanya surat jaminan ini obligee tidak akan pernah bersedia menjalin kerjasama dengan principal, karena hal ini memang diwajibkan oleh pemerintah. Sebelum keluarnya Keppres No. 14 A / 1980, surat jaminan ini biasanya diterbitkan oleh Bank dalam bentuk garansi bank, tetapi setelah keluarnya Keppres tersebut, surat jaminan ini dapat dikeluarkan oleh lembaga keuangan non bank dalam bentuk surety bond. Walaupun surety bond ini mempunyai banyak kelebihan dan kemudahan untuk memperolehnya, tapi banyak pihak lebih menyukai bank garansi sebagai surat jaminan. Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, di mana datanya diambil dari kepustakaan ( c.ni.-i sekunder ) dan lapangan ( data primer ). Ketidakpopu lerar; surety bond ini menyebabkan timbul keraguan, ke dalam perjanjian yang mana surety bond ini dapat dikategorikan dan kenapa pemerintah mengeluarkan lagi surat jaminan surety bond ini sebagai alternatif bank garansi. Padahal kenyataannya bank garansi sudah demikian diminati oleh para pelaku pasar terutama oleh obligee dan para pemilik proyek, sehingga para kontraktor golongan ekonomi lemah tetap berada pada sisi yang tidak menguntungkan. Untuk memperoleh bank garansi ini, biasanya pihak bank membutuhkan kontra garansi yaitu agunan ( collatéral ) berupa dana nasabah yang diblokir oleh bank. Kurang percayanya obligee kepada surety bond disebabkan surat jaminan yang dikeluarkan oleh surety company ini untuk memperolehnya tidak memerlukan kontra garansi sebagaimana halnya pada bank garansi sehingga menimbulkan keraguan di pihak obligee, apalagi proses pencairan klaimnya mempergunakan prinsip-prinsip asuransi yang dianggap berbelit-belit oleh obligee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Djoko Triwibowo
"Pembicaraan mengenai "Perjanjian Penanggungan" tidak lain bahwa ia merupakan bagian dari hukum jaminan yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang kreditur terhadap debitur.
Penggunaan istilah "penanggungan" atau "perjanjian penanggungan" sebagai terjemahan dari istilah borgtach t tidak memberikan kesan adanya benda tertentu sebagai jaminan dan ini memang panting ditekankan, agar tampak perbedaannya dengan jaminan kebendaan. Kata "penanggungan" mempunyai kaitan dengan soal "menanggung". yang berarti di sana ada sesuatu yang "ditanggung" akan terjadi dan ini menampilkan ciri eccesssair dari perjanjian penanggungan yang merupakan ciri khas perjanjian seperti itu.
Istilah "menanggung utang" juga digunakan untuk mereka yang menjamin perikatan orang lain dengan "benda tertentu" miliknya. Demikian pula. dengan istilah "jaminan pribadi" bisa menimbulkan kesan. seakan-akan "diri pribadi" penjamin yang dibenikan sebagai jaminan. yang demikian itu tidak betul. Sebab. kalau yang dimaksud dengan "menanggung" itu hanya diartikan bahwa prestasi debitur dijamin akan terlaksana. kalau perlu penjamin sendiri yang akan melakukannya tidaklah tepat karena prestasi yang berupa tindakan untuk melaksanakan sesuatu tidak selalu dapat digantikan oleh orang lain. Apalagi untuk prestasi yang berupa "tidak melakukan sesuatu". Padahal. kewajiban perikatan dengan isi seperti itu dapat dijamin dengan penanggungan.
Perjanjian garansi. pada intinya merupakan suatu perjanjian. dimana pemberi garansi (,.rant) menjamin bahwa seseorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu. yang biasanya --tetapi tidak selalu dan tidak harus--berupa tindakan "menutup suatu perjanjian tertentu". Seorang pemberi garansi mengikatkan diri secara bersyarat untuk memberikan ganti rugi. kalau pihak ketiga--yang dijamin--tidak melakukan perbkatan. untuk mana ia memberikan garansinya dan nanti dalam tesis ini akan dapat dilihat. bahwa perjanjian penanggungan juga mengandung unsur menjamin pelaksanaan kewajiban perikatan tertentu dari seorang debitur sehingga seringkali sulit untuk membedakan antara keduanya.
Adapun yang dapat bertindak sebagai penanggung dalam perjanjian penanggungan bisa dilakukan oleh; perorangan (borotochtl, perusahaan tcorpor.fft9 guarantee!. bank (g-zrrzrnsi bank)_ perusehaen esrrran si (surety bond). den g a n membawa akibatFkonsekuensi yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai penanggung dalam perjanjian penanggungan. Konsekuensinya. Isi prestasinya bisa bermacam-macam. tergantung dari apa yang--berdasarkan perikatan pokok yang dijamin--ditinggalkan debitur. tidak dipenuhi atau berupa janji ganti rugi senilai itu."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrian Putra Wibawa
"Memunculkan perilaku positif karyawan tidak terjadi begitu saja, ada berbagai cara memunculkannya, salah satunya dengan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman bagi karyawan. Salah satu faktor yang mempengaruhi terciptanya perilaku positif adalah adanya fun at work di lingkungan kerja. Namun hingga saat ini masih sangat minim penelitian terdahulu yang menjadikan konsep fun at work lebih khususnya fun at work di lingkungan ASN sebagai objek penelitian. Dengan berfokus pada pegawai KPU Bea dan Cukai XYZ,penelitian ini bertujuan unutk mengeksplorasi persepsi fun at work bagi ASN dan mengetahui strategi untuk mengelola fun at work menurut persepsi ASN.

Metodologi penelitian ini adalah studi kualitatif terhadap 12 orang ASN dengan metode pengumpulan data semi structured in depth inteview. Berdasarkan pengumpulan data dan analisis menunjukan bahwa, fun at work dipersepsikan sebagai: pedang bermata dua yang dianggap sebagai penyeimbang identitas ASN, juga pendobrak norma yang selama ini lekat dengan ASN. Lebih lanjut fun at work dimanifestasikan oleh para partisipan sebagai fleksibilitas dalam bekerja. Selanjutnya penelitian ini menunjukan bahwa pentingnya proporsionalitas dalam penerapan fun at work di sektor publik. Dimana kuncinya ada pada kadar yang seimbang antara fun at work dan produktivitas.

Berdasarkan temuan, penelitian ini berkontribusi terhadap konsep fun at work dalam konteks pelayanan publik dan ASN di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan organisasi sektor publik untuk merencanakan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya fun at work di lingkungan kerja ASN.


Bringing out positive employee behavior doesn't come out of blue, there are various ways to create it, one of which is by creating a comfortable work environment for employees. One of the factors that influences the creation of positive behavior is to create fun at work environment. However, until now there is still very little research that used the concept of fun at work as it focus, specifically fun at work in the public sector, as an object of the research. By focusing on XYZ Customs and Excise Office employees, this research aims to explore the perception of fun at work for ASN and find out strategies for managing fun at work according to ASN's perception.

This research methodology is a qualitative study of 12 ASN using a semi-structured data collection method through in-depth interviews. Based on data collection and analysis, it shows that fun at work is perceived as: a double-edged sword. Then fun at work is considered as a balance to the identity of ASN, then it is perceived as a tool to break the norms that have been attached to ASN. Furthermore, it is also realized by the participants as flexibility at work. Furthermore, this research shows the importance of proportionality in the application of fun at work in the public sector. Where the key is a balanced level of fun at work and productivity.

Based on the findings, this research contributes to the concept of fun at work in the context of public services in Indonesia. The results of this research can be used as a reference for public sector organizations to plan policies that support the creation of fun at work in the ASN work environment."

Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Reihansyah
"Pasar modal merupakan salah satu sarana yang digemari oleh perusahaan untuk memperoleh tambahan dana demi menjamin keberlangsungan usahanya, dimana diperdagangkan efek bersifat kepemilikan dan efek bersifat utang. Salah satu efek bersifat utang yang paling digemari adalah obligasi, seperti PT Wijaya Karya Tbk. yang menerbitkan obligasi bunga abadi atau yang dikenal juga dengan sebutan perpetual bond pada tahun 2019. Pada tahun yang sama Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.04/2019 Tahun 2019 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang Dilakukan Tanpa Melalui Penawaran Umum (“POJK 30/2019”) yang mengatur mengenai perpetual bond. Padahal, pada tahun 2018 OJK sudah memastikan bahwa tidak diperlukan adanya pengaturan khusus mengenai perpetual bond. Penelitian ini mencoba untuk meneliti apakah memang diperlukan adanya pengaturan perpetual bond dan bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegangnya dengan bentuk penelitian yuridis normatif dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan primer, sekunder, dan tersier. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengaturan perpetual bond diperlukan guna memberikan perlindungan hukum yang jelas mengingat banyaknya risiko perpetual bond, demi mendukung adanya kepastian hukum, serta guna memenuhi amanat dari Declaration Summit on Financial Markets and The World Economy. Kemudian perlindungan hukum yang diberikan berbentuk preventif dan represif berupa pengaturan syarat-syarat penerbitan perpetual bond, pembatasan pihak-pihak yang dapat melakukan penerbitan maupun pihak yang dapat melakukan pembelian, keberadaan agen pemantau, kewajiban penerbit untuk menyampaikan dokumen penerbitan yang terdiri dari surat pengantar dan memorandum informasi, kewajiban pelaporan oleh penerbit dan agen pemantau kepada OJK, pemberian sanksi administratif, serta keberadaan wali amanat dalam hal penerbit wanprestasi.

The capital market is one of the favorite means for companies to obtain additional funds to ensure the continuity of their business, where ownership securities and debt securities are traded. One of the most popular debt securities is bonds, such as PT Wijaya Karya Tbk. which issues perpetual bond in 2019. In the same year the financial services authority, Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) issued OJK Regulation Number 30/POJK.04/2019 Year 2019 concerning Issuance of Debt Securities and/or Sukuk Conducted Without Public Offering (“POJK 30/2019”) which regulates perpetual bonds. In fact, in 2018 OJK has ensured that there is no need for special arrangements regarding perpetual bonds. This study tries to examine whether there is really a need for a perpetual bond regulation and how legal protection is given to the holder in the form of normative juridical research and using library materials such as primary, secondary, and tertiary materials. From this research, it can be concluded that the regulation of perpetual bonds is needed to provide clear legal protection considering the many risks of perpetual bonds, to support legal certainty, and to fulfill the mandate of the Declaration Summit on Financial Markets and The World Economy. Then the legal protection provided is in the form of preventive and repressive forms in the form of setting the conditions for the issuance of perpetual bonds, restrictions on parties who can issue and those who can make purchases, the presence of monitoring agents, the obligation of the issuer to submit issuance documents consisting of cover letters and information memorandum, reporting obligations by issuers and monitoring agents to OJK, administrative sanctions, as well as the presence of a trustee in the event that the issuer defaults.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Rizkiasih
"Surety Bond adalah suatu bentuk jaminan perusahaan yang diterbitkan oleh Perusahaan Asuransi (company guarantee), akan tetapi pelaksanaan Surety Bond berbeda dengan pelaksanaan asuransi. Didalam asuransi, yang dijamin adalah kerugian fisik dari suatu resiko, sedangkan Surety Bond menjamin resiko moral dan ketidakmampuan. Jadi, fungsi utama dari Surety Bond bukan untuk membayar ganti rugi, akan tetapi untuk menjamin bonadifitas dari principal dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
Didalam Surety Bond terdapat 3 pihak yang terlibat, yaitu 3 Perusahaan Asuransi sebagai penjamin (Surety), Kontraktor/pelaksana proyek (Principal), Pemilik Proyek (Obligee). Surety Bond mempakan alternatif jaminan selain dari Bank Garansi. Perbedaan yang mendasar dari kedua lembaga jaminan ini adaiah didalam Surety Bond tidak diperlukannya suatu jaminan/anggunan yang harus diberikan/ditahan , seperti
halnya didalam Bank Garansi.
Permasalahan dari tesis ini dibagi menjadi dua pokok permasalahan. Pertama adalah mengenai pelaksanaan Surety Bond di PT. Bumida 1967. Pelaksanaan Surety Bond di PT, Asuransi Bumida 1967, menerapkan ketentuan bahwa yang harus dilakukan oleh seorang Principal harus melalui tahapan prosedur yaitu: mengajukan surat
permohonan menjadi nasabah, mengajukan data perusahaan, dan menandatangani Surat Perjanjian Ganti Rugi. Dalam rangka penerbitan Surety Bond perlu diadakan pra-kualifikasi Iebih dahulu dengan melakukan penilaian terhadap Principal itu sendiri. Proses penilaian ini dilakukan oleh Underwriter PT. Asuransi Bumida 1967. Proses
penilaian tersebut meliputi Tahap penilaian Character, Tahap penilaian Capacity, Tahap penilaian Capital serta Condition, Collateral, dan penelitian administratif. Untuk mengajukan klaim kepada PT. Asuransi Bumida 1967 sebagai Penjamin, pihak Obligee harus mengajukan surat resmi pengajuan klaim, melampirkan dokumen-dokumen yang
berkaitan, sesuai dengan jenis jaminan dan dalam batas waktu pengajuan klaim. PT. Asuransi Bumida 1967 berhak meminta recovery klaim kepada Principal baik dengan melakukan pendekatan dengan pihak principal terlebih dahulu, secara langsung, maupun melalui jalur hukum. Kedua adalah mengenai tanggung jawab PT. Bumida 1967 dalam hal terjadi wanprestasi terhadap perjanjiannya. Tanggung jawab PT. Bumida 1967 adalah membayar klaim yang diajukan oleh Obligee sesuai dengan yang tertera di dalam polis. Dalam hal berakhirnya tanggung jawab PT. Asuransi Bumida 1967 adalah pada saat Principal memenuhi kewajibannya kepada Obligee dan Principal telah membayar
recovery klaim kepada PT. Asuransi Bumida 1967, karena PT. Asuransi Bumida 1967 telah membayar klaim kepada Obligee.
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka saran yang paling terpenting adalah bahwa pemerintah dan perusahaan asuransi dalam mensosialisasikan terhadap masalah Surety Bond ini kepada masyarakat saling bekerja sama dengan baik untuk memberikan informasi yang jelas dan tepat, sehingga didalam prakteknya tidak terjadi
kesalahpamahaman dalam penerapannya, selairi itu juga harus dibuat peraturan perundang-undangan yang jelas mengenai pengaturan Surety Bond ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T16265
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Hendra Luckyta
"Selama ini diketahui masyarakat yang beragama Islam denggan untuk menggunakan jasa bank konvensional karena menganggap bahwa bunga bank itu riba. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah. Sehubungan dengan penerapan prinsip syariah baik di bank syariah maupun di bank konvensional, banyak produk jasa yang ditawarkan dan salah satunya adalah jasa pembiayaan ijarah, yaitu transaksi sewa menyewa atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Bank syariah mengeluarkan produk jasa pembiayaan ijarah ini dikarenakan kebutuhan para pelaku usaha atau nasabah yang menginginkan penambahan asset, barang, atau jasa untuk dapat meningkatkan kegiatan usaha atau kegiatan kerja namun mempunyai keterbatasan didalam modal. Untuk melayani para pelaku usaha atau nasabah yang menginginkan jasa pembiayaan ijarah, Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah, mempunyai produk jasa ijarah al muntahiyah bi al tamlik yang disebut dengan jasa pembiayaan ijarah bai ut tajkiri. Dengan dikeluarkannya produk pembiayaan ijarah bai ut tajkiri ini membuat muncul nya permasalahan, bagaimana ketentuan mengenai akad pembiayaan ijarah bai ut tajkiri menurut hukum perikatan Islam, bagaimana penerapan prinsip syariah pada pembiayaan ijarah bai ut tajkiri di BNI Syariah, dan apakah pelaksanaan pembiayaan ijarah Bai ut tajkiri sudah sesuai dengan hukum perikatan Islam. Untuk menjawab semua permasalahan ini diadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan juga penelitian lapangan (field research). Hasil yang diperoleh adalah, ketentuan akad pembiayaan ijarah bai ut tajkiri sudah sesuai menurut hukum perikatan Islam, akad pembiayaan berpedoman pacta prinsip-prinsip syariah, dan pada pelaksanaannya pembiayaan ijarah bai ut tajkiri masih mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit di bank konvensional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21244
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Rakhmadita
"Indonesia dan Cina adalah anggota dari perjanjian TRIPS dan merupakan anggota dari WTO. Sebagai anggota dari WTO, Indonesia, dan China wajib mematuhi TRIPS dan karena itu ada beberapa ketentuan dalam TRIPS yang perlu diatur atau diubah dalam setiap peraturan perundang-undangan dari hak kekayaan intelektual masing-masing negara. Salah satunya adalah border measure sebagai sarana perlindungan oleh pabean terhadap barang-barang kekayaan intelektual yang diimpor atau diekspor, yang dipandang sebagai langkah efektif untuk menghentikan pelanggaran hak kekayaan intelektual karena dapat menghentikan barang yang melanggar tersebut sebelum memasuki dan beredar bebas dan luas ke pasar bebas. Salah satu mekanisme yang disebutkan dalam TRIPS adalah penegahan ex-officio. Dalam mendukung hal ini, ada mekanisme yang disebut sebagai perekaman yang memungkinkan pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual hak untuk merekam hak mereka di bea cukai. Sekarang, Indonesia dan Cina memiliki telah memiliki peraturan yang sama tentang perekaman dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan yang baru diberlakukan Nomor 40/PMK.04/2018 tentang tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Dalam membandingkan kerangka peraturan kedua negara ini, ada beberapa perbedaan dan persamaan yang ditemukan. Satu hal yang patut disebutkan, adalah bagaimana Indonesia tidak mengizinkan perusahaan asing yang didirikan untuk merekam hak mereka dalam sistem perekaman di bea cukai, tidak seperti China. Ditemukan dengan pendekatan teoritis bahwa sebenarnya ada beberapa poin yang mendukung mengapa Indonesia harus memasukkan perusahaan-perusahaan asing untuk diizinkan merekam hak mereka di bea cukai seperti, pertumbuhan ekonomi individu dan negara, merangsang produktivitas pasar, dan sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Both Indonesia and China are part of the TRIPS Agreement and are members of the WTO. As the members of WTO, Indonesia and China are obliged to comply to the TRIPS and therefore there are several provision in TRIPS that needs to be regulated or amended in each of the country 39s intellectual property regime. One of such is the border measures as the means of customs protection towards intellectual property goods that are being imported or exported, which is seen as an effective measure to stop the infringement of intellectual property right because it might stop the infringed goods before it enters into and circulated freely and broadly to the free market. One of the mechanisms mentioned in TRIPS is the ex officio detention. In supporting this authority, there is a mechanism called customs recordation that allows the owner or right holder of the intellectual property right to record their right in the customs. Now, Indonesia and China both have the same regulatory frameworks of customs recordation, by the newly enacted Minister of Finance Regulation Number 40 PMK.04 2018 concerning Recordation, Detention Penegahan, Guarantee, Suspension Penangguhan, Monitoring and Evaluation in Regards to The Control Over Imported or Exported Goods Suspected or Resulted from Intellectual Property Rights Infringement. In comparing the two countries regulatory frameworks, there are several differences and similarities that are found. One worth to be mentioned is how Indonesia does not allow foreign established companies to record their IPR in customs recordation system, unlike China. It is found by a theoretical approach that there are actually several points that support on why does Indonesia shall include foreign established companies in recordation system such as, it generates economic growth of individual and country, stimulate market productivity, and as a means to the development of science and technology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>