Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148753 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yukiko Lyla Usman
"Pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia seperti menemukan nadinya pada saat lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Anti Monopoli. Undang-undang ini merupakan jawaban dari keinginan begitu banyak pihak agar diadakannya peraturan yang mengatur mengenai masalah persaingan usaha. Undangundang ini juga mengatur didirikannya sebuah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan persaingan usaha dan menegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Badan ini disebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Setelah 5 tahun keberadaan undang-undang ini, pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia dapat dikatakan terlaksana dengan cukup baik. Kinerja KPPU dirasakan juga sangat baik dengan jumlah kasus yang cukup banyak yang ditangani. Namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan kendala-kendala, terutama dalam proses penanganan perkara persaingan usaha yang masuk ke KPPU. Hal ini dapat dibandingkan dengan pelaksanaan hukum persaingan usaha di Negara lain. Salah satu Negara yang sejak lama telah menegakkan hukum persaingan usaha adalah Amerika Serikat. Negara ini telah melindungi kegiatan usaha sejak tahun 1914 dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur mengenai masalah persaingan usaha dan monopoli. Selain itu Amerika Serikat juga memiliki tiga badan yang fungsinya adalah untuk menegakkan hukum persaingan usaha. Ketiga badan tersebut adalah, Antitrust Division of Department of Justice, The Federal Trade Commission, dan The Attorney General For Each States. Dengan pengalamannya yang sudah lebih lama maka tentunya pelaksanaan hukum persaingan usaha di Amerika relatif lebih baik. Hal ini yang mendasari dilakukannya perbandingan antara proses penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU dengan proses yang dilakukan oleh FTC di Amerika Serikat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S23758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Maulana Randa
"Hukum persaingan usaha adalah salah satu instrumen yang wajib ada di dunia global ini. Keberadaan hukum persaingan usaha mengharuskan adanya lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum persaingan usaha tersebut. Kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegak hukum persaingan usaha berdampak besar terhadap efektifitas penegakan hukum persaingan usaha. UU No. 5 Tahun 1999 mengamanatkan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia untuk dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Amerika Serikat adalah Negara yang sudah sejak dulu menegakkan hukum persaingan usaha, Federal Trade Commission Act melahirkan Federal Trade Commission (FTC), yaitu institusi penegak hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Kewenangan yang dimiliki FTC sangat besar. Perbandingan kewenangan antara FTC dan KPPU akan melihat celah perbedaan antar kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga.

Competition is a compulsory instrument of the global world. The existence of competition law requires an institution for the enforcement of the law. Authority of competition law enforcer has a big effect to the effectiveness of the enforcement of competition law. Law No. 5 Year 1999 mandated KPPU to enforce competition law in Indonesia. United States of America has been enforcing antitrust law from very long ago. Federal Trade Commission Act create a competition law enforcement agency named The Federal Trade Commission. Federal Trade Commission has a very broad scope of enforcement authority. By comparing KPPU's and FTC's law enforcement authority, the difference from each agency can be revealed. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nadapdap, Binoto
"Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki kemungkinan mengenai penggunaan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara persaingan usaha, khususnya perkara kartel di tengah kesulitan yang dialami oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendapatkan alat bukti langsung. Aparat persaingan usaha di pelbagai belahan dunia mempunyai permasalahan yang relatif sama untuk mendapatkan alat bukti langsung pada saat menangani perkara kartel. Kesulitan mendapatkan alat bukti langsung menjadi persoalan yang global sifatnya dalam penanganan perkara kartel. Praktik kartel karena bersifat menghambat persaingan serta mengakibatkan kerugian terhadap sesama pelaku usaha dan konsumen, tidak dapat dibiarkan bergerak dengan leluasa dengan alasan ada keterbatasan alat bukti menurut undang-undang. Keterbatasan alat bukti yang terdapat dalam undang-undang tidak pada tempatnya untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat memberantas kartel, alat bukti yang diatur dalam undang-undang perlu ditafsirkan lebih luas agar mampu mengatasi praktek kartel. Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan sebagai dasar bagi KPPU untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung (petunjuk atau persangkaan) adalah teori penemuan hukum. Menurut teori penemuan hukum hakim harus berusaha untuk menemukan hukum untuk menangani perkara tertentu walaupun undang-undang tidak mengatur atau undangundangnya tidak jelas. Hakim atau otoritas persaingan usaha perlu mencari dasar hukum penggunaan alat bukti tidak langsung sekalipun undang-undangnya tidak ada. Menolak menangani perkara dengan alasan undang-undang tidak mengaturnya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa tidak mengatur mengenai alat bukti tidak langsung. Upaya Komisi Persaingan Usaha untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel, walaupun tidak diatur dalam undang-undang, upaya Komisi Persaingan Usaha dalam berbagai perkara kartel dapat dibenarkan oleh hakim. Pengadilan mempunyai kesamaan bahasa dengan Komisi Persaingan Usaha mengenai upaya mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel yang tidak diatur dalam undang-undang. Perang terhadap kartel yang menimbulkan kerugian terhadap persaingan usaha yang sehat perlu ditangani dengan cara memperbolehkan penggunaan alat bukti tidak langsung, yaitu berupa alat bukti komunikasi dan alat bukti ekonomi. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang mempergunakan alat bukti tidak langsung ada yang ditolak oleh pengadilan, baik itu oleh Pengadilan Negeri maupun oleh Mahkamah Agung dan ada pula yang dibenarkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung. Dari penelitian diperoleh data bahwa Pengadilan Negeri belum ada yang menerima penggunaan alat bukti tidak langsung, dengan alasan bahwa alat bukti tidak langsung tidak dikenal dalam hukum pembuktian di Indonesia. Pengakuan terhadap penggunaan alat bukti tidak langsung sebagai bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, baru dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, menjadi dasar hukum bagi diperbolehkannya alat bukti tidak langsung sebagai dasar untuk menangani perkara kartel dan perkara persaingan usaha lainnya. Mahkamah Agung sudah membenarkan pengunaan alat bukti tidak langsung dalam hukum pembuktian di Indonesia.

This study aims to explore the possibility of the use of indirect evidence in processing business competition cases, in particular in cartel cases within the difficulties experienced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) to obtain direct evidence. Business competition authorities in various parts of the world have the same issues to obtain direct evidence when dealing with cartel cases. Difficulty in obtaining direct evidence became global issues in cartel case process. The practice of cartel, because it is hampering competition and result in losses to the other entrepreneurs and consumers, shall not be allowed to move freely because of the limitations of evidence pursuant to the legislation. The limitations of evidence contained in the legislation is not appropriate reason to not eradicate cartels, evidence set out in the legislation need to be interpreted more widely to be able to tackle cartels. In this study the theory used as a basis for the KPPU to use indirect evidence (hint or allegation) is the discovery of the theory of law. According to the theory of legal discovery, judges should strive to find a law to deal with a particular case even though the law does not regulate or it is unclear. Judge or competition authorities need to find a legal base of using indirect evidence even though the does not exist. Refusing to handle the case by reason of the law does not exist can be categorized as an action that is contrary to the law. Legislation in the United States, Japan and the European Union do not regulate the indirect evidence. Competition Commission's efforts to use indirect evidence in cartel case, although not regulated by law, can be justified by the judge. The court has the same vision with the Competition Commission regarding attempts to use indirect evidence in cartel case process which are not regulated by law. War against the cartels that cause harm to healthy competition need to be handled by allowing the use of indirect evidence, which is evidence in the form of communication and economic evidence. In Indonesia, the cartel case process that use indirect evidence is rejected by the court, either by the District Court or by the Supreme Court and only some are justified by the Supreme Court. From the study data showed that none of District Court accepted the use of indirect evidence, the reason is that indirect evidence was not known to the laws of evidence in Indonesia. Recognition of the use of indirect evidence as valid evidence in cartel case process, just recently justified by Supreme Court. Supreme Court decision justifying indirect evidence as valid evidence in cartel case process, become the legal basis for the permissibility of indirect evidence for dealing with cases of cartel and other business competition matters. The Supreme Court has confirmed the use of indirect evidence in evidentiary law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Jamilah
"Skripsi ini membahas mengenai penegakan hukum persaingan usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pembahasan menekankan pada implementasi penjatuhan sanksi administratif berupa denda terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan persekongkolan tender. Berdasarkan pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999), hukuman yang dapat dijatuhkan adalah hukuman administratif dan pidana. KPPU hanya berwenang menjatuhkan sanksi administratif. Salah satu bentuknya adalah denda. Denda yang dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar UU No.5/1999 berkisar Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) hingga Rp.25.000.000.000,-. Pada kenyataannya, banyak denda yang masih di bawah nilai yang ditentukan UU No.5/1999. Salah satunya Putusan KPPU Perkara NO.49/KPPU-L/2008 tentang Tender Pengadaan Alat Kesehatan Polysomnograph di Rumah Sakit Duren Sawit Propinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2007.

This thesis concerning about competition law enforcement by the Commission for Supervision on Business Competition (KPPU) in ruining administrative fine sanctions against the perpetrators of bid-rigging. Article 47 Act No.5 Year 1999 Regarding The Prohibition on Monopoly and the Unhealthy Business Competition (UU No.5/1999) regulate the punishment that could be subjected to the perpetrators against the provisions of Act No.5/1999 were administrative and criminal punishment. In this context, KPPU only had the authority to subject administrative sanctions. One of the forms is fine. Fine that could be subjected to the perpetrators are between Rp. 1,000,000,000.- (one billion rupiah) to Rp. 25.000.000.000,-. In fact, there are still many KPPU decisions that ruin administrative fine sanctions under the amount determined in Act No.5/1999. One Of Them was the Decision KPPU Case No.49/KPPU-L/2008 regarding the Tender for the Procurement of the Medical Instrument Polysomnograph in the Duren Sawit Hospital Special Capital District of Jakarta Province Budget Year 2007."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25323
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inda Nur Arifiani
"Analisis ini membahas pengadaan 20 unit lokomotif dilakukan dengan penunjukkan langsung karena PT. Kereta Api mengganggap GE Transportation telah bekerja sama selama lebih dari 50 tahun. Oleh KPPU penunjukkan langsung dinyatakan bentuk persekongkolan dan diskriminasi yang secara sah melanggar ketentuan pasal 22 dan 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pokok masalah yang dihadapi adalah Bagaimana penerapan ketentuan pasal 22 dan pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam putusan KPPU Perkara Nomor 05/KPPU-L/2010 ditinjau dari Undang-Undang Persaingan Usaha. Pokok permasalahan tersebut dijawab dengan menggunakan metode penelitian normatif yang menghasilkan kesimpulan bahwa penerapan pasal 22 Undang-Undang Persaingan Usaha belum tepat sedangkan penerapan pasal 19 huruf d Undang-Undang Persaingan Usaha sudah tepat karena PT. Kereta Api terbukti telah memberikan suatu perlakuan istimewa kepada GE Transportation yang telah menyebabkan suatu persaingan usaha tidak sehat.

This analysis discusses the procurement of 20 units of locomotives made by direct appointment due to PT. GE Transportation Rail assume have been working together for more than 50 years. The Commission expressed the form of direct appointment of conspiracy and unlawful discrimination in violation of the provisions of articles 22 and 19 letter d of Competition Act. The principal problem faced is how the application of the provisions of Article 22 and Article Competition Act in a Commission decision in Case Number 05/KPPU-L/2010 review of The Competition Act. The principal problem is answered by using research method normative conclusion that application of article 22 of the Competition Act is not perfect yet, while the application of Article 19 letter d of Competition Act is precisely, because of PT. KAI have been proven to give a prefential treatment to GE"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S25010
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Cut Fahmasuci
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S24349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Adjani Ramadina
"Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan sebuah produk reformasi yang secara efektif berlaku pada tanggal 5 Maret 2000. Dengan lahirnya undang-undang ini, dibentuklah sebuah lembaga independen yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan dan penegakan terhadap hukum persaingan usaha. Jika terdapat pelaku usaha yang melanggar hukum persaingan usaha, maka KPPU akan melakukan penegakan melalui pelaksanaan hukum acara persaingan usaha. Kendati demikian, pelaksanaan hukum acara persaingan usaha tidak luput dari sejumlah kekurangan. Sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dan sekaligus menyesuaikan dengan kebutuhan zaman serta kemajuan ekonomi, pemerintah melakukan perubahan serta penambahan sejumlah pasal yang sebelumnya tertuang pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Setelah 20 tahun sejak pengesahannya, UU No. 5 Tahun 1999 mengalami perubahan dengan diberlakukannya UUCK. Pengaturan ini dapat dibandingkan dengan regulasi di negara Amerika Serikat selaku negara common law yang telah memiliki hukum persaingan usaha sejak tahun 1890 dan memiliki dua lembaga penegak hukum persaingan, yaitu Federal Trade Commission sebagai lembaga independen dalam penegakan Antitrust Laws dan Antitrust Division of Department of Justice. Dalam penelitian ini, metode yang dipilih adalah yuridis-normatif dan setelah dilakukan analisis perbandingan dengan lembaga Federal Trade Commission di Amerika Serikat, maka dapat ditemukan persamaan maupun perbedaan dalam pelaksanaan hukum acara persaingan usaha dan ketentuan penjatuhan sanksi denda yang kemudian akan menghasilkan saran untuk kemajuan pelaksanaan hukum acara persaingan usaha Indonesia.

Indonesian Competition Law, namely Law No. 5 of 1999 concerning Monopolistic Practice and Unfair Competition is a product of reformation which was effective on March 5, 2000. With the enactment of this regulation, an independent agency tasked to supervise and enforce the Competition Law was formed. The commission is later referred to as Komisi Pengawas Persaingan Usaha or in short, KPPU. However, the implementation of the competition law still had some shortcomings. Thus, in order to overcome existing problems while at the same time adapt to the needs of times and economic progress, the government made changes and added a few articles that was previously contained in Law No. 5 of 1999, in Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation. After 20 years since it’s ratification, Law no. 5 of 1999 finally underwent some changes with the enactment of Law No. 11 of 2020. This regulation can be compared with regulations in the United States as a common law country who has had competition law since 1890 and has two enforcement agencies, namely the Federal Trade Commission as an independent agency in the enforcement of Antitrust Laws and the Antitrust Division of Department of Justice.The method chosen is juridicial-normative and after a comparative analysis has been carried out with the Federal Trade Commission in United States, similarities and differences can be found in the implementation of the competition law and the provisions for imposing fines which will the produce suggestions for advancement of indonesian competition law procedures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Dharmadi
"Untuk memajukan industri yang mampu bersaing serta memberikan perlindungan hukum bagi para pendesain diberlakukanlah Undang-Undang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Akan tetapi aturan hukum di bidang desain industri belum sepenuhnya mendukung perkembangan desain industri di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari maraknya kasus pembatalan desain industri yang terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya pembatalan desain industri, yaitu tidak adanya kepastian mengenai kebaruan (novelty). Novelty merupakan persyaratan utama dalam paten dan desain. Suatu desain dianggap baru apabila ada perbedaan yang menyolok dengan desain yang sudah ada sebelumnya. Namun apabila perbedaan tersebut hanya terletak pada perbedaan yang minim, terkait beberapa unsur saja, baik itu warna maupun lekuk penampang luar, maka tidak akan bisa dianggap baru. Belum ada Pasal dalam Undang- Undang Desain Industri yang mengatur mengenai persamaan pada pokoknya yang dapat menentukan nilai kemiripan suatu desain industri yang dapat dijadikan acuan untuk menolak atau mengabulkan suatu permohonan desain industri. Dalam Pasal 2 ayat (2) menggunakan kata ?tidak sama? akan tetapi di dalam penjelasannya tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian maupun batasan kata "tidak sama" ataupun kemiripan antara desain yang satu dengan yang lain yang dapat dikatakan mempunyai unsur persamaan pada pokoknya atau berbeda. Undang-undang desain industri di Indonesia menganut stelsel pendaftaran/pendaftar pertama atau "first to file" dalam hal klaim atas hak desain industri yang baru. Lebih jauh dijelaskan dalam Pasal 26 ayat (5) menyatakan bahwa pemeriksaan substantif tidak akan dilakukan apabila tidak adanya keberatan dari pihak lain. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif mengakibatkan setiap permohonan desain industri harus dikabulkan dan langsung diberikan sertifikat desain industri. Apabila pemeriksaan substantif tidak dilakukan maka apabila terdapat 2 (dua) desain industri yang memiliki kemiripan ataupun sama, dan 2 (dua) desain industri tersebut tidak diajukan keberatan, maka kedua desain industri tersebut berhak mendapatkan sertifikat desain industri. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya sengketa desain industri dan maka dari itu harus diajukan pembatalan desain industri. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis dan analisis data yang dilakukan secara kualitatif.

The imposition of Law No. 31/2000 on Industrial Design is aimed to develop industry which is able to compete and to give legal protection to designers. However, Legal provisions in industrial design do not support the industrial design in Indonesia. It can be seen from various kinds of cancellation in industrial design. The results of the research showed that main factors which caused the cancellation of the industrial design is the uncertainty regarding novelty. Novelty is a patentability requirement. A design could be considered new, if there is a significant distinctive with the prior design. However, if the difference that just lays in distinctive minim one, concerning severally elemental only, therefore it can't be looked on as a new one. There is no article in Law on Industrial Design No. 31/2000, which rules the resemblance of an industrial design which can be used as the reference for rejecting or accepting a application request for an industrial design. Based on Article 2 Paragraph (2) uses the phrase "not similar", but in its explanation it does not clarify the term "not similar" or not resemble between one design and the other. The industrial design law in Indonesia embraces the "first to file" system in order to claiming the rights of the newest Industrial Designs. According to Article 26, paragraph (5) which states that the substantive examination will not be carried out if there is no complaint from other parties. The absence of substantive examination will cause the certificate for industrial design to be given. Substantive examination will not be carried out if there are 2 (two) industrial designs which resemble to each other; if there is no complaint about them, they have the right to get industrial design certificate. This will cause industrial design dispute; the result is that it has to be cancelled. The research used judicial normative approach, using literature materials and secondary data. The nature of the research was descriptive analysis; the data were analyzed qualitatively.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>