Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197387 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Pratiwi
"Alasan pemberlakuan status darurat militer di Aceh berdasarkan Keppres No. 28 Tahun 2003 adalah tidak terhentinya niat dan tindakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI, serta semakin meningkatnya tindakan kekerasan bersenjata yang kian mengarah pada tindakan terorisme. Secara historis, tumbuhnya separatisme dan kekerasan bersenjata terdiri dari 2 (dua) sebab yang berbeda mengingat tatanan konflik yang berbeda pula. Konflik antar elit politik serta konflik antara pemilik modal dan rakyat. Dalam praktik, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengelaborasi hal tersebut dengan melakukan penuntutan berdasarkan tindak pidana makar dan terorisme. Tindak pidana makar merupakan tindak pidana yang bertujuan politik. Di sisi lain, Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengecualikan tindak pidana terorisme dari tindak pidana dengan tujuan politik karena adanya hambatan ekstradisi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22112
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Orion Cornellia
"Peperangan antara TNI dan GAM sudah terjadi belasan bahkan puluhan tahun, dan hingga kini belum juga menemukan titik terang penyelesaian. Walaupun sudah menj alani beberapa perundingan, namun pelanggaran-pelanggaran selalu terjadi sehingga kata "perdamaian" antara TNI dan GAM terdengar begitu jauh. Masingmasing pihak saling menuding bahwa bukan pihaknyalah yang melakukan pelanggaran, sehingga perundingan pun menemui kebuntuan. Kontak senjata pun dianggap sebagai alternatif terakhir untuk menyelesaikan konflik Aceh. Hal ini tidak luput dari pengamatan pers. Pemberitaan mengenai konflik Aceh telah menjadi berita rutin di dalam surat kabar. Selama darurat militer yang diberlakukan selama enam bukan di Aceh, 19 Mei-19 November 2003, fotoberita tentang konflik Aceh ramai menghiasi surat kabar di Indonesia, tak terkecuali Kompas dan Republika. Dengan Tatar belakang, ideologi dan segmen khalayak yang berbeda, Kompas dan Republika mencoba merepresentasikan konflik Aceh melalui teks berita dan foto di dalam medianya. Konstruksi konflik Aceh dalam foto menjadi hal yang sangat menarik, karena foto memiliki daya tarik yang lebih besar dibandingkan dengan teks berita. Setiap bidikan foto bersifat lebih alami, apa adanya dan lebih nyata, sehingga memiliki peranan yang luar biasa besar untuk membentuk opini masyarakat mengenai TNI, GAM dan rakyat Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara Kompas dan Republika mengkonstruksikan Konflik Aceh di foto medianya, serta memaparkan pertimbanganpertimbangan yang dimiliki kedua media cetak itu dalam konstruksi tersebut. Untuk mencapai tujuan itu, penelitian ini akan melakukan analisis semiotika terhadap fotofoto konflik Aceh selama darurat militer 2003, dengan mencari makna di balik tandatanda dalam foto-foto tersebut, diantaranya dengan memperhatikan ide secara keseluruhan, caption, teknik pengambilan foto dan objek di dalam foto. Untuk memperoleh gambaran mengenai pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki Kompas dan Republika pada konstruksi konflik Aceh tersebut, peneliti menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur. Pemahaman situasi yang mendukung konstruksi berita tersebut, penelitian ini juga menyertakan studi literatur mengenai kondisi pemberitaan pers selama pemberlakuan darurat militer di Aceh. Dari hasil analisis terhadap foto-foto konflik Aceh selama darurat militer, peneliti menemukan bahwa pemberitaan Kompas dan Republika cenderung melakukan pemihakan terhadap TNI, dengan penggambaran TNI sebagai pahlawan atau pembela bangsa. Hal ini dapat ditemukan dari komposisi foto yang bertemakan mengenai TNI sangat banyak, selain juga pemilihan teknik pengambilan foto, dan caption yang semakin memperkuat posisi TNI. Sedangkan dari wawancara mendalam dan studi literatur, ditemukan bahwa adanya situasi embedded journalism dalam pemberitaan konflik Aceh. Kepentingan TNI untuk memiliki citra positif di masyarakat adalah dasar diberlakukannya situasi ini. Darurat militer telah memberikan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) kekuasaan penuh untuk mengatur segala hal di Aceh, termasuk pers. Selain itu, ditemukan adanya stereotip terhadap TNI dan GAM dalam mengkonstruksikan peperangan diantara keduanya. Artinya, wartawan, sadar atau tidak, telah memposisikan diri di dalam menentukan siapa kawan, siapa lawan. Dengan demikian, pemberitaan foto yang dilakukan Kompas dan Republika mengenai konflik antara TNI dan GAM, walau dengan pemilihan kata, teknik pengambilan foto, dan objek yang tidak persis sama, merupakan refleksi dari beberapa keadaaan, yaitu sikap media terhadap konflik Aceh, stereotip wartawan terhadap TNI dan GAM, serta pemberlakuan embedded journalism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4310
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Christy Natalia
"Skripsi ini membahas pembuktian pendanaan terorisme berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2003 menyebabkan kegiatan pendanaan terorisme dipersamakan dengan kegiatan pencucian uang atau yang lebih dikenal dengan financing terrorism reverse money laundering. Dalam praktek, pengaturan pendanaan terorisme dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang tidak dapat digunakan secara bersamaan dengan UU Tindak Pidana Terorisme. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pengaturan, misalnya mengenai penangkapan antara kedua undang-undang tersebut. Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian normatif, dengan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif.

This thesis studies the financing of Terrorism based on The law on the crime of money laundering. With rhe issuance of Law No. 25 Year 2003, the crime of financing of terrorism has been equated to the act of money laundering or what it is better known as "financing of terrorism reverse money laundering". Based on the author’s research, it is suggested that the financing of terrorism should be regulated separately. The regulation found in the law on money laundering can not be used since its regulation regarding arrest in the investigation stage is different from the regulation in the law of terrorism. The author has conducted a normative legal research, by using qualitative data processing."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, [2009;2009, 2009]
S22558
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
D.P. Henny Puspawati
"Framing menekankan diri pada dua dimensi besar yakni, seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek realitas. Dalam prakteknya, framing dijalankan media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain; serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, halaman depan atau badan belakang), pengurangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan.
Kekuatan media antara lain melalui proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angle), penambahan atau pengurangan foto dan gambar dan lain-lain, berpeluang untuk jadi peredam atau pendorong. Di sinilah media kerap dituduh sebagai conflict intensifier (memperuncing konflik). Di sisi lain, media dihadapkan pada tuntutan berbagai pihak untuk turut menciptakan kondisi yang kondusif untuk menyelesaikan konflik (conflict diminisher). Memenuhi harapan ini mengandung resiko media harus menyeleksi --bahkan menutupi--fakta-fakta yang dianggap sensitif bagi kelompok-kelompok tertentu. Dengan gaya penyajian yang hiperbolis, media dianggap memprovokasi pihak yang bertikai untuk segera memulai peperangan. Media juga dituduh mengondisikan publik untuk menerima perang sebagai satu-satunya opsi yang realitas.
Terlepas dari tuduhan tersebut, banyak aspek yang harus dikaji dari pemberitaan media tentang konflik Aceh. Media bagaimanapun adalah variabel determinan dalam sebuah konflik. Pihak-pihak yang bertikai sangat berambisi untuk menggunakan media sebagai alat propaganda. Di sisi lain, publik sangat tergantung pada ekspos media untuk mengetahui perkembangan konflik. Dengan kata lain, wacana media tentang kasus Aceh menunjukkan bahwa keterlibatan media dalam sebuah konflik menjadi suatu keniscayaan jurnalistik konflik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kritis, dengan pendekatan ini ingin melihat dan memahami bagaimana praktik pembingkaian (framing) jurnalisme damai dan jurnalisme perang dalam berita mengenai konflik Aceh antara TNI dan GAM di harian Kompas dan Republika selama pemberlakuan Darurat Militer pertama di Aceh selama periode 18 Mei sampai 16 Nopember 2003. Alasan utama pemilihan periode pertama pemberlakuan darurat militer itu adalah meningkatnya frekuensi pemberitaan media terhadap konflik (perang) di Aceh.
Hasil penelitian ini menunjukkan, penggambaran dan penonjolan berita yang cenderung lebih berpihak kepada TNI daripada GAM cukup banyak ditemui selama periode penelitian ini dilakukan. Umumnya, kedua media justru lebih menonjolkan aspek-aspek berita yang bernilai jurnalisme perang ketimbang jurnalisme damai.
Bagaimana prasangka itu diwujudkan dalam presentasi jumalisme perang oleh media? Kita dapat merunutnya dari evaluasi-evaluasi yang diberikan media terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perang yang menjadi obyek liputan. Juga dari penggunaan istilah-istilah kunci yang bersifat konotatif, metafor dan hiperbola, serta simbol-simbol visual (foto) yang digunakan untuk merekonstruksi fakta perang. Prasangka itu juga terpancar dari prioritas yang diberikan media kepada sumber-sumber berita tertentu dan bagaimana pernyataan sumber berita ditonjolkan atau sebaiknya ditenggelamkan (proses-proses framing).
Secara singkat, kajian ini berimplikasi kepada pengembangan praktik jurnalisme damai yang seharusnya dikedepankan oleh media. Dari masa diberlakukannya darurat militer di Aceh yang berdampak pada derasnya arus pemberitaan media bernuansa peperangan, terdapat implikasi konseptual atas praktik jurnalisme yang tidak kondusif dan kompatibel dalam proses demokratisasi informasi. Terdapat 2 (dua) implikasi teoretis yang sekaligus dapat dibaca sebagai kelemahan mendasar implementasi jumalisme perang dalam proses demokratisasi.
Pertama, dari konteks interaksi antara struktur-struktur sosial dan pelaku-pelaku sosial dalam mengkonstruksi realitas perang di satu pihak dipandang sebagai kemajuan mendasar dalam mengedepankan jumalisme patriotik atau jumalisme nasionalisme tanpa legitimasi dan kontrol sosial yang jelas, menjadi lebih maju. Di lain pihak, mengakui keberadaan media sebagai agen perubahan sekaligus kontrol sosial yang menjadi momentum bagi kembalinya hak-hak dasar warga negara dalam konteks memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka untuk menikmati jumalisme damai. Implikasinya adalah bahwa praktik jumalisme perang tidak kondusif bagi hak publik itu sendiri.
Implikasi teoretis kedua yang ditawarkan secara sederhana dalam penelitian ini adalah sebuah upaya memberanikan diri mengatakan "tidak" pada praktik jumalisme perang, terutama yang berkaitan dengan hak publik yang terbebas dari kekerasan oleh media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
cover
Iisgindarsah
"Thesis ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa terdapat defisit keamanan dalam pengelolaan keamanan nasional di negara-negara berkembang. Secara lebih spesifik, thesis ini bermaksud untuk menerangkan penyebab terjadinya defisit keamanan dalam penanganan konflik bersenjata di Aceh pada masa implementasi Cessation of Hostilities Agreement dan pemberlakuan keadaan darurat militer I. Untuk itu, thesis ini mengkaji apakah terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan praktik (de)sekuritisasi selama dua periode waktu tersebut.
Thesis ini menerapkan dua metode utama dalam analisanya. Metode analisa data base dilakukan untuk membangun data kuantitatif tentang kasus masalah keamanan dan penugasan aparat keamanan untuk mengatasi masalah tersebut. Adapun metode studi kasus instrumental untuk menjelaskan data kualitatif mengenai pelaksanaan pendekatan (de)sekuritisasi. Thesis ini dapat membuktikan bahwa defisit keamanan di Aceh pada masa implementasi COHA dan pemberlakuan keadaan darurat militer I, terjadi sebagai akibat adanya kesenjangan antara pernyataan ancaman dengan kebijakan yang ditempuh pemerintah Indonesia dan langkah-langkah operasional yang diterapkan aparat keamanan.

The purpose of this thesis is to explain why security deficit occurs in the management of national security in developing countries. Specifically, this thesis portrays the causes of security deficit during armed conflict in Aceh in the period of the implementation of Cessation of Hostilities Agreement and the imposition of martial law L Therefore, this thesis assessed whether (de)securitization gap is present during both time period
This thesis utilizes two methods in its analysis. Data base analysis is employed to build quantitative data conceming security problems and the performance security actors to cope those problems. Meanwhile instrumental case study is used to explain qualitative data regarding the implementation of (de)securitization approach. This thesis finds out that security deficit in Aceh during the implementation of Cessation of Hostilities Agreement and the imposition of martial law I, is caused by the gap between threat speech act and the policy outcome as well as operational measures carried out by security actors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26205
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>