Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69491 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2004
S22981
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syah Sondang J.E.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22639
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmiyati
"Undang-undang Nomor 5 Tabun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha (selanjutnya disebut "UU Antimonopoli") merupakan sebuah undang¬undang yang secara khusus mengatur persaingan dan praktek monopoli, yang sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pemerintah. Sebagai contoh, misalnya Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 telah mengeluarkan gagasan tentang konsep Rancangan Undang-Undang tentang Antimonopoli. Namun demikian, semua gagasan dan usulan tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19138
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Armelia Maharani
"Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan pengawasan dalam perkara kemitraan terdapat dalam Pasal 36 UU No. 20 Tahun 2008 (UU UMKM). Lebih lanjut dalam peraturan pelaksana UU UMKM, yaitu dalam PP No. 7 Tahun 2021 (PP 7/2021) disebutkan pula dalam Pasal 123 bahwa tata cara pengawasan perkara kemitraan akan adanya indikasi pelanggaran persaingan usaha diatur dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Peraturan Komisi). Peraturan Komisi yang berlaku saat ini adalah Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2019 (Perkom 4/2019). Menariknya dalam Perkom 4/2019 ini disebutkan dalam Pasal 66 ayat (4) bahwa putusan KPPU bersifat final. Lebih lanjut dalam Perkom 4/2019 ini juga tidak lagi diatur mengenai upaya hukum yang dapat diajukan oleh Terlapor terhadap putusan yang dijatuhkan oleh KPPU. Padahal dalam PP 7/2021 tidak disebutkan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh KPPU bersifat final. Dengan adanya ketentuan dalam pasal 66 ayat (4) Perkom 4/2019 tentunya bisa sangat merugikan Terlapor yang dirugikan akibat putusan KPPU yang dijatuhkan kepadanya, sebab mekanisme untuk mengajukan upaya hukum tidak diatur dalam Perkom 4/2019. Adapun dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini dilakukan analisis menggunakan metode kepustakaan sehingga menghasilkan penelitian yang deskriptif. Sementara dari hasil Penelitian skripsi ini didapati bahwa Putusan KPPU dalam perkara kemitraan yang tidak menyediakan mekanisme pengajuan upaya hukum kepada Terlapor tidak tepat ditinjau berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku. Serta tidak ada perlindungan hukum yang diberikan kepada terlapor setelah adanya Perkom 4/2019. Sehingga diperlukan adanya peninjauan ulang atas ketentuan dalam Pasal 66 ayat (4) Perkom 4/2019 yang menyebutkan bahwa Putusan Komisi bersifat final serta perlu disebutkan secara tegas pula mengenai alternatif perlindungan hukum yang dapat ditempuh oleh Terlapor atas Putusan KPPU dalam perkara kemitraan yang dijatuhkan kepadanya, yang dapat dilakukan melalui alternatif yang diberikan kepada Terlapor untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan Putusan Komisi ke Pengadilan Niaga.

The authority of the Indonesia Competition Commission (KPPU) to supervise partnership agreements is contained in Article 36 of Law No. 20 of 2008 (UU UMKM). Further in the implementing regulations of the UMKM Law, namely in government regulations No. 7 of 2021 (PP 7/2021) It is also stated that in Article 123 PP, the procedures for supervising partnership agreements for indications of business competition violations are regulated by the Regulations of the Indonesia Competition Commission (“Peraturan Komisi"). The Commission Regulation currently in effect is Commission Regulation No. 4 of 2019 (Perkom 4/2019). Interestingly, in Perkom 4/2019 it is stated in Article 66 paragraph (4) that the KPPU's decision is final. Furthermore, Perkom 4/2019 also no longer stipulates legal remedies that can be submitted by the Reported Party against decisions handed down by the KPPU. Even though PP 7/2021 does not state that the decisions handed down by the KPPU are final. With the provisions in Article 66 paragraph (4) Perkom 4/2019, of course, it can be very detrimental to the Reported Party who is harmed by the KPPU's decision handed down to him, because the mechanism for filing legal remedies is not regulated in Perkom 4/2019. As for answering the problems in this study, analysis was carried out using the library method so as to produce descriptive research in the form of a description of the existing facts. Meanwhile, from the results of this thesis research it was found that The KPPU's decision in a partnership agreement that does not provide a mechanism for filing legal action against the Reported Party is inappropriately reviewed based on the provisions of the applicable procedural law. As well as no legal protection was given to the reported party after Perkom 4/2019. So it is necessary to review the provisions in Article 66 paragraph (4) Perkom 4/2019 which states that the Commission's Decision is final and it is also necessary to state explicitly regarding alternative legal protections that can be taken by the Reported Party for the KPPU's Decision in the partnership case handed down to him, which can be done through an alternative provided to the Reported Party to be able to submit a request for cancellation of the Commission Decision to the Commercial Court.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Arnold
"Upaya hukum pengajuan keberatan merupakan hak dari setiap pelaku usaha yang tidak menerima Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara sederhana mengatur pengajuan keberatan bagi pelaku usaha yang tidak dapat menerima sanksi yang dijatuhkan oleh KPPU. Karenanya, pada tanggal 18 Juli 2005, Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan sebuah peraturan yang sangat penting bagi perkembangan dan penegakan hukum persaingan di Indonesia. Peraturan tersebut adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Lahimya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2005 ini setidaknya dapat mengatasi ketidakjelasan mengenai tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU yang selama ini memang masih menimbulkan polemik dan ketidakseragaman dari setiap Pengadilan Negeri yang rrmenangani kasus keberatan terhadap putusan KPPU. Namun demikian, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 ini tidak seluruhnya dapat dikatakan sempuma dari segi substansi yang diaturnya, karena masih terdapat beberapa kelemahan, seperti: kurang komprehensifnya aturan-aturan hukum yang ada di dalamnya, perbedaan interpretasi antara Majelis Hakim Pengadilan Negeri dengan KPPU, dan kurangnya pemahaman Majelis Hakim Pengadilan Negeri mengenai hukum persaingan usaha. Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 masih memerlukan perbaikan lebih lanjut, karena ternyata terdapat beberapa permasalahan yang timbul akibat undang-undang tidak mengatur upaya hukum apa yang seharusnya ditempuh oleh pelaku usaha yang diperiksa oleh KPPU, dan bagaimana proses beracara untuk kasus persaingan usaha di Pengadilan Negeri."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dudi Enka
"Skripsi ini membahas mengenai analisis putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 175/Pdt.G/2014/PN.Mdn. Skripsi ini membahas mengenai penerapan prosedur tata cara permohonan keberatan atas putusan KPPU berdasarkan dengan hukum acara persaigan usaha di Indonesia serta penerapan ketentuan perjanjian penetapan harga horizontal berdasarkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa Pengajuan permohonan keberatan oleh Para Pemohon Keberatan tidak sesuai dengan hukum acara persaingan usaha di Indonesia karena bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (4) dan Pasal 4 Ayat (6) Perma Nomor 3 Tahun 2005. Kemudian pertimbangan hakim bahwa konsumen tidak dirugikan atas perjanjian tersebut tidaklah cukup karena dalam penggunaan pendekatan rule of reason harus dibuktikan bahwa perjanjian tersebut meningkatkan efisiensi sehingga konsumen tidak dirugikan.

This thesis discusses the analysis of the Medan District Court decision No. 175/Pdt.G/2014/PN.Mdn. This study discusses the application of the procedures for requesting an objection to the decision of the KPPU based on Competition Procedural Law in Indonesia and the application of the horizontal price fixing agreement based Competition Law in Indonesia. From these results, it was found that the submission of objections by the applicant does not comply with the procedural law of business competition in Indonesia because it is contrary to Article 4 Paragraph (4) and Article 4 Paragraph (6) Perma No. 3 of 2005. Then judge considered that consumers are not harmed on the agreement is not enough because the use of a rule of reason approach must be proven that the agreement improves efficiency which give benefit to consumers."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S61573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Antonius Jasminton
"Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah disahkan dan diundangkan pada tangal 5 Maret 1999, akan tetapi sampai saat ini menurut penulis masih ada permasalahan terkait kedudukan hukum (Legal Standing) dan permasalahan terkait domisili hukum dalam upaya hukum keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam hal Pemohon Keberatan berbeda-beda domisili hukum.
Dalam praktek, ada pelapor yang menafsirkan secara berbeda Pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu bahwa pelapor memiliki Kedudukan Hukum (legal standing) untuk mengajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan atas putusan KPPU yang dijatuhkan terhadap pihak Terlapor dengan cara menghubungkannya ketentuan pada Pasal 44 ayat 2 dengan Pasal 1 angka 5 yang berbunyi sebagai berikut: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, padahal Kedudukan Hukum (legal standing) untuk mengajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan atas putusan KPPU telah diatur secara tegas dalam Pasal 2 ayat (1) Perma Nomor 3 Tahun 2005 akan tetapi pengaturan tersebut tidak menghilangkan penafsiran bahwa mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pelapor dapat melakukan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU. Domisili hukum pemohon upaya hukum keberatan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 44 ayat (2) menyebutkan bahwa Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dan Pasal 1 angka 19 menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri adalah pengadilan di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha.
Istilah kedudukan hukum usaha pelaku usaha.telah menimbulkan penafsiran yang berbeda atas defenisi kedudukan hukum usaha dan menjadi bias karena dapat saja perseroan terbatas melakukan kegiatan usaha dibanyak tempat diwilayah hukum negera Indonesia bahkan diluar negeri karena mengacu kepada penjelasan pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dijalankan oleh Perseroan dalam rangka mencapai maksud dan tujuannya yang harus dirinci secara jelas dalam anggaran dasar, dan rincian tersebut tidak boleh bertentangan dengan anggaran dasar. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak ada istilah dan pengaturan tentang kedudukan hukum usaha, yang ada adalah tempat kedudukan yang diatur dalam Pasal 17 yang menyebutkan Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar dimana tempat kedudukan tersebut sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan.

Law Number 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition has been ratified and promulgated on March 5, 1999, but until now according to the author there are still problems related to legal standing and issues related to legal domicile in an effort the law of objection to the decision of the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) in the case that the Petitioners object to different legal domiciles.

In practice, there are reporting party who interpret differently Article 44 paragraph 2 of Law Number 5 of 1999, namely that the reporter has a legal standing to file an objection to the Court for objections to the KPPU's decision handed down against the Reported party by linking the provisions to Article 44 paragraph 2 with Article 1 number 5 which reads as follows: Business Actors are every individual or business entity, whether in the form of a legal entity or not a legal entity established and domiciled in the jurisdiction of the Republic of Indonesia, either and together through agreements, carrying out various business activities in the economic field, whereas the legal standing for filing an objection to the Court over the KPPU's decision has been expressly regulated in Article 2 paragraph (1) Perma Number 3 of 2005, but the regulation does not eliminate the interpretation that it refers to Law Number 5 of 1999 , The Reporting Entity may make legal remedies against the KPPUs decision.
The legal domicile of the applicant for objection legal remedies in Law Number 5 of 1999 regulated in Article 44 paragraph (2) states that Business Actors may submit objections to the District Court no later than 14 (fourteen) days after receiving notification of the decision and Article 1 number 19 states that a District Court is a court in the legal place of business of a business.
The term legal business undertaking has caused a different interpretation of the legal position of the business and is biased because it can be limited liability companies to do business in many places in the legal territory of Indonesia even outside the country because it refers to the explanation of Article 18 of Law Number 40 concerning the Company Limited mentioned that business activities are activities carried out by the Company in order to achieve their aims and objectives which must be clearly specified in the articles of association, and these details must not conflict with the articles of association. In Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies there are no terms and regulations regarding the legal status of business, which is the place of residence stipulated in Article 17 which states that the Company has a place of residence in the city or district area within the territory of the Republic of Indonesia specified in the articles of association where the domicile is at once the Companys head office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53746
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiharto
"Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga penegak atau pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sangat diperlukan untuk dapat menjamin supaya pasar tidak terdistorsi, sehingga dapat mengoptimalkan peran pelaku-pelaku usaha untuk dapat membawa ke sistem ekonomi yang lebih baik. Struktur pasar yang menjurus ke arah monopoli akan menyebabkan terjadinya in-eflsiensi, kolusi politik yang tidak perlu, dan mengurangi kemanfaatan sumbersumber ekonomi bagi masyarakat luas. Dalam sistem hukum Indonesia, KPPU telah menempatkan diri sebagai bagian sistem peradilan yang berbentuk non pengadilan (sui generis) dalam memutus perkara-perkara persaingan usaha. KPPU membuka pintu selebar-lebarnya kepada seluruh masyarakat dan atau pelaku usaha untuk melaporkan dugaan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat untuk ditindaklanjuti. Kesimpulan yang didapat KPPU dari penyelidikan dan pemeriksaan dapat diberikan putusan dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan praktek yang menghambat persaingan usaha tersebut. Apabila ditemukan pelanggaran, KPPU berwenang menjatuhkan sanksi yang dibacakan dalam suatu sidang yang terbuka untuk umum. Terhadap pelaku usaha yang tidak melaksanakan putusan KPPU secara suka rela, KPPU dapat memaksakan pelaksanaan putusannya melalui pengadilan atau menyerahkan perkaranya kepada penyidik untuk diproses secara pidana. Pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, namun demikian dari beberapa putusan yang telah dijatuhkan oleh KPPU dapat diterima oleh pelaku usaha."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyani Sri Suhartuti
"Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada pertengahan tahun 1997, telah berpengaruh negatif terhadap kondisi makro ekonomi secara menyeluruh dan membawa Indonesia ke dalam keterpurukan. Bangsa Indonesia sangat tertinggal dibanding dengan bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut. Hal ini tentu tidak terlepas dari pelaksanaan pembangunan ekonomi yang diaplikasikan oieh masing-masing negara. Salah satu pilar dari keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia adalah adanya pelaksanaan persaingan usaha yang sehat.
Salah satu sumbangan terbesar dalam kekacauan ekonomi di Indonesia adalah dikukuhkannya praktek monopoii secara membabi buta. Begitu dahsyatnya praktek ini, sampai-sampai tercipta integrasi vertikal dan horizontal yang dikoordinasikan secara mesra antara pengusaha dan penguasa. Banyak contoh praktek-praktek persaingan usaha tidak sehat yang teljadi di Indonesia yang menghambat kemajuan pembangunan ekonomi, antara Iain adanya persekongkolan dalam berbagai hal, misalnya dalam penawaran tender (bid rigging), dalam penetapan harga (price fixing) dan dalam pembagian wilayah (market allocation).
Banyak pelaku usaha melakukan bisnis dengan melakukan persekongkolan (perjanjian kolusif) karena tidak sanggup menghadapi tantangan pasar. Perusahaan di banyak negara melihat dan menganggap kolusi sebagai memberi order pada pasar dan menghilangkan kompetisi yang sehat. Hal ini mempunyai dampak langsung dan negatif bagi konsumen. Mereka mengkonsumsi produk yang Iebih sedikit dan membayar Iebih untuk hal itu. Adanya kebijakan yang melarang persekongkolan/kolusi yang tegas akan membantu mencapai tujuan ekonomi yang Iebih luas yang pada akhirnya akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pasar yang kompetitif dapat memperkuat perekonomian nasional, meningkatkan lapangan pekerjaan, dan membenkan dasar untuk standar hidup yang Iebih tinggi. Selain itu, persekongkolan/kolusi juga membahayakan karena menghilangkan kepercayaan publik dalam sistem pasar yang kompetitif.
Persekongkolan/kolusi merupakan salah satu bentuk persaingan yang dilarang oleh Undang-undang. Persekongkolan dapat dianggap sebagai konspirasi usaha. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 disebutkan bahwa persekongkolan adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkoi. Dengan adanya persekongkolan, para pihak yang terlibat sama-sama melakukan suatu tindakan untuk memperoleh hasil yang telah disepakati secara bersama-sarna pula, dan persekongkolan yang ditindak adalah price fixing (penetapan harga), bid rigging (persekongkolan tender), atau market allocation (pembagian pasar atau skema alokasi)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>