Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101902 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Arti penting merek dalam dunia periklanan dan
pemasaran dapat menimbulkan sengketa antara pelaku usaha,
yaitu mengenai gugatan pembatalan atau penghapusan merek.
Ketentuan mengenai penghapusan ada pada pasal bagian
pertama, Bab VIII dalam Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun
2001. Penghapusan dapat dilakukan melalui prakarsa Kantor
Merek, permintaan pemilik merek serta pihak ketiga melalui gugatan penghapusan di Pengadilan Niaga. Gugatan
penghapusan dapat dilakukan apabila merek terdaftar
tersebut tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut
dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal
pemakaian terakhir dan pemakaian merek yang tidak sesuai
dengan apa yang telah didaftarkan pada Kantor Merek.
Doktrin mengenai intent to use pada pemakaian merek
merupakan dasar bagi penghapusan merek dengan alasan nonuse. Doktrin mengenai distinctiveness dan likelihood of confusion dapat dijadikan tolak ukur suatu pemakaian yang tidak sesuai. Pada studi kasus yang pertama, yaitu Top One vs Megatop, PT. Lumasindo Perkasa telah memperdagangkan oli dengan menggunakan merek MEGATOP dengan tulisan kata MEGATOP dalam elips, penggunaan angka 1, kata ”New Formula” dalam angka 1, serta lukisan dan unsur warna merah dan kuning, yang tidak sesuai dengan yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek, yang berupa kata MEGATOP dengan uraian warna biru dan kuning didaftarkan pada tanggal 10 Maret 1998 dengan nomor 411000. Pada studi kasus kedua, yaitu Krisma vs Karisma, dapat dikatakan terjadi pembalikan paradigma dasar dari perumusan ketentuan Undang-Undang Merek mengenai penghapusan dimana PT. Astra Honda Motor telah tidak menggunakan merek Karismanya sesuai dengan yang
didaftarkan pada Kantor Merek. Namun, awal mulanya gugatan penghapusan oleh PT. Tossa Shakti ini karena ia mendapatkan somasi dan pelaporan polisi oleh pihak Astra Honda Motor."
[Universitas Indonesia, ], 2006
S23576
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Assyarif
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana menentukan adanya penggunaan merek dalam kegiatan perdagangan dan bagaimana menentukan suatu merek telah tidak dipergunakan. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tidak terdapat pengaturan yang jelas mengenai apakah yang dimaksud dengan penggunaan merek dalam kegiatan perdagangan. Namun, dalam yurisprudensi dapat dilihat kriteria-kriteria untuk menentukan penggunaan merek dalam kegiatan perdagangan. Kriteria ini sangat penting untuk melihat apakah pemenuhan kewajiban penggunaan merek oleh Pemilik atau Pemegang Merek sudah terpenuhi atau tidak sehingga Daftar Umum Merek bersih dari merek yang tidak dipergunakan.

The Focus of this Thesis is concerning how to determines of trademark use in trade of goods and/or services and how determines a mark has not been used. In Trademark Law No.15 Year 2001 has no clear definition about what that intended with trademark use in trade of goods and/or services. But, in jurisprudence can be used as criterions to determine trademark use. This criterion is important to see liabilities accomplishment of trademark use by The Proprietor or the right holder of mark has been accomplished or not until The General Register of Marks free from trademarks-non use."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S24853
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Adi Pramono
"Skripsi ini membahas perlindungan hukum bagi pemilik merek lokal yang mereknya memiliki kemiripan dengan merek terkenal asing. Pembahasan dalam skripsi ini didasarkan pada sengketa merek terkenal IKEA melawan merek lokal IKEMA yang telah diputus sampai tingkat Peninjauan Kembali. Dalam sengketa merek ini, terdapat perbedaan jenis barang atau jasa. Sedangkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur tentang persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa tidak sejenis belum dibentuk. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ikea adalah merek terkenal. Pemilik merek Ikema mendaftarkan mereknya dengan itikad baik dan Ikema tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Ikea karena terdapat perbedaan jenis barang atau jasa antara merek tersebut.

This thesis discusses about the legal protection for the owner of a local trademark that the trademark has similarities with well-known mark. The discussion in this thesis is based on dispute between well-known mark IKEA against local trademark IKEMA that has been decided by the court. In this trademark dispute, there are different types of goods or services. While government regulation to regulate likelihood of confusion with dissimilar goods or services has not been established. This research use qualitative descriptive method. The results showed that Ikea is a well-known mark. Ikema owners register that trademark in good faith and Ikema doesn’t have likelihood of confusion with Ikea because there are differences the types of goods or services in that trademark.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57629
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria A. Nareswari
"Dengan berkembangnya dunia perdagangan, perlindungan akan merek pun menjadi hal yang sangat penting. Pada dasarnya, merek adalah sebagai tanda yang menunjukkan asal barang, membedakan antara satu produsen dengan produsen lainnya. Merek harus memiliki daya pembeda. Merek tidak dapat didaftarkan jika merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang/jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Kata/istilah generik yang menerangkan barang/jasa tersebut tidak dapat didaftarkan karena memiliki daya pembeda yang lemah. Dalam kasus Kopitiam, Mahkamah Agung mengabulkan kopitiam sebagai merek eksklusif individu karena kopitiam tidak memiliki arti kedai kopi seperti yang diutarakan pemohon Peninjauan Kembali. Pemberian arti kopitiam yaitu kopi berasal dari Bahasa Melayu, dan tiam dari Bahasa Hokkien yang berarti kedai (pemaknaan kopitiam yaitu sebagai kedai kopi), tidak dapat diterima Mahkamah Agung. Penggunaan istilah tersebut bukanlah sesuatu yang lazim, namun bagi masyarakat terutama daerah pesisir Sumatera, Kalimantan, dekat Singapura dan Malaysia, menganggap istilah kopitiam adalah identik dengan sebuah kedai kopi. Perbedaan pemahaman ini yang akhirnya membuat secara hukum kopitiam diterima sebagai merek dan tidak bagi masyarakat terutama para pengusaha Kopitiam di Indonesia.

With the fast development of tradingscene, the legal protection of trademarks becomes an important issue. Basically, trademark is a sign which indicates the origin of certain goods, and it can also distinguish one producer’s good from the competitors’. Trademark should have a distinctiveness. A mark cannot be registered if it is in some ways related to the product/service. In the Kopitiam case, the Supreme Court has granted the exclusive right of that mark with reasoning there is not enough evidence that “Kopitiam” translates to “Coffee Shop”, as Abdul Alek has stated. Kopitiam is originated from Kopi from Malay language and Tiam which means shop (from Hokkien dialect). The Supreme Court stated that the use of the term ‘Kopitiam’ is not common, but for the citizen, especially originating from Sumatera, Kalimantan, and around Singapore and Malaysia, the term Kopitiam is synonymous with “Coffee Shop”. The difference in understanding leads to legal acceptance of “Kopitiam” as an exclusive trademark in Indonesia, with the general public, especially other Kopitiam business, unable to use it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patar Kristiono
"Istilah Parodi banyak dikenal dalam Hak Cipta namun seiring perkembangan zaman tidak hanya Hak Cipta yang menjadi target Parodi melainkan juga Merek. Saat ini semakin banyak pelaku usaha yang menggunakan Parodi Merek dalam produknya dan sebagian besar Parodi Merek tersebut dengan sengaja menirukan Merek pihak lain. Penggunaan Parodi Merek seperti itu berpotensi merugikan pihak pemilik merek. Saat ini Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UUMIG) belum mengatur secara eksplisit tentang Parodi Merek. Penulisan Tesis ini mengkaji mengenai bagaimana suatu Parodi Merek dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek berdasarkan Undang-Undang Merek Indonesia dan Undang-Undang Merek di Amerika Serikat beserta putusan-putusan pengadilannya serta perlindungan hukum terhadap pemilik merek atas tindakan Parodi Merek. Metode penerapan penulisan tesis ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Metode yuridis normative digunakan untuk melakukan pengkajian terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku terutama yang berkaitan dengan permasalahan Parodi Merek. Parodi Merek yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek berdasarkan UUMIG adalah Parodi Merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar/merek terkenal dan digunakan sebagai merek dalam barang/jasa sejenis. Berbeda dengan Indonesia, di Negara Amerika tetap dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek meskipun tidak digunakan pada kelas barang/ jasa yang sama. Berdasarkan UUMIG, pemilik merek yang dirugikan karena tindakan Parodi Merek dapat menempuh upaya hukum perdata, upaya hukum pidana, dan/atau upaya hukum melalui alternatif penyelesaian sengketa. Sedangkan di Negara Amerika terdapat upaya hukum tambahan bagi pemilik merek terkenal terhadap permasalahan Parodi Merek ini yaitu gugatan perusakan merek (tarnishment). Para Regulator sebaiknya menambahkan ketentuan tentang pelanggaran merek untuk barang/jasa tidak sejenis dan juga untuk merek/elemen merek yang penggunaannya bukan sebagai merek dan gugatan pelanggaran merek terkenal untuk barang/jasa tidak sejenis dalam UUMIG mendatang. Hal ini bertujuan agar UUMIG mendatang dapat mengakomodasi permasalahan Parodi Merek yang sebagian besar penggunaannya bukan sebagai merek. Perlu juga diatur konsep dilusi merek terutama tentang gugatan perusakan merek (tarnishment) sebagai tambahan upaya hukum untuk merek terkenal terhadap permasalahan Parodi Merek.

The term parodi is widely known in copyright, but over time it is not only copyright that is the target of parodi but also trademarks. Currently, more and more business actors are using Brand Parodies in their products and most of these Brand Parodies are deliberately imitating other parties' trademarks. The use of such Brand Parodi has the potential to harm the brand owner. Currently, Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications (UUMIG) does not explicitly regulate Trademark Parodi.

This thesis examines how a trademark parodi can be categorized as a trademark infringement based on the Indonesian trademark law and United States trademark law and its court decisions as well as legal protection for trademark owners for trademark parodi actions. The application method of writing this thesis is normative juridical with a statutory approach. The normative juridical method is used to conduct an assessment of the applicable legal rules, especially those relating to the issue of Trademark Parodi. Trademark Parodi which can be categorized as a trademark infringement under UUMIG is a Trademark Parodi which has similarities in principle with a registered mark/famous mark and is used as a mark in similar goods/services. In contrast to Indonesia, in America it can still be categorized as a trademark infringement even though it is not used in the same class of goods/services. Based on UUMIG, brand owners who are harmed by Trademark Parodi's actions can take civil legal action, criminal law efforts, and/or legal remedies through alternative dispute resolution. Meanwhile, in America, there are additional legal remedies for well-known brand owners against this trademark parodi problem, namely a trademark tarnishment lawsuit. Regulators should add provisions regarding trademark infringement for dissimilar goods/services and also for brands/brand elements whose use is not as a mark and lawsuits for infringement of well-known marks for dissimilar goods/services in the upcoming UUMIG. This is intended so that the upcoming UUMIG can accommodate the problem of Trademark Parodi, most of which are not used as brands. It is also necessary to regulate the concept of trademark dilution, especially regarding a trademark tarnishment lawsuit as an additional legal remedy for well-known brands against the issue of Trademark Parodi."

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andreas Natallino Hamboer
"Permohonan pendaftaran merek tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan moralitas agama, sesuai dengan yang diatur pasal 5 UU Merek No 15 Tahun 2001. Namun dalam Kasus merek Buddha Bar, telah terjadi pendaftaran yang sah tetapi bertentangan dengan prinsip ketertiban umum. Merek Buddha Bar adalah merek Perancis, yang dimiliki oleh perusahaan George V Restaurant, yang kemudian didirikan oleh PT Nireta Vista Creative. Sertifikasi merek yang diberikan, adalah suatu produk hukum yang dikeluarkan Dirjen HAKI, berdasarkan asas National Treatment, yang diatur di dalam Konvensi Paris. Konvensi Paris juga mengatur adanya kewajiban untuk mengakui merek yang telah terdaftar di negara-negara lain. Walaupun UU merek berasal dari TRIPs, dan merupakan produk hukum Internasional yang telah diratifikasi,tetapi setiap Negara mempuyai kedaulatan untuk menentukan hukum tentang mereknya masing-masing. Undang undang merek merupakan produk hukum Internasional dari TRIPs yang bersumber dari hukum asing, sedangkan hukum membutuhkan wadah implementasi yaitu masyarakat sebagai sarana untuk mengaplikasikan hukum yang telah tercipta. Artinya setiap kaidah hukum bersumber dari keadaan sosiologis masyarakat pembentuknya, dan tidak bisa disamakan keadaan sosiologis masyarakat yang satu dengan yang lain. Ketertiban umum digunakan hakim sebagai alasan pembatalan merek terdaftar Buddha Bar, karena kaidah hukum dari luar, telah bertentangan dengan kaidah hukum nasional yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Application for trade mark registration must not be contrary to public order and morality of religion, according to article 5 Law of Marks No. 15 of 2001. However, in the case of the Buddha Bar mark, there has been a valid registration trademark, but contrary to the principle of public order. Brand Buddha Bar is a French brand, that is owned by George V Restaurant, which was subsequently established by PT Nireta Vista Creative. Certification of marks is a product of law which is issued by Dirjen HAKI, based on the principle of National Treatment. The Paris Convention also regulates the obligation to recognized marks that have been registered in other countries. Although the Law of Marks No. 15 of 2001 comes from TRIPs act, and as a product of International law which has been ratified, but each country has sovereignty to determine their own law of marks. Trade mark Law is product of International Law and TRIPs, that is sourced from foreign law, while the law needs a place to implement, that is community forum, as a means to apply the law which has been created. This means that any rule law derived from the sociological circumstances, and can not be equated state of sociological community with one another. Public order is used by judges as a reason for cancellation the registered trade mark Buddha Bar, because the foreign legal element contrary to the rules of national law upheld by the community.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S24993
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nani Nuraeni
"Skripsi ini membahas tentang ketentuan persamaan pada pokoknya dalam sebuah merek berdasarkan pada doktrin-doktrin merek yang dianut dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Doktrin-doktrin merek tersebut menjadi dasar pengujian dalam penolakan pendaftaran merek, oposisi, pembatalan , dan juga salah satu dasar gugatan dalam sebuah pelanggaran merek. Sebagai pembanding tentang ketentuan tersebut digunakan ketentuan yang dianut sistem Amerika Serikat dan Masyarakat Uni Eropa ( European Economic Community). Untuk memahami konsistensi penerapan ketentuan tersebut dalam kasus digunakan dua buah kasus yaitu kasus sengketa merek antara Extra Joss melawan Enerjos dan Kasus IKEA dengan IKEMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan desain preskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat inkonsistensi dalam penerapannya doktrindoktrin merek, sehingga diperlukan beberapa revisi terhadap undang-undang yang berlaku saat ini.

This thesis investigated the use of likelihood of confusion clause from its doctrine point of view as stated in Indonesia’s Mark Law No. 15 Year 2001.The doctrines serve as grounds for refusing registration, opposing application, canceling registration, and for claiming infringment of mark. The U.S System and Europan Economic Community (EEC) sytems are used as comparison to the Indonesian law. To understand the application of the doctrines in cases, two cases were selected, which are Extra Joss versus Enerjos and IKEA versus IKEMA. This thesis used doctrinal method as a research method with prescriptif design. The study found that there are inconsistencies in the application of the mark doctrines therefore some revisions to the law should be made accordingly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54072
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudargo Gautama
Bandung: Alumni, 1992
346.048 8 SUD u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>