Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164578 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
Syafvan Rizki
"Teleconference sebagai cara yang digunakan untuk melindungi saksi pada saat memberikan keterangan di persidangan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teleconference juga bisa dikategorikan sebagai manifestasi bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi pada kasus-kasus tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Akan tetapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa semua bentuk perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dapat diberikan setelah adanya persetujuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1), bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim. Skripsi ini menganalisis siapa sesungguhnya yang berwenang dalam menentukan apakah seorang saksi diperiksa melalui teleconference atau tidak, khususnya pada Persidangan Tindak Pidana Terorisme Atas Nama Terdakwa Abu Bakar bin Abud Ba?asyir Alias Abu Bakar Ba?asyir Nomor Register Perkara 148/Pid.B/2011/PN.JKT.Sel. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan dengan metode pendekatan perudang-undangan dan pendekatan kasus.

Abstract
Teleconferencing as an option for protecting the witness when he or she gives his or her testimony on a trial has been regulated in article 9 paragraph (3) of Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victim. Teleconferencing as a form of protection that may provided for witness in certain cases refers to article 5, paragraph (1) of Law No.13/2006. However, as article 5 paragraph (2) has determined that all forms of protection refers to article 5 paragraph (1) allowed only after the approval of Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (The Body of Witness and Victim Protection). Although article 9 paragraph (3) jo. Article 9 paragraph (1) that the interrogation of witness via teleconference may be done only after receiving permission from the judge. This thesis mainly discussed about the authority to determine whether a witness examined via teleconference or not, especially on the trial of a terrorism crime in the name of offender Abu Bakar bin Abud Ba'asyir alias Abu Bakar Ba'asyir Case Number 148/Pid.B /2011/PN. JKT.Sel. This thesis is using the normative method research in statue approach and case approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Djusnita
"Karakter utama dari penangkapan dan penahanan adalah pengekangan sementara waktu untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan yang terkait dengan hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan bergerak. Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No.15 Tahun 2003 menyatakan bahwa hukum acara pidana yang digunakan adalah sebagaimana ketentuan dalam KUHAP dengan beberapa pengecualian, diantaranya mengenai jangka waktu penangkapan dan penahanan yang ditentukan lebih lama dibandingkan KUHAP sehingga tidak memenuhi ketentutan Pasal 9 International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR) yang mensyaratkan seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana harus diperiksa dalam waktu yang wajar. Jangka waktu penangkapan dan penahanan yang lebih panjang tersebut masih dirasa kurang dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia sehingga muncul usulan perpanjangan terhadapnya dengan alasan tindak pidana terorisme merupakan bagian dari kejahatan terorganisir (organized crime) sebagaimana diatur dalam United Nations Transnational Organized Crime (UNTOC). Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai penangkapan dan penahanan dalam tindak pidana terorisme, dengan merujuk kepada KUHAP dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebagai instrumen hukum nasional serta International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan United Nations Transnational Organized Crime (UNTOC) sebagai instrumen hukum internasional.

The main character of the arrest and detention is the temporary confinement for the purposes of investigation or prosecution relating to human rights, particularly rights of freedom of movement. Article 25 paragraph (1) of Act 15 of 2003 states that the law of criminal procedure used was as provisions in the Criminal Procedure Code with some exceptions, including the arrest and detention time period prescribed for longer than the Criminal Procedure Code so it does not meet Article 9 International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR) which requires a person accused of a crime should be examined within a reasonable time. Arrest and detention period longer still felt lacking in efforts to eradicate criminal acts of terrorism in Indonesia, so emerged the proposed extension by reason of a criminal act against terrorism is part of organized crime as stipulated in the United Nations Transnational Organized Crime (UNTOC). In this paper will discuss the arrest and detention in the criminal act of terrorism, with reference to the Criminal Procedure Code and Act 15 of 2003 as an instrument of national law and the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the United Nations Transnational Organized Crime (UNTOC) as an instrument of international law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S443
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Orchida Ramadhania
"Indonesia adalah negara yang begitu kaya akan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Hal tersebut merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Keberadaannya penting untuk menjamin pembangunan serta menjaga keseimbangan ekosistem alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung jawab dalam mengatur sumber daya alam tersebut dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat masa kini dan masa yang akan datang. Prinsip pengaturan sumberdaya secara bijaksana dijelaskan pertama kali dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 yang selanjutnya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dimana yang terakhir diatur dalam undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada kenyataannya, tumbuhan, binatang, dan kawasan yang dilindungi dalam undang-undang tersebut masih senantiasa mendapat ancaman dari manusia yang tidak peduli, atau semata-mata hendak mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Mereka memperdagangkan, membunuh, atau mengekspor tumbuhan dan binatang yang dilindungi tersebut, tanpa mempedulikan jika perbuatan mereka akan membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia lain serta keseimbangan ekosistem itu sendiri. Mengatasi hal ini, keberadaan perangkat dan proses hukum yang baik menjadi sangat diperlukan. Undang-undang saja tidak cukup apabila tidak ditunjang oleh aparat dan proses beracara di persidangan yang mampu mengatasi karakteristik masalah yang sering terdapat dalam tindak pidana bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Agar tindak pidana ini tidak dipandang remeh dan berlangsung terus menerus, sistem hukum dan proses beracara yang baik menjadi sangat esensial. Aparat Kepolisian beserta Hakim dan jaksa penuntut umum sebagai aparat penegak hukum kemudian dituntut keseriusannya dalam menanggapi urgensi pelanggaran tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S24546
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Soekarman
Betawi Ruygrok 1913
D 899.23 S 420
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Randy
"Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari puluhan pulau di seluruh nusantara Indonesia ini. Selain itu Indonesia juga merupakan negara yang berkembang yang mempunyai potensi untuk menjadi negara maju, Indonesia layaknya negara yang lain membutuhkan pembangunan yang berkala, guna agar terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Apabila kita berbicara mengenai pembangunan maka kita berbicara mengenai perbankan, perbankan merupakan suatu system pembayaran dari suatu negara. Di dalam Bank pun terdapat yang namanya Rahasia Bank yang merupakan suatu metode yang harus dipegang teguh oleh Bank dimanapun dia berada, karena hal tersebut merupakan kepercayaan nasabah terhadap suatu bank, tetapi dengan adanya Rahasia Bank tersebut terdapat suatu masalah yang terjadi yaitu adanya penyimpangan yang bernama Pencucian Uang yaitu suatu kejahatan yaitu menghapuskan atau menghilangkan jejak dan asal-usul uang tersebut dan biasanya uang tersebut berasal dari suatu kejahatan.
Terdapat 1 kasus yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu kasus yang melibatkan Dolfie Palar yang merupakan pegawai Bank Sulut yang melakukan Korupsi dan Pencucian Uang di dalam Bank Sulut. Permasalahan timbul sehubungan dengan kasus tersebut yaitu dalam hal apa bank dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana pencucian uang serta bagaimana penyelesaian yang diambil terhadap bank yang melakukan kegiatan pencucian uang tersebut.
Metode penulisan yang diambil yaitu normative disertai dengan sedikit wawancara, maka berdasarkan metode penulisan tersebut Majelis Hakim memutuskan untuk menyatakan Terdakwa terbukti melakukan pencucian uang dan korupsi serta menghukum terdakwa dengan pidana penjara dan denda sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Undang-undang Korupsi dan Pencucian Uang tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T36667
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Thoimatunnisaa
"Skripsi ini membahas kewenangan hakim untuk memutus perkara dikaitkan kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan Metode penelitian adalah penelitian yuridis normatif Putusan Nazril Irham dan M Arifin bin Sukari dibahas sebagai bahan analisis skripsi Berdasarkan hasil analisis bahwa asas stelsel aktif hakim mengenai pengubahan surat dakwaan pada proses ajudikasi tidak bisa dilakukan karena KUHAP menganut sistem spesialisasi diferensiasi dan kompartemenisasi hakim tidak memiliki kewenangan memutus perkara berdasarkan ketentuan perundang undangan yang tidak didakwakan oleh jaksa atau di luar surat dakwaan Putusan Nazril Irham bukan merupakan putusan di luar surat dakwaan karena hakim telah mempertimbangkan semua unsur tindak pidana delik Sementara itu putusan judex factie M Arifin bin Sukari termasuk putusan di luar surat dakwaan karena hakim tidak mempertimbangkan semua unsur tindak pidana delik

This research focuses on the judge rsquo s authority to make the court judgment which is related to the prosecutor rsquo s authority to conduct prosecution Normative juridical method is used to analyze the data The judgment of Nazril Irham and M Arifin bin Sukari are being analyzed in this research The result of this research concludes that the principle of stelsel active of the judges to amend an indictment in adjudication process is not allowed Since the Code of Criminal Procedure consists of the specialization differentiation and compartment system The judges are prohibited to impose criminal charges that is not stated in the indictment The verdict of Nazril Irham case is not one kind of such indictment because the judges have considered all the elements of crime delict Meanwhile the verdict judex factie of M Arifin bin Sukari is one kind of court judgment that impose charges which is over the indictment and did not considered all the elements of crime delict "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45572
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchtaruddin Ibrahim
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993
923.592 MUC u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>