Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152607 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Annissa Rizki
"Skripsi ini membahas mengenai pertimbangan Hakim dalam putusan perkara pidana yang mengandung unsur bias rasial dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), suatu pertimbangan harus berdasarkan fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Hakim sebagai aparat penegak hukum memiliki peran dan kekuasaan dalam peradilan pidana, sebagaimana dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam memberikan pertimbangan putusan, Hakim harus melihat kepada proses pemeriksaan dalam persidangan sebelum akhirnya menyatakannya dalam putusan akhir. Adanya bias atau prasangka rasial tidak diperkenankan dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam perkara pidana, munculnya bias rasial dalam pertimbangan Hakim untuk membuktikan unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa bertentangan dengan hak-hak yang melekat dalam diri terdakwa tersebut dan dilindungi oleh ketentuan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

The focus of this study is about the judge?s consideration in criminal judgment that contains racial bias to prove the defendant?s fault. Based on the Code of Criminal Procedure, a consideration of the judge must be based on fact and condition with the evidence acquired from the result of the trial process that will be a background to determine the defendant?s fault. The Judge as a law enforcer has roles and authorities in a criminal court system, which is explained in the Law Number 4 year 2004 regarding Judicial Power. In providing a consideration of the judgment, the Judge must see the trial process before finally he declares in the judgment. A racial bias is not allowed in every national and international law instrument, because it collides with the principals of human rights. In criminal case, a racial bias appears in the Judge?s consideration to prove the element of a defendant?s criminal action is conflict with the rights that stick in the defendant and protected by the criminal procedural law and related rules."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22598
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kumala susanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22912
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rina Agustina Pandia
"ABSTRAK
Sebagai seorang individu yang belum matang, anak mempunyai
kecenderungan untuk meniru apa yang mereka terima dari luar tanpa disaring
lebih dahulu. Anak yang kurang/tidak memperoleh kasih
sayang,asuhan,bimbingan dalam pengembangan sikap perilaku serta pengawasan
dari orang tua mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang
sehat, melakukan perbuatan menyimpang bahkan perbuatan melanggar hukum
dan adakalanya terpaksa diajukan ke muka pengadilan karena telah melakukan
tindak pidana. Salah satu kejahatan yang Hilalmigiti oleh anak adalah kekerasan seksual,
di mana yang menjadi korban dari kekerasan seksual ini adalah anak juga. Menyikapi
hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan mengenai
“Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan atas tindak pidana kekerasan
seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak”. Lingkup permasalahan yang
penulis teliti adalah : 1)faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penjatuhan putusan, 2)hambatan-hambatan yang dialami dan upaya mengatasinya,
3)serta bagaimana bentuk sanksi dan apakah hakim telah memberikan
perlindungan terhadap anak.Di Indonesia telah berlaku UU No.3/1997 tentang
Pengadilan Anak dan UU No.23/2002 tentang Perlindungan AnakMelalui dua
ketentuan inilah hakim antara lain mendasarkan penjatuhan putusan dalam perkara
anak,selain tentunya dengan ketentuan lainnya. Hakim harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak, dimana kekerasan seksual telah mengakibatkan
trauma dan rusaknya masa depan korban,namun dari sisi pelaku masa depan dan
hak-haknya juga harus diperhatikan.Disinilah ungkapan “pengadilan sebagai
benteng terakhir keadilan” harus diwujudkan oleh hakim sebagai harapan dari
masyarakat untuk memberikan keadilan. Penulis melakukan penelitian yuridis
normatif yang disajikan secara kualitatif, ternyata didapati kesimpulan bahwa
hakim dalam menyikapi ketentuan pidana minimum khusus dalam UU
Perlindungan Anak adalah kembali menggunakan aturan umum yakni KUHP,oleh
karena hakim menganggap sanksi pidana minimum 3 tahun dalam UU
Perlindungan Anak tidak mewakili kepentingan terbaik bagi anak, pedoman
pemidanaan perlu segera diatur secara tegas dan jelas dalam KUHP yang akan
datang, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah dapat berupa pidana penjara
atau tindakan (kasus per kasus).

ABSTRACT
As an individual who has not been mature,children have a tendency to
imitate what they receive from outside without filtered previously. Children who
are less / not get affection, care, guidancein the development of behavior and
attitude control of the parentseasy trail in the flow of the association community
the less healthy, to act deviate even act against the law and sometimes forced to
face a court asked to do because it was a crime. One of the crimes committed by
children is sexual violence, in which victims of sexual violence is also a child.
That the authors are interested to take the problems on "The judges decision is
throwing up in the crime o f sexual violence committed by children against
children". The scope of the problems that the author is thorough: 1) factors into
consideration in the judge dropping decision, 2) barriers experienced and
overcome the effort, 3) and how the form of sanctions and whether the judge has
given the protection of children. Indonesia has been in effect on the Law
No.3/1997 on Children's Court and Law No.23/2002 on Child Protection.
Through the provision of two judges, among others, this is the base throwing
decision in the matter of children, in addition of course to the other provisions.
Judges must consider the best interests of the children, where sexual violence has
resulted in trauma and damage to the future victims, but from the side of the
future and their rights also must be considered. Is the expression "the court as the
last fortress of justice" must be transformed by the judge as expectations of the
people to give justice. Author juridical non-native research presented in
qualitative, conclusion was found that the judge in the criminal provisions in the
minimum special Child Protection Act is again using the general rule that the
Penal Code, because the judge considered criminal sanctions minimum 3 years in
the Child Protection Law does not represent the best interests of the children,
sentencing guidelines need to be set explicitly and clearly in the Penal Code
which will come, and form of sanctions that can be a form of imprisonment or
criminal action (cases per case)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26088
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhan Andyara Milono
"Anak korban memiliki beberapa hak, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan restitusi. Restitusi ditinjau dari viktimologi merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku atas penderitaan yang diakibatkan terhadap korban. Akan tetapi, kedudukan restitusi dalam sistem pemidanaan di Indonesia belum diatur secara jelas. Restitusi pada praktik telah beberapa kali diberikan kepada anak korban, di antaranya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 86/PID.SUS/2022/PT BDG dengan terdakwa Herry Wirawan dan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel dengan terdakwa Mario Dandy. Namun di antara kedua kasus tersebut terdapat perbedaan yang signifikan terkait dengan besaran restitusi bagi anak korban, sehingga pertimbangan majelis hakim dalam menentukan besaran restitusi pada kedua kasus tersebut perlu dianalisis. Berdasarkan beberapa persoalan tersebut, penelitian ini akan membahas mengenai pandangan viktimologi terhadap anak korban, kedudukan restitusi dalam sistem pemidanaan di Indonesia, dan pertimbangan hakim dalam menentukan besaran restitusi pada perkara yang melibatkan anak sebagai korban tindak pidana. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal dengan menggunakan bahan hukum sebagai sumber utama dari data yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa anak korban memiliki karakteristik khusus yang membuat mereka rentan menjadi korban tindak pidana, lalu penelitian ini juga menyimpulkan bahwa restitusi di Indonesia merupakan pidana tambahan. Terkait dengan kasus yang dianalisis, penelitian ini menemukan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung telah mempertimbangkan kerugian para anak korban dan kemampuan pelaku dengan baik dalam menentukan besaran restitusi pada kasus dengan terdakwa Herry Wirawan, sedangkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempertimbangkan kerugian anak korban dengan baik namun belum mempertimbangkan dengan baik kemampuan pelaku dalam membayar restitusi dalam kasus dengan terdakwa Mario Dandy.

Child victims have several rights, one of them is the right to get restitution. Restitution according to victimology is a form of responsibility of the perpetrator for the suffering caused to the victim. However, the position of restitution in penal system in Indonesia hasn’t been clearly regulated. In practice, restitution has been given several times to child victims, like in Bandung High Court Decision Number 86/PID.SUS/2022/PT BDG with the Herry Wirawan as the defendant and in South Jakarta District Court Decision Number 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel with Mario Dandy as the defendant. However, there are significant difference regarding the amount of restitution for child victims between the two cases, so judge's considerations in determining the amount of restitution in both cases need to be analyzed. Based on those several issues, this research will discuss the victimology view of child victims, the position of restitution in the criminal system in Indonesia, and judge's considerations in determining the amount of restitution in cases involving children as victims of crime. This research is a doctrinal research that uses legal materials as its main source of data that used in this research. This research concluded that child victims have special characteristics that make them vulnerable to become crime victim, this research also concluded that restitution in Indonesia is an additional punishment. Regarding the cases that have been analyzed, this research found that the Judges at the Bandung High Court had properly consider the losses of the child victims and the perpetrator's ability to pay in determining the amount of restitution in the case with Herry Wirawan as the defendant, whereas Judges at the South Jakarta District Court had properly considered the losses to the child victim but haven’t properly consider the perpetrator's ability to pay restitution in the case with Mario Dandy as the defendant."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudia Hwai Willy Wibowo
"Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga quasi yudisial yang melaksanakan fungsi yudisial (mengadili) dalam hal terjadinya kecelakaan kapal, walaupun tidak termasuk peradilan yang secara limitatif diatur dalam Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Permasalahan muncul saat pihak yang diperiksa dan dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Pelayaran ternyata diproses kembali secara pidana dan kemudian dalam penjatuhan sanksi pidananya, hakim juga menggunakan putusan Mahkamah Pelayaran sebagai bahan pertimbangannya dalam menjatuhkan putusan. Walaupun begitu ternyata dua kali pemrosesan tidak melanggar asas Ne Bis In Idem dengan tidak terpenuhi dua syarat keberlakuannya, serta penggunaan putusan Mahkamah Pelayaran tidak akan melanggar asas Non-Self Incrimination tergantung dari cara penggunaannya.

Voyage Court is a quasi-judicial institution which perform judicial functions (try) in the event of ship accident, although not included in the limitative regulated court in the Law of Judicial Power. Problems arise when party are examined and sanction by the Voyage Court turned out to be processed again in a Criminal Court and at the imposition of criminal sanctions, the judge also uses Voyage Court decision as a consideration material for its decision. Although the twice processing itself does not violate the principle of Ne Bis In Idem with some of the unmet requirements and the use of Voyage Court decision would not violate the principle of Non-Self-Incrimination depending on how to use it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22602
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Agustina Pandia
"ABSTRAK
Sebagai seorang individu yang belum matang, anak mempunyai
kecenderungan untuk meniru apa yang mereka terima dari luar tanpa disaring
lebih dahulu. Anak yang kurang/tidak memperoleh kasih
sayang,asuhan,bimbingan dalam pengembangan sikap perilaku serta pengawasan
dari orang tua mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang
sehat, melakukan perbuatan menyimpang bahkan perbuatan melanggar hukum
dan adakalanya terpaksa diajukan ke muka pengadilan karena telah melakukan
tindak pidana. Salah satu kejahatan yang Hilalmigiti oleh anak adalah kekerasan seksual,
di mana yang menjadi korban dari kekerasan seksual ini adalah anak juga. Menyikapi
hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan mengenai
“Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan atas tindak pidana kekerasan
seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak”. Lingkup permasalahan yang
penulis teliti adalah : 1)faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penjatuhan putusan, 2)hambatan-hambatan yang dialami dan upaya mengatasinya,
3)serta bagaimana bentuk sanksi dan apakah hakim telah memberikan
perlindungan terhadap anak.Di Indonesia telah berlaku UU No.3/1997 tentang
Pengadilan Anak dan UU No.23/2002 tentang Perlindungan AnakMelalui dua
ketentuan inilah hakim antara lain mendasarkan penjatuhan putusan dalam perkara
anak,selain tentunya dengan ketentuan lainnya. Hakim harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak, dimana kekerasan seksual telah mengakibatkan
trauma dan rusaknya masa depan korban,namun dari sisi pelaku masa depan dan
hak-haknya juga harus diperhatikan.Disinilah ungkapan “pengadilan sebagai
benteng terakhir keadilan” harus diwujudkan oleh hakim sebagai harapan dari
masyarakat untuk memberikan keadilan. Penulis melakukan penelitian yuridis
normatif yang disajikan secara kualitatif, ternyata didapati kesimpulan bahwa
hakim dalam menyikapi ketentuan pidana minimum khusus dalam UU
Perlindungan Anak adalah kembali menggunakan aturan umum yakni KUHP,oleh
karena hakim menganggap sanksi pidana minimum 3 tahun dalam UU
Perlindungan Anak tidak mewakili kepentingan terbaik bagi anak, pedoman
pemidanaan perlu segera diatur secara tegas dan jelas dalam KUHP yang akan
datang, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah dapat berupa pidana penjara
atau tindakan (kasus per kasus).

ABSTRACT
As an individual who has not been mature,children have a tendency to
imitate what they receive from outside without filtered previously. Children who
are less / not get affection, care, guidancein the development of behavior and
attitude control of the parentseasy trail in the flow of the association community
the less healthy, to act deviate even act against the law and sometimes forced to
face a court asked to do because it was a crime. One of the crimes committed by
children is sexual violence, in which victims of sexual violence is also a child.
That the authors are interested to take the problems on "The judges decision is
throwing up in the crime o f sexual violence committed by children against
children". The scope of the problems that the author is thorough: 1) factors into
consideration in the judge dropping decision, 2) barriers experienced and
overcome the effort, 3) and how the form of sanctions and whether the judge has
given the protection of children. Indonesia has been in effect on the Law
No.3/1997 on Children's Court and Law No.23/2002 on Child Protection.
Through the provision of two judges, among others, this is the base throwing
decision in the matter of children, in addition of course to the other provisions.
Judges must consider the best interests of the children, where sexual violence has
resulted in trauma and damage to the future victims, but from the side of the
future and their rights also must be considered. Is the expression "the court as the
last fortress of justice" must be transformed by the judge as expectations of the
people to give justice. Author juridical non-native research presented in
qualitative, conclusion was found that the judge in the criminal provisions in the
minimum special Child Protection Act is again using the general rule that the
Penal Code, because the judge considered criminal sanctions minimum 3 years in
the Child Protection Law does not represent the best interests of the children,
sentencing guidelines need to be set explicitly and clearly in the Penal Code
which will come, and form of sanctions that can be a form of imprisonment or
criminal action (cases per case)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37197
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ilang Sakti
"Penelitian tesis ini membahas tentang pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan yang menerapkan restorative justice dalam tindak pidana yang menyebabkan matinya korban (khususnya pada tindak pidana pembunuhan, pembunuhan berencana, dan penganiayaan yang menyebabkan kematian). Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian normatif dengan mencari bahan kepustakaan atau data sekunder yang kemudian dilengkapi dengan data primer. Dalam tesis ini yang menjadi permasalahan adalah apakah restorative justice dapat diterapkan terhadap kasus tindak pidana yang menyebabkan matinya korban, apakah penerapan restorative justice dalam kasus tindak pidana yang menyebabkan matinya korban dapat dijadikan sebagai bahan perimbangan hakim dalam memberikan putusan, serta bagaimana pengaruh pertimbangan hakim terhadap putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana yang menyebabkan matinya korban yang diselesaikan dengan restorative justice. Dalam praktiknya, keadilan restoratif pada prinsipnya merupakan konsep penyelesaian yang menekankan adanya pertemuan antara keluarga korban dan terdakwa serta masyarakat untuk mencapai kesepakatan bersama. Kesepakatan inilah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dengan mempertimbangkan keadilan restoratif dalam penjatuhan hukuman, hakim harus memastikan pemulihan keluarga korban dan mengintegrasikan kembali pelaku ke masyarakat.

This thesis research discusses the consideration of judges in court decisions that apply restorative justice in criminal offences homicide (specifically in the criminal offences of murder, manslaughter, and abuse that cause). This thesis research uses normative research methods by searching for literature or secondary data which is then complemented by primary data. In this thesis, the problems are whether restorative justice can be applied to criminal offences homicide, whether the application of restorative justice in criminal offences homicide can be used as a consideration for judges in giving decisions, and how the influences of judges’ considerations on court decisions in criminal offences homicide resolved with restorative justice. In practice, restorative justice is in principle a settlement concept that emphasizes a meeting between the victim’s family, the defendant and the community to reach a mutual agreement. This agreement is taken into consideration by the judge in reaching a verdict. By considering restorative justice in sentencing, judges must ensure the recovery of the victim’s family and reintegrate the offender into society."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Jamil
"Lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian. Akan tetapi, prinsip tersebut belum diikuti oleh peraturan lainnya. Hal ini terbukti baik Undang-Undang No. 1 tahun 1974 maupun Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara tegas masih mengakui hukum acara yang lain, seperti HIR, Rbg, dan lain sebagainya. Adapun hukum acara yang secara khusus diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 hanya masalah cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Dalam hal pembuktian masih menggunakan HIR, Rbg, BW dan sebagainya.
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti yang diatur HIR, Rbg, BW, dengan demikian dapat dimungkinkan terjadinya kesepakatan untuk melakukan perceraian dengan menggunakan peluang pengakuan sebagai alat bukti. Hal ini bertentangan dengan prinsip Undang-Undang No. 1 tahun 1974, PP No. 9 tahun 1975. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui penerapan alat bukti pengakuan dalam perkara perceraian, (2) mengetahui dan mengkaji kekuatan bukti pengakuan dalam perkara perceraian di pengadilan agama, (3) untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap pengakuan sebagai alat bukti dalam perkara perceraian.
Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti putusan pengadilan agama yang menggunakan pengakuan sebagai dasar pertimbangan putusan. Responden dalam penelitian ini adalah hakim pengadilan agama Yogyakarta dengan menggunakan teknik wawancara secara mendalam.
Hasil penelitian yang diperoleh, (1) hakim menerapkan alat bukti pengakuan dalam perkara perceraian secara mutlak, (2) pengakuan merupakan alat pembuktian yang kuat dan bersifat sempurna serta menentukan, artinya bahwa dengan diakuinya dalil gugatan atau permohonan talak hakim tidak membutuhkan pembuktian lanjutan, hakim dapat mengabulkan gugatan atau permohonan talak, (3) hakum menggunakan alat bukti pengakuan sebagai dasar pertimbangan putusannya, berdasarkan kaedah fikiyah, dan Pasal 164 HIR, 174, 175 dan 176, karena hakim berpendapat bahwa pengakuan termasuk alat bukti yang sah dan diatur dalam Undang-undang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Wicaksono
"Permasalahan utama yang diangkat dari penelitian ini adalah tentang banyaknya putusan diluar dakwaan dalam perkara narkotika khususnya yang diputus oleh Pengadilan Negeri , secara normatif pasal 182 (4) KUHAP telah menentukan bahwa musyawarah hakim untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Namun dalam prakteknya ditemukan banyak putusan perkara narkotika yang diputus oleh hakim "diluar surat dakwaan". Penelitian ini mengkaji landasan pemikiran apa yang dipergunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara pidana narkotika dengan ?putusan diluar dakwaan?. Metode penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan primair berupa beberapa putusan Pengadilan Negeri dan putusan Mahkamah Agung RI. Dari hasil penelitian diketahui bahwa putusan diluar dakwaan yang diterapkan oleh hakim didasari atas moral justice dan social justice.

The main problems of this research is about decision or judgement beyond of the indictment especially for narcotic cases. That has been decided by the District Court ( Pengadilan Negeri ) which has implied at the article of 182,(4). Criminal Prosedure Court (KUHAP), has been determined that "The judges of delebration to take the decision should be based on the indictment and proved of investigation". However, at the real condition were found many decisions of narcotic case taked beyond the indictment. This research revewing what rationale that is used by the judges in deciding narcotic criminal case by rulingout the indictment. This reseach method is called normatif yuridical approach. Normatif yuridical approach are doing by research from primary library materials, Distric Courts decision and also takes from Supreme Court decision. From the result of the research we have known that decision beyond indictment is defined by the judge based on moral justice and social justice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32533
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>